Full width home advertisement

Perjalanan Umroh & Haji

Explore Nusantara

Jelajah Dunia

Post Page Advertisement [Top]

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang  
Pada pengadilan dalam semua lingkungan peradilan, secara garis besar terdapat dua jenis tata cara pengelolaan administrasi pengadilan, yaitu dibidang administrasi perkara dan dibidang administrasi umum. Dalam penjelasan umum butir 3 UU No.7 Tahun 1989 tentang pengadilan agama dinyatakan sebagai berikut :
“Mengingat  luasnya  lingkup  tugas dan beratnya beban yang harus dilaksanakan oleh  Pengadilan, maka  perlu  adanya  perhatian  yang  besar  terhadap  tata  cara dan pengelolaan administrasi Pengadilan. Hal  ini sangat penting, karena bukan saja menyangkut  aspek  ketertiban  dalam menyelenggarakan  administrasi,  baik di  bidang  perkara  maupun  kepegawaian,  gaji,  kepangkatan,  peralatan  kantor, dan  lain-lain,  tetapi  juga  akan  mempengaruhi  kelancaran  penyelenggaraan Peradilan  itu  sendiri. Oleh  karena  itu,  penyelenggaraan  administrasi  Peradilan dalam  Undang-undang  ini  dibedakan  menurut  jenisnya  dan  dipisahkan penanganannya, walaupun dalam  rangka koordinasi pertanggungjawaban  tetap dibebankan  kepada  seorang  pejabat,  yaitu  Panitera  yang merangkap  sebagai Sekretaris.”
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis akan menjelaskan dalam makalah ini mengenai Administrasi Keuangan perkara di Pengadilan Agama.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dapat kami rumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan manajemen pengadilan agama dan pola Bindalmin itu?
2.      Apa pengertian, dasar hukum dan macam-macam biaya perkara di Pengadilan Agama?
3.      Seperti apa penyelenggaraan Biaya Perkara di Pengadilan Agama itu?
4.      Bagaimana Biaya Perkara dalam Perundang-undangan yang berlaku sekarang?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Manajemen Pengadilan Agama dan pola Bindalmin[1]
Penjelasan Undang-undang No. 7/1989 tentang peradilan agama sebagaimana telah di singgung di bagian pendahuluan menyatakan bahwa mengingat luas lingkup, tugas dan berat beban pekerjaan yang harus dilaksanakan pengadilan, penyelenggaraan administrasi pengadilan dibedakan menurut jenisnya dan dipisahkan penanganannya. Menurut jenisnya administrasi pengadilan dibedakan menjadi dua yakni administrasi umum dan administrasi perkara/administrasi kepaniteraan, sedangkan menurut penanganannya dilakukan oleh sekretaris dan panitera.
Pembedaan dan pemisahan ini melahirkan dua unit kerja yakni kepaniteraan dan kesekretariatan, panitera dibantu wakil panitera menangani administrasi kepaniteraan/perkara dan sekretaris dibantu wakil sekretaris akan menangani administrasi umum (man, money and material).
Seperti diketahui tugas pokok pengadilan adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Yang melaksanakan tugas-tugas administrasi dalam rangka mencapai tugas pokok tersebut adalah panitera, baik administrasi perkara, administrasi persidangan dan pelaksanaan putusan. Sedangkan pelaksana tugas administrasi umum adalah sekretaris.
Sebagai pelaksana administrasi perkara, persidangan dan eksekusi, panitera berkewajiban mengatur (manage) tugas Wapan, Panmud, Panitera pengganti, juru sita. Sebagai pelaksana administrasi perkara panitera bertanggung jawab atas pengurusan perkara putusan penetapan, dokumen, akta, buku daftar, biaya, uang titipan pihak ke tiga yang disimpan di kepaniteraan dan tugas-tugas managerial lainnya.
Demikian juga sebagai sekretaris ia harus mengatur tugas wakil sekretaris dan seluruh pejabat stuktural yang membantunya. Semuanya adalah sangat erat kaitannya dengan tugas-tugas manajemen yakni rangkaian perbuatan menggerakan karyawan pengadilan agama dan mengerahkan fasilitas kerja agar tujuan dapat tercapai.
Kedudukan Panitera/Panitera Pengganti adalah sangat penting dalam pengadilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia, karena panitera pada sebuah pengadilan merupakan unsur pembantu pimpinan dengan tugas-tugasnya bersinggungan dengan pelaksanaan hukum, khususnya hukum acara perdata.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 keputusan KMA RI. No. 0041/SK/II/1992 tentang organisasi dan tata kerja kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, tugas pokok kepaniteraan adalah memeberikan pelayanan teknis dibidang administrasi perkara dan administrasi lainnya berdasarkan peraturan perudangan yang berlaku.
Tugas pokok kepaniteraan tidak bisa dipisahkan dari tugas pokok Pengadilan Agama untuk menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang dalam pelaksanaannya diperlukan kerja administrasi, adapun fungsinya adalah :
1.      Penyusunan : kegiatan pelayanaan administrasi perkara serta pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi persidangan.
2.      Pengurusan daftar perkara dan Administrasi keuangan perkara, administrasi pelaksanaan putusan perkara perdata.
3.      Penyusunan : statistik perkara, dokumentasi perkara, laporan perkara dan yurisprudensi.
4.      Pengurusan : administrasi pembinaan hukum agama dan hisab ru’yat.
5.      Lain-lain berdasarkan peraturan yang berlaku
Dalam rangka fungsi pengawasan, sekaligus demi terwujudnya tertib administrasi perkara di Pengadilan, Mahkamah Agung RI, telah menetapkan pola pembinaan dan pengendalian administrasi perkara bagi semua lingkungan peradilan yang disebut dengan POLA BINDALMINDIL yakni SK. MARI No. KMA/019/SK/VIII/1991 untuk Peradilan Umum, SK. KMA/001/SK/I/1991 untuk Peradilan Agama dan SK. KMA No. : KMA/036/SK/VII/1993 untuk PTUN. POLA BINDALMINDIL tersebut memuat lima bidang.
1.      Pola prosedur penyelenggaraan administrasi perkara (tingkat pertama banding kasasi dan peninjauan kembali).
2.      Pola tentang register perkara.
3.      Pola tentang keuangan perkara.
4.      Pola tentang laporan keuangan.
5.      Pola tentang kearsipan perkara.
Jadi dapat kami simpulkan bahwa Pola Bindalmin ini menyangkut lima hal saja, sebgaimana yang tersebut diatas, namun yang menjadi pembahasan dalam makalah ini hanya pola yang ketiga yaitu pola tentang keuangan perkara (Biaya Perkara).

B.     Pengertian, Dasar Hukum, dan Macam-macam Biaya Perkara[2]
Dasar hukum tentang keuangan perkara adalah ketentuan yang tersebut dalam pasal 121 ayat (4) dan pasal 145 (4) R. Bg, yaitu biaya perkara yang besarnya ditentukan oleh Ketua Pengadilan (PA).
Kemudian suatu perkara di Pengadilan baru dapat didaftarkan apabila biaya sudah dibayar. Azas yang dianut oleh kedua peraturan tersebut adalah “TIDAK ADA BIAYA TIDAK ADA PERKARA”, kecuali dalam perkara prodeo sebagaimana ditentukan dalam pasal 237 HIR dan pasal 273 R. BG.
Mahkamah Agung RI dalam suratnya No. 43/TUAD/ AG/III/UM/XI/I992 tanggal 23 November 1992 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan biaya perkara menurut pasal 121 HIR dan 145 R.Bg adalah biaya kepaniteraan dan biaya proses.
Biaya kepaniteraan meliputi pungutan-pungutan sebagai pelayanan pengadilan yang harus disetor ke kas Negara yang besarnya mengacu kepada Keputusan Menteri Agama No. 162 Tahun 1988 yaitu kas Negara sebesar Rp. 2.000,- ditafsirkan sebagai biaya pencatatan atas pendaftaran perkara. dan Redaksi atau leger sebesar Rp. 1.500,- dipungut pada saat diputusnya perkara yang diajukan kepada Pengadilan.
Menurut surat Mahkamah Agung Republik Indonesia No. MAl KUMDIL/214/XII/k/1992 Tanggal 21 Desember 1992 dimana dijelaskan bahwa hak-hak kepaniteraan (HHK) tersebut meliputi sebagai berikut :
a.       Biaya pendaftaran perkara tingkat pertama                                                   
b.      Biaya Redaksi                                                                                                
c.       Biaya pencatatan permohonan banding                                                         
d.      Biaya pencatatan permohonan kasasi                                                            
e.       Biaya pencatatan permohonan peninjauan kembali                                       
f.       Biaya pencatatan permohonan Sita Konservatoir                                          
g.      Biaya pencatatan permohonan sita revindikatoir                                           
h.      Biaya pencatatan permohonan pencabutan sita                                             
i.        Biaya pencatatan pelaksanaan lelang                                                             
Biaya proses merupakan biaya-biaya pelaksanaan peradilan dalam rangka menyelesaikan suatu perkara. Dalam pasal 90 ayat 1 Undang-undang No.7 Tahun 1989 dijelaskan bahwa biaya proses ini meliputi :
a.       Biaya panggilan Penggugat, Tergugat dan saksi-saksi
b.      Biaya panggilan saksi ahli jika diperlukan
c.       Biaya pengambilan sumpah
d.      Biaya penyitaan
e.       Biaya eksekusi
f.       Biaya pemeriksaan setempat
g.      Biaya untuk menyampaikan amar putusan
h.      Biaya lain-lain atas perintah ketua pengadilan

C.    Buku Jurnal Keuangan Perkara[3]
Buku Jurnal perkara mencatat tentang kegiatan penerimaan dan pengeluaran uang perkara untuk setiap perkara, sehingga jurnal untuk setiap perkara itu adalah merupakan rekening koran bagi pembayar panjar perkara untuk tingkat pertama, banding. Kasasi dan peninjauan kembali.
Jurnal keuangan perkara adalah merupakan pertanggungjawaban panitera terhadap pihak ketiga selaku pembayar panjar perkara.
Setiap kegiatan penerimaan dan pengeluaran biaya perkara untuk setiap perkara yang masuk harus dicatat dalam jurnal keuangan perkara yang untuk satu perkara dengan perkara lainnya harus dibuat secara berbeda dan terpisah, dan dibuat sejak perkara tersebut diterima dan berakhir dengan menutup buku jurnal itu setelah perkara tersebut selesai diputus.
Penutupan buku jurnal untuk perkara cerai talak dilaksanakan sesudah perkara tentang pernberian ijin ikrar talak tersebut diputus.
Apabila permohonan ijin ikrar talak itu dikabulkan maka sisa uang panjar, dipindahkan rnenjadi sisa awal dengan dipergunakan untuk biaya pernanggilan sidang ikrat talak.
Pada setiap awal buku jurnal keuangan perkara ditulis jumlah halaman rangkap buku jurnal tersebut dan ditandatangani oleh Ketua. Kemudian pada setiap halarnan diberi nornor urut, pada halarnan pertarna dan terakhir dibubuhkan tanda tangan Ketua, sedangkan pada setiap halaman cukup diparaf saja oleh Ketua Pengadilan Agama.
Buku Jurnal yang dipergunakan di Pengadilan Agama terdiri dari;
1.      KI-PAI/P, Buku Jurnal Perkara Permohonan
2.      KI-PAI/G, Buku Jurnal Perkara Gugatan
3.      KI-PA2, Buku Jurnal Perkara Banding
4.      KI-PA3, Buku Jurnal Perkara kasasi
5.      KI-PA4, Buku Jurnal Perkara PK.
6.      KI-P AS, Buku Jurnal Biaya Eksekusi.
Buku jurnal yang dipergunakan di Pengadilan Tinggi Agama adalah : K II PAl - Buku Jurnal Banding. Buku-buku Jurnal tersebut adalah bentuknya sama, yaitu terdiri dari enarn kolom yaitu;
a)      Nomor urut
b)      Tanggal
c)      Uraian
d)     Jumlah penerirnaan
e)      Jumlah pengeluaran
f)       Keterangan
Di atas dari kolom tersebut dicantumkan perkara dan nama pembayar panjar perkara beserta nama lawannya.
Pada buku jurnal keuangan perkara untuk tingkat pertama pemberian nomor perkara dapat dilakukan secara berurutan, karena pemberian nomor memang berurutan tetapi untuk perkara Banding dan kasasi serta peninjauan kembali tidak perlu berurutan sebab penomorannya tidak ditentukan oleh Pengadilan tingkat pertama. Oleh karena itu untuk mengetahui letak keuangan perkara dalam buku jurnal tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali harus dicatat secara jelas dalam kolom keterangan dari jurnal tingkat pertama.
Semua kegiatan-kegiatan pencatatan Buku Jurnal penyelesaian perkara sebagaimana tersebut didalam KI.PAl/P - KI.PAl/G, KIPA2, K1PA3, dan KI.PA4 setiap harinya, karena dilaporkan ke Panitera untuk dimasukkan dalam buku lnduk Keuangan Perkara - KI. P A6.
Mengingatkan kegiatan pencatatan buku-buku Jurnal tersebut di atas terdiri atas 5 (lima) macam dan kejadiannya tidak terjadi secara berurutan menurut nomor perkara maka pekerjaan pemegang Kas buku jurnal setiap harinya harus mencatat ulang dalam buku bantu. Buku tersebut terdiri atas enam kolom
a.       Nomor Urut.
b.      Nomor Perkara.
c.       Uraian.
d.      Jumlah Penerimaan.
e.       Jumlah Pengeluaran.
f.       Keterangan.
Di atas dari kolom tersebut dicantumkan tanggal kegiatan pada hari tersebut, misalnya tanggal 2 Januari 1994.
Menjelang usai kantor, maka buku bantu tersebut ditutup, dan semua yang tertera dalam buku bantu tersebut adalah merupakan kegiatan-kegiatan penerimaan dan pengeluaran uang perkara dalam waktu satu hari yang dilakukan Pengadilan.
Demikian pula halnya semua kegiatan-kegiatan yang tercantum dalam buku jurnal eksekusi (KI. PA5) hendaknya juga dicatat secara khusus dalam buku bantu tersendiri dan ditutup untuk setiap hari diserahkan pada Panitera atau petugas pemegang buku-buku induk.
Buku bantu (BB 1) sebagai pelaksanaan penerima dalam kegiatan buku KIPAI/P, KIPA/G, KIPA2, KIPA3 dan KIPA4 untuk setiap hari diserahkan kepada pemegang buku induk keuangan perkara (KIPA6).
Sedang Buku Bantu (BB2) sebagai pelaksanaan pemindahan kegiatan buku KIPA5 untuk setiap hari, diserahkan pada pemegang buku (KIP A 7).  Pada dasarnya buku bantu, baik BB1 maupun BB2 dalam bentuk yang sama dan dengan tata kerja seperti tersebut di atas, dapat dipergunakan di Pengadilan Tinggi Agama.
Catatan “Apabila akan dilakukan pemanggilan kepada pihak berperkara untuk persidangan pengucapan Ikrar talak, hendaknnya meja pertama dan meja ketiga sebelum menetapkan Jurusita yang diberi tugas pemanggilan, agar terlebih dahulu meneliti apakah berkas sudah selesai diminulasi.”

D.    Buku Induk Keuangan perkara[4]
Semua kegiatan yang terjadi dalam buku jurnal keuangan perkara, harus disalin dalam buku induk keuangan perkara berupa buku tabelaris. Buku tabelaris ini mencatat semua kegiatan penerimaan dan pengeluaran biaya perkara untuk semua perkara yang masuk di Pengadilan dan dicatat setiap hari. Dengan demikian maka dalam satu hari mungkin akan tercatat kegiatan penerimaan dan pengeluaran biaya perkara untuk lebih dari satu perkara.
Berbeda dengan jurnal keuangan perkara, maka buku tabelaris pada dasarnya ditutup pada setiap akhir bulan oleh Panitera dan diketahui oJeh Ketua Pengadilan. Akan tetapi apabila dipandang perlu, dalam rangka pengawasan, Ketua Pengadilan atau Mahkamah Agung RI dapat menutup buku tabelaris tersebut sewaktuwaktu tanpa menunggu akhir bulan.
Pada setiap penutupan buku induk keuangan tersebut, harus dijelaskan keadaan uang menurut buku kas, keadaan uang yang ada dalam brankas atau yang disimpan dalam Bank serta uraian yang terperinci jenis mata uang yang ada dalam brankas. Apabila terdapat selisih harus dijelaskan alasan terjadi selisih tersebut.
Ketua Pengadilan Agama sebelum menanda tangani buku induk perkara, hendaknya meneliti kebenaran keadaan yang ada menurut buku kas dan menurut keadaan yang nyata baik dalam brankas maupun di bank, dengan disertai bukti-bukti yang ada.
Penutupan buku induk keuangan perkara dalam rangka pengawasan, hendaknya dilakukan minimal 3 (tiga) bulan sekali dan harus dibuat berita acara penutupan kas. Buku induk yang berkenaan dengan keuangan perkara adalah sebagai berikut :
1.      Buku Induk Keuangan Perkara (KI-PA6)
2.      Buku Keuangan Eksekusi (KI-PA7)
3.      Buku Penerimaan Uang Hak-hak Kepaniteraan  (KI-PA8).
Sedangkan di Pengadilan Tinggi Agama hanya ada dua buku induk keuangan perkara yaitu;
1.      Buku Induk Keuangan Perkara (KII-P A2).
2.      Buku Penerimaan Uang Hak-hak Kepaniteraan (KI-PA-3).
Sebagaimana dengan buku jurnal, maka banyaknya halaman buku induk keuangan perkara tersebut harus dinyatakan dalam lembaran paling awal, sedangkan pada setiap halaman pertama dan terakhir harus dibubuhkan tanda tangan Ketua Pengadilan, dan pada halaman lainnya cukup di paraf saja.
Buku tabelaris keuangan perkara merupakan pertanggung jawaban Panitera mengenai uang perkara yang ada dalam pengawasannya berdasarkan pasal 101 ayat 1 Undang-undang No.7 Tahun 1989, dimana dijelaskan bahwa Panitera bertanggung jawab terhadap pengurusan semua biaya perkara.
Khusus dalam hal eksekusi, pertanggungjawaban biaya eksekusi adalah kepada pemohon eksekusi, sehingga karenanya semua biaya eksekusi hams dibukukan dalam buku jumal eksekusi yang khusus dibuat tersendiri dan semua kegiatan yang tersebut dalam jumal eksekusi harus dimasukkan dalam buku tabelaris keuangan eksekusi yang khusus.
Pemisahan buku tabelaris keuangan perkara dan tabelaris biaya eksekusi didasarkan karena keuangan yang tersebut dalam buku tabelaris perkara adalah merupakan keuangan perkara yang masih dalam proses, sedangkan keuangan biaya eksekusi ditujukan kepada parkara yang sudah selesai, dan hanya berkenaan dengan masalah eksekusi suatu putusan.
Buku penerimaan uang Hak-hak Kepaniteraan, merupakan buku pertanggung jawab atas biaya kepaniteraan (Griffier Costen) terhadap negara, yang disetor kepada bendahara rutin (UYHD) untuk selanjutnya disetor kepada negara.
Dalam melaksanakan tugas pengisian kegiatan buku induk penerimaan hak-hak Kepaniteraan (KIP A5) untuk Pengadilan Agama dan KII PA3 untuk Pengadilan Tinggi Agama), maka pemegang buku induk Pengadilan Agama segera memindahkan ke buku induk HHK yakni buku KIP A5 dan untuk Pengadilan Tinggi Agama, kegiatan dari buku KII.PA2 segera dipindahkan ke KII.PA3.
Cara penyetoran ke bendaharawan rutin dilakukan setiap satu minggu sekali, dengan memberi catatan dalam kolom keterangan tentang tanggal, jumlah yang disetor. Setiap penyetoran harus diparaf oleh bendaharawan rutin pada kolom keterangan buku penerimaan uang Hak-hak kepaniteraan tersebut.

E.     Biaya Perkara dalam Peraturan Perundang-undangan
Untuk Peradilan Agama , tentang keharusan adanya biaya perkara diatur dalam Stb. Tahun 1882 nomor 152, pasal 4: “Keputusan Pengadilan Agama dituliskan dengan disertai alasan-alasannya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi keoutusan. Dalam berperkara itu disebutkan pula jumlah ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang berperkara”[5]
Ketentuan terakhir bagi Pengadilan Agama diatur di dalam pasal 91 A UU nomnor 50 tahun 2009 tentang Perubahan ke dua atas UU nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang isinya persis dengan apa yang ditentukan di dalam pasal 57 A UU nomor 49 tahun 2009, dengan ketentuan khusus tentang komponen biaya perkara sebagaimana disebutkan dalam pasal 89 dan 90 UU nomor 7 tahun 1989 sebagai berikut:
Ayat (1) pasal 89: Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada Pemohon atau Penggugat;
Ayat (1) pasal 90: Biaya perkara dalam bidang perkawinan meliputi:
a.       Biaya kepaniteraan dan meterai yang diperlukan;
b.      Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah dan biaya pengambilan sumpah;
c.       Biaya pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan;
d.      Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah Pengadilan;
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pembayaran uang muka (vorskot) biaya perkara merupakan salah satu syarat dan rukun bagi suatu gugatan atau permohonan untuk dapat didaftarkan di pengadilan. Siapa saja yang hendak mengajukan perkaranya di Pengadilan terlebih dahulu harus membayar uang muka biaya perkara, jika Penggugat atau Pemohon tidak membayar uang muka tersebut, maka perkaranya tidak akan didaftar di pengadilan, kecuali jika di dalam surat gugatan atau permohonannya disertai dengan permohonan ijin berpekara secara Cuma-Cuma atau prodeo (pasal 238 HIR/274 R.Bg) dengan tata cara sebagaimana diatur dalam SEMA nomor 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian bantuan Hukum.
Adapun tentang berperkara secara prodeo telah dikeluarkan petunjuk pelaksanaan surat edaran Mahkamah Agung tersebut dengan Keputusan bersama Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama dan Sekretaris Mahkamah Agung RI nomor 04/TUADA.AG/II/2011 dan nomor 020/SEK/SK/II/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung RI nomor 10 tahun 2010 tentang Pedoman Bantuan Hukum Lampiran B (khusus Peradilan Agama). Permohonan berperkara secara prodeo ini akan diperiksa secara insidentil oleh majelis hakim yang hasilnya ada dua kemungkinan; dikabulkan atau ditolak. Jika permohonannya berperkara secara prodeo dikabulkan, barulah Penggugat atau Pemohon bebas dari biaya perkara.
Dalam perkembangan praktek di Pengadilan Agama hingga saat ini, biaya perkara yang diperhitungkan minimal meliputi:
- Biaya pendaftaran/pencatatan
- Biaya redaksi
- Biaya meterai
- Biaya panggilan/pemberitahuan kepada para pihak
- Biaya proses penyelesaian perkara dan pengelolaannya (ATK perkara).
Biaya pendaftaran, redaksi dan meterai merupakan biaya perkara yang berdasrakan PP nomor 53 tahun 2008 tentang PNBP[6], jumlahnya sebanyak Rp 37.500,- semuanya harus disetor ke kas negara, biaya panggilan/pemberitahuan yang besarnya ditetapkan oleh ketua pengadilan merupakan ongkos panggilan atau pemberitahuan yang akan dipertanggung jawabkan oleh Jurusita, sedangkan biaya proses, yang besarnya berdasarkan PERMA nomor 2 tahun 2009 maksimal Rp 50.000,- penggunaannya akan dipertanggung jawabkan oleh Panitera.[7]

F.     Administrasi Biaya Perkara menurut Buku II edisi Revisi[8]
a.       Panitera bertanggung jawab atas pengelolaan biaya perkara
b.      Dalam melaksanakan tugas tersebut Panitera menunjuk petugas administrasi biaya perkara : Kasir, Pemegang Buku Induk Keuangan Perkara dan Buku Keuangan lainnya.
c.       Hak-hak Kepaniteraan yang berupa biaya pendaftaran dikeluarkan dari Buku Jurnal Keuangan Perkara (KI-PA1) dan Buku Induk Keuangan Perkara (KI-PA6) setelah diterimanya panjar biaya perkara.
d.      Biaya materai dan hak redaksi dikeluarkan pada saat perkara diputus.
e.       Setelah dikeluarkan dari KI-PA1 dan KI-PA6, biaya pendaftaran dan hak redaksi dibukukan pada Buku Penerimaan Hak-hak Kepaniteraan (KI-PA8).
f.       Penerimaan dan pengeluaran uang hak kepaniteraan lainnya sebagai PNBP dibukukan dalam buku tersendiri.
g.       Semua pengeluaran uang yang merupakan hak-hak kepaniteraan adalah sebagai pendapatan negara.
h.      Seminggu sekali Pemegang Kas menyerahkan uang hak-hak kepaniteraan kepada bendaharawan penerima untuk disetorkan ke Kas Negara. Setiap penyerahan, besarnya uang dicatat dalam kolom 19 (kolom keterangan) KI-PA8 dengan dibubuhi tanggal dan tanda tangan serta nama Bendaharawan Penerima.
i.        Pengeluaran uang yang diperlukan bagi penyelenggaraan peradilan untuk ongkos-ongkos panggilan, pemberitahuan, pelaksaan sita, pemeriksaan setempat, sumpah, penerjemah, dan eksekusi harus dicatat dengan tertib dalam masing-masing buku jurnal.
j.        Pemegang kas mencatat penerimaan dan pengeluaran uang setiap hari dalam buku jurnal yang bersangkutan dan mencatat dalam buku kas bantu yang dibuat rangkap dua, lembar pertama disimpan oleh Pemegang Kas dan lembar kedua diserahkan kepada Panitera sebagai laporan.
k.      Panitera atau petugas yang ditunjuk dengan surat keputusan Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah, mencatat penerimaan dan pengeluaran uang dalam Buku Induk Keuangan Perkara yang bersangkutan.
l.        Buku Keuangan Perkara terdiri dari :
1)      Buku Jurnal Perkara Gugatan (KI-PA1/G)
2)      Buku Jurnal Perkara Permohonan (KI-PA1/P)
3)      Buku Jurnal Permohonan Banding (KI-PA2)
4)      Buku Jurnal Permohonan Kasasi (KI-PA3)
5)      Buku Jurnal Permohonan Peninjauan Kasasi (KI-PA4)
6)      Buku Jurnal Permohonan Eksekusi (KI-PA5)
7)      Buku Induk Keuangan Perkara (KI-PA6)
8)      Buku Keuangan Biaya Eksekusi (KI-PA7)
9)      Buku Penerimaan Uang Hak-hak Kepaniteraan (KI-PA8a)
10)  Buku Keuangan Hak Kepaniteraan lainnya (KI-PA8b)
m.    Buku Jurnal Keuangan Perkara digunakan untuk mencatat semua kegiatan penerimaan dan pengeluaran biaya untuk setiap perkara :
1)      Untuk perkara tingkat pertama (gugatan dan permohonan) dimulai dengan penerimaan panjar dan ditutup pada tanggal perkara diputus.
2)      Untuk perkara banding, kasasi, dan peninjauan kembali dimulai dengan penerimaan panjar dan ditutup pada tanggal pemberitahuan putusan pada tingkat masing-masing kepada para pihak.
3)      Permohonan eksekusi dimulai dengan penerimaan panjar dan ditutup pada tanggal selesai pelaksanaan eksekusi.
4)      Buku jurnal diberi nomor halaman, halaman pertama dan terakhir ditandatangani Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah dan halaman lainnya diparaf.
5)      Banyaknya halaman pada setiap buku jurnal dinyatakan oleh Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah pada halaman awal dan keterangan tersebut ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah.
6)      Apabila Buku Induk Keuangan Perkara penuh dan pindah ke buku selanjutnya, maka dalam buku baru tersebut ditulis : “Buku ini merupakan lanjutan dari buku sebelumnya berisi ...... halaman, dimulai dari halaman ..... s/d ...... (nomor halaman melanjutkan nomor buku sebelumnya)” dan ditandatangani oleh Ketua serta distempel.
7)      Buku Induk Keuangan Perkara digunakan untuk mencatat seluruh kegiatan penerimaan dan pengeluaran dari seluruh perkara (kecuali permohonan eksekusi), dan dicatat menurut urutan tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam Buku Jurnal yang terkait, yang dimulai setiap awal bulan dan ditutup pada akhir bulan.
8)      Buku Keuangan Biaya Eksekusi digunakan untuk mencatat seluruh kegiatan penerimaan dan pengeluaran eksekusi menurut urutan tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam Buku Jurnal Eksekusi.
9)      Buku Penerimaan Uang Hak-hak Kepaniteraan, digunakan untuk mencatat penerimaan uang hak-hak kepaniteraan, dan dalam kolom keterangan diisi dengan tanggal, jumlah uang yang disetor, serta tanda tangan dan nama Bendaharawan Penerima.
10)  Buku Induk Keuangan Perkara, Buku Keuangan Biaya Eksekusi dan Buku Penerimaan Uang Hak-hak Kepaniteraan diberi nomor halaman. Halaman pertama dan terakhir ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah dan halaman lainnya diparaf.
11)  Banyaknya halaman dan adanya tanda tangan serta paraf tersebut diterangkan pada halaman awal dari masng-masing buku, dan keterangan tersebut ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah.
12)  Penutupan Buku Induk Keuangan Perkara dan Buku Keuangan Biaya Eksekusi dilakukan oleh Panitera dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah.
13)  Pada setiap penutupan Buku Induk Keuangan tersebut, harus dijelaskan sisa uang menurut buku kas, sisa uang dalam kas maupun yang disimpan di bank, serta perincian dari uang tersebut.
14)  Apabila terdapat selisih antara jumlah uang menurut buku kas dengan uang kas sesungguhnya, maka harus dijelaskan alasan terjadinya selisih tersebut.
15)  Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah sebelum menandatangani Buku Induk Keuangan Perkara, harus meneliti kebenaran keadaan uang menurut buku kas dan menurut keadaan yang nyata, baik dalam brankas maupun yang tersimpan di bank, dengan disertai bukti penyimpanan uang di bank.
16)  Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah setiap saat dapat memerintahkan Panitera untuk menutup Buku Induk Keuangan Perkara dan meneliti kebenaran setiap penerimaan dan pengeluaran uang perkara, sesuai dengan Buku Jurnal yang berkaitan, dan meneliti keadaan uang menurut buku kas dan uang yang ada dalam brankas maupun yang disimpan di bank, disertai bukti-buktinya.
17)  Penutupan Buku Induk Keuangan Perkara atas dasar perintah Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah tersebut di atas, hendaknya dilakukan secara mendadak sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali, dengan dibuatkan berita acara pemerisaan.
18)  Buku Jurnal dan Buku Induk Keuangan setiap tahun harus diganti dan tidak boleh digabung dengan tahun sebelumnya.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pola Bindalmin memuat lima bidang : Pola prosedur penyelenggaraan administrasi perkara (tingkat pertama banding kasasi dan peninjauan kembali), Pola tentang register perkara, Pola tentang keuangan perkara, Pola tentang laporan keuangan, dan Pola tentang kearsipan perkara.
Biaya perkara menurut pasal 121 HIR dan 145 R.Bg adalah biaya kepaniteraan dan biaya proses. Biaya kepaniteraan meliputi pungutan-pungutan sebagai pelayanan pengadilan yang harus disetor ke kas negara, seperti biaya pencatatan atas pendaftaran perkara, redaksi atau leges yang dipungut saat diputusnya perkara yang diajukan. Sedang biaya proses merupakan biaya-biaya pelaksanaan peradilan dalam rangka menyelesaikan suatu perkara seperti : biaya panggilan penggugat / tergugat / saksi, sita, eksekusi, pemeriksaan setempat, pemberitahuan amar putusan dari lain-lain atas perintah ketua pengadilan.
Buku keuangan perkara meliputi buku jurnal perkara dan buku induk keuangan perkara. Buku jurnal mencatat tentang kegiatan penerimaan dan pengeluaran uang perkara untuk setiap perkara untuk tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali. Sedangkan Buku induk keuangan perkara dalam bentuk tabelaris mencatat semua kegiatan penerimaan dan pengeluaran biaya perkara untuk semua perkara yang masuk di pengadilan dan dicatat setiap hari.

B.     Kritik dan Saran
Semoga tulisan makalah yang berada di tangan teman-teman sekalian ini, walaupun banyak kekurangan disana sini memberikan manfaat bagi kita semua. Kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari teman-teman semua, hal ini dimaksudkan sebagai cambuk bagi kami untuk pembuatan makalah yang lebih baik lagi. Mohon kepada Yth. Ibu Hotnidah Nasution, MA, selaku pembimbing dalam mata kuliah Manajemen dan Administrasi Pengadilan Agama untuk mengoreksi tugas kelompok kami ini, semoga amal kebaikan dan pengabdian beliau dilipatgandakan oleh Allah Swt, Amien.




DAFTAR PUSTAKA


Manan, Abdul,Dr.,H.,SH.,M.Hum dan Ahmad Kamil, Drs.,H.,SH.,M.Hum. Penerapan dan Pelaksanaan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2007
Masrum M Noor, Bebaskan Biaya Perkara di Pengadilan Agama (Hakim Pengadilan  Tinggi Agama Medan), 2012
Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi revisi 2010, jakarta: Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,2010
Peraturan Mahkamah Agung  RI  Nomor : 2 tahun 2009 Tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaaanya pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2008 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya
UU No. 50 Tahun 2009, jo UU No. 3 Tahun 2006, jo UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
Wildan Suyuthi Mustafa, Manajemen Peradilan Agama, (Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Pusat)




[1] Wildan Suyuthi Mustafa, Manajemen Peradilan Agama, (Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Pusat), hlm. 3
[2] Manan, Abdul,Dr.,H.,SH.,M.Hum dan Ahmad Kamil, Drs.,H.,SH.,M.Hum. Penerapan dan Pelaksanaan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2007, hlm. 59

[3] Ibid, Manan, Abdul,Dr.,H.,SH.,M.Hum dan Ahmad Kamil, Drs.,H.,SH.,M.Hum….., hlm. 61
[4] Ibid, Manan, Abdul,Dr.,H.,SH.,M.Hum dan Ahmad Kamil, Drs.,H.,SH.,M.Hum….., hlm. 65
[5] Masrum M Noor, Bebaskan Biaya Perkara di Pengadilan Agama (Hakim Pengadilan  Tinggi Agama Medan), 2012, hlm. 4
[6] Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2008 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya
[7] Lihat Peraturan Mahkamah Agung  RI  Nomor : 2 tahun 2009 Tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaaanya pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya
[8] Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi revisi 2010, jakarta: Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,2010, hlm. 30-34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| All Rights Reserved - Designed by Colorlib