Full width home advertisement

Perjalanan Umroh & Haji

Explore Nusantara

Jelajah Dunia

Post Page Advertisement [Top]

A.    Pengertian dan Sejarah Singkat Poligami
Poligami atau dalam ilmu hukum dikenal dengan istilah  Dubble Huwelijk  yang berarti  suatu ikatan dimana salah satu pihak mempunyai atau menikah dengan beberapa lawan jenis dalam waktu yang bersamaan atau yang tidak berbeda. [1]
Dalam buku ensiklopedi hukum Islam, terminologi  poligami adalah suatu ikatan perkawinan dimana salah satu pihak memiliki atau mengawini  beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Walaupun dalam pengertian tersebut menggunakan kalimat “ salah satu pihak”, akan tetapi karena perempuan yang memiliki suami banyak dikenal dengan istilah poliandri. Jadi yang dimaksud  salah satu pihak disini adalah pihak suami.[2]
Dalam hukum Islam poligami biasa dikenal dengan kata  تعدد الزوجا ت Yang berarti berbilangnya istri atau dengan kata lain seorang suami yang memiliki istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan.[3]Kata poligami berasal dari bahasa  yunani. Secara etimologi, kata poligami terdiri dari dua kata, “poly  atau  polus” yang berarti banyak, dan kata “gamen”, “gamos  yang artinya perkawinan. Jika dirangkaikan keduanya maka poligami berarti perkawinan yang lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan.[4]
Terdapat tiga bentuk poligami, poligini  yaitu seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus, yang kedua poliandri yakni seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus, dan pernikahan kelompok atau dikenal dengan istilah group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri. Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.[5]
Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Jauh sebelum Islam datang,  praktek poligami sudah menjadi budaya tradisi di kalangan bangsa arab jahiliyah, Ibrani, Cicilia. Tak hanya itu di Jepang, Afrika, Indiapun praktek poligami sudah merupakan hal yang lumrah. Poligami pada saat itu dilakukan tanpa adanya batas. Seorang suami dapat memiliki istri sesuai dengan kehendaknya. Bagi mereka mengawini sejumlah wanita
merupakan hal yang lumrah dan merupakan suatu kebanggaan. Mereka menganggap wanita-wanita sebagai hak milik yang bisa dibawa-bawa dan diperjualbelikan.[6]
Jelas bahwa laki-laki pada masa itu bersifat komunisme seksual. Tidak ada eksklusivitasnya perempuan dimata laki-laki. Sebelum Islam lahir, telah dikenal berbagai macam praktek perkawinan, diantaranya :
1.      Perkawinan al-Istibda’, yaitu seorang suami  yang meminta istrinya apabila sudah suci dari haidhnya untuk melayani seseorang yang  terkenal dengan kemuliaan, keberanian, dan kecerdasannya. Tujuannya untuk memperoleh keturunan yang memiliki sifat  laki-laki tersebut.
2.      Perkawinan al-Rahthun, seorang wanita yng digauli beberapa laki-laki, apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan, maka wanita itu memanggil seluruh laki-laki yang menggaulinya. Kemudian ia menunjuk salah satu  dari laki-laki tersebut untuk dijadikan nasab  ayah untuk anaknya dan tidak ada lagi bagi laki-laki tersebut untuk menolaknya.
3.      Perkawinan maqthu’,  seorang anak laki-laki mengawini ibu tirinya setelah ayahnya meninggal dunia.
4.      Perkawinan badal, yaitu dua orang suami saling tukar menukar  istri mereka tanpa cerai. Dengan tujuan untuk  memuaskan libido seksual mereka dan untuk menghindari dari kebosenan.
5.      Perkawinan shighar, seseorang yang mengawinkan anak peempuannya atau saudara perempuannya dengan tanpa mahar  atau berlaku sebaliknya.
6.      Perkawinan baghaya, jenis perkawinan ini hampir sama dengan perkawinan al-Rathun, yang membedakan dalam perkawinan Baghaya ini wanita (pelacur) tersebut menisbatkana aanaknya kepada laki-laki yang paling mirip wahnya dengan anaknya tersebut.
7.      Perkawinan al-Irts, seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan yang tidak memiliki anak laki-laki, ia menjadi warisan kerabat suaminya.
8.      Perkawinan Mut’ah, yaitu perkawinan yang bersifat sementara dengan cara menentukan kurun waktu pernikahan dan bayarannya.
9.      Perkawinan akhdan, perkawianan kongsi, jika si wanita itu banyak yang menyukai, maka laki-laki yang menggemarinya itu dapat berkongsi untuk menjadikannya istri bersama.
10.  Perkawinan sewa/gadai, yakni seseorang menggadaikan anak gadisnya dalam jangka waktu tertentu dengan sejumlah uang sewa.
11.  Pernikahan poligami, perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa wanita dalam waktu yang bersamaan dan tanpa batasan.[7]
Dari jenis-jenis  perkawinan diatas  jelas semuanya sangat merendahkan perempuan. Namun ketika Islam datang dengan membawa aturan dan syari’at nya yang adil dan bijaksana dalam mengatur rumah tangga. Islam menghapus semua jenis pernikahan diatas kecuali pernikahan poligami. Dengan hanya membatasinya empat orang istri saja disamping  adanya beberapa  persyaratan khusus. Karena tradisi poligami ini sudah mengakar kuat dalam masyarakat di kalangan bangsa Arab sehingga tidak mungkin dihilangkan begitu saja.[8]
Oleh karena itu, Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW menoleransi poligami terbatas seperti tertera dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 3. Sehingga pada zaman Nabi SAW orang-orang yang masuk Islam, apabila mempunyai isteri lebih dari empat orang, maka lebihnya nabi menyuruh untuk diceraikan, sehingga tinggal empat orang isteri saja. Hal ini terjadi pada  Ghilan yang memiliki sepuluh orang isteri sebelum masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia disuruh memilih empat untuk tetap menjadi isterinya dan selebihnya diceraikan.[9]
Diterangkan dalam sebuah hadits, bahwa Nabi saw. berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafy yang telah masuk Islam, sedang dia punya sepuluh istri, "Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikan yang lainnya." (HR.Malik,an-Nasa'I,dan ad-Daruquthni).[10]
B.     Konsep Poligami dalam Hukum Islam
Dasar argumentasi  pembolehan poligami adalah firman Allah SWT Qs. An-Nisa :3 :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (النسا ء : 129)
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu meiliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Para ulama berbeda pendapat berkenaan asbabun nuzul  ayat tersebut:
1.      Ayat ini di tujukan kepada anak yatim yang berada dibawah pengasuhan walinya, dan hartanya bercampur dengan harta walinya itu, dan walinya tertarik dengan kecantikan dan harta anak yatim tersebut. Dan berniat untuk mengawininya namun ia tidak mau memberikan mahar secara adil. [11] berdasarkan hadist bahwa Urwah bin Zubair RA bertanya kepada ‘Aisyah tentang ayat QS An-Nisaa` : 3 yang berbunyi :
Maka ‘Aisyah menjawab,’Wahai anak saudara perempuanku, yatim di sini maksudnya anak perempuan yang ada di bawah asuhan walinya yang hartanya bercampur dengan harta walinya, dan harta serta kecantikan yatim itu membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya lalu ingin menjadikan perempuan yatim itu sebagai isterinya. Tapi pengasuh itu tidak mau memberikan mahar (maskawin) kepadanya dengan adil, yakni memberikan mahar yang sama dengan yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu pengasuh anak yatim seperti ini dilarang mengawini anak-anak yatim itu kecuali kalau mau berlaku adil kepada mereka dan memberikan mahar kepada mereka lebih tinggi dari biasanya. Dan kalau tidak dapat berbuat demikian, maka mereka diperintahkan kawin dengan perempuan-perempuan lain yang disenangi." (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Turmudzi).[12]

2.      Pendapat kedua mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada  laki-laki pada zaman jahiliyah yang menikahi perempuan lebih dari empat orang. Dan menafkahinya dengan semua hartanya hingga ia menjadi miskin. Dan ia menikahi anak yatim dengan maksud mengambil hartanya untuk menafkahi istri-istrinya yang lain.[13]
3.      Untuk membatasi jumlah wanita yang dinikahi, tidak seperti tradisi jahiliyah dimana laki-laki menikahi wanita tanpa adanya batasan.
Berkenaan dengan illat hukum kebolehan poligami disamping dengan melihat latar belakang sosiologis sebab turunnya ayat tersebut, juga dapat dicermati dari peristiwa poligami Nabi Saw. Nabi saw melakukan poligami setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama setelah meninggalnya Khadijah RA. Rasulullah menikah pada usia 25 tahun, 15 tahun setelah pernikahan beliau dengan Khadijah ra, beliau diangkat menjadi Nabi. Istri beliau ini wafat pada tahun ke 10 kenabian beliau. Ini berarti beliau bermonogami selama 25 tahun. Tiga atau empat tahun sesudah meninggalnya Khadijah, baru Nabi saw melakukan awal poligami dengan Aisyah ra pada tahun kedua atau ketiga hijriyah. Semua istri Nabi selain Aisyah adalah para janda yang berusia di atas 45 tahun. Janda –Janda yang dikawin oleh nabi, disamping telah mencapai usia senja yang sudah tidak ada daya tarik memikat, juga dalam keadaan sedang mengalami kesusahan hidup karena ditinggal mati suaminya baik mati dimedan perang, maupun ditinggal mati biasa dan ada pula dicerai oleh suaminya sebab murtad dan ada yang dicerai karena tidak ada kebahagiaan atau ketidakcocokkan dengan suaminya.[14]
            Illat hukum kebolehan poligami dalam perkawinan Islam, bukan didorong oleh motivasi seks dan kenikmatan biologis, tetapi oleh motivasi sosial dan kemanusiaan. Hal ini dilakukan oleh perkawinan poligami Nabi Saw dengan beberapa janda pahlawan Islam yang telah lanjut usia seperti Saudah binti Zum’ah (suami meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafsah binti Umar ( suami gugur di perang Badar), Zaenab binti Khuzaemah (suami gugur di perang Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di perang Uhud). Istri-istri yang lain seperti Ramlah putri Abu Sufyan RA diceraikan oleh suaminya yang murtad di perantauan. Huriyah binti al haris RA adalah purti kepala suku dan termasuk salah seorang yang ditawan pasukan Islam, yang kemudian nabi menikahinya sambil memerdekaannya. Shafiyah binti Huyai RA, putri pemimpin yahudi dari bani Quraidhah yang ditawan setelah kekalahan mereka dalam penegpungan yang dilakukan oleh nabi Saw, diberi pilihan kepada keluarganya atau tinggal bersama Nabi saw dalam keadaan bebas merdeka,Ia memilih untuk tinggal hidup bersama Nabi Saw. Zaenab binti Jahesy RA, sepupu Nabi, dinikahkan langsung oleh Nabi dengan bekas anak angkat dan budak beliau Zaid ibnu Haritsah RA. Rumah tangga mereka tidak bahagia, sehingga mereka bercerai dan sebagai penanggungjawab pernikahan itu Nabi Saw menikahinya atas perintah Allah Swt. Mereka (para istri) itu memerlukan perlindungan untuk melindungi jiwa dan agamanya, dan penanggung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.[15]
Disamping kenyataan di atas, bukankah kenyataan lain menunjukkan bahwa jumlah lelaki lebih sedikit dari jumlah perempuan pada masa itu diakibatkan perang? Bukankah rata-rata usia perempuan lebih panjang dari usia laki-laki, sedang potensi masa subur lelaki lebih lama daripada potensi masa subur perempuan? Hal ini bukan saja karena mereka mengalami haid, tetapi juga karena mereka mengalami masa manopouse, sedang lelaki tidak mengalami keduanya. Bukankah peperangan yang hingga kini tidak kunjung dapat dicegah lebih banyak merenggut nyawa lelaki daripada perempuan? Maka poligami ketika itu adalah jalan keluar yang paling tepat. Namun perlu di ingat, bahwa poligami bukanlah anjuran apalagi kewajiban. Seandainya poligami merupakan anjuran, pasti Allah Swt menciptakan perempuan lebih banyak empat kali lipat dari jumlah laki-laki, karena tidak adanya menganjurkan sesuatu kalau apa yang dianjurkan tidak tersedia. Allah hanya memberikan wadah bagi orang yang menginginkannya ketika mengahadapi kondisi atau kasus tertentu. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam kedaan emergency tertentu force majeure.[16]
Para ulamapun berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat diatas, diantaranya:
1.      Para ulama fikih empat madzhab sepakat bahwa ayat tersebut berkenaan kebolehan poligami.
2.      Sebagian ulama seperti As samarkhandi, imam Al-Baidhawi, menurutnya maksud dari turunnya ayat ini adalah ayat ini memperingati kita terhadap kemungkinan  melakukan dosa.orang yang takut akan suatu dosa, ia semestinya menjauhi dari segala kemungkinan dosa. Ketika Allah menganggap perlakuan terhadap anak yatim sebagai sesuatu yang besar, banyak orang yang khawatir memelihara mereka, namun mereka tidak pernah merasa  khawatir terhadap poligami, yang sebenarnya juga berpotensi  terjadinya perlakuan semena-mena (dosa). Dengan kata lain, jika kamu sekalian takut tidak bisa berbuat adil terhadap para anak yatim piatu, kamu juga hendaknya takut tidak bisa berbuat adil terhadap istri-istri, jika kamu sekalian berpoligami. kurang lebih seperti itu.[17]
3.      Para ulama mutakhirin seperti Imam Az-zamaksyari, Assabhuni, Rasyid Ridho, M Quraisy shihab,  ayat ini berkenaan keadilan, dan jusrtu ayat ini memerintahkan untuk menikah dengan satu orang perempuan saja. Karena dengan ini seseorang bisa menghindar dari berlaku tidak adil dan menganiaya pasangan. Ketidak adilan dalam dua kasus yakni pengurusan anak yatim dan poligami, keduanya dosa dan buruk. Menurut Assabhuni poligami merupakan masalah yang dharurat, meskipun disini terdapat qayyid yang membolehkan dalam keadaan dharurat, namun jika qayyid dan syarat-syarat tersebut tidak terealisasikan kelak, maka wajib membatasinya satu orang saja.[18]
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum poligami itu sendiri.
1.      Ulama fikih khususnya para imam madzhab berpendapat poligami adalah kebolehan yang mutlak. Menurut mereka Poligami boleh, sehingga tidak perlu akan adanya izin dari istri ataupun dari pengadilan. Karena telah jelas dasar pembolehannya dalam Qs.An-Nisa ayat 3. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan,
 "Harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum muslimin, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunnah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang mubah, yang boleh mereka lakukan jika mereka jika mereka berpandangan demikian.".[19]
2.      Poligami merupakan kebolehan yang bersyarat, Jumhur ulama terutama para ulama tafsir dan bahas setuju bahwa poligami sebagai rukhsah yang dibolehkan dalam keadaan darurat. Rukhsah yang diqayyidkan kepada kesanggupan berlaku adil.[20]
3.      Poligami adalah haram, pendapat ini di anut oleh kebanyakan ulama mutakhirin, salah satunya Muhammad. Abduh menurutnya poligami merupakan tindakan yang tidak boleh dan haram. Poligami hanya dibolehkan jika keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat mengandung. Kebolehan poligami juga mensyaratkan kemampuan suami untuk berlaku adil. Ini merupakan sesuatu yang sangat berat, seandainya manusia tetap bersikeras untuk berlaku adil tetap saja ia tidak akan mampu membagi kasih sayangnya secara adil.[21]
C.     Esensi keadilan  dan asas maslahah dalam poligami
1.      Esensi Keadilan Dalam Poligami
Dalam hal keadilan dalam  poligami ini, mungkin akan lebih tepat jika adil disini dikatakan sebagai “kewajiban” dalam berpoligami, bukan “syarat”. Karena syarat adalah sesuatu sifat atau keadaan yang harus terwujud sebelum adanya sesuatu yang disyaratkan (masyrut). Wudhu, misalnya, adalah syarat sah shalat. Jadi wudhu harus terwujud terlebih dahulu sebelum shalat. Maka jika dikatakan "adil" adalah syarat poligami, berarti "adil" harus terwujud terlebih dahulu sebelum orang berpoligami dan ketika tengah menjalankan poligaminya keadilan tersebut tidak terealisasikan. Tentu ini tidak benar. Yang mungkin terwujud sebelum orang berpoligami bukanlah "adil" itu sendiri, tapi "perasaan" apakah ia akan bisa berlaku adil atau tidak. Jika "perasaan" itu adalah berupa kekhawatiran tidak akan dapat berlaku adil, maka di sinilah syariah mendorong dia untuk menikah dengan satu isteri saja.[22]
Para ulama sepakat bahwa keadilan merupakan salah satu kewajiban dalam poligami sebagaimana dalam QS an-Nisaa : 3, adalah keadilan dalam nafkah dan mabit (giliran bermalam). Nafkah untuk mencukupi kebutuhan para isteri yaitu mencakup sandang (al-malbas), pangan (al-ma`kal), dan papan (al-maskan). Sedang mabit, tujuannya bukanlah untuk jima’ (bersetubuh) semata, melainkan untuk menemani dan berkasih sayang (al-uns), baik terjadi jima’ atau tidak. Jadi suami dianggap sudah memberikan hak mabit jika ia sudah bermalam di sisi salah seorang isterinya, walaupun tidak terjadi jima’.[23]
Adapun "adil" dalam hal kecendrungan hati al-mail al-qalbi yang dimaksud dalam QS an-Nisaa’ : 129 mustahil dimiliki, karena hal itu diluar kemampuan manusia.Allah SWT berfirman :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (النسا ء : 129)
"Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu) walau pun kamu sangat ingin berbuat demikian." (QS an-Nisaa’ [4] : 129).
Sayyid Sabiq menukilkan riwayat, bahwa Muhammad bin Sirin berkata,"Saya telah mengajukan pertanyaan dalam ayat ini kepada ‘Ubaidah. Jawabnya,’Yaitu dalam cinta dan bersetubuh." [24]
M. Quraish Shihab menafsirkan makna adil yang disyaratkan oleh ayat 3 surat al-Nisa’ bagi suami yang hendak berpoligami adalah keadilan dalam bidang material. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat  an-Nisaa ayat 129. Keadilan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah adil dalam bidang immaterial (cinta) yang tidak mungkin dicapai oleh kemampuan manusia. Sehingga jelas keterkaitan kedua ayat tersebut dan tidak ada yang saling bertentangan.[25]
Namun menurut Muhamad Abduh, keadilan yang disyaratkan al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Ayat al-Qur’an mengatakan “Jika kamu sekalian khawatir tidak bisa berlaku adil, maka kawinilah satu isrti saja”(QS. An-Nisa ; 3).
Sehingga apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya itu, rusaklah struktur rumah tangga dan terjadilah kekacauan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Sejatinya, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota keluarga.[26]
Berdasarkan berbagai penafsiran ulama tentang makna adil dalam perkawinan poligami, dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat poligami dalam perkawinan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Namun meskipun demikian hendaknya para suami yang berpoligami berusaha sebisa mungkin untuk berbuat adil secara kwalitatif dalam hal berkasih sayang demi menjaga rumah tangganya. Karena tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota keluarga.
2.      Asas Maslahah
Sebagian ulama yang berpendapat bahwa poligami lebih banyak membawa resiko atau madharat daripada manfaatnya. Karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Poligami bisa menjadi sumber konflik. Menjaga kemaslahatan adalah tujuan utama hukum Islam. Oleh karena itu, 'Al-Fasi[27] dalam Maqasid al-Shari'at al-Islamiyyat wa Makarimiha (1991:181-185) mengajukan tiga alasan mengapa poligami harus dilarang tegas. Melarang poligami bertujuan menjaga kemaslahatan umum.[28]
Pertama, mencegah akibat buruk oleh perorangan untuk mencegah akibat buruk yang lebih besar. Artinya, kemaslahatan umum dikedepankan dari kemaslahatan pribadi. Al-Fasi mengatakan, melarang poligami itu merugikan orang sebab mencegah keinginan mereka yang ingin poligami. Tetapi, dengan tetap membolehkan poligami akan menimbulkan kerugian lebih besar pada masa sekarang. Kedua, mencegah kerusakan untuk lebih dikedepankan daripada menarik manfaat. Ketiga, perubahan hukum suatu perbuatan mengikuti perubahan kemaslahatannya.[29]
Al-Jurjawi menjelaskan ada tiga hikmah poligami. Pertama, kebolehan polgami yang dibatasi emapt orang istri menunjukkan bahwa manusia terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya. Kedua, batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian laki-laki ; pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri. Ketiga, bagi seorang suami yang memiliki empat orang istri berarti ia mempunyai waktu senggang tiga hari dan ini merupakan waktu yang cukup untuk mencurahkan kasih sayang.[30]
Namun bagaimanapun juga setiap aturan hukum Islam tentunya mempunyai tujuan (maqasid al-syari'ah). Tidak ada satupun aturan syariah yang Allah ciptakan di dunia ini melainkan adanya hikmah serta maslahat di dalamnya. Adapun hikmah poligami secara umum yakni untuk meningkatkan ekonomi umat, Memperbaiki distribusi aset, Memperkecil kesenjangan sosial, Meminimalisir terjadinya perselingkuhan dan perzinahan, Meningkatkan, harkat dan martabat perempuan, Untuk meningkatkan ukhuwah, Meningkatkan kekuatan dakwah, Amar makruf nahyi munkar.[31]
D.    Poligami menurut hukum positif
Poligami merupakan suatu konstruksi sosial budaya dalam institusi rumah tangga yang telah terbentuk  lama. Indonesia merupakan salah satu negara yang membolehkan poligami berdasarkan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang menyebutkan bahwa seorang suami  boleh melakukan perkawinan dengan wanita lain jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Di samping itu aturan PP No 45 tahun 1990 sebagai revisi dari PP no 10 tahun 1983 tentang izin perceraian dan perkawinan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). [32]
Meskipun Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami, seperti yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun dalam pasal berikutnya dikatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Dalam pasal 3 ayat 2 disebutkan, Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.[33]
Dengan demikian jelas bahwa asas yang dianut oleh undang-undang perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas  monogami terbuka, dimana poligami ditempatkan pada posisi hukum darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumtance).
Klausul pembolehan poligami ini sebenarnya adalah pengecualian oleh karena itu dalam pasal-pasal tersebut terdapat alasan serta syarat-syarat ketentuan. Dalam pasal 4 Undang-undang Perkawinan dikatakan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut bersifat fakultatif, artinya jika salah satu persyaratan tersebut dapat dibuktikan, Pengadilan Agama dapat memberi izin.[34]
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, suami harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 5 UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yaitu harus adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Dan alasan yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1)   ini bersifat kumulatif, artinya Pengadilan Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila semua persyaratan telah terpenuhi. Hal ini serupa dengan apa yang diatur dalam PP no 45 tahun 1990 amandemen dari PP no 10 tahun 1983 tentang Perkawinan dan Perceraian bagi para pegawai sipil.[35]
Poligami bagi pegawai sipil diatur sangat ketat sebagaimana dijelaskan dalam pasal 11 bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari seorang wajib meminta izin terlebih dahulu kepada kepala pejabat yang bersangkutan.[36]Hal ini menggambarkan sempit dan ketatnya aturan poligami di Negara kita yang kontradiksi dengan praktek yang terjadi di lapangan, poligami marak dan sepertinya mudah sekali dilakukan, dengan melihat banyaknya kasus izin poligami yang dikabulkan oleh Pengadilan.
Sebagai perbandingan dengan Negara muslim lainnya. Negara Tunisia, Turki, Uzbekistan dan Tajikistan melarang poligami secara mutlak. Tunisia melarang poligami sejak tahun 1958. Undang-undang perkawinan 1958 yang diperbarui 1964 menyatakan hukuman pelaku poligami adalah satu tahun penjara dan denda 240.000 franc (Pasal 18). Di Uzbekistan dalam Undang-undang Pidana Uzbekistan Nomor 2012-XII Tahun 1994, Pasal 126 menyatakan, "Poligami, yaitu hidup bersama dengan paling sedikit dua perempuan dalam satu rumah, dihukum denda 100 hingga 200 kali gaji minimal bulanan, atau kerja sosial sampai tiga tahun, atau dipenjara hingga tiga tahun."[37]
Undang-undang Pidana Tajikistan dalam Pasal 170 menyatakan, "Poligami, melakukan pernikahan dengan dua perempuan atau lebih, dihukum denda 200-500 kali gaji minimal bulanan, atau kerja sosial hingga dua tahun." Negara Muslim lain, seperti Maroko, Irak, Yaman, Jordania, Mesir, Aljazair, dan Pakistan, meski tidak secara tegas melarang, tetapi menerapkan syarat ketat dan memberi sanksi berat bagi pelanggarnya, sama seperti Indonesia. UU Maroko al-Mudawwanah 1957, diperbarui 2004, Pasal 31 menyatakan, poligami dilarang jika suami dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil. Pasal itu juga memberi hak bagi perempuan mengajukan cerai jika si suami poligami. [38]
Undang-undang Irak 1959 (sebelum invasi AS) Pasal 3 melarang poligami, kecuali ada kondisi yang membolehkannya seperti dalam Ayat 4, yaitu berkecukupan harta untuk menghidupi istri-istrinya dan ada kemaslahatan. Jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil, maka poligami dilarang seperti dinyatakan dalam Ayat 5. Pelanggarnya dihukum satu tahun penjara dan denda 100 dinar (Ayat 6).
Undang-undang Yaman 1974 Pasal 11 melarang poligami, kecuali atas izin pengadilan dengan kondisi istri mandul atau punya penyakit yang tak dapat disembuhkan. Adapun Pasal 19 UU Jordania 1976 memberi ta'lik talak bagi wanita. Mereka berhak minta janji suami tidak akan poligami. Jika dilanggar, istri dapat mengajukan cerai ke pengadilan.[39]
Undang-undang Aljazair 1981 Pasal 4 sebenarnya melarang poligami, tetapi dibolehkan jika terpaksa. Pengecualian ini tidak berlaku bagi mereka yang tak dapat berbuat adil atau tak ada alasan syar'i dan izin istri. Istri boleh mengajukan ta'lik talak, yaitu janji suami tidak akan poligami. Jika suami poligami, istri dapat mengajukan cerai (Pasal 5). UU Pakistan tahun 1964 memberi hak bagi istri mengajukan cerai ke pengadilan jika diperlakukan tidak baik/adil.[40]
Menilik Undang-undang negara-negara Muslim ini, tampak persyaratan poligami sangat sulit dan praktis mustahil dipenuhi. Begitu juga sanksi bagi yang melanggar cukup berat. Berkaca pada beberapa Undang-undang negara-negara Muslim diatas dan praktik poligami yang dilakukan banyak orang sekarang ini telah menimbulkan dampak buruk dan kerusakan baik secara personal maupuan sosial, maka sudah saatnya pemerintah melangkah secara progresif untuk menangani persoalan ini, dan hukum Islam yang lebih berpihak pada perempuan sudah seharusnya diterapkan di Indonesia melalui payung hukum berupa undang-undang.
Sebagaimana diterangkan dalam kaidah fikih “addharara yuzaal” kerusakan harus dihilangkan dan “dar ‘ul mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih” (mengntisipasi atau menolak terjadinya kerusakan harus lebih diutamakan daripada megambil kemashlahatan). tasharruf al-imam ‘ala ar-rai’iyyah manuthun bi al-mashlahah.” Tindakan pemerintah terhadap rakyatnya diletakan dalam kerangka kemaslahatan masyarakat (kebaikan dan kesejahteraan sosial).[41]
Menurut Imam Asy-Syafi’i, kaidah ini berbunyi “manzilah al-imam min ar-ra’iyyah manzilah al-waliy min al-yatim” kedudukan pemerintah terhadap rakyatnya adalah sama dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Sehingga Muhamad Abduh mengapresiasikan pendapatnya bahwa hakim (pengadilan) boleh menolak poligami atau boleh bagi orang alim untuk menolak poligami secara mutlak karena mempertimbangkan  mayoritas.[42]
Berbicara masalah poligami, yang seringkali dikaji dan dibahas selalu aspek keagamaan yang dimunculkan sebagai payung boleh tidaknya poligami. Namun jarang sekali mengkajinya dari aspek  lain seperti dari aspek sosiologi, psikologi, atau dari aspek ekonomi serta pengaruhnya terhadap institusi keluarga dan sistem perundang-undangan yang berhubungan dengan sosial dan ekonomi rumah tangga berkenaan hak waris misalnya. Dengan begitu kajian mengenai poligami ini akan lebih baik jika dikaitkan dengan perencanaan kebijakan terutama kebijakan terhadap istri-istri dan anak-anak yang dihasilkan.[43]
  1. Poligami dari aspek sosial dan budaya
Jika kita melihat dari segi antropologi sosial budaya, gejala poligami dominan pada masyarakat yang menganut sistem patrilinieal. Dalam masyarakat yang lebih maju akan sosial ekonomi lebih banyak melakukan poligami atau lebih banyak terjadinya monogami serial, dimana perceraian seringkali terjadi. Namun demikian tidak berarti masyarakat tradisional tidak atau jarang akn praktek poligami ini, dalam masyarakat tradisionil kekuasaan status sosial laki-laki menentukan jumlah istri yang dmiliki. Banyak orang tua yang rela bahkan menawarkan anak perempuannya untuk  diperistri oleh  laki-laki yang berkuasa padahal ia telah memiliki istri untukmendapatkan status sosial yang tinggi. Hal ini nampaknya juga terjadi pada masyarakat modern meskipun dalam prakteknya berbeda yakni perkawinan dilakukan di bawah tangan.[44]
  1. Poligami dari aspek ekonomi
Faktor penyebab lain dalam poligami adalah kemapanan dalam ekonomi. Dimana laki-laki yang mapan secara ekonomi  menjalani poligami juga sebagai salah satu simbol kesuksesan bagi laki-laki tersebut. Praktek poligami marak dilakukan dikalangan masyarakat yang berpenghasilan besar. Dalam prakteknya,tidak sedikit kita jumpai suami ketika telah menikah dengan istri keduanya dia melalaikan atau tidak mengindahkan aturan untuk adil dalam memenuhi kebutuhan istri-istrinya.   
Tentunya dalam hal ini suami yang berpoligami harus mampu dan bersedia memenuhi kebutuhan hidup serta memberikan  kesejahteraan bagi istri dan semua anggota keluarganya. Suami juga harus mampu mengelola keuangan dalam arti memiliki bekal menejemen dan pengelolaan keuangan yang baik dan investasi yang handal. Patutnya demikian yang dimaksudkan pasal 5 ayat 2 dan ayat 3.[45]
  1. Poligami dalam perspektif Demografi
Secara demografi, perkawinan poligami harus dilihat dalam konteks 3 komponen besar yaitu kematian, kelahiran dan migrasi. Dalam hal kematian peningkatan usia harapan hidup baik laki-laki maupun perempuan diduga mengakibatkan adanya banyak waktu untuk melakukan poligami. Dari sisi kelahiran, poligami akan menyebabakan keluarga besar dengan banyak istri dan banyak anak.
Dari sisi migrasi, poligami banayak terjadi ketika arus dan kecendrungan migrasi semakin besar. Terpisahnya suami istri oleh jarak tempat tinggal menjadi penyebab terjadinya poligami.dalam kaitan keterlibatan perempuan di pasar kerja, memperlihatkan perempuan yang mapan dari segi ekonomi dan mandiri lebih memilih untu tidak dipoligami. Namun demikian hal itu juga yangmenyebabkan tingginya angka perceraian ketika perempuan tidak mau untuk ipoligami.[46]
  1. Poligami dalam perspektif psikologi.
Poligami juga membawa dampak terhadap keluarga, yaitu dampak psikis pada istri pertama dan juga pada anak-anak mereka, perasaan ketidak amanan pula  yang dialami istri keduanya karena nikah sirri misalnya, penelantaran anak, kekerasan psikologis, dan lainnya. Jelas pada dasarnya poligami merupakan pembunuhan karakter pada perempuan.[47]
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan LBH APIK, 2003 lalu, merinci berbagai dampak negatif poligami yang menimpa istri pertama. Di antaranya, tidak diberi nafkah, mengalami penganiayaan fisik, diteror istri kedua, pisah ranjang, dan akhirnya diceraikan di pengadilan. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi poligami berbeda antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.[48]
Bagi laki-laki faktor pendorong poligami diantaranya :
a)      perselingkuhan dengan dalih untuk menghindari perzinahan,
b)      kebutuhan seks, Dengan dalih karena istrinya tidak dapat memuaskan hubungan seksualitasnya atau istrnya tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
c)      Bahwa poligami adalah sunnah oleh karena itu jika melarangnya berarti kita mengingkari sunnah rasul pula.
d)     adanya pembolehan dari segi agama, Mendasarkan kebolehan kepada satu ayat bahkan sepenggal ayat saja. Pemahaman yang tidak utuh (juz’iyyah).
e)      juga adanya pembolehan dari undang-undang perkawinan sendiri.
f)       Karena istri mandul, cacat.
g)      Kodrat pria yang memiliki gairah seks yang lebih tinggi,
h)      Karena istri memiliki masa yang disebut dengan monopouse.[49]
Sedang alasan-alasan perempuan menerima dipoligami karena faktor :
a)      ketidakmampuan secara ekonomi yang menggantungkann kepada suami.
b)      pemahaman agama bahwasanya poligami merupakan sunnah rasul dan bagian dari syari’at
c)      ketertarikan akan ketampanan suami sehingga rela meskipun dipoligami
d)     atau kekhawatiran dicap sebagai perawan tua.[50]
Pelanggaran hukum yang dilakukan suami yang berpoligami yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini  diantaranya adalah :
a)      Menikah di bawah tangan. Poligami yang dilakukan secara sirri biasanya terjadi lantaran sang suami tidak mendapat ijin dari isteri pertama atau khawatir mendapat sanksi dari tempat kerja yang tidak membolehkan pegawainya beristri lebih dari satu.
b)      Pemalsuan identitas di KUA.
c)      Memaksa istri pertama untuk memberi ijin poligami. Pemaksaan ini bisa digolongkan sebagai tindak pidana KDRT
d)     Meningkatnya angka perceraian yang disebabkan poligami. Dimana istri tidak menyetujui untuk dipoligami, karena ia merasa selama  dalam rumah tangganya ia melaksanakan tugasnya dengan baik, dan merasa tujuan suami berpoligami tidak beralasan secara logis. namun suami tetap juga bersikeras untuk berpoligami. hingga akhirnya suamipun menceraikan istrinya sebagai solusinya. [51]
Tabel Kasus Perceraian Akibat Poligami Tidak Sehat
di Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia (1996-2001) [52]
Tahun
Jumlah kasus
Akibat Poligami Tidak Sehat
Prosentase Perceraian akibat poligami (%)
Propinsi tertinggi jumlah perceraian akibat poligami
1996
97.356
519
0,53
104 (Jatim)
1997
67.894
705
1,04
396 (Jabar)
1998
103.416
590
0,53
108 (Jatim)
1999
183.805
828
0,45
403 (Jabar)
2000
145.609
875
0,60
385 (Jabar)
2001
145.081
938
0,62
261 (Jabar)
           Sumber : Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Depag RI

E.     Prosedur Penetapan Izin Poligami
Berkenaan prosedur pelaksanaan penetapan izin poligami diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 sebagai berikut :
a.       Seorang suami yang hendak melakukan poligami, mengajukan permohonan secara tertulis  ke Pengadilan Agama dimana para pihak tersebut berdomisili.sebagaimana dijelaskan dalam (pasal 40  PP no 9 tahun 1975, pasal 56 KHI),
b.      Dalam surat permohonannya, suami menjelaskan maksud dan tujuan serta alasan-alasan suami hendak berpoligami.
c.       Setelah surat permohonan tersebut diterima oleh Pengadilan, maka hakim akan memeriksa apakah surat permohonan tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil atau tidak. Berdasarkan (pasal 41 PP no 9 tahun 1975, pasal 4 pasal 5 UU no 1 tahun 1974, pasal 57 pasal 58 KHI).[53]
d.      Selama dalam proses pemeriksaan, pengadilan akan memanggil para pihak untuk dimintai penjelasan. Pihak istri untuk dimintai pernyataan persetujuannya secara lisan sebagai penegasan atas  pernyataan persetujuanya secara tertulis. Begitupun pihak suami sebagai pemohon menguatkan bukti atas dasar permohonannya dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan.
e.       Jika majelis hakim berdasarkan pertimbangannya menganggap bahwa permohonan pemohon telah memenuhi syarat formil dan materil, maka majelis hakimpun akan menjatuhkan putusannya berupa penetapan izin poligami.
f.       Namun dalam kondisi tertentu majelis hakim berdasarkan pertimbangannya dapat memberikan putusan izin poligami bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang membutuhkan penilaian hakim. Sebagaiamana diterangkan dalam (KHI pasal 59). [54]



[1] Badan pembinaan hukum nasional, DepHukHam RI, Kamus Hukum Umum, hal : 98
[2] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, h: 1186
[3] Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah saw, Jakarta, Rajawali Press, h; 7
[4] Tihani dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Jakarta, Rajawali Press,2009, h: 351   
[5] Asep Nursolah, Inefektifitas Ketentuan Poligami Pada UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Tinjauan Limits Of Law, di akses tgl 6 juni 2010 dari http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=2908&Itemid=54&limit=1&limitstart=5
[6] M Ali Hasan, Pedoman hidup berumah tangga dalam Islam, cet 1, hal:270. Lihat pula dalam A.D Ajijola,the concept of family in Islam, h: 53.
[7] Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah saw, Jakarta, Rajawali Press, h; 14
[8]Ibid…, h: 15
[9] M Sharif Chaudry, Womens Right In Islam, Delhi, Shandar Market, 1997, h: 83
[10] Abu Bakar Muhammad, Subulussalam (terjemah), Surabaya, al-ikhlas, 1995, h: 476
[11] Ibrahim.M.Jamal, Ta’adud al-Zaujat Fil Islam, Al-Qahirah, Darul I’tisam, 1986, hal : 43-50, lihat pula Ibn Hajar al-Asqallani, Fath al-Baari, Dar al-fikr, juz v, h: 430
[12] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (terjemah), jil VI, hal : 136-137.
[13] Nur Chozin, Poligami dalam Al-Qur’an, Mimbar Hukum,al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, No 29/1996,h: 81
[14] Jones, Jamilah dan Abu Aminah Bilal Philip, Monogami dan Poligami Dalam Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2001.h: 34.
[15] Ibid…, h:35
[16] Ibid…., h:15
[17] Faqihuddin Abdul Qadir, Memilih Monogami, Yogyakarta, Pustaka Pesantren,  2005,  h: 54-57.
[18] Ibid..,h:57
[19] an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam,  hal. 129, lihat pula dalam Ibrahim Hosen,  fiqh perbandingan masalah pernikahan, Jakarta,Pustaka Firdaus, h :145
[20]  Ibid…, h:146
[21] Faqihuddin Abdul Qodir, Memilih Monogami, Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2005, h:54-57, lihat pula dalam Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Jakarta, Pustaka Firdaus, h: 145.
            [22] Suyarto, diakses 17 Juni 2010, dari http: // hksuyarto.wordpress.com /2008/05/26/keadilan-dalam-perkawinan-poligami-perspektif-hukum-islam-aspek-sosiologis-yuridis/
[23] Ibid…, lihat pula dalam Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Beirut, Dar al fikr, Juz IV, h: 206-217.
[24] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, , Beirut : Dar Al-Fikr, 983,Jilid VI, hal :143.
[27] Ulama pembaru dan tokoh nasionalis Maroko. (w.1974 M)
[28] Masjfuk Zuhdi, Masail Fikhiyyah, Jakarta, CV Haji Masagung, 1989, h: 12
[29] Ibid..,h:12
[30] Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmatu At-tasyri’ Wafalsafatuhu, Beirut, Dar al-Fikr,  juz II,hal :15
[31] Masjfuk Zuhdi, Masail Fikhiyyah, Jakarta, CV Haji Masagung, 1989, h: 14
[32] Undang-Undang Perkawinan no 1 tahun 1974, serta PP no 9 tahun 1975. Bandung, CitraUmbara, 2007, h:2 lihat pula PP no 45 tahun 1990 h: 35          
[33] Ibid…,h:2
[34] Ibid…, h: 3
[35] Ibid …, h:3 dan h: 36
[36] PP no 45 tahun 1990,  h:13
[37] Khoiruddin Nasution, Polygamy In Indonesia Islamic Family Law, dalam syariah jurnal, vol 16, no 2, 2008, h: 207-222
[38]  Utriza, UU Perkawinan Negara Muslim Mengenai Poligami, di akses tagl 12 Juni 2010, dari      http://www.kompas.com/kompas-cetak/0707/16/swara/3689815.htm
[39] Khoiruddin Nasution, Polygamy In Indonesia Islamic Family Law, dalam syariah jurnal, vol 16, no 2, 2008, h: 207-222
`[40] Ibid…, h: 207-222
[41] Faqihuddin Abdul Qodir, Memilih Monogami, Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2005, h:60
[42] Ibid…,h:xxix
[43]Nina Nurmila, Diskusi Poligami, di akses tanggal 23 Juli 2010, dari http://www.ldfeui.org/web/images/stories/seminar/poligami/diskusi.pdf
[44] Ibid…, h:3
[45] Ibid…, h:4
[46] Ibid…,,h:5
[47] Yudi, Inefektifitas Ketentuan Poligami Pada UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, diakses pada tgl 14 Juli 2010, dari http://Tempointeraktif.com
[48] Ibid…, h: 3
[49] Ibid…, lihat pula dalam Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, Bandung : Angkasa, 2005, h:35
[50] Ibid….,h: 3
[51] Lynn welchman, women’s right and Islamic family law, Zed Books, New York USA, 2004, h: 32
[52]Asep Nursolah, Poligami dala UU no 1 Tahun 1974 Tntang Perkawina, di akses tgl 6 juni 2010,dari http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=2908&Itemid=54&limit=1&limitstart=5
[53] Ibid..,h:247, lihat pula dalam Undang-undang Republik Indonesia No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung, Citra Umbara, h:58
[54] Undang-undang Republik Indonesia No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan  Kmpilasi Hukum Islam, Bandung, Citra Umbara, h: 58

1 komentar:

Bottom Ad [Post Page]

| All Rights Reserved - Designed by Colorlib