Full width home advertisement

Perjalanan Umroh & Haji

Explore Nusantara

Jelajah Dunia

Post Page Advertisement [Top]

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Demokrasi dalam praktek bernegara dewasa ini, semakin mengalami puncak perkembangannya, dimana demokrasi dalam pengertian yang sederhana, sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh dan untuk rakyat begitu gencar melanda setiap negara. Bahkan saat ini telah terjadi kecenderungan global dimana demokrasi tidak sekedar menjadi wacana intelektual (Intellectual Discourse) melainkan juga impian politik berbagai negara, khususnya negara-negara berkembang. Hal ini mensyaratkan diakuinya suatu negara dalam pergaulan Internasional terletak pada pengakuannya akan demokrasi.
Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia memiliki banyak konotrasi makna, variatif, evolutif dan dinamis. Maka tidaklah mudah membuat suatu defenisi yang jelas mengenai Demokrasi. Demokrasi bermakna variatif karena sangat bersifat interpretatif. Setiap penguasa negara berhak mengklaim negaranya sebagai penganut kedaulatan rakyat atau penganut paham demokrasi, bahkan negara-negara yang menganut paham komunis dengan pemerintahan yang otoriter seperti RRC pun menyebut dirinya sebagai negara demokrasi. Karena sifatnya yang interpretatif itu, kita mengenal berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi protelar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi parlementer, dan lain-lain.Demokrasi juga merupakan konsep evolutif dan dinamis, bukan konsep yang statis. Artinya, konsep demokrasi selalu mengalami perubahan, baik bentuk-bentuknya maupun substansialnya sesuai dengan konteks dan dinamika sosio historis dimana konsep demokrasi lahir dan berkembang.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar masalah dalam pendahuluan di atas, agar penulisan makalah ini tidak membingungkan dan supaya terarah, maka dapat penulis rumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.      Apa yang di maksud dengan Konstitusi dan Demokrasi?
2.      Apa yang dimaksud dengan Nilai, Sifat, dan Tujuan Konstitusi?
3.      Bagaimana Konsep Negara Hukum dan Demokrasi?
4.      Bagaimana Konstitusi Sebagai Bentuk Perwujudan Negara Hukum dan Demokrasi?
5.      Apa yang dimaksud dengan Konstitusi Demokrasi?

C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan Rumusan masalah tersebut, maka tujuan dalam penulisan makalah ini antara lain :
1.      Sebagai salah satu tugas mata kuliah Hukum Konstitusi.
2.      Mengetahui apa yang di maksud dengan Konstitusi dan Demokrasi.
3.      Mengetahui Nilai, Sifat, dan Tujuan Konstitusi.
4.      Mengetahui Konsep Negara Hukum dan Demokrasi.
5.      Mengetahui Konstitusi Sebagai Bentuk Perwujudan Negara Hukum dan Demokrasi.
6.      Mengetahui Konstitusi Demokrasi.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Konstitusi dan Demokrasi
1.      Pengertian Konstitusi
Setelah saya membaca beberapa artikel dan saya menemukan beberapa pendapat tentang pengertian konstitusi. Secara lughawiyah, makna konstitusi dapat kita tinjau dalam berbagai bahasa;  Berasal bahasa Perancis “constituer” berarti membentuk (Pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara). Berasal bahasa Inggris “constitution” bisa diartikan sama dengan UUD atau Grondwet (bahasa Belanda) bisa dalam arti yang lebih luas, karena meliputi semua peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengikat cara-cara bagaimana pemerintahan diselenggarakan dalam masyarakat. Berasal bahasa Latin “cume” dan “statuere”. Cume bararti “bersama dengan…”, sedangkan Statuere berasal dari “sta” (yang membentuk) dan Stare (berdiri). Berarti Konstitusi diartikan sebagai membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan. Jadi “Constitutio” (bentuk tunggal) berarti menetapkan seuatu secara bersama -sama. Dan “Constitutiones” (jamak) berati segala sesuatu yang telah ditetapkan. Konstitusi dalam bahasa belanda “Grondwet” dan dalam bahasa jerman “Grundgesetz”, yang berarti Undang-Undang Dasar.
Sedangkan secara terminologis, menurut jilmly Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim di sebut undang- undang dasar, dan juga dapat  dalam bentuk tidak tertulis.[1] Konstitusi menurut Chairul Anwar juga mengatakan bahwa konstitusi adalah pemerintahan suatu negara dan nilai-nilai fundamentalnya.[2] Sedangkan menurut pendapat Sri Soemantri, konstitusi adalah suatu naskah yang memuat suatu bangunan negara dan sendi-sendi sistem pemerintahan negara.[3] Jadi, secara terminologi, konstitusi adalah sejumlah aturan dasar dan ketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk dasar hubungan kerjasama antara negara dan masyarakat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konstitusi pada hakekatnya lebih luas daripada Undang-Undang Dasar, karena konstitusi itu sendiri bersifat yuridis, sosiologis dan politis. Yuridis dalam konstitusi ini adalah suatu naskah yang memuat bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan. Sedangkan sosiologis dan politis merupakan faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat yang menggambarkan hubungan antara kekuasaan dalam suatu negara.
Mengapa konstitusi di suatu negara itu penting? Karena negara yang menyebut dirinya demokrasi konstitusional, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas yakni membatasi pemerintah agar penyelenggara kekuasaan tidak bersifat semena-mena dan hak warga negara akan lebih terlindungi. Dan juga hakekat konstitusi yang merupakan perwujudan paham tentang pemerintah dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap penduduk di pihak lain. Undang-Undang Dasar hanyalah sebagian pengertian dari konstitusi yakni konstitusi tertulis dan dokumen formal yang berisi :
1.      Hasil perjuangan politik bangsa di masa lalu
2.      Tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan
3.      Pandangan tokoh yang hendak diwujudkan
4.      Suatu keinginan memimpin perkembangan kehidupan ketatanegaraan.

2.      Pengertian Demokrasi
Dikenal bermacam-macam istilah demokrasi, dan dalam sejarah demokrasi di Indonesia dikenal demokrasi Parlementer, demokrasi Terpimpin, demokrasi Pancasila, dan mungkin juga demokrasi (era) Reformasi. Menurut asal usulnya "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Suatu bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasar prosedur mayoritas. Demokrasi langsung (direct democracy) pada negara-kota Yunani Kuno dapat berlangsung efektif karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas, serta jumlah penduduk yang sedikit, dan itupun hanya berlaku untuk warga negara resmi, dimana sebagian besar penduduk merupakan budak yang tidak mempunyai hak membuat keputusan politik. Dalam negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi bersifat demokrasi berdasar perwakilan (representative democracy).

B.     Nilai, Sifat, dan Tujuan Konstitusi
1.      Nilai Konstitusi
Pengertian nilai konstitusi di sini adalah nilai (values) sebagai hasil penilaian atas pelaksanaan norma-norma dalam suatu konstitusi dalam kenyataan praktik. Karl Loewenstein dalam bukunya Reflection on the Value of Constitutions membedakan tiga macam nilai atau the values of the constitution, yaitu: (1) normative value; (2) nominal value; dan (3) semantical value. Karl Loewenstein, yang dikutip Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa dalam setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai praktek. Artinya, sebagai hukum tertinggi di dalam konstitusi itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai das solen yang tidak selalu identik dengan das sein atau keadaan nyatanya di lapangan.[4]
Konstitusi dapat dikatakan memiliki nilai normatif, jika antara norma yang terdapat dalam konstitusi yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh subjek hukum yang terikat padanya. Akan tetapi, apabila suatu undang-undang dasar, sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyatannya tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, konstitusi tersebut dapat dikatakan sebagai konstitusi yang bernilai nominal. Sedang konstitusi yang bernilai semantik adalah konstitusi yang norma-norma yang terkandung di dalamnya hanya dihargai di atas kertas yang indah dan dijadikan jargon, semboyan, ataupun "gincu-gincu ketatanegaraan" yang berfungsi sebagai pemanis dan sekaligus sebagai alat pembenaran belaka. Dalam setiap pidato, norma-norma, konstitusi itu selalu dikutip dan dijadikan dasar pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi kebijakan itu sama sekali tidak sungguh-sungguh melaksanakan isi amanat norma yang dikutip itu. Kebiasaan seperti ini lazim terjadi di banyak negara, terutama jika di negara yang yang bersangkutan tersebut tidak tersedia mekanisme untuk menilai konstitusionalitas kebijakan-kebijakan kenegaraan (state's policies) yang mungkin menyimpang dari amanat undang-undang dasar. Dengan demikian dalam praktik ketatanegaraan, baik bagian-bagian tertentu ataupun keseluruhan isi undang-undang dasar itu, dapat bernilai semantik saja.[5]
2.      Sifat Konstitusi
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar dapat bersifat luwes (fleksibel) atau kaku (rigid). Untuk menentukan apakah undang-undang dasar itu bersifat luwes atau kaku adalah: (1) apakah terhadap naskah konstitusi itu dimungkinkan dilakukan perubahan dan apakah cara mengubahnya cukup mudah atau sulit, dan (2) apakah naskah konstitusi itu mudah atau tidak mudah mengikuti perkembangan kebutuhan zaman.[6]
Untuk menentukan apakah suatu naskah konstitusi bersifat luwes atau tidak, pertama-tama kita dapat mempelajari mengenai kemungkinannya berubah atau tidak, dan bagaimana pula perubahan itu dilakukan. Pada umumnya, dalam setiap naskah undang-undang dasar, selalu diatur tata cara perubahan konstitusi itu sendiri dalam pasal-pasal atau bab yang tersendiri. Perubahan-perubahan yang dilakukan menurut tata cara yang ditentukan sendiri oleh undang-undang dasar itu dinamakan verfassungs-anderung. Ketentuan mengenai perubahan tersebut selalu ditentukan dalam undangundang dasar itu sendiri, karena walaupun dimaksudkan untuk jangka waktu yang lama, tetapi teks suatu undang-undang dasar selalu cenderung untuk dari perkembangan masyarakat. Pada saat perubahan masyarakat sudah sedemikian rupa, selalu muncul kebutuhan objektif untuk mengadakan perubahan pula atas teks undang-undang dasar.
3.      Tujuan Konstitusi
Di kalangan para ahli hukum, pada umumnya dipahami bahwa hukum mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu: (1) keadilan (justice); (2) kepastian (certainty atau zekerheid); dan (3) kegunaan (utility). Keadilan itu sepadan dengan keseimbangan (balance, mizan) dan kepatutan (equity), Serta kewajaran (proportionality). Sedangkan, kepastian hukum terkait dengan ketertiban (order) dan ketenteraman. Sementara itu, kegunaan diharapkan dapat menjamin bahwa semua nilai-nilai tersebut akan mewujudkan kedamaian hidup bersama.[7]
Karena konstitusi itu sendiri merupakan hukum yang dianggap paling tinggi tingkatannya, tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah: (a) keadilan; (b) ketertiban; dan (c) perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana dirumuskan sebagai tujuan bernegara oleh para pendiri negara (the founding fathers and mothers). Misalnya, empat tujuan bernegara Indonesia adalah seperti yang termaktub dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Keempat tujuan itu adalah: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia (berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Sehubungan dengan itulah, beberapa sarjana merumuskan tujuan konstitusi itu seperti merumuskan tujuan negara, yaitu negara konstitusional, atau negara berkonstitusi. Menurut J. Barents, ada tiga tujuan negara, yaitu: (1) untuk memelihara ketertiban dan ketenteraman; (2) mempertahankan kekuasaan; dan (3) mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan- kepentingan umum.[8] Sementara itu, Maurice Hauriou menyatakan bahwa tujuan konstitusi adalah untuk menjaga keseimbangan antara: (1) ketertiban (orde); (2) kekuasaan (gezag); dan (3) kebebasan (vrijheid).[9] Kebebasan individu warga negara harus dijamin, tetapi kekuasaan negara juga harus berdiri tegak sehingga tercipta tertib bermasyarakat dan bernegara. Ketertiban itu sendiri terwujud apabila dipertahankan oleh kekuasaan yang efektif dan kebebasan warga negara tetap tidak terganggu. Sementara itu, G.S. Diponolo merumuskan tujuan konstitusi ke dalam lima kategori, yaitu: (i) kekuasaan, (ii) perdamaian, keamanan, dan ketertiban, (iii) kemerdekaan, (iv) keadilan, Berta (v) kesejahteraan dan kebahagiaan.[10]

C.    Konsep Negara Hukum dan Demokrasi
Sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa demokrasi dapat diartikan sebagai kekuasaan Negara itu dianggap bersumber dan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyatlah penentu akhir penyelenggaraan kekuasaan dalam suatu Negara. Dizaman modern ini demokasi secara luas dianggap sebagai konsep yang diidealkan oleh semua Negara di dunia. Meskipun dalam praktik penerapannya, tergantung kepada penafsiran masing-masing Negara dan para penguasa di Negara-negara yang menyebut dirinya demokrasi.
Demokrasi mempunyai kelemahan yaitu pada demokrasi terlalu mengandalkan diri pada prinsip suara mayoritas sesuai dengan doktrin “one man one vote” dimana pihak mana yang paling banyak suaranya, ialah yang paling menentukan keputusan. Padahal, mayoritas suara belum tentu mencerminkan kebenaran dan keadilan.
Atas dasar kelemahan yang dimiliki demokrasi tersebut proses pengambilan keputusan dalam dinamika kekuasaan Negara harus diimbangi dengan prinsip keadilan, nomokrasi, atau the rule of the law.[11] Prinsip inilah yang dinamakan prinsip Negara hukum, yang mengutamakan kedaulatan hukum, prinsip supremasi hukum (supremacy of law), atau kekuasaan tertinggi di tangan hukum.[12] Menurut Bagir Manan dalam bukunya  Teori dan politik Konstitusi, untuk melaksanakan prinsip Negara berdasarkan hukum harus memenuhi syarat tegaknya tatanan kerakyatan atau demokrasi, karena Negara berdasarkan atas hukum tidak mungkin tumbuh berkembang dalam tatanan kediktatoran, merendahkan hukum dan melecehkan hukum merupakan bawaan kediktatoran, tidak ada paham kediktatoran yang menghormati hukum, yang ada dalam kediktatoran adalah kesewenang-wenangan, kalaupun ada hukum semata-mata dilakukan untuk mempertahankan kepentingan rezim kediktatoran tersebut.[13] Dalam hal tersebut rakyat semata-mata menjadi objek hukum dan bukan subjek hukum, karena itu setiap upaya untuk mewujudkan tatanan Negara berdasarkan hukum tanpa diikuti dengan usaha mewujudkan tatanan kerakyatan atau demokrasi akan sia-sia.[14]
Adapula apabila demokrasi juga dapat berkembang menjadi demokrasi yang berlebihan yaitu mengembangkan kebebasan tanpa keteraturan dan kepastian sehingga Negara tersebut kacau. Negara demokrasi yang seperti ini bukanlah demokrasi yang diidealkan. Demokrasi yang yang ideal itu demokrasi yang teratur berdasarkan hukum. karena itu, antara ide demokrasi dan Negara hukum (nomokrasi) dipandang harus bersifat sejalan dan seiring, baru suatu Negara itu dapat disebut sebagai Negara demokrasi dan sekaligus sebagai Negara hukum.[15] demokrasi dan Negara hukum tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu kualitas demokrasi suatu Negara akan menentukan kualitas hukum Negara tersebut, begitu pula sebaliknya.

D.    Konstitusi Sebagai Bentuk Perwujudan Negara Hukum dan Demokrasi
Berbicara tentang konstitusi tidak dapat dilepaskan dari konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.[16] Menurut Carl J Friedrich, konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. [17]
Yang menjadi dasar dari konstitusionalisme adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang di idealkan berkenaan dengan Negara. Organisasi Negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau di promosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut Negara. [18] Konsensus tersebut yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya, dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu : [19]
1.      Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama
2.      Kesepakatan tentang the rule of the law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara
3.      Kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan

Kesepakatan yang pertama berkenaan dengan cita-cita bersama adalah puncak abstraksi paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan diantara  sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup ditengah pluralism atau kemajemukan. Oleh karena itu suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan atau cita-cita bersama.[20] Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi, kesepakatan kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap Negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan Negara haruslah didasarkan atas the rules of the game yang ditentukan bersama. [21] Kesepakatan yang ketiga adalah berkenaan dengan bangunan organ Negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya,hubungan-hubungan antar organ Negara itu satu sama lain, serta hubungan antara organ Negara dengan warga Negara. [22]
Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan didalam konstitusi. Kesepakatan itu menjadi pegangan hidup dalam bernegara sehingga ditempatkan di posisi yang tinggi. Karena ditempatkan diposisi yang tinggi maka konstitusi dijadikan sebagai supremacy of law. Supremacy of law merupakan salah satu unsure didalam Negara hukum. Konstitusi sebagai dasar hukum yang tertinggi dibentuk atas dasar kesepakatan rakyat sehingga konstitusi haruslah mempunyai nilai-nilai demokrasi. Oleh karena suatu konstitusi yang baik harus menjamin kedaulatan hukum yang mengedepankan demokrasi.
Didalam undang-undang dasar 1945 menjelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara demokrasi yang mempunyai kedaulatan ditangan rakyat sekaligus sebagai Negara dengan kedaulatan hukum. Hal ini ditegaskan didalam pasal 1 ayat (2) yang menyatakan :
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar
Ketentuan ini mencerminkan bahwa UUD 1945 menganut kedaulatan rakyat atau demokrasi berdasarkan undang-undang dasar atau “constitutional democracy”. [23] Sedangkan pasal 1 ayat (3) menegaskan :
“Negara Indonesia adalah Negara hukum
Inilah yang dimaksud dengan paham kedaulatan hukum yang pada pokoknya menganut prinsip supremasi hukum.

E.     Demokrasi Kostitusi
Definisi dari konstitusi demokrasi adalah konstitusi yang mengandung prinsip dasar demokrasi. Dalam negara demokrasi, konstitusi demokrasi merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi sehingga melahirkan pemerintahan yang demokratis pula.
Demokrasi konstitusi dibangun berdasarkan pada gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Rumusan Lord Acton, seorang ahli sejarah Inggris, dengan dalil yang termashurnya ”Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”. Untuk itu sebagai suatu program dan sistim politik yang konkrit pembatasan kekuasaan negara diselenggarakan dengan suatu konstitusi tertulis. Kekuasaan harus dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penyalahgunaan diperkecil, caranya dengan menyerahkan kekuasaan kepada beberapa orang atau badan. Prinsipnya, semakin kecil keterlibatan negara semakin baik. Keterlibatan negara hanya dibenarkan untuk campur tangan dalam kehidupan rakyatnya dalam batas-batas yang sangat terbatas. Peran negara hanya dapat dilihat manfaatnya sebagai Penjaga Malam (Nachtwachtersstaat). Dalam dinamika perkembangan demokrasi telah menggeser pandangan keterlibatan negara yang terbatas pada pengurusan kepentingan bersama, negara juga bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat, dan negara harus aktif berusaha untuk menaikkan kehidupan warganya. Dari konsep peran sebagai Nachtwachtersstaat bergeser ke Welfare State atau Social Service State. Kemudian berkembang lagi konsep peran negara tidak saja terbatas pada demokrasi politik, namun berkembang pada konsep peran negara dalam demokrasi ekonomi.
Prinsip- prinsip  dasar demokrasi dalam kehidupan bernegara adalah sebagai berikut :
1.      Menempatkan warga negara sebagai sumber utama kedaulatan
2.      Mayoritas berkuasa dan terjamin hak minoritas
3.      Pembatasan pemerintahan
4.      Pembatasan dan pemisahan kekuasaan negara
5.      Pemisahan wewenang kekuasaan berdasarkan Trias Politica
6.      Kontrol dan keseimbangan lembaga pemerintahan
7.      Proses hukum
8.      Adanya pemilu sebagai mekanisme peralihan kekuasaan




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
             Menurut jilmly Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim di sebut undang- undang dasar, dan juga dapat  dalam bentuk tidak tertulis.
             Demokrasi adalah Suatu bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasar prosedur mayoritas.
             Atas dasar kelemahan yang dimiliki demokrasi tersebut proses pengambilan keputusan dalam dinamika kekuasaan Negara harus diimbangi dengan prinsip keadilan, nomokrasi, atau the rule of the law.  Prinsip inilah yang dinamakan prinsip Negara hukum, yang mengutamakan kedaulatan hukum, prinsip supremasi hukum (supremacy of law), atau kekuasaan tertinggi di tangan hukum.
             Konstitusi demokrasi adalah konstitusi yang mengandung prinsip dasar demokrasi. Dalam negara demokrasi, konstitusi demokrasi merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi sehingga melahirkan pemerintahan yang demokratis pula.

B.     Kritik dan Saran
Kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan subtansi materi padamakalah dalam pertemuan kali ini sangat penulis harapkan,  semoga tulisan ini bermanfaat adanya bagi kita semua.








DAFTAR PUSTAKA

                                 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi,  Yogyakarta : FH UII Press, 2004.
                                 Chairul Anwar, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 1999.
                                 Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi,  Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2008.
                                 G.S. Diponolo, Ilmu Negara,  Jakarta: Balai Pustaka, 1951.           
                                 J. Barents, De Wetenschap de Politiek, Een Tereiverkenning, 1952,  diterjemahkan L.M. Sitorus, Ilmu Politik: Suatu Perkenalan Lapangan, Jakarta: PT Pembangunan, 1958.
                                 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2009.
                                 Jimmly Asshidiqie, Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2008.
                                 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme, Jakarta : Konstitusi Press, 2005.     
                                 K.C. Wheare, Modern Constitution, London: Oxford University Press, 1975.
                                 Maurice Hauriou, Precis de Droit Constitutionnel, dalam Abu Daud Busro, Ilmu Negara,  Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
                                 Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni, 1987


[1]  Jimmly Asshidiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme, (Jakarta : Konstitusi Press, 2005), Hlm.  29
[2] Chairul Anwar, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 1999), Hlm. 13
[3] Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987)
[4] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,(PT Raja Grafindo, Jakarta, 2009), Hlm. 108
[5] Ibid, Hlm. 109
[6] K.C. Wheare, Modern Constitution, (London: Oxford University Press, 1975), Hlm.14.
[7] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Hlm. 119
[8] J. Barents, De Wetenschap de Politiek, Een Tereiverkenning, 1952,  diterjemahkan L.M. Sitorus, Ilmu Politik: Suatu Perkenalan Lapangan, (Jakarta: PT Pembangunan, 1958), Hlm. 38.
[9] Maurice Hauriou, Precis de Droit Constitutionnel, dalam Abu Daud Busro, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), Hlm. 99
[10] G.S. Diponolo, Ilmu Negara, (Jakarta: Balai Pustaka, 1951), Hlm. 23.
[11] Jimmly Asshidiqie, Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2008), Hlm. 146
[12] Ibid, Hlm. 147
[13] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi,  (Yogyakarta : FH UII Press, 2004), Hlm.  125-126
[14] Ibid, Hlm. 126
[15] Jimmly Asshidiqie, Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Hlm. 147
[16] Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, ( Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2008), Hlm. 1
[17] Ibid, Hlm. 19
[18] Jimmly Asshidiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme, (Jakarta : Konstitusi Press, 2005), Hlm.  20
[19] Ibid, Hlm. 21
[20] Ibid, Hlm 21
[21] Ibid, Hlm 22
[22] Ibid, Hlm 22
[23] Jimmly Asshidiqie, Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Hlm. 149

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| All Rights Reserved - Designed by Colorlib