BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara adalah suatu organisasi yang
terdiri dari masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus antara lain sifat
memaksa, dan sifat monopoli untuk mencapai tujuannya.[1]
Untuk dapat disebut sebagai suatu negara, terlebih dahulu harus memenuhi
unsur-unsur suatu negara, antara lain adanya suatu wilayah, adanya rakyat,
adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk
disebut negara, tetapi bukan merupakan unsur yang mutlak adalah adanya
pengakuan dari negara lain.
Dalam membentuk pemerintah yang
berdaulat negara wajib memiliki alat kelengkapan negara dengan struktur
pemerintahan yang baik dan terperinci sesuai fungsinya serta juga legitimasi
sosial dari rakyat secara mayoritas.
Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam
makalah ini akan dibahas mengenai tentang Unsur-Unsur Negara dan Hubungan Antar
Negara, berikut ini pemaparannya.
B. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan penulisan
dan pembahasan, perlu kiranya membuat suatu rumusan masalah yang berbentuk
pertanyaan sebagai berikut :
1.
Apa pengertian Negara?
2.
Apa saja unsure-unsur Negara itu?
3.
Bagaimana hubungan anatar Negara
terjalin?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan yang dapat penulis
samapaikan dalam penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut :
1.
Memenuhi kewajiban salah satu
tugas matakuliah Ilmu Negara.
2.
Mengetahui penegertian Negara.
3.
Menegetahui hubungan antar Negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Negara
Sudah menjadi kodrat alam, bahwa
manusia sejak dahulu kala selalu hidup bersama-sama dalam suatu kelompok (zoon
politicon).[2] Pada
dasarnya tidak ada suatu definisi yang tepat terhadap pengertian suatu Negara.
Namun kita dapat mengambil beberapa pengertian suatu negara berdasarkan
pengertian-pengertian oleh para ahli yang dapat dijadikan sebagai suatu sumber
hukum atau biasa disebut dengan doktrin para sarjana. Serta pengertian suatu
negara berdasarkan hukum internasional yang dapat kita ambil dari Konvensi
Montevidio tahun 1933.
1. Menurut Plato
Menurut Plato, negara adalah suatu
tubuh yang senantiasa maju, berevolusi dan terdiri dari orang-orang
(individu-individu) yang timbul atau ada karena masing-masing dari orang itu
secara sendiri-sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang beraneka
ragam, yang menyebabkan mereka harus bekerja sama untuk memenuhi kepentingan
mereka bersama. Kesatuan inilah yang kemudian disebut masyarakat atau Negara.[3]
2. Menurut Thomas Hobes
Menurut Thomas Hobbes bahwa negara
adalah suatu tubuh yang dibuat oleh orang banyak beramai-ramai, yang
masing-masing berjanji akan memakainya menjadi alat untuk keamanan dan
pelindungan mereka.[4]
3. Menurut G. Jellinek
Menurut George Jellinek yang juga
disebut sebagai Bapak Negara memberikan pengertian tentang Negara yang merupakan
organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di suatu wilayah
tertentu.[5]
Dari beberapa pengertian diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya negara adalah suatu wilayah di permukaan
bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya
diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara adalah
pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut,
dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain
keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu
berada. Hal lain adalah apa yang disebut dengan kedaulatan, yakni bahwa negara
diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada
wilayah tempat negara itu berada.
B. Unsur- Unsur Pembentuk Negara
Menurut Oppenheim-Lauterpacht,
unsur-unsur negara adalah: Unsur pembentuk negara (konstitutif): wilayah/
daerah, rakyat atau penduduk yang tetap, pemerintah yang berdaulat, dan Unsur
deklaratif: pengakuan oleh negara lain.
1.
Wilayah/ Daerah
1)
Daratan
Wilayah daratan ada di permukaan bumi
dalam batas-batas tertentu dan di dalam tanah di bawah permukaan bumi. Artinya,
semua kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dalam batas-batas negara
adalah hak sepenuhnya negara pemilik wilayah.
Batas-batas wilayah daratan suatu
negara dapat berupa:
·
Batas alam, misalnya:
sungai, danau, pegunungan, lembah
·
Batas buatan, misalnya:
pagar tembok, pagar kawat berduri, parit
·
Batas menurut ilmu alam:
berupa garis lintang dan garis bujur peta bumi
2) Lautan
Lautan yang merupakan wilayah suatu
negara disebut laut teritorial negara itu, sedangkan laut di luarnya disebut
laut terbuka (laut bebas, mare liberum).
Ada dua konsepsi pokok tentang laut,
yaitu: 1) Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut tidak ada pemiliknya,
sehingga dapat diambil/ dimiliki oleh setiap negara; 2) Res Communis, yang
menyatakan bahwa laut adalah milik bersama masyarakat dunia dan karenanya tidak
dapat diambil/ dimiliki oleh setiap negara.
Tidak ada ketentuan dalam hukum
internasional yang menyeragamkan lebar laut teritorial setiap negara.
Kebanyakan negara secara sepihak menentukan sendiri wilayah lautnya. Pada
umumnya dianut tiga (3) mil laut (± 5,5 km) seperti Kanada dan Australia.
Tetapi ada pula yang menentukan batas 12 mil laut (Chili dan Indonesia), bahkan
200 mil laut (El Salvador). Batas laut Indonesia sejauh 12 mil laut diumumkan
kepada masyarakat internasional melalui Deklarasi Juanda pada tanggal 13
Desember 1957.
Pada tanggal 10 Desember 1982 di
Montego Bay (Jamaica), ditandatangani traktat multilateral yang mengatur segala
sesuatu yang berhubungan dengan lautan, misalnya: permukaan dan dasar laut,
aspek ekonomi, perdagangan, hukum, militer dan lingkungan hidup. Traktat
tersebut ditandatangani 119 delegasi peserta yang terdiri dari 117 negara dan
dua organisasi kebangsaan.
Tentang batas lautan ditetapkan
sebagai berikut:
a. Batas laut teritorial
Setiap negara berdaulat atas lautan
teritorial yang jaraknya sampai 12 mil laut, diukur dari garis lurus yang ditarik
dari pantai.
b. Batas zona bersebelahan
Di luar batas laut teritorial sejauh
12 mil laut atau 24 mil dari pantai adalah batas zona bersebelahan. Di dalam
wilayah ini negara pantai dapat mengambil tindakan dan menghukum pihak-pihak
yang melanggar undang-undang bea cukai, fiskal, imigrasi, dan ketertiban
negara.
c. Batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
ZEE adalah wilayah laut suatu engara
pantai yang batasnya 200 mil laut diukur dari pantai. Di dalam wilayah ini,
negara pantai yang bersangkutan berhak menggali kekayaan laut dan menangkap
nelayan asing yang kedapatan menangkap ikan di wilayah ini serta melakukan
kegiatan ekonomi lainnya. Negara lain bebas berlayar atau terbang di atas
wilayah itu serta bebas pula memasang kabel dan pipa di bawah laut.
d. Batas landas benua
Landas benua adalah wilayah lautan
suatu engara yang batasnya lebih dari 200 mil laut. Dalam wilayah ini negara
pantai boleh melakukan eksplorasi dan eksploitasi dengan kewajiban membagi
keuntungan dengan masyarakat internasional.
3) Udara
Wilayah udara suatu negara ada di atas
wilayah daratan dan lautan negara itu. Kekuasaan atas wilayah udara suatu
negara itu pertama kali diatur dalam Perjanjian Paris pada tahun 1919 (dimuat
dalam Lembaran Negara Hindia Belanda No.536/1928 dan No.339/1933). Perjanjian Havana
pada tahun 1928 yang dihadiri 27 negara menegaskan bahwa setiap negara berkuasa
penuh atas udara di wilayahnya. Hanya seizin dan atau menurut perjanjian
tertentu, pesawat terbang suatu negara boleh melakukan penerbangan di atas
negara lain. Demikian pula Persetujuan Chicago 1944 menentukan bahwa
penerbangan internasional melintasi negara tanpa mendarat atau mendarat untuk
tujuan transit dapat dilakukan hanya seizin negara yang bersangkutan. Sedangkan
Persetujuan Internasional 1967 mengatur tentang angkasa yang tidak bisa
dimiliki oleh negara di bawahnya dengan alasan segi kemanfaatan untuk semua
negara dan tujuan perdamaian.
4) Wilayah Ekstrateritorial
Wilayah ekstrateritorial adalah
tempat-tempat yang menurut hukum internasional diakui sebagai wilayah kekuasaan
suatu negara – meskipun tempat itu berada di wilayah negara lain. Termasuk di
dalamnya adalah tempat bekerja perwakilan suatu negara, kapal-kapal laut yang
berlayar di laut terbuka di bawah suatu bendera negara tertentu. Di wilayah itu
pengibaran bendera negara yang bersangkutan diperbolehkan. Demikian pula
pemungutan suara warga negara yang sedang berada di negara lain untuk pemilu di
negara asalnya. Contoh: di atas kapal (floating island) berbendera Indonesia
berlaku kekuasaan negara dan undang-undang NKRI.
2. Rakyat atau Penduduk yang Tetap
Rakyat (Inggris: people; Belanda:
volk) adalah kumpulan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat
penghuni suatu negara, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan dan
memiliki kepercayaan yang berbeda. Selain rakyat, penghuni negara juga disebut
bangsa. Para ahli menggunakan istilah rakyat dalam pengertian sosiologis dan
bangsa dalam pengertian politis. Rakyat adalah sekelompok manusia yang memiliki
suatu kebudayaan yang sama, misalnya memiliki kesamaan bahasa dan adat
istiadat. Sedangkan bangsa menurut
Ernest Renan adalah sekelompok manusia
yang dipersatukan oleh kesamaan sejarah dan cita-cita. Hasrat bersatu yang
didorong oleh kesamaan sejarah dan cita-cita meningkatkan rakyat menjadi
bangsa.
Dengan perkataan lain, bangsa adalah
rakyat yang berkesadaran membentuk negara. Suatu bangsa tidak selalu terbentuk
dari rakyat seketurunan, sebahasa, seagama atau adat istiadat tertentu kendati
kesamaan itu besar pengaruhnya dalam proses pembentukan bangsa. Sekadar contoh,
bangsa Amerika Serikat sangat heterogen, banyak ras, bahasa dan agama; bangsa
Swiss menggunakan tiga bahasa yang sama kuatnya; bangsa Indonesia memiliki
ratusan suku, agama, bahasa dan adat istiadat yang berbeda. Secara geopolitis,
selain harus memiliki sejarah dan cita-cita yang sama, suatu bangsa juga harus
terikat oleh tanah air yang sama.
Rakyat merupakan unsur terpenting
dalam negara karena manusialah yang berkepentingan agar organisasi negara dapat
berjalan dengan baik. Rakyat suatu negara dibedakan antara: a) penduduk dan bukan
penduduk; b) warga negara dan bukan warga negara.
Penduduk ialah mereka yang bertempat
tinggal atau berdomisili tetap di dalam wilayah negara. Sedangkan bukan
penduduk ialah mereka yang ada di dalam wilayah negara, tetapi tidak bermaksud
bertempat tinggal di negara itu. Warga negara ialah mereka yang berdasarkan
hukum merupakan anggota dari suatu negara. Sedangkan bukan warga negara disebut
orang asing atau warga negara asing (WNA).
George Jellinek mengemukakan empat
status bangsa, yaitu sebagai berikut ini:
1.
Status positif, yaitu status yang
memberikan hak kepada warga negara untuk menuntut tindakan positif negara
mengenai perlindungan atas jiwa raga, hak milik, kemerdekaan, dan sebagainya.
2.
Status negatif, yaitu status yang
menjamin warga negara bahwa negara tidak ikut campur terhadap hak-hak azasi
(hak-hak privat) warga negaranya.
3.
Status aktif, yaitu status yang
memberikan hak kepada setiap warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan,
misalnya melalui hak pilih (aktif: memilih, pasif: dipilih).
4.
Status pasif, yaitu status yang
memberikan kewajiban kepada setiap warga negara untuk taat dan tunduk kepada
negara.
Aristoteles menyebut manusia sebagai
zoon politikon, artinya makhluk yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dan
berkumpul dengan sesamanya atau makhluk yang suka bermasyarakat. Manusia adalah
makhluk individu (perseorangan) sekaligus makhluk sosial. Secara singkat yang
disebut masyarakat adalah persatuan manusia yang timbul dari kodrat yang sama
itu.
Penyebab manusia selalu hidup
bermasyarakat antara lain adalah dorongan kesatuan biologis dalam naluri
manusia, yaitu:
1)
hasrat untuk memenuhi kebutuhan
makan dan minum;
2)
hasrat untuk membela diri;
3)
hasrat untuk melanjutkan
keturunan.
Golongan masyarakat antara
lain terbentuk karena:
1) rasa tertarik kepada (sekelompok) orang lain tertentu;
2) memiliki kegemaran yang sama dengan orang lain;
3) memerlukan bantuan/ kekuatan orang lain;
4) berhubungan darah dengan orang lain; dan
5) memiliki hubungan kerja dengan orang lain.
Dengan perkataan lain, aspek-aspek
yang mendorong manusia ke arah kerja sama dengan sesamanya adalah:
1)
Biologis: manusia ingin tetap
hidup dan mempertahankan kelangsungan hidupnya yang hanya bisa dicapai dengan
bekerja sama dengan sesamanya;
2)
Psikologis: kesediaan kerja sama
untuk menghilangkan kejemuan dan mempertahankan harga diri sebagai anggota
pergaulan hidup bersama manusia;
3)
Ekonomis: kesediaan manusia untuk
bekerja sama adalah agar dapat memenuhi dan memuaskan segala macam kebutuhan
hidupnya;
4)
Kultural: manusia sadar bahwa
segala usahanya untuk menciptakan sesuatu hanya bisa berhasil dalam kerja sama
dengan sesamanya.
3. Pemerintah atau Penguasa yang berdaulat
Istilah Pemerintah merupakan
terjemahan dari kata asing Gorvernment (Inggris), Gouvernement (Prancis) yang
berasal dari kata Yunani κουβερμαν yang berarti mengemudikan kapal (nahkoda).
Dalam arti luas, Pemerintah adalah gabungan dari semua badan kenegaraan
(eksekutif, legislatif, yudikatif) yang berkuasa memerintah di wilayah suatu
negara. Dalam arti sempit, Pemerintah mencakup lembaga eksekutif saja.
Menurut Utrecht, istilah Pemerintah
meliputi pengertian yang tidak sama sebagai berikut:
1.
Pemerintah sebagai gabungan semua
badan kenegaraan atau seluruh alat perlengkapan negara adalam arti luas yang
meliputi badan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
2.
Pemerintah sebagai badan
kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah suatu negara (Kepala
Negara).
3.
Pemerintah sebagai badan eksekutif
(Presiden bersama menteri-menteri: kabinet).
Istilah kedaulatan merupakan
terjemahan dari sovereignty (Inggris), souveranete (Prancis), sovranus (Italia)
yang semuanya diturunkan dari kata supremus (Latin) yang berarti tertinggi.
Kedaulatan berarti kekuasan yang tertinggi, tidak di bawah kekuasaan lain.
Pemerintah yang berdaulat berarti
pemerintah yang memegang kekuasaan tertinggi di dalam negaranya dan tidak
berada di bawah kekuasaan pemerintah negara lain. Maka, dikatakan bahwa
pemerintah yang berdaulat itu berkuasa ke dalam dan ke luar:
1.
Kekuasaan ke dalam, berarti bahwa
kekuasaan pemerintah itu dihormati dan ditaati oleh seluruh rakyat dalam negara
itu.
2.
Kekuasaan ke luar, berarti bahwa
kekuasaan pemerintah itu dihormati dan diakui oleh negara-negara lain.
Jean Bodin (1530-1596), seorang ahli
ilmu negara asal Prancis, berpendapat bahwa negara tanpa kekuasaan bukanlah
negara. Dialah yang pertama kali menggunakan kata kedaulatan dalam kaitannya
dengan negara (aspek internal: kedaulatan ke dalam). Kedaulatan ke dalam adalah
kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengatur fungsinya. Kedaulatan ke
luar adalah kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahan serta memelihara
keutuhan wilayah dan kesatuan bangsa (yang selayaknya dihormati oleh bangsa dan
negara lain pula), hak atau wewenang mengatur diri sendiri tanpa pengaruh dan
campur tangan asing.
Grotius (Hugo de Groot) yang dianggap
sebagai bapak hukum internasional memandang kedaulatan dari aspek eksternalnya,
kedaulatan ke luar, yaitu kekuasaan mempertahankan kemerdekaan negara terhadap
serangan dari negara lain.
Berikut ini sifat-sifat kedaulatan
menurut Jean Bodin:
1)
Permanen/ abadi, yang berarti
kedaulatan tetap ada selama negara masih berdiri.
2)
Asli, yang berarti bahwa
kedaulatan itu tidak berasal adari kekuasaan lain yang lebih tinggi.
3)
Tidak terbagi, yang berarti bahwa
kedaulatan itu merupakan satu-satunya yang tertinggi di dalam negara.
4)
Tidak terbatas, yang berarti bahwa
kedaulatan itu tidak dibatasi oleh siapa pun, karena pembatasan berarti
menghilangkan ciri kedaulatan sebagai kekuasaan yang tertinggi.
Para ahli hukum sesudahnya menambahkan
satu sifat lagi, yaitu tunggal, yang berarti bahwa hanya negaralah pemegang
kekuasaan tertinggi.
4. Pengakuan oleh negara lain
Untuk menjadikan suatu Negara menjadi
suatu Negara yang berdaulat, dalam prakteknya memerlukan pengakuan dari Negara
lain.[6]
Pengakuan oleh negara lain didasarkan pada hukum internasional. Pengakuan itu
bersifat deklaratif/ evidenter, bukan konstitutif. Proklamasi kemerdekaan
Amerika Serikat dilaksanakan pada tanggal 4 Juli 1776, namun Inggris (yang
pernah berkuasa di wilayah AS) baru mengakui kemerdekaan negara itu pada tahun
1783.
Adanya pengakuan dari negara lain
menjadi tanda bahwa suatu negara baru yang telah memenuhi persyaratan
konstitutif diterima sebagai anggota baru dalam pergaulan antarnegara.
Dipandang dari sudut hukum internasional, faktor pengakuan sangat penting,
yaitu untuk:
1.
Tidak mengasingkan suatu kumpulan
manusia dari hubungan-hubungan internasional;
2.
Menjamin kelanjutan hubungan-hubungan
intenasional dengan jalan mencegah kekosongan hukum yang merugikan, baik bagi
kepentingan-kepentingan individu maupun hubungan antarnegara.
Menurut Oppenheimer, pengakuan oleh
negara lain terhadap berdirinya suatu negara semata-mata merupakan syarat
konstitutif untuk menjadikan international person. Dalam kedudukan itu,
keberadaan negara sebagai kenyataan fisik (pengakuan de facto) secara formal
dapat ditingkatkan kedudukannya menjadi suatu judicial fact (pengakuan de
jure).
Pengakuan de facto adalah pengakuan
menurut kenyataan bahwa suatu negara telah berdiri dan menjalankan kekuasaan
sebagaimana negara berdaulat lainnya. Sedangkan pengakuan de jure adalah
pengakuan secara hukum bahwa suatu negara telah berdiri dan diakui
kedaulatannya berdasarkan hukum internasional.
Perbedaan antara pengakuan de facto
dan pengakuan de jure antara lain adalah:
1.
Hanya negara atau pemerintah yang
diakui secara de jure yang dapat mengajukan klaim atas harta benda yang berada
dalam wilayah negara yang mengakui.
2.
Wakil-wakil dari negara yang
diakui secara de facto secara hukum tidak berhak atas kekebalan-kekebalan dan
hak-hak istimewah diplomatik secara penuh.
3.
Pengakuan de facto karena sifatnya
sementara pada prinsipnya dapat ditarik kembali.
4.
Apabila suatu negara berdaulat
yang diakui secara de jure memberikan kemerdekaan kepada suatu wilayah jajahan,
maka negara yang baru merdeka itu harus diakui secara de jure pula.
Pada tanggal 17 Agustus 1945,
Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Unsur-unsur negara terpenuhi pada tanggal
18 Agustus 1945. Pengakuan pertama diberikan oleh Mesir, yaitu pada tanggal 10
Juni 1947. Berturut-turut kemerdekaan Indonesia itu kemudian diakui oleh
Lebanon, Arab Saudi, Afghanistan, Syria dan Burma. Pengakuan de facto diberikan
Belanda kepada Republik Indonesia atas wilayah Jawa, Madura dan Sumatra dalam
Perundingan Linggarjati tahun 1947. Sedangkan pengakuan de jure diberikan
Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pengakuan terhadap negara baru dalam
kenyataannya lebih merupakan masalah politik daripada masalah hukum. Artinya,
pertimbangan politik akan lebih berpengaruh dalam pemberian pengakuan oleh
negara lain. Pengakuan itu merupakan tindakan bebas dari negara lain yang
mengakui eksistensi suatu wilayah tertentu yang terorganisasi secara politik,
tidak terikat kepada negara lain, berkemampuan menaati kewajiban-kewajiban
hukum internasional dalam statusnya sebagai anggota masyarakat internasional.
Menurut Starke, tindakan pemberian
pengakuan dapat dilakukan secara tegas (expressed), yaitu pengakuan yang
dinyatakan secara resmi berupa nota diplomatik, pesan pribadi kepala negara
atau menteri luar negeri, pernyataan parlemen, atau melalui traktat. Pengakuan
juga dapat dilakukan secara tidak tegas (implied), yaitu pengakuan yang
ditampakkan oleh hubungan tertentu antara negara yang mengakui dengan negara
atau pemerintahan baru.
Ada dua teori pengakuan yang saling
bertentangan, yaitu sebagai berikut:
1.
Teori Konstitutif, yaitu teori
yang menyatakan bahwa hanya tindakan pengakuanlah yang menciptakan status
kenegaraan atau yang melengkapi pemerintah baru dengan otoritasnya di
lingkungan internasional.
2.
Teori Deklaratoir atau Evidenter,
yaitu teori yang menyatakan bahwa status kenegaraan atau otoritas pemerintah
baru telah ada sebelum adanya pengakuan dan status itu tidak bergantung pada
pengakuan yang diberikan. Tindakan pengakuan hanyalah pengumuman secara resmi
terhadap fakta yang telah ada.
Jika mengacu pada instrument hukum
internasional mengenai hak-hak dan kewajiban negara yang terdapat dalam
Konvensi Montevidio 1933, maka pengakuan terhadap suatu negara bersifat
deklaratif yang menyebutkan: “The political existance of the state is
independent of recognition by other states. Even before recognition of a state
has the right to defend its integrity
and independence to provide for it conservation and prosperity, and
consequently, to organize itself as it sees fit, to legislate upon its
interest, administer its services, and
to define the jurisdiction and competence of its courts”.[7]
Pada intinya bahwa hukum internasional menganggap bahwa kedaulatan suatu negara
baru tidak dipengaruhi oleh pengakuan negara lain.
Keberadaan negara-negara baru tersebut
tidak harus diikuti oleh pengakuan negara-negara di dunia. Tanpa pengakuan dari
negara lain, suatu negara tetap memiliki hak untuk mempertahankan kesatuan dan
kemerdekaan negaranya demi mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bagi
negaranya. Serta untuk menegakkan kekuasaan dan kewenangan pengadilan di
negaranya. Faktanya banyak negara yang lahir di dunia tanpa adanya pernyataan
pengakuan, tetapi bukan berarti bahwa kelahiran negara baru itu ditolak oleh
negara-negara lain. Contohnya Negara Israel yang lahir tanggal 14 Mei 1948
sampai sekarang masih tetap tidak diakui oleh negara-negara Arab kecuali Mesir
dan Yordania, yang telah membuat perjanjian perdamaian dengan negara tersebut.
Namun ada pengecualian bahwa kelahiran suatu negara ditentang oleh dunia
internasional dan yang menjadi dasar pertimbangannya mengacu pada sikap PBB,
yaitu melalui resolusi-resolusi yang dikeluarkan.
Pendukung teori pengakuan antara lain:
Brierly, Francois, Fischer, Williams, Erich, Tervooren, Schwarzen Berger,
Konvensi Montevideo 1933. Di dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan, 3 unsur
Negara (unsure konstitutif) dan 1 unsur Negara (deklaratif), menjadi 5 yaitu rakyat, wilayah, pemerintahan,
pengakuan Internasional, dan UUD (Konstitusi).[8]
C. Hubungan Antar Negara
Setelah kita mendeskripsikan apa arti
negara yang sesungguhnya secara terperinci, dan apa saja unsure- unsure
pembentuk suatu Negara, kita bisa menelaah bahwa sebuah negara meskipun
memiliki pemerintahannya sendiri, negara tersebut tidak dapat berdiri sendiri
tanpa bantuan dari Negara lain. Hal inilah yang memunculkan pertanyaan, mengapa
sebuah negara hasrus bergantung dengan negara lain ?
Sesuai dengan pelaku utama hubungan
internasional adalah negara, maka yang menjadi perhatian utama hukum
internasional adalah hak dan kewajiban serta kepentingan negara. Negara sebagai
salah satu subjek hukum internasional, bahkan menjadi subjek hukum
internasional yang pertama dan utama serta terpenting (par excellence). Negara
menjadi subjek hukum internasional yang pertama-tama, sebab kenyataan menunjukkan
bahwa yang pertama-tama yang mengadakan hubungan internasional. Negara sebagai
suatu kesatuan politik dalam hukum internasional yang juga sifatnya
keterutamaannya maka suatu negara harus memiliki unsur-unsur tertentu
berdasarkan hukum internasional. Aturan hukum internasional yang disediakan
masyarakat internasional dapat dipastikan berupa aturan tingkah laku yang harus
ditaati oleh negara apabila mereka saling mengadakan hubungan kerjasama.[9]
Secara kodrati, manusia adalah sebagai
makhluk individu, sosial, dan ciptaan Tuhan. Manusia sebagai makhluk sosial
selalu memerlukan dan membentuk berbagai persekutuan hidup untuk menjaga
kelangsungan hidupnya. Sifat alamiah manusia adalah hidup berkelompok, saling
menghormati, bergantung, dan saling bekerja sama. Seperti halnya dalam hubungan
antarbangsa, suatu bangsa satu dengan lainnya wajib saling menghormati, bekerja
sama secara adil dan damai untuk mewujudkan kerukunan hidup antarbangsa.
Hubungan antarbangsa di sini disebut sebagai hubungan internasional.
Untuk lebih jelasnya lagi dalam
merumuskan pengertian suatu negara berdasarkan hukum internasional dapat kita
lihat pada ketentuan Konvensi Montevidio tahun 1993 mengenai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban negara (Rights and Duties of States) yang menyebutkan bahwa
suatu negara dapat dikatakan sebagai subjek hukum internasional apabila telah
memiliki unsur-unsur, yaitu33:Penduduk yang tetap, Wilayah tertentu, Pemerintah
(penguasa yang berdaulat), dan Kemampuan mengadakan hubungan dengan
negara-negara lainnya.[10]
Di masa sekarang tentu tidak ada
negara yang dapat berdiri sendiri. Salah satu faktor penyebab terjadinya
hubungan internasional adalah kekayaan alam dan perkembangan industri yang
tidak merata. Hal tersebut mendorong kerjasamaantar negara dan antar individu
yang tunduk pada hukum yang dianut negaranya masing-masing. Hubungan
internasional merupakan hubungan antar negara atau antarindividu dari negara
yang berbeda-beda, baik berupa hubungan politis, budaya, ekonomi, ataupun
hankam. Hubungan internasional menurut buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik
Luar Negeri RI (RENSTRA: 1984-1988) adalah hubungan antar bangsa dalam segala
aspeknya yang dilakukan oleh suatu negara tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan
diperlukan kerjasama, karena melalui kerjasama antar negara akan diperoleh :
pencapaian tujuan negara lebih mudah dilakukan; perdamaian dunia lebih mudah
diwujudkan; upaya pemeliharaan perdamaian dunia, diantaranya membuat perjanjian
damai penyelesaian konflik secara damai juga dapat terwujud.
Menjalin hubungan internasional memiliki
banyak manfaat antara lain adalah sebagai berikut :
1.
Manfaat ideologi, yakni untuk
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan Negara.
2.
Manfaat politik, yakni untuk
menunjang pelaksanaan kebijakan politik dan hubungan luar negeri yang di
abdikan untuk kepentingan nasional, terutama untuk kepentingan pembangunan di
segala bidang.
3.
Manfaat ekonomi, yakni untuk
menunjang upaya meningkatkan pembangunan ekonomi nasional.
4.
Manfaat sosial-budaya, yakni untuk
menunjang upaya pembinaan dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya bangsa
dalam upaya penanggulangan terhadap setiap bentuk ancaman, tantangan, hambatan,
gangguan dan kejahatan internasional, dalam rangka pelaksanaan pembangunan
nasional.
5.
Manfaat perdamaian dan keamanan internasional,
yakni untuk menunjang upaya pemeliharaan dan pemulihan perdamaian, keamanan dan
stabilitas internasional.
6.
Manfaat kemanusiaan, yakni untuk
menunjang upaya pencegahan dan penanggulangan setiap bentuk bencana serta
rehabilitasi akibat-akibatnya.
7.
Manfaat lainnya, yakni untuk
meningkatkan peranan dan citra Negara itu sendiri di forum internasional dan
hubungan antar negara serta kepercayaan masyarakat internasional
Bagi Indonesia, sebagai Negara yang
juga terlibat dalam hubungan antar Negara, hubungan internasional memiliki arti
penting tersendiri. Arti penting hubungan internasional bagi Indonesia antara
lain karena lingkup hubungannya mencakup semua interaksi yang berlangsung
lintas batas negara. Dalam konsep baru hubungan internasional, berbagai
organisasi internasional, perusahaan, organisasi nirlaba, bahkan perorangan
bisa menjadi aktor yang berperan penting dalam politik internasional. Sehingga
jelaslah hubungan internasional sangat penting bagi Indonesia.
Hubungan internasional juga memiliki
impiklasi hak dan kewajiban Negara yang melakukan hubungan karena hukum
internasional mempunyai beberapa segi penting seperti prinsip kesepakatan
bersama (principle of mutual consent), prinsip timbal balik (priniple of
reciprocity), prinsip komunikasi bebas (principle of free communication),
princip tidak diganggu gugat (principle of inciolability), prinsip layak dan
umum (principle of reasonable and normal), prinsip eksteritorial (principle of
exterritoriality), dan prinsip-prinsip lain yang penting bagi hubungan
diplomatik antarnegara.
Dari penjelasan tersebut, dapat kita
simpulkan bahwa sebuah negara memang harus bergantung dengan Negara lain. Hal
ini dilakukan agar tujuan masing-masing negara dapat tercapai. Seperti layaknya
manusia, negara pun perlu bersosialisasi untuk saling melengkapi karena tanpa
bantuan dari negara lain, sebuah negara tidak dapat berdiri sendiri dan
tentunya kesejehteraan negara tersebut akan semakin buruk. Dengan adanya
ketergantungan antar negara juga dapat membawa negara yang melakukan hubungan
tersebut diakui di mata internasional. Memang saling ketergantungan tersebut
membawa manfaat yang besar bagi sebuah negara, namun tetap harus dilaksanakan
dengan bijaksana dan bertanggung jawab.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Negara
adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer,
ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di
wilayah tersebut.
Menurut
Oppenheim-Lauterpacht, unsur-unsur negara adalah: Unsur pembentuk negara (konstitutif):
wilayah/ daerah, rakyat atau penduduk yang tetap, pemerintah yang berdaulat,
dan Unsur deklaratif: pengakuan oleh negara lain.
Secara
kodrati, manusia adalah sebagai makhluk individu, sosial, dan ciptaan Tuhan.
Manusia sebagai makhluk sosial selalu memerlukan dan membentuk berbagai
persekutuan hidup untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Sifat alamiah manusia
adalah hidup berkelompok, saling menghormati, bergantung, dan saling bekerja
sama. Seperti halnya dalam hubungan antarbangsa, suatu bangsa satu dengan
lainnya wajib saling menghormati, bekerja sama secara adil dan damai untuk
mewujudkan kerukunan hidup antarbangsa. Hubungan antarbangsa di sini disebut
sebagai hubungan internasional.
B.
Kritik dan Saran
Kritik dan
saran yang membangun untuk perbaikan subtansi materi pada pertemuan kali ini
sangat penulis harapkan, semoga tulisan
ini bermanfaat adanya bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony
Aust, Handbook of International Law, United Kingdom: Cambridge
University Press, 2005
C.S.T.
Kansil, Ilmu Negara Umum dan Indonesia, Jakarta :PT Pradnya Paramita,
2001
Huala
Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta:
RajaGrafindo, 2003
Konvensi
Montevidio 1933.
Mirza
Nasution, Negara dan Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Sumatra
Utara, 2011
Moh.
Koesnardi, SH, Bintan R. Saragih, SH., Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media
Pertama, 2005
Mohd.
Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty,
1990
Soemidjo,
Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty, 1980
[1] Moh. Koesnardi, SH,
Bintan R. Saragih, SH., Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pertama,
2005), Hlm. .55.
[2] C.S.T. Kansil, Ilmu
Negara Umum dan Indonesia, (Jakarta :PT Pradnya Paramita, 2001), hlm. 133.
[6] Anthony Aust, Handbook
of International Law, (United Kingdom: Cambridge University Press, 2005),
hlm. 17.
[7] Pasal 3 Konvensi
Montevidio 1933.
[8] Mirza Nasution, Negara
dan Konstitusi, (Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, 2011), Hlm. 2
[9] Mohd. Burhan Tsani, Hukum
dan Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Liberty, 1990), Hlm. 12.