A. Latar Belakang
Masalah
Sejumlah kasus sebenarnya tidak
layak diteruskan ke pengadilan. Hakim dan aparat penegak hukum lain perlu lebih
mengedepankan keadilan restoratif. [1] Kasus-kasus
tersebut misalnya kasus sandal jepit yang menimpa AAL, kasus pencurian piring
yang menimpa Rasminah, kasus pencurian kakao yang seharga Rp. 2.500 yang
menimpa Aminah, dan kasus pencurian buah randu, semua kasus tersebut sebaiknya
tidak sampai ke pengadilan.
Di Indonesia, melalui Mahkamah
Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman pernah melakukan penelitian tentang
salah satu aspek keadilan resoratif yaitu
mediasi penal, mediasi penal di indonesia masih dianggap ada dan tiada.
Pendekatan keadilan restoratif
melalui pengadilan pidana adalah model penyelesaian perkara diluar lembaga
pengadilan atau out of court settlement. Meskipun dalam kerangka normatif
banyak dipertanyakan namun dalam kenyataannya terdapat pula praktek
penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan pidana.[2]
Dalam kerangka pendekatan keadilan
restoratif, bahwa akar nilai yang diusung oleh keadilan restoratif berakar dari
nilai-nilai tradisional dalam masyarakat tradisional seperti nilai
keseimbangan, harmonisasi serta kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu di
beberapa negara tercatat bahwa lembaga peradilan adat tetap dipertahankan
sebagai sarana bagi masyarakat untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan
yang dialaminya termasuk didalamnya perkara pidana.
Dalam hukum adat yang pernah
dipakai untuk menyelesaikan berbagai perkara di Indonesia, telah terbukti bahwa
penyelesaian dengan cara melibatkan pelaku, korban dan masyarakat serta tokoh
masyarakat dirasakan lebih memberikan rasa keadilan masyarakat. Dalam proses
penyelesaian perkara yang timbul di masyarakat ini, penekanannya pada usaha
pemulihan hubungan dimasyarakat, mendorong terjalinnya kembali komunikasi dalam
masyarakat dan memperbaiki keharmonisan hubungan masyarakat yang rusak karena
ulah pelanggar atau pelaku.[3]
Oleh karena itu, keadilan
restoratif atau restorative justice merupakan suatu wacana yang perlu terus
kita kembangkan dan kita aplikasikan dalam
penerapan keadilan yang berkeadilan, hal ini dimaksudkan agar perbuatan
tindak pidana dapat terpecahkan, serta supaya perbatan pidana tersebut
tertangani dengan baik dengan berbagai implikasinya.
B. Pengertian
Hakim dan Keadilan Restoratif
Untuk lebih memahami apa
sesungguhnya arti istilah Hakim dan Keadilan Restoratif, perlu kiranya di buat
dalam satu sub bab pada permulaan pembahasan. Istilah Hakim sudah tidak asing
lagi ditelinga kita apalagi pemberitaan di media masa tentang Hakim banyak
sekali porsinya. Kata Hakim bukan kata
asli Indonesia, secara harfiyah bermakna
bijaksana.[4] Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Hakim bermakna orang yang mengadili
perkara, orang pandai-pandai, budiman, dan ahli, dan orang yangg bijak.[5]
Sedangkan kalau kita merujuk pada Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan bahwa
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang
untuk mengadili. Selain di dalam KUHAP,
pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebelum amandemen, dalam pasal tersebut
disebutkan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
diatur dalam undang-undang.
Restorative Justice atau Keadilan
restoratif menurut Standart Operasional Prosedur Mediasi Penyelesaian Perkara
Atau Restorative Justice Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan Kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan
pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana
serta korbannya sendiri, mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang
berfokus pada pemidanaan dirubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang
bagi korban dan pelaku.[6]
Menurut SKB Tentang Penanganan
Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, bahwa yang dimaksud dengan Keadilan
restoratif adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku,
korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana,
secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan
implikasinya, dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula.[7]
Sedangkan “Keadilan
Restoratif” lahir dari keyakinan bahwa
keadilan restoratif pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai masyarakat adat
yang telah ada selama ini. Menurut Howard Zehr keadilan restorative melihat
suatu perkara pidana sebagai :
“Viewed through a restorative
justice lens, "crime is a violation of people and relationships. It
creates obligations to make/ things right. Justice involves the victim, the
offender, and the community in a search for solutions which promote repair,
reconciliation, and reassurance." [8]
Apa yang disampaikan oleh Howard
Zehr tentang pengertian Keadilan Restoratif menggambarkan pandangan keadilan
restoratif tentang makna tindak pidana yang pada dasarnya sama seperti
pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat
serta hubungan kemasyarakatan.
Berbeda dengan dengan pendekatan
keadilan restoratif, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah
negara, sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh
karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan
akibat terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai
proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana
dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha
perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan
tersebut. Bila melihat pada definisi keadilan restoratif, sudut pandangnya
dalam melihat kejahatan dan penjahat yang berbeda dengan yang berkembang saat
ini serta tujuan yang diemban oleh falsafah ini atas suatu penyelesaian perkara
pidana, maka pemikiran demikian rasanya menjadi wajar.[9]
Oleh karena itu, unsur utama dari
keadilan restoratif yaitu kerelaan dan partisipasi dari korban, pelaku dan
masyarakat dalam melakukan perbaikan atas tindak pidana yang terjadi. Jadi, Keadilan restoratif atau restorative
justice adalah suatu proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak
pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan bagaimana menangani akibat
dimasa yang akan datang atau implikasinya dimasa depan.
C. Konsep
Keadilan Restoratif
Konsep keadilan restoratif pada
jaman sekarang mulai banyak dilirik oleh para praktisi hukum untuk dapat di
terapkan dalam penyelesaian suatu perkara,
banyak Negara yang sudah menerapkan keadilan restoratif misalnya saja dalam
bidang perkara tindak pidana anak, penyebabnya adalah karena para pihak tidak
puas dengan system peradilan anak yang secara konsep menitik beratkan pada
perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak (emphasized the
rehabilition of youthful offender) sebagai orang yang masih mempunyai
sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa, selain selain faktor system peradilan yang
tidak memuaskan para pihak, juga pemenjaraan telah mengakibatkan biaya yang
dikeluarkan oleh negara begitu besar dan tidak diimbangi perhatian akan
kebutuhan korban kejahatan.[10]
Peradilan restoratif untuk
menghasilkan keadilan restoratif, yaitu suatu proses dimana semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah
bagaimana menangani akibatnya di masa yang akan datang. Tindak pidana yang
dilakukan anak adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar
manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya
menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam
mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menenteramkan hati.[11]
Sesungguhnya, prinsip-prinsip yang
ada dalam peradilan restoratif berbeda
dengan prinsip-prinsip yang ada dalam peradilan atributif atau peradilan konvensional,
prinsip dalam pelaksanaan peradilan restoratif adalah sebagai berikut :[12]
a)
Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk
memperbaiki kerugian yang ditimbulkan untuk memperbaiki kerugian yang
ditimbulkan oleh kesalahannya;
b)
Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk
membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya
secara konstruktif;
c)
Melibatkan para korban, orang tua, keluarga,
sekolah dan teman sebaya;
d)
Menciptakan forum untuk bekerja sama dalam
menyelesaikan masalah;
e)
Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara
kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.
Untuk lebih mudah memahami
perbedaan tersebut, bias dilihat dalam tabel berikut ini :
Nomor
|
Model peradilan
Retributif
|
Model peradilan
Restoratif
|
1
|
Fokus pada penjatuhan kesalahan, menimbulkan rasa
bersalah, pada perilaku masa lalu
|
Fokus pada pemecahan masalah dan memperbaiki kerugian
|
2
|
Korban diabaikan
|
Hak dan kebutuhan Korban diperhatikan
|
3
|
Pelaku pasif
|
Pelaku didorong untuk abertanggung jawab
|
4
|
Pertanggungjawaban pelaku adalah hukuman
|
Pertanggungjawaban pelaku adalah menunjukkan empati dan
menolong untuk memperbaiki kerugian
|
5
|
Stigma tidak terhapuskan
|
Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat
|
6
|
Tidak didukung untuk menyesal dan dimaafkan
|
Didukung agar menyesal dan maaf sangat mungkin
diberikan
|
7
|
Bergantung pada aparat penegak hukum
|
Bergantung pada keterlibatan langsung orangorang yang
terpengaruh oleh kejadian.
|
Secara lebih rinci, karakteristik model restorative
justice menurut Muladi dalam bukunya Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana
sebagaimana dikutip oleh Ainal Mardiyah dkk adalah sebagai berikut yaitu:[13]
1)
Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran
seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;
2)
Titik perhatian pada pemecahan masalah
pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;
3)
Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan
negosiasi;
4)
Restitusi sebagai sarana perbaikan para
pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
5)
Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan
hak, dinilai atas dasar hasil;
6)
Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian
sosial;
7)
Masyarakat merupakan fasilitator di dalam
proses restoratif;
8)
Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui,
baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku
tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;
9)
Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan
sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang
terbaik;
10)
Tindak pidana dipahami dalam konteks
menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan
11)
Stigma dapat dihapus melalui tindakan
restoratif.
Keadilan restoratif diterima
sebagai salah satu konsep penyelesaian kasus pidana oleh PBB pada tahun 2000.
Setelah pengakuan itu, semakin banyak negara yang menerapkannya dalam menangani
perkara pidana.
Ada 4 (empat) jenis penerapan
restorative justice yang dikenal dibeberapa negara yang dianggap sebagai
pioneer penerapan restorative justice , yaitu:[14]
a.
Victim Offender Mediation (VOM)
b.
Family Group Conferencing (FGC)
c.
Circles
d.
Reparative Board/ Youth Pane
Keempat model restorative justice
tersebut di atas menawarkan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus kejahatan
yaitu dengan memberikan keutamaan pada inti permasalahan dari suatu kejahatan.
Penyelesaian perkara dengan restorative Justice menitik beratkan pada kerusakan
yang berakibat pada korban atau para korban dan masyarakat terdekat yang
menekankan kepentingan dari pihak. Inti dalam proses restorative justice adalah
yaitu korban, masyarakat dan pelaku aktif membangun tanggapan yang bersifat
menyembuhkan akibat dari tindakan kejahatan.
Konsep restorative Justice
penerapannya dengan baik dalam sebuah tatanan masyarakat suatu negara harus
dibangun sesuai dengan akar budaya masyarakat tersebut, sebab salah satu pihak
yang menjadi pelaksananya adalah masyarakat itu sendiri.
Dalam keadilan restorative dikenal
pula istilah mediasi penal dan diversi. Mediasi penal adalah proses memediasi
suatu perkara pidana dengan melibatkan para pihak yang terkait dan difasilitasi
seorang mediator yang ditunjuk. Mediasi penal layak diterapkan guna mengurangi
penumpukan perkara dan memberikan akses kepada semua pihak untuk memperoleh
keadilan. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Inti dari diversi adalah
pengalihan atau penghindaran. Tujuan program diversi adalah melakukan evaluasi
dan intervensi segera setelah pelaku teridentifikasi, menyediakan program
selain yang lazim diterapkan peradilan, menghindari stigma dan kebebasan
pribadi bagi pelaku.[15]
D. Hakim dan Penerapan
Konsep Keadilan Restoratif dalam Peradilan Pidana
Di Indonesia, Mahkamah Agung
merupakan lembaga negara pelaku utama kekuasaan kehakiman dan sebagai puncak
peradilan, hal ini sebagaimana diatur
UUD NRI Tahun 1945, UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan UU No.
5 Tahun 2004 dan sebagaimana diubah terakhir UU No. 3 Tahun 2009 Tentang
Mahkamah Agung. Secara yuridis Mahkamah Agung memiliki beberapa kewenangan di
bidang yudisial dan non yudisial. Kewenangan Mahkamah Agung dibidang yudisial
antara lain sebagai berikut :
a) Memeriksa dan memutus permohonan
kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili dan permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.[16]
b) Menguji peraturan perundang
undangan dibawah undang undang terhadap undang- undang.[17]
c) Memberikan pertimbangan hukum
kepada Presiden dalam permohonan Grasi dan rehabilitasi.[18]
Dalam proses peradilan pidana
terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui bagi para pencari keadilan baik di
tingkat penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di pengadilan hingga tahap
penjatuhan putusan pemidanaan bahkan upaya hukum jika dipergunakan oleh para
pihak yang tentu saja memerlukan waktu,
tenaga, maupun biaya yang tidak sedikit bagi para pencari keadilan Hal ini tentunya
sangat bertentangan dengan asas peradilan yang disebutkan dalam dalam Undang
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat (4)
menyebutkan: peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Asas ini menghendaki peradilan yang sederhana atau tidak terlalu formal
legalistik, proses yang berbelit-belit dan berkepanjangan dan lebih
mengutamakan keadilan dari pada kepastian hukum. Waktu yang dibutuhkan dalam
proses yang sederhana adalah cepat dan biaya yang dibutuhkan dalam proses
menjadi terjangkau oleh siapapun termasuk masyarakat tidak mampu. Asas ini
masih menjadi keniscayaan dan masih dialam das
sollen, karena dalam kenyataannya (das
sein) semua proses peradilan terutama peradilan pidana, prosesnya melalui
beberapa institusi termasuk kompetensi absolutnya.
Salah satu masalah penting yang
dapat menyebabkan peradilan kurang dapat berjalan dengan cepat dan sederhana
adalah adanya penumpukan perkara dipengadilan dikarenakan banyaknya perkara
yang masuk melalui proses formal legalistik dan tidak didukung dengan produktivitas
para penegak hukum dalam menyelesaikan setiap kasus misalnya di Mahkamah Agung
yang merupakan tingkat pengadilan tertinggi sekaligus pengadilan tingkat
terakhir bagi pencari keadilan yang melakukan upaya hukum sampai ke Mahkamah
Agung. Banyaknya perkara yang masuk ke Mahkamah Agung dengan penyelesaian
perkara kasasi sebanyak 8.500 setiap tahun sedangkan penerimaan perkara dalam
jumlah yang hampir sama atau lebih besar, dapat diperkirakan bahwa penumpukan
perkara di Mahkamah Agung RI tidak akan dapat diselesaikan.
Pada dasarnya penumpukan tersebut
disebabkan karena semua jenis perkara baik Pidana, Perdata maupun Tata Usaha
Negara dapat diajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Hal ini menimbulkan
kritikan-kritikan terhadap kinerja badan peradilan diseluruh Indonesia terutama
pada perkara pidana. Proses penyelesaian perkara melalui pengadilan dianggap
sangat lambat, membuang waktu, mahal serta berbelit-belit. Semakin lama para
pencari keadilan semakin tidak percaya dan kurang simpatik terhadap kinerja dan
proses penegakan hukum di Indonesia.
Hal ini tentunya bertentangan
dengan tujuan seperti yang telah ditentukan dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat (4) menyebutkan: peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Oleh karena itu, perlu
dicarikan solusi sebagai penyelesaiannya yang lebih mendasar dan adanya ide
pemikiran kembali sehingga asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan
dapat benar-benar direalisasikan dan dirasakan para pencari keadilan terutama
kalangan tidak mampu.
Salah satu cara mengefektifkan
berlakunya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam peradilan
pidana yaitu dengan memberlakukan konsep Restorative
Justice baik pada pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat
terakhir seperti Mahkamah Agung Republik Indonesia . Restorative Justice concept
atau Konsep Keadilan Restoratif merupakan sebuah konsep keadilan bertujuan
untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk
memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan
keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.Bahwa konsep
Keadilan Restoratif pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi
berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik,
psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan
memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk
bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.
Indonesia telah memberlakukan konsep keadilan restoratif dalam proses peradilan
anak. Hal tersebut lebih menjamin terpenuhinya rasa keadilan antara korban dan
pelaku.
Pada proses peradilan atau tindak
pidana biasa, korban sangat sedikit merasakan keadilan hal ini dikarenakan
Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil dari Negara lebih menekankan pada keadilan
retributif dimana lebih menekankan keadilan pada pembalasan dengan tuntutan
pemidanaan dan keadilan restitutive yang lebih menkankan keadilan pada
pemberian ganti rugi yang hanya memberikan wewenang kepada Negara yang
didelegasikan kepada aparat penegak huku seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim
sedangkan keadilan terhadap pihak korban sangat minim dirasakan, sedangkan jika
konsep keadilan restoratif diberlakukan baik pada peradilan anak maupun pada
peradilan pidana yang dilakukan oleh orang dewasa keadilan bagi pelaku dan
korban dapat terpenuhi dengan itikad baik atau kesepakatan bersama antara pihak
pelaku maupun korban.
Hal ini mendorong penyelesaikan
suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal dan
personal, dari pada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal (kaku)
dan impersonal. Mengenai momentum, yaitu sebelum dan sesudah proses peradilan
berjalan. Sebelum proses peradilan, dimaksudkan ketika ”perkara” tersebut masih
ditangan kepolisian atau kejaksaan. Baik atas inisiatif kepolisian, kejaksaan,
seseorang atau kelompok masyarakat, dilakukan upaya menyelesaikan perbuatan
pidana tersebut, dengan cara-cara atau prinsip Pendekatan Restorative Justice (Keadilan Restoratif). Hal serupa pada
saat perkara dilimpahkan ke Pengadilan. Misalnya, hakim dapat menganjurkan
penyelesaian menurut cara-cara dan prinsip Restorative Justice. Bahkan
ada kemungkinan ditengah proses peradilan dapat ditempuh cara-cara penyelesaian
menurut prinsip Restorative Justice. Apabila dilihat dari posisi
terdakwa. Hal ini sangat mendukung terlaksananya asas peradilan sederhana,
cepat, dan biaya murah. Sehingga ketika terjadi kesepakatan antara pihak pelaku
dan korban maka proses peradilan dapat dihentikan pada tingkat tempat
terjadinya kesepakatan antara pelaku dan korban, baik sebelum proses peradilan
maupun di tengah proses peradilan tanpa menunggu putusan pengadilan. Dengan
diberlakukannya konsep keadilan restorative baik di pengadilan tingkat pertama
hingga pengadilan tingkat akhir seperti Mahkamah Agung maka dapat mengurangi
tumpukan perkara dan beban para hakim agung di Mahkamah Agung RI khususnya
perkara-perkara kasasi yang di upayakan hingga ke Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Kini, sistem peradilan pidana di
banyak negara mengarah pada tercapainya keadilan restoratif. Keadilan
restoratif menekankan pada perbaikan akibat yang terjadi yang disebabkan tindak
pidana dengan memberdayakan proses pemulihan dan kepentingan semua yang terlibat
baik pelaku dan korban, maupun masyarakat. Konsep ini bahkan sudah diterima
secara universal oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Basic Principles on
the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters.
Berdasarkan resolusi ini, aparat penegak
hukum perlu menjalankan keadilan restoratif untuk semua tingkatan. Dalam
keadilan restoratif, anggota keluarga dan anggota masyarakat bisa menjadi
mediator, relawan, atau rujukan penyelesaian. Tetapi yang tidak bisa dilupakan
upaya pemajuan keadilan restoratif harus datang dari korban dan pelaku.[19]
Model penyelesaian perkara di luar
proses persidangan pengadilan sebenarnya bukan hal baru dalam sistem hukum
Indonesia. Dalam hukum perdata sudah lama dikenal alternative dispute
resolution. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 malah mewajibkan hakim
menjalankan mediasi terlebih dahulu. Perdamaian menjadi sesuatu yang wajib
diusahakan pada semua tingkatan pengadilan.
Lain perdata, lain pidana. Dalam
lapangan hukum pidana, penyelesaian kasus melalui jalur damai seolah masih
sulit dijalankan. Padahal hukum adat di beberapa daerah mengenal lembaga damai
dalam perkara pidana, yang prinsip-prinsipnya sejalan dengan konsep keadilan
restoratif. Model apapun yang dipilih, keadilan restoratif diarahkan pada pemulihan
korban, pelaku dan masyarakat sekaligus. Oleh karena itu, hakim perlu memahami
konsep atau filosofinya.[20]
Untuk menerapkan keadilan
restoratif dalam perkara pidana memang bukan tanpa hambatan. Hakim yang
berpikiran positivis akan berdalih belum ada pijakan hukumnya. Dengan kata lain
belum ada undang-undang yang memberi wewenang kepada hakim untuk menjalankan
prinsip keadilan restoratif dalam perkara pidana. Meskipun demikian bukan
berarti hakim tak punya pijakan untuk menerapkannya. Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman tegas menyebutkan hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.
Banyak kasus yang mengusik nilai
dan menjadi perhatian banyak tidak terkecuali komisi yudisial, kasus-kasus
tersebut misalnya kasus sandal jepit yang menimpa AAL, kasus pencurian piring
yang menimpa Rasminah, kasus pencurian kakao yang seharga Rp. 2.500 yang
menimpa Aminah, dan kasus pencurian buah randu.
Putusan hakim dalam kasus-kasus
tersebut dan kasus lain sejenis banyak dikecam publik. Polisi dan jaksa
seharusnya tidak melanjutkan perkara ke pengadilan kalau bisa diselesaikan
melalui pola-pola penyelesaian yang disepakati kedua belah pihak. Penyelesaian
damai sangat dimungkinkan karena jika sudah dibawa ke persidangan, hakim tak
mungkin menolak perkara. Meskipun demikian, tugas hakim bukan semata menegakkan
aturan, tetapi juga keadilan.[21]
Sasaran kritikan publik mengarah
pada aparat penegak hukum: polisi, jaksa, advokat, dan hakim. Tetapi lantaran
berada pada titik sentral Sistem Peradilan Pidana Terpadu, hakimlah yang paling
banyak dikecam masyarakat. Sebagai lembaga yang diberi wewenang oleh konstitusi
mengawasi hakim, Komisi Yudisial menaruh perhatian terhadap perkara-perkara
seperti Rasminah dan sejenisnya.
E. Keadilan
Restoratif dalam Peradilan Pidana Anak
Anak sebagai potensi dan penerus
cita-cita perjuangan bangsa, harus mendapatkan prioritas perlakuan dan
perlindungan secara khusus yang berbeda dengan orang dewasa agar anak dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya baik perlidungan yang diperoleh dari kedua
orang tua, masyarakat dan negara. Keberadaan anak sebagai sumber daya manusia
yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, maka sudah
tepat kiranya anak mendapat suatu perlakuan khusus guna memberikan perlindungan
dan jaminan atas kelangsungan masa depannya. Perlakuan khusus ini tentunya juga
berkaitan terhadap anak yang memiliki prilaku khusus. Perilaku yang menyimpang
yang mengarah pada tindak kriminal. Dalam konsideran UU Pengadilan Anak menyebutkan
definisi Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang
memilki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan
pembinaan fisik mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.[22]
Tingkah laku yang menyalahi norma
dan hukum yang dilakukan anak indonesia, masih merupakan gejala sosial dan
telah menimbulkan kekhawatiran
dikalangan orang tua pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. banyak sekali
prilaku anak yang tidak sesuai dengan norma hukum maupun norma sosial seperti
aksi tawuran, penyalahgunaan narkoba, geng motor yang melibatkan anak- anak dan
lain sebgaianya. Gejala sosial tersebut yang terjadi pada zaman sekarang perlu
adanya pemahaman yang proporsional terhadap prilaku menyimpang anak-anak, yang
lebih penting adalah usaha-usaha penanggulangannya selama ini di dalam
masyarakat.
Berbicara tentang penanggulangan
kejahatan pada umumnya dan delinkuensi anak pada khususnya, membawa pada pembicaraan kebijakan kriminal (criminal
policy). kebijakan kriminal sebagai usaha rasional masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan, didalam gerak operasioanalnya terarah pada dua jalur
penal dan kebijakan kriminal jalur Non-Penal.[23] Secara
lebih kasar, dapat dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan jalur penal
lebih menitikberatkan pada sifat "Represif"
(penumpasan/pemberantasan/penindasan) setelah kejahatan terjadi, sedangkan
upaya penanggulangan kejahatan melaluijalur non-penal lebih menitikberatkan
pada sifat "preventif" (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum
kejahatan terjadi.
Menurut Gordon Bazemore,
pokok–pokok pemikiran dalam paradigma peradilan anak Restoratif (restorative
paradigm) sebagai berikut :[24]
a)
Tujuan Penjatuhan Sanksi
Ada asumsi bahwa di dalam mencapai
tujuan penjatuhan sanksi, maka diikut sertakan korban untuk berhak aktif
terlibat dalam proses peradilan. Indikator pencapaian tujuan penjatuhan sanksi
tercapai dengan dilihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasan korban,
besarnya ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan
perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang
terjadi.
Bentuk-bentuk sanksi yaitu
restitusi, mediasi pelaku korban, pelayanan korban, restorasi masyarakat,
pelayanan langsung pada korban atau denda restorative. Dalam penjatuhan sanksi
mengikut sertakan pelaku, korban, masyarakat dan para penegak hukum secara
aktif. Pelaku bekerja aktif untuk merestore kerugian korban, dan menghadapi
korban/ wakil korban. Korban aktif dalam semua tahapan proses dan akan membantu
dalam penentuan sanksi bagi si pelaku. Masyarakat terlibat sebagai mediator,
membantu korban dan mendukung pemenuhan kewajiban pelaku. Penegak hukum
memfasilitasi berlangsungnya mediasi.
b)
Rehabilitasi Pelaku
Fokus utama peradilan restorative
untuk kepentingan dan membangun secara positif, maka anak dan keluarga
merupakan sumber utama. Anak dianggap berkompeten dan mempunyai kemampuan
positif, bersifat preventif dan proaktif. Untuk kepentingan rehabilitasi pelaku
diperlukan perubahan sikap lembaga kemasyarakatan dan perilaku orang dewasa.
Rehabilitasi pelaku dilakukan dengan pelaku yang bersifat learning by doing,
konseling dan terapi untuk memotivasi keterlibatan aktif para pihak.
Tujuan rehabilitasi tercapai
dilihat pada keadaan apakah pelaku telah memulai halhal positif baru, apakah pelaku
diberi kesempatan untuk mempraktekkan dan mendemonstrasikan perilaku patuh
norma, apakah stigmatisasi dapat dicegah, apakah telah terjadi perkembangan
self image dalam diri pelaku dan public image dan peningkatan keterikatan pada
masyarakat. Rehabilitasi pelaku dalam bentuk kegiatan praktek agar anak
memperoleh pengalaman kerja, dan anak mampu mengembangkan proyek kultural
sendiri.
Dalam aspek rehabilitasi ini
secara bersama-sama memerlukan peran-peran pelaku, korban, masyarakat dan
penegak hukum secara sinergi. Pelaku aktif dalam pengembangan kualitas diri
dalam kehidupan masyarakat. Korban memberikan masukanmasukan pada proses
rehabiltasi. Masyarakat mengembangkan kesempatan bagi anak untuk memberikan
sumbangan produktif, mengembangkan kompetensi dan rasa memiliki. Penegak hukum
peradilan anak mengembangkan peran baru anak pelaku untuk mempratekkan dan
mendemonstrasikan kompetensinya, aksesnya dan membangun keterikatan kemitraan
dengan masyarakat.
c)
Aspek Perlindungan Masyarakat
Asumsi dalam peradilan restorative
tentang tercapainya perlindungan masyarakat dengan upaya kolaborasi system
peradilan dan masyarakat untuk mengembangkan pencegahan. Penyekapan dibatasi
hanya sebagai upaya akhir. Masyarakat bertanggung jawab aktif mendukung
terselenggaranya restorasi.
Indikator tercapainya perlindungan
masyarakat apabila angka residivis turun, sementara pelaku berada di bawah
pengawasan masyarakat, masyarakat merasa aman dan yakin atas peran system
peradilan anak, pelibatan sekolah, keluarga dan lembaga kemasyarakatan untuk
mencegah terjadinya kejahatan; ikatan social dan reintegrasi meningkat. Untuk
meningkatkan perlindungan masyarakat, maka pelaku, korban, masyarakat dan
professional peradilan anak sangat diharapkan perannya. Pelaku harus terlibat
secara konstruktif mengembangkan kompetensi dan kegiatan restorative dalam
program secara seimbang, mengembangkan kontrol internal dan komitmen dengan
teman sebaya dan organisasi anak.
Korban memberikan masukan yang
berguna untuk melanjutkan misi perlindungan masyarakat dari rasa takut dan
kebutuhan akan pengawasan pelaku delinkuen, dan melindungi bagi korban
kejahatan lain. Masyarakat memberikan bimbingan pada pelaku, dan berperan
sebagai mentor dan memberikan masukan bagi peradilan tentang informasi latar
belakang terjadinya kejahatan.
Professional peradilan anak
mengembangkan skala insentif dan menjamin pemenuhan kewajiban pelaku dengan
pengawasan, membantu sekolah dan keluarga dalam upaya mereka mengawasi dan
mempertahankan pelaku tetap di dalam masyarakat.
Indikator dalam peradilan anak
restoratif dapat dilihat dari peran-peran: Pelaku; Korban; masyarakat dan Para
profesonal peradilan anak. Masing-masing peran sebagai berikut :[25]
a.
Pelaku: pelaku aktif untuk merestore kerugian
korban dan masyarakat. Ia harus menghadapi korban/wakil korban;
b.
Korban: akltif terlibat dalam semua tahapan
proses dan berperan aktif dalam mediasi dan ikut menentukan sanksi bagi pelaku;
c.
Masyarakat: terlibat sebagai mediator
mengembangkan pelayanan masyarakat dan menyediakan kesempatan kerja bagi pelaku
sebagai wujud kewajiban reparatif, membantu korban dan mendukung pemenuhan
kewajiban pelaku;
d.
Para profesional: memfasilitasi
berlangsungnya mediasi, memberikan jaminan terselenggaranya restoratif,
mengembangkan opsi-opsi pelayanan masyarakat secara kreatif/restoratif,
melibatkan anggota masyarakat dalam proses, mendidik masyarakat.
Sebagaimana telah singgung dimuka,
bahwa dalam keadilan restoratif dikenal pula istilah mediasi penal dan diversi,
Di Indonesia, konsep keadilan restoratif, lebih spesifik mediasi penal, telah
diterapkan oleh sejumlah hakim yang berpikiran maju.[26] Pada
praktiknya konsep keadilan restoratif tidak bisa di terapkan dalam semua macam
tindak pidana, pada umumnya penerapan konsep keadilan restoratif di Indonesia
banyak hakim peradilan anak yang sudah menerapkan konsep keadilan restorative melalui
mediasi penal. Namun secara umum hakim- hakim di Indonesia belum banyak yang
mempunyai keberanian untuk menerapkan
konsep keadilan restoratif ini, mereka masih terbelenggu dengan pemikiran
konsep pemenjaraan pelaku tindak pidana baik itu yang menyangkut tindak pidana
anak maupun yang menyangkut tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.
Memang benar bahwa saat ini semakin
banyak negara menerapkan keadilan restoratif, namun model penyelesaian ini tak
berlaku untuk semua jenis tidak pidana. Seperti di Selandia Baru, Kanada,
Filipina, Wales, dan Inggris lebih menerapkannya pada kasus-kasus pidana yang
dilakukan anak-anak. Sedangkan Afrika Selatan pernah menerapkan konsep keadilan
restoratif untuk aksi kekerasan pada rezim apartheid.
Penerapan konsep keadilan restorative
yang belum syumul (konfrehensif) tersebut
terlebih dalam peradilan pidana anak, bukan tanpa alasan, karena memang belum
ada belum ada payung hukumnya. Untuk dapat menerapkan konsep keadilan restorative
khususnya dalam peradilan pidana anak, Pemerintah dan DPR perlu menyiapkan
payung hukumnya. Saat ini, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak belum mengakomodir prinsip-prinsip keadilan restoratif. Di dunia
internasional, sudah banyak rujukan yang bisa dipakai. Selain Konvensi Hak
Anak, ada juga Beijing Rules (Peraturan Standar Minimun PBB tentang
Administrasi Pengadilan Bagi Anak, 1985); Havana Rules, Tokyo Rules (Peraturan
Standar Minimum PBB tentang Upaya Non-Penahanan, 1990), dan Riyadh Guidelines
(Pedoman PBB tentang Pencegahan Kenakalan Anak, 1990).[27]
Ketiadaan undang-undang sebenarnya
tidak membuat hakim tak punya pijakan sama sekali. Mahkamah Agung adalah pihak
yang ikut menandatangani Keputusan Bersama dengan lima lembaga negara lain pada
22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).
SKB ini dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan dalam upaya penyelesaian
perkara penanganan ABH yang dilakukan secara terkoordinasi oleh aparat penegak
hukum dan semua pihak terkait. Salah satu pertimbangan keluarnya SKB ini adalah
perlunya pendekatan keadilan restoratif dijadikan landasan pelaksanaan sistem
peradilan pidana terpadu bagi ABH.[28]
Dalam pertimbangan hokum SKB tentang
Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (poin c dan d) ; c) bahwa untuk
meningkatkan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu kerja
sama yang terpadu antar penegak hukum dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana
terpadu untuk pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak, juga d) bahwa pendekatan
keadilan restoratif perlu dijadikan sebagai landasan pelaksanan sistem
peradilan pidana terpadu bagi anak yang berhadapan dengan hokum.[29]
Secara ringkas, SKB tentang
Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum ini bermaksud dan bertujuan untuk
:[30]
·
Mewujudkan koordinasi dan keterpaduan APH dan
pihak terkait dalam penanganan ABH
·
Persamaan persepsi diantara jejaring kerja
dalam penanganan ABH
·
Meningkatkan efektifitas penanganan ABH
secara sistematis,
komprehensif dan berkesi nambungan
·
Terjaminnya perlindungan khusus bagi anak melalui koordinasi dan kerjasama dalam penanganan
ABH
Untuk memberikan pijakan hukum yang kuat bagi hakim,
Pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak (RUU SPPA) yang akan menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997.
Dalam RUU ini prinsip-prinsip keadilan restoratif sudah banyak diakomodir
termasuk kemungkinan menerapkan diversi atau pengalihan
[1] Muhammad
Yasin, dkk, Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif, (Buletin Komisi
Yudisial, Vol. VI-No. 4. Januari- Februari 2012), Hlm. 13
[2]Eva Achjani Zulva, Keadilan
Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, (Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010), Hlm. 195- 196
[3] Apong
Herlina, Restoratif Justice, (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. III No.
3 September 2004), Hlm. 26
[6] Pasal 1
poin (23) Standart Operasional Prosedur Mediasi Penyelesaian Perkara Atau
Restorative Justice Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan di Lingkungan Polres
Pariaman.
[7] Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia, Menteri Sosial
Republik Indonesia, Dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan dengan Hukum. Pasal
1 poin 5.
[8] Howard
Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, (Scottdale,
Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990), p. 181. Dalam Eva Achjani
Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,
(Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010), h. 188
[10] Paulus
Hadisuprapto, Peradilan Restoratif : Model Alternatif Perlindungan Hukum
Anak, (Surabaya : Jurnal Yustika Media Hukum dan Keadilan, Vol. 12, No. 1
Juli 2009), h. 15
[11] Angkasa,
dkk, Model Peradilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Anak (Kajian tentang
Praktik Mediasi Pelaku dan Korban dalam Proses Peradilan Anak di Wilayah Hukum
Balai Pemasyarakatan Purwokerto), (Jakarta : Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 9,
No. 9 September 2009), h. 188
[13] Ainal
Mardiah, dkk, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Model Keadilan Restoratif
Dalam Pengadilan Anak, (Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Unsyiah Kuala,
Vol.I, Tahun I, No.1, Agustus 2012), h. 5
[15] Muhammad
Yasin, dkk, Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif, (Buletin Komisi
Yudisial, Vol. VI-No. 4. Januari- Februari 2012), h. 18
[17] Pasal 31
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo Pasal 31 A
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung.
[19] Muhammad
Yasin, dkk, Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif, (Buletin Komisi
Yudisial, Vol. VI-No. 4. Januari- Februari 2012), Hlm. 14
[23] Paulus
Hadisuprapto, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa
Datang, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2006), h. 4
[26]Keadilan Restoratif Dimulai dari
Perkara Anak, (Buletin Komisi Yudisial, Vol. VI-No. 4. Januari-
Februari 2012), h. 17
[30] Apong
Herlina, Penanganan Anak Yang
Berhadapan dengan Hukum, (Slide Komisi
Perlindungan Anak Indonesia)