Minggu, 09 Juni 2013

HAKIM DAN KEADILAN RESTORATIF

A.   Latar Belakang Masalah
Sejumlah kasus sebenarnya tidak layak diteruskan ke pengadilan. Hakim dan aparat penegak hukum lain perlu lebih mengedepankan keadilan restoratif. [1] Kasus-kasus tersebut misalnya kasus sandal jepit yang menimpa AAL, kasus pencurian piring yang menimpa Rasminah, kasus pencurian kakao yang seharga Rp. 2.500 yang menimpa Aminah, dan kasus pencurian buah randu, semua kasus tersebut sebaiknya tidak sampai ke pengadilan.
Di Indonesia, melalui Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman pernah melakukan penelitian tentang salah satu aspek keadilan resoratif yaitu  mediasi penal, mediasi penal di indonesia masih dianggap ada dan tiada.
Pendekatan keadilan restoratif melalui pengadilan pidana adalah model penyelesaian perkara diluar lembaga pengadilan atau out of court settlement. Meskipun dalam kerangka normatif banyak dipertanyakan namun dalam kenyataannya terdapat pula praktek penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan pidana.[2]
Dalam kerangka pendekatan keadilan restoratif, bahwa akar nilai yang diusung oleh keadilan restoratif berakar dari nilai-nilai tradisional dalam masyarakat tradisional seperti nilai keseimbangan, harmonisasi serta kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu di beberapa negara tercatat bahwa lembaga peradilan adat tetap dipertahankan sebagai sarana bagi masyarakat untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan yang dialaminya termasuk didalamnya perkara pidana.
Dalam hukum adat yang pernah dipakai untuk menyelesaikan berbagai perkara di Indonesia, telah terbukti bahwa penyelesaian dengan cara melibatkan pelaku, korban dan masyarakat serta tokoh masyarakat dirasakan lebih memberikan rasa keadilan masyarakat. Dalam proses penyelesaian perkara yang timbul di masyarakat ini, penekanannya pada usaha pemulihan hubungan dimasyarakat, mendorong terjalinnya kembali komunikasi dalam masyarakat dan memperbaiki keharmonisan hubungan masyarakat yang rusak karena ulah pelanggar atau pelaku.[3]
Oleh karena itu, keadilan restoratif atau restorative justice merupakan suatu wacana yang perlu terus kita kembangkan dan kita aplikasikan dalam  penerapan keadilan yang berkeadilan, hal ini dimaksudkan agar perbuatan tindak pidana dapat terpecahkan, serta supaya perbatan pidana tersebut tertangani dengan baik dengan berbagai implikasinya.

B.   Pengertian Hakim dan Keadilan Restoratif
Untuk lebih memahami apa sesungguhnya arti istilah Hakim dan Keadilan Restoratif, perlu kiranya di buat dalam satu sub bab pada permulaan pembahasan. Istilah Hakim sudah tidak asing lagi ditelinga kita apalagi pemberitaan di media masa tentang Hakim banyak sekali porsinya.  Kata Hakim bukan kata asli Indonesia,  secara harfiyah bermakna bijaksana.[4] Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Hakim bermakna orang yang mengadili perkara, orang pandai-pandai, budiman, dan ahli, dan orang yangg bijak.[5] Sedangkan kalau kita merujuk pada Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Selain di dalam KUHAP,  pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebelum amandemen, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
Restorative Justice atau Keadilan restoratif menurut Standart Operasional Prosedur Mediasi Penyelesaian Perkara Atau Restorative Justice Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah suatu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri, mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan dirubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi korban dan pelaku.[6]
Menurut SKB Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, bahwa yang dimaksud dengan Keadilan restoratif adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula.[7]
Sedangkan “Keadilan Restoratif”  lahir dari keyakinan bahwa keadilan restoratif pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai masyarakat adat yang telah ada selama ini. Menurut Howard Zehr keadilan restorative melihat suatu perkara pidana sebagai :
“Viewed through a restorative justice lens, "crime is a violation of people and relationships. It creates obligations to make/ things right. Justice involves the victim, the offender, and the community in a search for solutions which promote repair, reconciliation, and reassurance." [8]
Apa yang disampaikan oleh Howard Zehr tentang pengertian Keadilan Restoratif menggambarkan pandangan keadilan restoratif tentang makna tindak pidana yang pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan.
Berbeda dengan dengan pendekatan keadilan restoratif, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut. Bila melihat pada definisi keadilan restoratif, sudut pandangnya dalam melihat kejahatan dan penjahat yang berbeda dengan yang berkembang saat ini serta tujuan yang diemban oleh falsafah ini atas suatu penyelesaian perkara pidana, maka pemikiran demikian rasanya menjadi wajar.[9]
Oleh karena itu, unsur utama dari keadilan restoratif yaitu kerelaan dan partisipasi dari korban, pelaku dan masyarakat dalam melakukan perbaikan atas tindak pidana yang terjadi.  Jadi, Keadilan restoratif atau restorative justice adalah suatu proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang atau implikasinya dimasa depan.

C.   Konsep Keadilan Restoratif
Konsep keadilan restoratif pada jaman sekarang mulai banyak dilirik oleh para praktisi hukum untuk dapat di terapkan dalam penyelesaian suatu perkara,  banyak Negara yang sudah menerapkan keadilan restoratif misalnya saja dalam bidang perkara tindak pidana anak, penyebabnya adalah karena para pihak tidak puas dengan system peradilan anak yang secara konsep menitik beratkan pada perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak (emphasized the rehabilition of youthful offender) sebagai orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa,  selain selain faktor system peradilan yang tidak memuaskan para pihak, juga pemenjaraan telah mengakibatkan biaya yang dikeluarkan oleh negara begitu besar dan tidak diimbangi perhatian akan kebutuhan korban kejahatan.[10]
Peradilan restoratif untuk menghasilkan keadilan restoratif, yaitu suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibatnya di masa yang akan datang. Tindak pidana yang dilakukan anak adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menenteramkan hati.[11]
Sesungguhnya, prinsip-prinsip yang ada dalam  peradilan restoratif berbeda dengan prinsip-prinsip yang ada dalam peradilan atributif atau peradilan konvensional, prinsip dalam pelaksanaan peradilan restoratif adalah sebagai berikut :[12]
a)    Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya;
b)    Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya di samping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif;
c)    Melibatkan para korban, orang tua, keluarga, sekolah dan teman sebaya;
d)    Menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah;
e)    Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.


Untuk lebih mudah memahami perbedaan tersebut, bias dilihat dalam tabel berikut ini :
Nomor
Model peradilan
Retributif
Model peradilan
Restoratif
1
Fokus pada penjatuhan kesalahan, menimbulkan rasa bersalah, pada perilaku masa lalu
Fokus pada pemecahan masalah dan memperbaiki kerugian
2
Korban diabaikan

Hak dan kebutuhan Korban diperhatikan
3
Pelaku pasif
Pelaku didorong untuk abertanggung jawab
4
Pertanggungjawaban pelaku adalah hukuman
Pertanggungjawaban pelaku adalah menunjukkan empati dan menolong untuk memperbaiki kerugian
5
Stigma tidak terhapuskan

Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat
6
Tidak didukung untuk menyesal dan dimaafkan
Didukung agar menyesal dan maaf sangat mungkin diberikan
7
Bergantung pada aparat penegak hukum
Bergantung pada keterlibatan langsung orangorang yang terpengaruh oleh kejadian.

Secara  lebih rinci, karakteristik model restorative justice menurut Muladi dalam bukunya Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana sebagaimana dikutip oleh Ainal Mardiyah dkk adalah sebagai berikut yaitu:[13]
1)    Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;
2)    Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;
3)    Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
4)    Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
5)    Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
6)    Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
7)    Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
8)    Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;
9)    Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
10) Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan
11) Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Keadilan restoratif diterima sebagai salah satu konsep penyelesaian kasus pidana oleh PBB pada tahun 2000. Setelah pengakuan itu, semakin banyak negara yang menerapkannya dalam menangani perkara pidana.
Ada 4 (empat) jenis penerapan restorative justice yang dikenal dibeberapa negara yang dianggap sebagai pioneer penerapan restorative justice , yaitu:[14]
a.    Victim Offender Mediation (VOM)
b.    Family Group Conferencing (FGC)
c.    Circles
d.    Reparative Board/ Youth Pane
Keempat model restorative justice tersebut di atas menawarkan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus kejahatan yaitu dengan memberikan keutamaan pada inti permasalahan dari suatu kejahatan. Penyelesaian perkara dengan restorative Justice menitik beratkan pada kerusakan yang berakibat pada korban atau para korban dan masyarakat terdekat yang menekankan kepentingan dari pihak. Inti dalam proses restorative justice adalah yaitu korban, masyarakat dan pelaku aktif membangun tanggapan yang bersifat menyembuhkan akibat dari tindakan kejahatan.
Konsep restorative Justice penerapannya dengan baik dalam sebuah tatanan masyarakat suatu negara harus dibangun sesuai dengan akar budaya masyarakat tersebut, sebab salah satu pihak yang menjadi pelaksananya adalah masyarakat itu sendiri.
Dalam keadilan restorative dikenal pula istilah mediasi penal dan diversi. Mediasi penal adalah proses memediasi suatu perkara pidana dengan melibatkan para pihak yang terkait dan difasilitasi seorang mediator yang ditunjuk. Mediasi penal layak diterapkan guna mengurangi penumpukan perkara dan memberikan akses kepada semua pihak untuk memperoleh keadilan. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Inti dari diversi adalah pengalihan atau penghindaran. Tujuan program diversi adalah melakukan evaluasi dan intervensi segera setelah pelaku teridentifikasi, menyediakan program selain yang lazim diterapkan peradilan, menghindari stigma dan kebebasan pribadi bagi pelaku.[15]

D.   Hakim dan Penerapan Konsep Keadilan Restoratif dalam Peradilan Pidana
Di Indonesia, Mahkamah Agung merupakan lembaga negara pelaku utama kekuasaan kehakiman dan sebagai puncak peradilan, hal ini  sebagaimana diatur UUD NRI  Tahun 1945, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan sebagaimana diubah terakhir UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Secara yuridis Mahkamah Agung memiliki beberapa kewenangan di bidang yudisial dan non yudisial. Kewenangan Mahkamah Agung dibidang yudisial antara lain sebagai berikut :
a)      Memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili dan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.[16]
b)      Menguji peraturan perundang undangan dibawah undang undang terhadap undang- undang.[17]
c)      Memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan Grasi dan rehabilitasi.[18]
Dalam proses peradilan pidana terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui bagi para pencari keadilan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di pengadilan hingga tahap penjatuhan putusan pemidanaan bahkan upaya hukum jika dipergunakan oleh para pihak  yang tentu saja memerlukan waktu, tenaga, maupun biaya yang tidak sedikit bagi para pencari keadilan Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan asas peradilan yang disebutkan dalam dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat (4) menyebutkan: peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini menghendaki peradilan yang sederhana atau tidak terlalu formal legalistik, proses yang berbelit-belit dan berkepanjangan dan lebih mengutamakan keadilan dari pada kepastian hukum. Waktu yang dibutuhkan dalam proses yang sederhana adalah cepat dan biaya yang dibutuhkan dalam proses menjadi terjangkau oleh siapapun termasuk masyarakat tidak mampu. Asas ini masih menjadi keniscayaan dan masih dialam das sollen, karena dalam kenyataannya (das sein) semua proses peradilan terutama peradilan pidana, prosesnya melalui beberapa institusi termasuk kompetensi absolutnya.
Salah satu masalah penting yang dapat menyebabkan peradilan kurang dapat berjalan dengan cepat dan sederhana adalah adanya penumpukan perkara dipengadilan dikarenakan banyaknya perkara yang masuk melalui proses formal legalistik dan tidak didukung dengan produktivitas para penegak hukum dalam menyelesaikan setiap kasus misalnya di Mahkamah Agung yang merupakan tingkat pengadilan tertinggi sekaligus pengadilan tingkat terakhir bagi pencari keadilan yang melakukan upaya hukum sampai ke Mahkamah Agung. Banyaknya perkara yang masuk ke Mahkamah Agung dengan penyelesaian perkara kasasi sebanyak 8.500 setiap tahun sedangkan penerimaan perkara dalam jumlah yang hampir sama atau lebih besar, dapat diperkirakan bahwa penumpukan perkara di Mahkamah Agung RI tidak akan dapat diselesaikan.
Pada dasarnya penumpukan tersebut disebabkan karena semua jenis perkara baik Pidana, Perdata maupun Tata Usaha Negara dapat diajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Hal ini menimbulkan kritikan-kritikan terhadap kinerja badan peradilan diseluruh Indonesia terutama pada perkara pidana. Proses penyelesaian perkara melalui pengadilan dianggap sangat lambat, membuang waktu, mahal serta berbelit-belit. Semakin lama para pencari keadilan semakin tidak percaya dan kurang simpatik terhadap kinerja dan proses penegakan hukum di Indonesia.
Hal ini tentunya bertentangan dengan tujuan seperti yang telah ditentukan dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat (4) menyebutkan: peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi sebagai penyelesaiannya yang lebih mendasar dan adanya ide pemikiran kembali sehingga asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dapat benar-benar direalisasikan dan dirasakan para pencari keadilan terutama kalangan tidak mampu.
Salah satu cara mengefektifkan berlakunya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam peradilan pidana yaitu dengan memberlakukan konsep Restorative Justice baik pada pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat terakhir seperti Mahkamah Agung Republik Indonesia . Restorative Justice concept atau Konsep Keadilan Restoratif merupakan sebuah konsep keadilan bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.Bahwa konsep Keadilan Restoratif pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan. Indonesia telah memberlakukan konsep keadilan restoratif dalam proses peradilan anak. Hal tersebut lebih menjamin terpenuhinya rasa keadilan antara korban dan pelaku.
Pada proses peradilan atau tindak pidana biasa, korban sangat sedikit merasakan keadilan hal ini dikarenakan Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil dari Negara lebih menekankan pada keadilan retributif dimana lebih menekankan keadilan pada pembalasan dengan tuntutan pemidanaan dan keadilan restitutive yang lebih menkankan keadilan pada pemberian ganti rugi yang hanya memberikan wewenang kepada Negara yang didelegasikan kepada aparat penegak huku seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim sedangkan keadilan terhadap pihak korban sangat minim dirasakan, sedangkan jika konsep keadilan restoratif diberlakukan baik pada peradilan anak maupun pada peradilan pidana yang dilakukan oleh orang dewasa keadilan bagi pelaku dan korban dapat terpenuhi dengan itikad baik atau kesepakatan bersama antara pihak pelaku maupun korban.
Hal ini mendorong penyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal dan personal, dari pada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal (kaku) dan impersonal. Mengenai momentum, yaitu sebelum dan sesudah proses peradilan berjalan. Sebelum proses peradilan, dimaksudkan ketika ”perkara” tersebut masih ditangan kepolisian atau kejaksaan. Baik atas inisiatif kepolisian, kejaksaan, seseorang atau kelompok masyarakat, dilakukan upaya menyelesaikan perbuatan pidana tersebut, dengan cara-cara atau prinsip Pendekatan Restorative Justice (Keadilan Restoratif). Hal serupa pada saat perkara dilimpahkan ke Pengadilan. Misalnya, hakim dapat menganjurkan penyelesaian menurut cara-cara dan prinsip Restorative Justice. Bahkan ada kemungkinan ditengah proses peradilan dapat ditempuh cara-cara penyelesaian menurut prinsip Restorative Justice. Apabila dilihat dari posisi terdakwa. Hal ini sangat mendukung terlaksananya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya murah. Sehingga ketika terjadi kesepakatan antara pihak pelaku dan korban maka proses peradilan dapat dihentikan pada tingkat tempat terjadinya kesepakatan antara pelaku dan korban, baik sebelum proses peradilan maupun di tengah proses peradilan tanpa menunggu putusan pengadilan. Dengan diberlakukannya konsep keadilan restorative baik di pengadilan tingkat pertama hingga pengadilan tingkat akhir seperti Mahkamah Agung maka dapat mengurangi tumpukan perkara dan beban para hakim agung di Mahkamah Agung RI khususnya perkara-perkara kasasi yang di upayakan hingga ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. 
Kini, sistem peradilan pidana di banyak negara mengarah pada tercapainya keadilan restoratif. Keadilan restoratif menekankan pada perbaikan akibat yang terjadi yang disebabkan tindak pidana dengan memberdayakan proses pemulihan dan kepentingan semua yang terlibat baik pelaku dan korban, maupun masyarakat. Konsep ini bahkan sudah diterima secara universal oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters.
Berdasarkan resolusi ini, aparat penegak hukum perlu menjalankan keadilan restoratif untuk semua tingkatan. Dalam keadilan restoratif, anggota keluarga dan anggota masyarakat bisa menjadi mediator, relawan, atau rujukan penyelesaian. Tetapi yang tidak bisa dilupakan upaya pemajuan keadilan restoratif harus datang dari korban dan pelaku.[19]
Model penyelesaian perkara di luar proses persidangan pengadilan sebenarnya bukan hal baru dalam sistem hukum Indonesia. Dalam hukum perdata sudah lama dikenal alternative dispute resolution. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 malah mewajibkan hakim menjalankan mediasi terlebih dahulu. Perdamaian menjadi sesuatu yang wajib diusahakan pada semua tingkatan pengadilan.
Lain perdata, lain pidana. Dalam lapangan hukum pidana, penyelesaian kasus melalui jalur damai seolah masih sulit dijalankan. Padahal hukum adat di beberapa daerah mengenal lembaga damai dalam perkara pidana, yang prinsip-prinsipnya sejalan dengan konsep keadilan restoratif. Model apapun yang dipilih, keadilan restoratif diarahkan pada pemulihan korban, pelaku dan masyarakat sekaligus. Oleh karena itu, hakim perlu memahami konsep atau filosofinya.[20]
Untuk menerapkan keadilan restoratif dalam perkara pidana memang bukan tanpa hambatan. Hakim yang berpikiran positivis akan berdalih belum ada pijakan hukumnya. Dengan kata lain belum ada undang-undang yang memberi wewenang kepada hakim untuk menjalankan prinsip keadilan restoratif dalam perkara pidana. Meskipun demikian bukan berarti hakim tak punya pijakan untuk menerapkannya. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tegas menyebutkan hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Banyak kasus yang mengusik nilai dan menjadi perhatian banyak tidak terkecuali komisi yudisial, kasus-kasus tersebut misalnya kasus sandal jepit yang menimpa AAL, kasus pencurian piring yang menimpa Rasminah, kasus pencurian kakao yang seharga Rp. 2.500 yang menimpa Aminah, dan kasus pencurian buah randu.
Putusan hakim dalam kasus-kasus tersebut dan kasus lain sejenis banyak dikecam publik. Polisi dan jaksa seharusnya tidak melanjutkan perkara ke pengadilan kalau bisa diselesaikan melalui pola-pola penyelesaian yang disepakati kedua belah pihak. Penyelesaian damai sangat dimungkinkan karena jika sudah dibawa ke persidangan, hakim tak mungkin menolak perkara. Meskipun demikian, tugas hakim bukan semata menegakkan aturan, tetapi juga keadilan.[21]
Sasaran kritikan publik mengarah pada aparat penegak hukum: polisi, jaksa, advokat, dan hakim. Tetapi lantaran berada pada titik sentral Sistem Peradilan Pidana Terpadu, hakimlah yang paling banyak dikecam masyarakat. Sebagai lembaga yang diberi wewenang oleh konstitusi mengawasi hakim, Komisi Yudisial menaruh perhatian terhadap perkara-perkara seperti Rasminah dan sejenisnya.

E.    Keadilan Restoratif dalam Peradilan Pidana Anak
Anak sebagai potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, harus mendapatkan prioritas perlakuan dan perlindungan secara khusus yang berbeda dengan orang dewasa agar anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya baik perlidungan yang diperoleh dari kedua orang tua, masyarakat dan negara. Keberadaan anak sebagai sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, maka sudah tepat kiranya anak mendapat suatu perlakuan khusus guna memberikan perlindungan dan jaminan atas kelangsungan masa depannya. Perlakuan khusus ini tentunya juga berkaitan terhadap anak yang memiliki prilaku khusus. Perilaku yang menyimpang yang mengarah pada tindak kriminal. Dalam konsideran UU Pengadilan Anak menyebutkan definisi Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memilki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan fisik mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.[22]
Tingkah laku yang menyalahi norma dan hukum yang dilakukan anak indonesia, masih merupakan gejala sosial dan telah  menimbulkan kekhawatiran dikalangan orang tua pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. banyak sekali prilaku anak yang tidak sesuai dengan norma hukum maupun norma sosial seperti aksi tawuran, penyalahgunaan narkoba, geng motor yang melibatkan anak- anak dan lain sebgaianya. Gejala sosial tersebut yang terjadi pada zaman sekarang perlu adanya pemahaman yang proporsional terhadap prilaku menyimpang anak-anak, yang lebih penting adalah usaha-usaha penanggulangannya selama ini di dalam masyarakat.
Berbicara tentang penanggulangan kejahatan pada umumnya dan delinkuensi anak pada khususnya, membawa  pada pembicaraan kebijakan kriminal (criminal policy). kebijakan kriminal sebagai usaha rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, didalam gerak operasioanalnya terarah pada dua jalur penal dan kebijakan kriminal jalur Non-Penal.[23] Secara lebih kasar, dapat dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat "Represif" (penumpasan/pemberantasan/penindasan) setelah kejahatan terjadi, sedangkan upaya penanggulangan kejahatan melaluijalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat "preventif" (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.
Menurut Gordon Bazemore, pokok–pokok pemikiran dalam paradigma peradilan anak Restoratif (restorative paradigm) sebagai berikut :[24]
a)    Tujuan Penjatuhan Sanksi
Ada asumsi bahwa di dalam mencapai tujuan penjatuhan sanksi, maka diikut sertakan korban untuk berhak aktif terlibat dalam proses peradilan. Indikator pencapaian tujuan penjatuhan sanksi tercapai dengan dilihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasan korban, besarnya ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang terjadi.
Bentuk-bentuk sanksi yaitu restitusi, mediasi pelaku korban, pelayanan korban, restorasi masyarakat, pelayanan langsung pada korban atau denda restorative. Dalam penjatuhan sanksi mengikut sertakan pelaku, korban, masyarakat dan para penegak hukum secara aktif. Pelaku bekerja aktif untuk merestore kerugian korban, dan menghadapi korban/ wakil korban. Korban aktif dalam semua tahapan proses dan akan membantu dalam penentuan sanksi bagi si pelaku. Masyarakat terlibat sebagai mediator, membantu korban dan mendukung pemenuhan kewajiban pelaku. Penegak hukum memfasilitasi berlangsungnya mediasi.

b)    Rehabilitasi Pelaku
Fokus utama peradilan restorative untuk kepentingan dan membangun secara positif, maka anak dan keluarga merupakan sumber utama. Anak dianggap berkompeten dan mempunyai kemampuan positif, bersifat preventif dan proaktif. Untuk kepentingan rehabilitasi pelaku diperlukan perubahan sikap lembaga kemasyarakatan dan perilaku orang dewasa. Rehabilitasi pelaku dilakukan dengan pelaku yang bersifat learning by doing, konseling dan terapi untuk memotivasi keterlibatan aktif para pihak.
Tujuan rehabilitasi tercapai dilihat pada keadaan apakah pelaku telah memulai halhal positif baru, apakah pelaku diberi kesempatan untuk mempraktekkan dan mendemonstrasikan perilaku patuh norma, apakah stigmatisasi dapat dicegah, apakah telah terjadi perkembangan self image dalam diri pelaku dan public image dan peningkatan keterikatan pada masyarakat. Rehabilitasi pelaku dalam bentuk kegiatan praktek agar anak memperoleh pengalaman kerja, dan anak mampu mengembangkan proyek kultural sendiri.
Dalam aspek rehabilitasi ini secara bersama-sama memerlukan peran-peran pelaku, korban, masyarakat dan penegak hukum secara sinergi. Pelaku aktif dalam pengembangan kualitas diri dalam kehidupan masyarakat. Korban memberikan masukanmasukan pada proses rehabiltasi. Masyarakat mengembangkan kesempatan bagi anak untuk memberikan sumbangan produktif, mengembangkan kompetensi dan rasa memiliki. Penegak hukum peradilan anak mengembangkan peran baru anak pelaku untuk mempratekkan dan mendemonstrasikan kompetensinya, aksesnya dan membangun keterikatan kemitraan dengan masyarakat.
c)    Aspek Perlindungan Masyarakat
Asumsi dalam peradilan restorative tentang tercapainya perlindungan masyarakat dengan upaya kolaborasi system peradilan dan masyarakat untuk mengembangkan pencegahan. Penyekapan dibatasi hanya sebagai upaya akhir. Masyarakat bertanggung jawab aktif mendukung terselenggaranya restorasi.
Indikator tercapainya perlindungan masyarakat apabila angka residivis turun, sementara pelaku berada di bawah pengawasan masyarakat, masyarakat merasa aman dan yakin atas peran system peradilan anak, pelibatan sekolah, keluarga dan lembaga kemasyarakatan untuk mencegah terjadinya kejahatan; ikatan social dan reintegrasi meningkat. Untuk meningkatkan perlindungan masyarakat, maka pelaku, korban, masyarakat dan professional peradilan anak sangat diharapkan perannya. Pelaku harus terlibat secara konstruktif mengembangkan kompetensi dan kegiatan restorative dalam program secara seimbang, mengembangkan kontrol internal dan komitmen dengan teman sebaya dan organisasi anak.
Korban memberikan masukan yang berguna untuk melanjutkan misi perlindungan masyarakat dari rasa takut dan kebutuhan akan pengawasan pelaku delinkuen, dan melindungi bagi korban kejahatan lain. Masyarakat memberikan bimbingan pada pelaku, dan berperan sebagai mentor dan memberikan masukan bagi peradilan tentang informasi latar belakang terjadinya kejahatan.
Professional peradilan anak mengembangkan skala insentif dan menjamin pemenuhan kewajiban pelaku dengan pengawasan, membantu sekolah dan keluarga dalam upaya mereka mengawasi dan mempertahankan pelaku tetap di dalam masyarakat.
Indikator dalam peradilan anak restoratif dapat dilihat dari peran-peran: Pelaku; Korban; masyarakat dan Para profesonal peradilan anak. Masing-masing peran sebagai berikut :[25]
a.    Pelaku: pelaku aktif untuk merestore kerugian korban dan masyarakat. Ia harus menghadapi korban/wakil korban;
b.    Korban: akltif terlibat dalam semua tahapan proses dan berperan aktif dalam mediasi dan ikut menentukan sanksi bagi pelaku;
c.    Masyarakat: terlibat sebagai mediator mengembangkan pelayanan masyarakat dan menyediakan kesempatan kerja bagi pelaku sebagai wujud kewajiban reparatif, membantu korban dan mendukung pemenuhan kewajiban pelaku;
d.    Para profesional: memfasilitasi berlangsungnya mediasi, memberikan jaminan terselenggaranya restoratif, mengembangkan opsi-opsi pelayanan masyarakat secara kreatif/restoratif, melibatkan anggota masyarakat dalam proses, mendidik masyarakat.

Sebagaimana telah singgung dimuka, bahwa dalam keadilan restoratif dikenal pula istilah mediasi penal dan diversi, Di Indonesia, konsep keadilan restoratif, lebih spesifik mediasi penal, telah diterapkan oleh sejumlah hakim yang berpikiran maju.[26] Pada praktiknya konsep keadilan restoratif tidak bisa di terapkan dalam semua macam tindak pidana, pada umumnya penerapan konsep keadilan restoratif di Indonesia banyak  hakim peradilan anak yang sudah  menerapkan konsep keadilan restorative melalui mediasi penal. Namun secara umum hakim- hakim di Indonesia belum banyak yang mempunyai keberanian  untuk menerapkan konsep keadilan restoratif ini, mereka masih terbelenggu dengan pemikiran konsep pemenjaraan pelaku tindak pidana baik itu yang menyangkut tindak pidana anak maupun yang menyangkut tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.
Memang benar bahwa saat ini semakin banyak negara menerapkan keadilan restoratif, namun model penyelesaian ini tak berlaku untuk semua jenis tidak pidana. Seperti di Selandia Baru, Kanada, Filipina, Wales, dan Inggris lebih menerapkannya pada kasus-kasus pidana yang dilakukan anak-anak. Sedangkan Afrika Selatan pernah menerapkan konsep keadilan restoratif untuk aksi kekerasan pada rezim apartheid.
Penerapan konsep keadilan restorative yang belum syumul  (konfrehensif) tersebut terlebih dalam peradilan pidana anak, bukan tanpa alasan, karena memang belum ada belum ada payung hukumnya. Untuk dapat menerapkan konsep keadilan restorative khususnya dalam peradilan pidana anak, Pemerintah dan DPR perlu menyiapkan payung hukumnya. Saat ini, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum mengakomodir prinsip-prinsip keadilan restoratif. Di dunia internasional, sudah banyak rujukan yang bisa dipakai. Selain Konvensi Hak Anak, ada juga Beijing Rules (Peraturan Standar Minimun PBB tentang Administrasi Pengadilan Bagi Anak, 1985); Havana Rules, Tokyo Rules (Peraturan Standar Minimum PBB tentang Upaya Non-Penahanan, 1990), dan Riyadh Guidelines (Pedoman PBB tentang Pencegahan Kenakalan Anak, 1990).[27]
Ketiadaan undang-undang sebenarnya tidak membuat hakim tak punya pijakan sama sekali. Mahkamah Agung adalah pihak yang ikut menandatangani Keputusan Bersama dengan lima lembaga negara lain pada 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). SKB ini dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan dalam upaya penyelesaian perkara penanganan ABH yang dilakukan secara terkoordinasi oleh aparat penegak hukum dan semua pihak terkait. Salah satu pertimbangan keluarnya SKB ini adalah perlunya pendekatan keadilan restoratif dijadikan landasan pelaksanaan sistem peradilan pidana terpadu bagi ABH.[28]
Dalam pertimbangan hokum SKB tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (poin c dan d) ; c) bahwa untuk meningkatkan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu kerja sama yang terpadu antar penegak hukum dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana terpadu untuk pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak, juga d) bahwa pendekatan keadilan restoratif perlu dijadikan sebagai landasan pelaksanan sistem peradilan pidana terpadu bagi anak yang berhadapan dengan hokum.[29]
Secara ringkas, SKB tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum ini bermaksud dan bertujuan untuk :[30]
·         Mewujudkan koordinasi dan keterpaduan APH dan pihak terkait dalam penanganan ABH
·         Persamaan persepsi diantara jejaring kerja dalam      penanganan ABH
·         Meningkatkan efektifitas penanganan ABH secara    sistematis, komprehensif dan berkesi nambungan
·         Terjaminnya perlindungan khusus bagi anak melalui koordinasi dan kerjasama  dalam      penanganan ABH
Untuk memberikan pijakan hukum yang kuat bagi hakim, Pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPPA) yang akan menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Dalam RUU ini prinsip-prinsip keadilan restoratif sudah banyak diakomodir termasuk kemungkinan menerapkan diversi atau pengalihan


[1] Muhammad Yasin, dkk, Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif, (Buletin Komisi Yudisial, Vol. VI-No. 4. Januari- Februari 2012), Hlm. 13
[2]Eva Achjani Zulva, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,  (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010), Hlm. 195- 196
[3] Apong Herlina, Restoratif Justice, (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. III No. 3 September 2004), Hlm. 26
[4] Bismar Siregar, Rasa Keadilan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996), h. 50
[5] KBBI
[6] Pasal 1 poin (23) Standart Operasional Prosedur Mediasi Penyelesaian Perkara Atau Restorative Justice Perkara Pidana Pada Tingkat Penyidikan di Lingkungan Polres Pariaman.
[7]  Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan dengan Hukum. Pasal 1 poin 5.
[8] Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, (Scottdale, Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990), p. 181. Dalam Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010), h. 188
[9] Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,…h. 188
[10] Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restoratif : Model Alternatif Perlindungan Hukum Anak, (Surabaya : Jurnal Yustika Media Hukum dan Keadilan, Vol. 12, No. 1 Juli 2009), h. 15
[11] Angkasa, dkk, Model Peradilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Anak (Kajian tentang Praktik Mediasi Pelaku dan Korban dalam Proses Peradilan Anak di Wilayah Hukum Balai Pemasyarakatan Purwokerto), (Jakarta : Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 9, No. 9 September 2009), h. 188
[12] Ibid, h. 188
[13] Ainal Mardiah, dkk, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Model Keadilan Restoratif Dalam Pengadilan Anak, (Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Unsyiah Kuala, Vol.I, Tahun I, No.1, Agustus 2012), h. 5
[14] Ibid, h. 5
[15] Muhammad Yasin, dkk, Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif, (Buletin Komisi Yudisial, Vol. VI-No. 4. Januari- Februari 2012), h. 18
[16] Pasal 28 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
[17] Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo Pasal 31 A Undang-Undang Nomor  3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
[18] Pasal 35 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
[19] Muhammad Yasin, dkk, Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif, (Buletin Komisi Yudisial, Vol. VI-No. 4. Januari- Februari 2012), Hlm. 14
[20] Ibid, h. 15
[21] Ibid, h. 16
[22] Konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
[23] Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2006), h. 4
[24]  Angkasa, dkk, Model Peradilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Anak ,… h. 189
[25] Ibid, h. 191
[26]Keadilan Restoratif Dimulai dari Perkara Anak,  (Buletin Komisi Yudisial, Vol. VI-No. 4. Januari- Februari 2012), h. 17
[27]  Ibid, h. 18
[28] Ibid, h. 18
[29]Lihat konsiderans  SKB tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
[30] Apong Herlina,  Penanganan Anak Yang Berhadapan dengan Hukum,  (Slide Komisi Perlindungan Anak Indonesia)