Kamis, 24 Oktober 2013

Analisi Kasus Hukum Bupati Terpilih Gunung Mas

Analisis Kasus Hukum Bupati Terpilih Gunung Mas
Hambit Bintih
Oleh:
UUF ROUF




Seorang kepala daerah yang dinyatakan menang dalam proses pilkada, yaitu dengan bukti surat keputusan dari Gubernur daerah tersebut juga dengan surat keputusan dari KPUD daerah tersebut yang menyatakan kemenangan calon buapti terpilih, maka Kementerian Dalam Negeri wajib melaksanakan pelantikan atas calon bupati terpilih. Terlepas yang bersangkutan terjerat kasus hokum yang kemudian dijadikan tersangka, seperti yang terjadi dalam pilkada kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan tengah, yaitu bupati incumbent Hambit Bintih yang menyuap ketua MK Aqil Mukhtar. Masalah hokum yang menjerat Hambit Bintih sampai ia dijadikan tersangka merupakan menjadi tanggungjawab individu yang lepas dari jabatannya sebagai bupati.
Secara peraturan perundang-undangan setelah proses administrasi dari Gubernur dan KPUD setempat selesei, dalam waktu tenggat 30 hari maka Kementerian Dalam Negeri wajib akan melakukan pelantikan terhadap bupati terpilih walaupun yang bersangkutan dinyatakan tersangka. Hal ini konsekswensi dari putusan MK yang menolak permohonan sengketa pemilukada Gunung Mas, juga pengangkatan tersebut merupakan hak konstitusional bupati terpilih.
Akan tetapi kemudian setelah status yang bersangkutan berubah menjadi terdakwa dan sudah ada register perkaranya di Pengadilan, juga sebelumnya diangkat dan dilantik menjadi bupati Gunung Mas, maka yang bersangkutan secara hokum harus diberhentikan sementara. Hal ini berdasarkan pasal 30 ayat (1) dan (2) UU No. 32 tahun 2004 berikut :
Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.
Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Apabila setelah menjalani proses persidangan dan ternnyata yang bersangkutan tidak terbukti bermsalah, maka presiden harus merehabilitasi dan mengaktifkan kembali, hal ini sesua dengan pasal 33 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 berikut ; “setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya”
Masalahnya adalah bagaimana mungkin suatu pemerintahan daerah mengalami kepakuman pemerintahan gara- gara bupati terpilih menjadi tersangka dan terdakwa, hal ini tidak boleh terjadi. Oleh karena itu setelah status bupati terpilih statusnya menjadi terdakwa, maka yang bersangkutan melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) harus di berhentikan sementara dan kemudian Menteri Dalam Negeri menetapkan pelaksana Tugas (Plt) penyelenggara pemerintahan di Kabupaten Gunung Mas.
Pertanyaan yang barang kali masih menggelayut di sebagian masyarakat adalah apakah jumlah dan luasnya wewenang Plt Bupati persis sama dan sebangun dengan wewenang Bupati itu sendiri? Misalnya, apakah setiap Plt Bupati memiliki wewenang legal untuk mengangkat dan memutasi PNS, mengesahkan APBD, Perda, serta tindakan-tindakan hukum publik lain layaknya Bupati? Secara ringkas tulisan ini akan membedah perihal wewenang “Bupati Plt” dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan pisau hukum administrasi negara.
Perdefinisi hukum, wewenang/kewenangan (Inggris: authority/competence; Belanda: gezag/bevoegdheid) adalah kekuasaan dan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik yang diberikan oleh peraturan perundang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Dengan adanya wewenang yang didapatkan secara legal tersebut maka segala tindakan dan hubungan hukum publik yang dimiliki seorang pejabat publik itu berkatagori legal/sah.
Secara teoritis, wewenang seorang pejabat publik dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut : 
Bersifat atributif (orisinil), yakni wewenang yang diberikan secara langsung oleh peraturan perundang-undangan; 
Bersifat non-atributif (non-orisinil), yakni wewenang yang diperoleh karena pelimpahan wewenang dari pejabat lain. Dalam hal yang ke-2 ini, pelimpahan wewenang dibedakan menjadi dua macam pula yaitu mandat dan delegasi. Pelimpahan wewenang secara mandat bermakna bahwa yang beralih hanya sebagian wewenang saja. Oleh karenanya pertanggungjawaban tetap pada mandans. Sedang dalam pelimpahan wewenang secara delegasi, maka yang beralih adalah seluruh wewenang dari delegans. Oleh karenanya yang bertanggungjawab sepenuhnya adalah delegataris.

Sekarang bagaimana membaca wewenang seorang yang ditunjuk sebagai Plt Bupati karena bupatinya diberhentikan sementara? Kita harus merujuk pada Keputusan Mendagri langsung apa bunyi diktum keputusan tersebut. Biasanya dalam diktum keputusan Mendagri tersebut berbunyi; “Menunjuk Saudara: …………untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Gunung Mas”. Ini berarti bahwa yang ditunjuk tidak sekedar “melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan”, namun lebih luas dari hal itu ia “memikul tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan” di Kabupaten Gunung Mas.
Sebenarnya rumusan diktum Keputusan Mendagri tersebut agak berbeda jika dibanding dengan rumusan Pasal 34 ayat (1) UU No. 32/2004 jo Pasal 130 ayat (1) PP No. 6/2005 yang berbunyi “Apabila kepala daerah diberhentikan sementara …., wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Kata kunci UU adalah “melaksanakan tugas dan kewajiban”, sementara Keputusan Mendagri yang merupakan turunan UU No. 32/2004 mengkonstantasi “melaksanakan tugas dan tanggungjawab”. 
Berdasarkan UU, PP, dan Keputusan Mendagri tersebut dapatlah diketengahkan bahwa Mendagri telah “mengambil sementara” wewenang bupati terpilih Hambit Bintih sebagai Bupati kemudian wewenang itu dialihkan kepada seseorang yang ditunjuk menjadi Plt. Kalau kita kaji dari “teori kewenangan”, maka wewenang yang dimiliki oleh Plt Bupati tersebut bukan sekedar bersifat atributif, namun oleh Mendagri dilimpahi wewenang secara delegatif. Ini bermakna bahwa setelah penunjukan Plt Bupati dan kemudian pelantikan Plt Bupati tertunjuk, maka Plt Bupatitertunjuk memikul seluruh beban tanggungjawab pemerintahan sekaligus bertanggunggugat jika menyimpang dari batas-batas wewenangnya sebagai Bupati Plt.
Dengan kata kunci “melaksanakan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan”, sejatinya kewenangan Plt Bupati tertunjuk adalah akan mengcover tugas dan wewenang sebagai Bupati terpilih Gunung Mas. Berarti cakupan kekuasaan dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya adalah seluas tugas dan wewenang Bupati. Jadi, dilihat dari tugas dan kewenangannya, Plt Bupati tertunjuk adalah “Bupati Gunung Mas” meski dengan embel-embel “Plt”. Dalam posisi yang demikian, secara normatif tugas dan wewenang Plt Bupati tertunjuk sesuai Pasal 25 UU No. 32/2004 adalah sebagai berikut :
Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
Mengajukan rancangan Perda;
Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan
Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tapi patut diingat, bahwa tidak semua wewenang bupati dapat dijalankan Bupati Plt. Beberapa wewenang yang dilarang untuk dijalankan itu adalah:
Melakukan mutasi pegawai;
Membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya;
Membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan
mMembuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.

Empat larangan itu diatur dalam Pasal 132A ayat (1) PP No. 49/2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Akan tetapi, menurut ayat (2)-nya disebutkan bahwa larangan tersebut dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri selaku delegans.


***Diolah dari berbagai sumber