Full width home advertisement

Perjalanan Umroh & Haji

Explore Nusantara

Jelajah Dunia

Post Page Advertisement [Top]

Hukum agraria adalah kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara orang dengan bumi , air, ruang udara , dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. tujuan hokum agraria (UUPA) yakni untuk membawa kemamuran , kebahagian , dan keadilan bagi Negara-negara dan rakyat, untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hokum pertanahan, untuk memberi kepastian hokum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat Indonesia
Sebelum Undang-Undang Pokok Agraria berlaku pada tahun 1960, hukum agraria yang berlaku adalah hukum agraria kolonial dan ini berlaku sampai dengan tahun 1960, namun dengan beberapa perubahan (sejak tahun 1945) ,yang menyangkut hal-hal yang tidak sesuai dengan jiwa kemerdekaan bangsa Indonesia, pada masa berlakunya hokum agraria kolonial di berlakukan suatu asas yang disebut asas domain verklaring . Asas ini memberi wewenang kepada Negara untuk memiliki BARA , untuk tanah yang tidak dapat di buktikan secara tertulis pada saat itu juga dikenal hak-hak atas tanah yang bersumber dari hokum barat ,seperti hak eigendom (hak milik), hak postal( hak mendirikan bangunan ), hak effacht (hak untuk mengusahakan tanah)
Landasan yuridis hokum agraria nasional diatur dalam UU no. 5 thn. 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria (UUPA), undang-undang ini lahir pada tanggal 24 september 1960 . bumi, air, ruang, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan karunia tuhan kepada bangsa Indonesia
menurut pasal 33(3) UUD1945 , bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemamuran rakyat . hak demikian disebut hak menguasai Negara
asas hokum agrarian antara lain sebagai berikut : Asas hak menguasai Negara, yakni asas ini mengatakan bahwa sebagai organisasi kekuasaan tertinggi Negara di beri wewenang untuk mengatur peruntukan tanah atau berkewajiban untuk mengatur tanah serta pemberian tanah . dalam hal ini Negara bukan sebagai pemilik tanah. Kemudian asas nasionalitas, adalah asas yang menghendakai bahwa hanya bangsa Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan hokum sepenuhnya dengan bumi, air , ruang angkasa , dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Kselanjutnya asas hak atas tanah mempunyai fungsi social, fungsi social hak atas tanah adalah fungsi – fungsi kepentingan orang banyak atau kepentingan nasioanl . sehingga sebidang tanah dapat dicabut dari kepemilikan seseorang bila kepentingan orang banyak atau nasioanl memerlukannya , dengan kompensasi berupa suatu ganti rugi. Kemudian asas persamaan, yakni persamaan dalam penguasaan atas barang yang tidak membeda-bedakan jenis kelamin , golongan , bahkan tidak membedakan suku bangsa. Kemudian juga ada asas mengerjakan sendiri tanah pertaniannya secara aktif, artinya asas ini menuntut pemiliknya harus tinggal tidak jauh dari letak tanah pertaniannya agar efektif mengerjakannya
macam – macam hak atas tanah (menurut pasal 16 UUPA) antara lain sebgai berikut : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak memungut hasil, hak tanggungan
Salah satu problematik yang di hadapi pemerintah dewasa ini muncul "kembali " persoalan pertanahan/ agraria dalam wujud sengketa pertanahan yang terakumulasi dalam tindakan anarkis, seperti penjarahan dan pendudukan tanah – tanah perkebunan, perhutani, Hak Usaha Pertambangan dan Hak Pengelolaan Hutan yang terjadi di Jawa, Sumatera, kalimantan, sulawesi dan Papua yang dalam tataran hukum sangat bertentangan. Sebaliknya dalam wacana sosiologis-empiris perilaku rakyat ini dicermati sebagai manifestasi dari sikap protes ketidak adilan yang melampaui batas kesadaran mereka ( Gunawan Wiradi, 2000: hal 89) tujuannya menuntut kembalikan hak-hak yang dirampas karena saluran hukum tersumbat. Dan tampaknya sengketa / konflik pertanahan kedepan justru mungkin akan meningkat intensitasnya, ditambah upaya penanganan penyelesaiannya memberikan kesan tidak komprehensif, tidak tuntas dan sifatnya partial atau sektoral.
Fenomena diatas untuk menjawab bahwa persoalan permasalahan keagraria / pertanahan dalam tataran politik hukum agraria di Indonesia adalah masalah yang bersifat multi dimensional, yang merupakan masalah nasional yang krusial ( Sediono MP. Tjondronegoro, 1999:3 ). Didalamnya terkait berbagai aspek juridis, sosial, ekonomi, dan keamanan. klaim dari warga setempat baik di jawa diluar Jawa atas tanah perkebunan, kehutanan, Hak Pengelolaan Hutan dan usaha pertambangan yang mengatas namakan tanah leluhur ( hak adat/ ulayat) menunjukkan keruwetan permasalahan yang ada ( Maria Rita Ruwiati, 2000)
Tanah adalah elemen terpenting dan modal negara yang dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat, sebab dalam konteks negara Indonesia yang agraris, tanah merupakan faktor utama sumber penghidupan dan penghidupannya mayoritas rakyat " Petani" untuk itu harus diperdayakan agar tujuan kemakmuran rakyat tercapai. Petani merupakan Tolok ukur keberhasilan dan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemberdayaan Rakyat dalam konsepsi politik hukum agraria ini tampak dengan jelas dalam Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ). Program-program Landreform adalah salah satu aktualisasi dari perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah ( Budi Harsono, 1996 : hal 287-288). Dengan kata lain UUPA merupakan instrumen hukum untuk mewujudkan struktur sosial yang lebih adil yang menghasilkan kemakmuran dan keadilan sosial ( Nur Fauzi dkk, 2000 : hal XIX ).
Sebuah hipotesa Perubahan atau pergeseran politik berpengaruh pada perubahan hukum, karena politik hukum pada hakekatnya merupakan artikulasi perkembangan aspirasi masyarakat. Aspirasi dan tuntutannya merupakan basis materiil dari politik hukum ( Margarito Kamis, 2000 : 5 ) akan tetapi bisa juga disebabkan oleh karena kebutuhan dari suatu kekuasaan. Perubahan / Pergeseran politik hukum agraria menjadi siginifikan terlihat dari pranata-pranata yang dikeluarkan dan konflik yang muncul. Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ) sebagai perwujudan dari Ideologi kerakyatan yang bersifat ( neo) populistis (Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996: hal 17) bila dicermati maka konflik yang ada / timbul mempunyai sifat horisontal, antara rakyat dengan rakyat. Dalam wacana paradigma baru bersifat kapitalistis maka konflik yang timbul bersifat vertikal, terjadi antara rakyat " petani" berhadapan dengan pemilik modal dalam negeri atau asing yang beraliansi strategis dan taktis dengan penguasa atau rakyat berhadapan langsung dengan pemerintah.
Distorsi ketidak kesepamahaman yang komprehensip dalam interpretasi konsepsi politik hukum agraria dan tujuannya dapat dilihat dari Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang penanaman Modal asing, Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang pengusahaan pertambangan dan Undang- Undang No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan. Kondisi semacam ini terimplikasi pada penanganan permasalahan yang muncul tidak tertangani secara komprehensip hanya bersifat parsial atau sektoral. Bagaimana penyelesaian tanah diperkotaan, persoalan tanah terlantar yang dikuasai pengembang ( Developer), disisi lain bagaimana dengan hutan yang belum dieksploitasi oleh pengusaha hutan dan tanah yang diklaim masyarakat adat dan ulayat.
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 merupakan produk politik hukum Agraria nasional yang lahir sarat dengan wacana historikal dan penempati posisi yang trategis dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam bingkai negara kesatuan Indonesia. Pasal- pasal dalam UUPA tampak jelas merupakan aktualisasi konsepsi filsafat – religius dari pasal 33 ayat 3 UUD'45 dimana Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia, yang dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. dalam konteks inilah UUPA merupakan payung bagi seluruh perundangan yang terkait dengan pengaturan di bidang keagraria Nasional. Memang UUPA dimaksudkan sebagai landasan seluruh program-program baru perundangan Agraria dan untuk menyelaraskan situasi Agraria dan falsafah Indonesia modern ( Karl J. Pelzer, 1991:62).
Wacana yang menarik saat ini terjadinya polemik konsep menguasai Negara sentralistik dan pendelegasian wewenang dalam pengaturan keagrariaan dalam rangka Otonomi Daerah. Akibat adanya perbedaan pentafsiran, pemahaman dan kepentingan memunculkan arogansi sektoral, diperparah adanya benturan kontruksi hukum antara kedua produk hukum tersebut. Tanah identik dengan komoditi ekonomi yang menjanjikan sebagai sumber pemasukan keuangan daerah sekaligus merupakan ancaman konflik horisontal dan vertikal bahkan mengakibatkan disintegrasi bangsa jika tidak dikelola secara hati-hati. Dan sekarang sudah terjadi. Sebagai ilustrasi menarik bagaimana jadinya seandainya kabupaten Kerawang mengubah tanah pertanian menjadi Industri, maka dapat dibayangkan Indonesia akan menjadi negara pengimport beras terbesar didunia ( Lutfi I. Nasution, Wakil Kepala BPN dalam seminar di Batu Malang tanggal 21 mei 2001).
Berbagai persoalan itulah memunculkan pertanyaan tentang eksistensi UUPA. Ada sementara yang berpendapat UUPA perlu diamandir / revisi atau reformulasi ulang, karena sudah tidak bisa perespon perkembangan saat ini. Sebaliknya ada pula yang berpendapat masih responsif, justru persoalannya terletak pada kebijakan politik hukum yang dikeluarkan sebagai pelaksana UUPA yang menimbulkan masalah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| All Rights Reserved - Designed by Colorlib