Full width home advertisement

Perjalanan Umroh & Haji

Explore Nusantara

Jelajah Dunia

Post Page Advertisement [Top]

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk,  meskipun ada juga lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi. MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut menjadi pedoman bagi MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi.
Kiprah MK sejak kehadirannya sepuluh tahun silam (2003-2013) banyak dinilai cukup signifikan terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan mengembangkan demokrasi. Oleh karena itu, kita sebagai Mahasiswa Program Studi Ilmu Kelembagaan Negara harus paham tetang seluk beluk tentang MK ini, dalam tulisan ini penulis bermaksud mengemukakan Sejarah Pembentukan, Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi  dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat di tarik sebuah rumusan masalah untuk memperjelas materi yang akan di bahas dalam tulisan ini sebagai berikut :
1.      Bagaimana Sejarah dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi?
2.      Bagaimana Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem ketatanegaraan Indonesia?
3.      Apa saja yang menjadi Kewenangan Mahkamah Konstitusi?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini antara lain sebagai berikut :
1.      Salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Acara MK.
2.      Mengetahui sejarah pembentukan MK.
3.      Mengetahui kedudukan dan kewenangan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
a.       Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Membicarakan MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah histories yang patut dicermati antara lain ; kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.[1] Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi, di Amerika Serikat dilakukan oleh Mahkamah Agung, dimulai sejak terjadinya kasus Marbury versus Madison (1803). Mahkamah Agung Amerika Serikat yang waktu itu di ketuai oleh Hakim Agung John Marshall memutus sengketa yang pada dasarnya bukanlah apa yang dimohonkan untuk diputus oleh kewenangannnya sebagai ketua Mahkamah Agung.
Para penggugat (William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan Willia Harper)[2] memohonkan agar ketua Mahkamah Agung sebagai kewenangannnya memerintahkan pemerintah mengeluarkan write of mandamus[3] dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan mereka. tetapi Mahkamah Agung dalam putusannnya membenarkan bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka. Namun Mahkamah Agung sendiri menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat yang dimaksud. Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat, yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan write of mandamus sebagaimana ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena ketentuan Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.[4] Atas dasar penafsiran terhadap konstitusi-lah perkara ini diputus oleh John Marshall.
Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court.
Hans Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20 (1881-1973) juga pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna, diminta untuk menyusun sebuah konstitusi bagi Republik Austria yang muncul dari puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun 1919. Sama dengan Marshall, Kelsen percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma hukum yang superior (lebih tinggi dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara demikian). Kelsen juga mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakan konstitusi yang demikian, sehingga dia merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meski Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang mendirikan Mahkamah Konstitusi berdasar model itu untuk pertama kali adalah Cekoslowakia pada bulan Februari tahun 1920. Baru pada bulan Oktober 1920 rancangan Kelsen tersebut diwujudkan di Austria.[5]
Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan Judicial Review menyebar keseluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, Perancis mengadopsi konsepsi ini secara berbeda dengan membentuk Constitutional Council (Conseil Constitutional). Negara-negara bekas jajahan Perancis mengikuti pola Perancis ini. Sehingga saat ini telah ada 78 negara yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi. dan Indonesia merupakan negara ke 78 yang mengadopsikannya.[6]
Momen yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI. Mohammad Yamin menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi wewenang “membanding” undang-undang. Namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa (i) konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide itu urung diadopsi dalam UUD 1945.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dalam rangka tuntutan untuk memberdayakan Mahkamah Agung. Diawali pada tahun 1970-an dengan perjuangan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memperjuangkan agar Mahkamah Agung Indonesia diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar. Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena dilatarbelakangi oleh suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik waktu itu. Juga tidak diperkenankannya adanya perubahan konstitusi, bahkan Undang-Undang Dasar cendrung disakralkan.[7]
Tetapi setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 yang menghantam berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan hukum. Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret-April tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001.
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah mengalami perubahan mendasar sejak Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai Perubahan Keempat pada tahun 2002. Undang-undang Dasar 1945 setelah Perubahan Keempat tahun 2002, saat ini boleh dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali, dengan resmi disebut “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.
Perubahan-perubahan itu juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari tiga kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan, menyisakan hanya 25 butir yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, yaitu sebanyak 174 butir ketentuan dapat dikatakan merupakan materi atau ketentuan yang baru.[8]
Sri Soemantri menyatakan, bahwa prosedur serta sistem perubahan Undang- Undang Dasar 1945 seharusnya merupakan perwujudan dua hal, yaitu menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan memungkinkan adanya perubahan.[9] Merujuk pada pendapat ini, terjadinya perubahan UUD 1945 sejak Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat, tentunya harus mempengaruhi sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Terjadinya perubahan yang mendasar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia terutama mengenai lembaga Negara.
Sehubungan dengan itu penting disadari bahwa sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Perubahan itu juga mempengaruhi mekanisme struktural organ-organ Negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama. Ada pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 itu; pokok pikiran tersebut antaranya adalah :
a)      Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplementer;
b)      Pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances’
c)      Pemurnian sistem pemerintah presidential; dan
d)     Penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[10]

Berdasarkan pasal III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk maka kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.[11]
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[12] Hal ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY).
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.

b.      Alasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Apa alasannya sehingga kemudian MK disepakati untuk dibentuk di Indonesia? Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik[13], juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai “grundnorm” atau “highest norm”, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
Ide demikian yang turut melandasi pembentukan MK di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama MK.
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.
Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
B.     Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat.
Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan yang  tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain.
Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.

C.    Fungsi dan Kewenangan  Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir akhir konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung (protector) konstitusi. Sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam Undang Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya.[14] Tetapi dalam penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan sebagai berikut:
“… salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi”.[15]
Lebih jelas Jimly Asshiddiqie menguraikan:
“Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mawarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat”.[16]
Lembaga negara lain dan bahkan orang perorang boleh saja menafsirkan arti dan makna dari ketentuan yang ada dalam konstitusi. Suatu konstitusi memang tidak selalu jelas karena rumusannya luas dan kadang-kadang kabur. Akan tetapi, yang menjadi otoritas akhir untuk memberi tafsir yang mengikat adalah Mahkamah Konstitusi. Dan tafsiran yang mengikat itu hanya diberikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan yang diajukan kepadanya.
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:[17]
1.      Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2.      Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dengan rincian sebagai berikut:[18]
1)      Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannnya bersifat final untuk:
a.       Menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60.[19] Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui kewenangan judicial review, MK menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
b.      Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD., MK dalam hal ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.
c.       Memutus pembubaran partai politik;
Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh MK jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 74  sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.
d.      Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3). Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
2)      Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke MK. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.[20]
3)      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a.       Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b.      Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c.       Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d.      Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e.       Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sejarah terbentuknya Mahkamah konstitusi tidak begitu saja terbentuk, terbentuknya MK tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review. Empat peristiwa sejarah yang patut dicermati antara lain ; kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.
Berdasarkan pasal III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk maka kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.
Kedudukan MK merupakan satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Juga Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga Negara.
Kewenangan MK antara lain sebagai berikut : Menguji undang-undang terhadap  UUD NRI 1945, Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, Memutus pembubaran partai politik, Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

B.     Kritik dan Saran
Kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan subtansi materi pada pertemuan kali ini sangat penulis harapkan,  semoga tulisan ini bermanfaat adanya bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945. Makalah dalam Simposium Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,  Jakarta: Konstitusi Press, 2006

Mochamad Isnaeni Ramdhan, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: PT. Alumni, 2006

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah



[1] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), Hlm. 5.
[2] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), Hlm. 18.
[3] Write of mandamus merupakan suatu alas dasar bagi seseorang untuk menjalankan tugas yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan padanya. Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), Hlm. 18- 21
[4] Ibid, hlm. 19
[5] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,..Hlm. 6
[6] Ibid, Hlm. 6
[7] Ibid, Hlm. 7
[8] Undang-undang Dasar 1945 Sebelum Perubahan terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 49 ayat, 4 Pasal Aturan Peralihan, 2 Ayat Tambahan, dan Penjelasan. Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Perubahan terdiri dari 21 Bab, 37 Pasal, 170 Ayat, 3 Pasal Aturan Peralihan, 2 Pasal Aturan Tambahan dan Tanpa Penjelesan
[9] Mochamad Isnaeni Ramdhan, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: PT. Alumni, 2006), Hlm. 273
[10] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, hlm. 1, Makalah dalam Simposium Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.
[11] Ibid, Hlm. 9
[12] Perubahan ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB IX Kekuasaan Kehakiman.
[13] Nilai semantik menunjukkan bahwa konstitusi itu secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik
[14] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,..Hlm. 11
[15] Penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Bagian Umum
[16]Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi, Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal MKRI, 2004, Hal. iv. Seperti dikutip oleh Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,..Hlm. 12.
[17] Lihat Pasal 24C Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[18] Lihat Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[19] Pasal 50 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat setelah dibatalkan MK.
[20] Lihat Pasal 7 B ayat (3) UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| All Rights Reserved - Designed by Colorlib