Kamis, 19 November 2009

MANUSIA, NILAI, MORAL, DAN HUKUM

A. Hakikat Nilai Moral Dalam Kehidupan Manusia
 Nilai dan Moral Sebagai Materi Pendidikan
Terdapat beberapa bidang filsafat yang ada hubungannya dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu, satu di antaranya adalah aksiologi (filsafat nilai) yang mempunyai dua kajian utama yakni estetika dan etika. Keduanya berbeda karena estetika berhubungan dengan keindahan sedangkan etika berhubungan dengan baik dan salah, namun karena manusia selalu berhubungan dengan masalah keindahan, baik, dan buruk bahkan dengan persoalan-persoalan layak atau tidaknya sesuatu, maka pembahasan etika dan estetika jauh melangkah ke depan meningkatkan kemampuannya untuk mengkaji persoalan nilai dan moral tersebut sebagaimana mestinya.

Jika persoalan etika dan estetika ini diperluas ke kawasan pribadi, maka muncullah persoalan apakah pihak lain atau orang lain dapat mencampuri urusan pribadi orang tersebut? Seperti halnya jika seseorang menyukai masakan China, apakah orang lain berhak menyangkal jika masakan China adalah masakan yang enak untuk disantap dan melarang orang tersebut untuk mengkonsumsinya? Mungkin itu hanya sebagian kecil persoalan ini, begitu kompleksnya persoalan nilai, maka pembahasan hanya dibatasi hanya pada pembahasan etika saja. Menurut Bartens (2001, hal. 6) ada tiga jenis makna etika, yaitu:
1. Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
3. Etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan yang buruk (filsafat moral).
Dalam bidang pendidikan, ketiga pengertian di atas menjadi materi bahasannya, oleh karena itu bukan hanya nilai moral individu yang dikaji, tetapi juga membahas kode-kode etik yang menjadi patokan individu dalam kehidupan sosisalnya, yang tentu saja karena manusia adalah makhluk sosial.

 Nilai Moral di Antara Pandangan Objektif dan Subjektif Manusia
Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika maupun estetika. Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya. Kedua, memandang nilai sebagai sesuatu yang subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya.
Dua kategori nilai itu subjektif atau objektif:
Pertama, apakah objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau kita mendambakannya karena objek itu memiliki nilai
Kedua, apakah hasrat, kenikmatan, perhatian yang memberikan nilai pada objek, atau kita mengalami preferensi karena kenyataan bahwa objek tersebut memiliki nilai mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita (Frondizi, 2001, hlm. 19-24).

 Nilai di Antara Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder
Kualitas primer yaitu kualitas dasar yang tanpanya objek tidak dapat menjadi ada, sama seperi kebutuhan primer yang harus ada sebagai syarat hidup manusia, sedangkan kualitas sekunder merupakan kualitas yang dapat ditangkap oleh pancaindera seperti warna, rasa, bau, dan sebagainya, jadi kualitas sekunder seperti halnya kualitas sampingan yang memberikan nilai lebih terhadap sesuatu yang dijadikan objek penilaian kualitasnya.
Perbedaan antara kedua kualitas ini adalah pada keniscayaannya, kualitas primer harus ada dan tidak bisa ditawar lagi, sedangkan kualitas sekunder bagian eksistesi objek tetapi kehadirannya tergantung subjek penilai. Nilai bukan kualitas primer maupun sekunder sebab nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek. Nilai bukan sebuah keniscayaan bagi esensi objek. Nilai bukan benda atau unsur benda, melainkan sifat, kualitas, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”. Nilai milik semua objek, nilai tidaklah independen yakni tidak memiliki kesubstantifan.

 Metode Menemukan dan Hierarki Nilai dalam Pendidikan
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil sebuah keputusan, nilai memiliki polaritas dan hierarki, yaitu:
1. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai (polaritas) seperti baik dan buruk, keindahan dan kejelekan.
2. Nilai tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki urutan pentingnya.
Ada beberapa klasifikasi nilai yaitu klasifikasi nilai yang didasarkan atas pengakuan, objek yang dipermasalahkan, keuntungan yang diperoleh, tujuan yang akan dicapai, hubungan antara pengembangan nilai dengan keuntungan, dan hubungan yang dihasilkan nilai itu sendiri dengan hal lain yang lebih baik. Sedangkan Max Scheller berpendapat bahwa hierarki terdiri dari, nilai kenikmatan, kehidupan, kejiwaan, dan nilai kerohanian. Dan masih banyak lagi klasifikasi lainnya dari para pakar, namun adapula pembagian hierarki di Indonesia (khususnya pada masa dekade Penataran P4), yakni, nilai dasar, nilai instrumental, dan yang terakhir nilai praksis.

 Pengertian Nilai
Walaupun begitu banyaknya pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap pakar pada dasarnya upaya memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang “relatif belum tersentuh” oleh pemikir lain.
Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewney yakni, Value Is Object Of Social Interest, karena ia melihat nilai dari sudut kepentingannya.

 Makna Nilai bagi Manusia
Nilai itu penting bagi manusia, apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan.
Setiap individu harus memahami nilai dan kebernilaian dirinya, sehingga dia akan menempatkan diri secara bijak dalam pergaulan hidup serta akan mengakui dan bijak terhadap keberadaan nilai dan kebernilaian orang lain dalam pergaulan masyarakat. Yang penting dalam upaya pendididikan, keyakinan individu pada nilai harus menyentuh sampai hierarki nilai tertinggi, sebab seperti yang diungkapkan oleh sheller, bahwa :
1. Nilai yang tertinggi menghasilkan kepuasan yang lebih mendalam
2. Kepuasan jangan dikacaukan dengan kenikmatan (meskipun kenikmatan merupakan hail kepuasan)
3. Semakin kurang kerelatifan nilai, semakin tinggi keberadaannya, nilai tertinggi dari semua nialai adalah nilai mutlak. (Fondizi, 2001, hlm. 129- 130.)

B. Problematika Pembinaan Nilai Moral
 Pengaruh Kehidupan Keluarga dalam Pembinaan Nilai Moral
Persoalan merosotnya intensitas interaksi dalam keluarga, serta terputusnya komunikasi yang harmonis antara orang tua dengan anak, mengakibatkan merosotnya fungsi keluarga dalam pembinaan nilai moral anak. Keluarga bisa jadi tidak lagi menjadi tempat untuk memperjelas nilai yang harus dipegang bahkan sebaliknya menambah kebingungan nilai bagi si anak.

 Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Pembinaan Nilai Moral
Setiap orang yang menjadi teman anak akan menampilkan kebiasaan yang dimilikinya, pengaruh pertemanan ini akan berdampak positif jika isu dan kebiasaan teman itu positif juga, sebaliknya akan berpengaruh negatif jika sikap dan tabiat yang ditampikan memang buruk, jadi diperlukan pula pendampingan orang tua dalam tindakan anak-anaknya, terutama bagi para orang tua yang memiliki anak yang masih di bawah umur.

 Pengaruh Figur Otoritas Terhadap Perkembangan Nilai Moral Individu
Orang dewasa mempunyai pemikiran bahwa fungsi utama dalam menjalin hubungan dengan anak-anak adalah memberi tahu sesuatu kepada mereka: memberi tahu apa yang harus mereka lakukan, kapan waktu yang tepat untuk melakukannya, di mana harus dilakukan, seberapa sering harus melakukan, dan juga kapan harus mengakhirinya. Itulah sebabnya seorang figur otoritas (bisa juga seorang public figure) sangat berpengaruh dalam perkembangan nilai moral.
Dengan kata lain, orang tua belum meyakini bahwa anak- anak telah menjadi ”manusia”. Anak- anak diharuskan mengikuti anjuran yang disarankan. Mereka juga harus mmengikuti harapan atau aspirasi yang dimiliki orang tua. Masih ada kecenderungan untuk menganggap bahwa keyakinan orang dewasa harus tetap dipertahankan, anak harus memiliki keyakinan seperti keyakinanannya. Dengan demikian orang dewasa tidak berupaya mengurangi kebingungan nilai anak bahkan sebaliknya menambah jumlah pilihan nilai yang menimbulkan tingginya tingkat kebingungan dan ketidakjelasan bagi anak.

 Pengaruh Media Komunikasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Setiap orang berharap pentingnya memerhatikan perkembangan nilai anak-anak. Oleh karena itu dalam media komunikasi mutakhir tentu akan mengembangkan suatu pandangan hidup yang terfokus sehingga memberikan stabilitas nilai pada anak. Namun ketika anak dipenuhi oleh kebingungan nilai, maka institusi pendidikan perlu mengupayakan jalan keluar bagi peserta didiknya dengan pendekatan klarifikasi nilai.
Ada kecenderungan lain, bila anak dihadapkan pada berbagai kemungkinan, maka dia akan kehilangan ga2,54 cm2,54 cmgasan akhirnya dia akan kebingungan. Sangat mungkin bahwa kontribusi terbesar media- media akan membiasakana pemahaman yang tengah tumbuh pada anak- anak seputar mana yang betul dan mana yang salah, mana yang benar dan mana yang palsu, mana yang bagus dan mana yang jelek, mana yang adil dan mana yang timpang, mana yang bermoral dan mana yang tidak bermoral.


 Pengaruh Otak atau Berpikir Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Pendidikan tentang nilai moral yang menggunakan pendekatan berpikir dan lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk mengklarifikasi nilai moral sangat dimungkinkan bila melihat eratnya hubungan antara berpikir dengan nilai itu sendiri, meskipun diakui bahwa ada pendekatan lain dalam pendidikan nilai yang memiliki orientasi yang berbeda.
Berpikir adalah hasil kerja otak, namun otak tidak bekerja secara sederhana dalam pengertian stimulus respon, dan juga tidak menyimpan ” fakta ” secara sederhana sebagai referensi masa depan. Berdasarkan hasil penelitian Gazzaniga ” Otak kita adalah suatu organ yang sangat mengagumkan untuk menemukan dan menciptakan makna. Dalam keadaadn terjaga maupun tertidur, otak kita tetap berusaha membuat pengalaman lahir (outer) dan pengalaman bathin (inner). Atas dasar itu semua orang adalah pencari dan pencipta makna, dan makna- makna yang kita ciptakan menentukan bagaimana cara kita berprilaku.

 Pengaruh Informasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Munculnya berbagai informasi, apalagi bila informasi itu sama kuatnya maka akan mempengaruhi disonansi kognitif yang sama, misalnya saja pengaruh tuntutan teman sebaya dengan tuntutan aturan keluarga dan aturan agama akan menjadi konflik internal pada individu yang akhirnya akan menimbulkan kebingungan nilai bagi individu tersebut.
Informasi baru yang dihasilkan, (yang dapat mengubah keyakinan, sikap dan nilai ) sangat tergantung pada faktor- faktor sebagai berikut :
a) Bagaimana informasi itu diperkenalkan (proses input)
b) Oleh siapa informasi itu disampaikan (hal ini berhubungan dengan kredibilitas si pembawa informasi)
c) Dalam kondisi yang bagaimana informasi itu disampaikan atau diterima
d) Sejauh mana tingkat disonansi kognitif yang terjadi akibat informasi baru tersebut ( yaitu tingkat dan sifat konplik yang terjadi dengan keyakinan yang telah ada)
e) Level penerimaan individu yaitu motivasi individu untuk berubah
f) Level kesiapan individu untuk menerima informasi baru serta mengubah tingkah lakunya (tahap kematangan individu serta kekayaan pengalaman masa lalunya)
(Kama, 2000, hlm. 19)

C. Manusia Dan Hukum
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium/ pemeo yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang bernama: m a s y a r a k a t. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur(kekuasaan).




D. Hubungan Hukum Dan Moral
Hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral dan perundang-undangan yang immoral harus diganti.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dengan moral.
K. Bertens menyatakan ada setidaknya empat perbedaan antara hukum dan moral, pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas (hukum lebih dibukukan daripada moral), kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap bathin seseorang, ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas, keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara sedangkan moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat.
Sedangkan gunawan setiardja, membedakan hukum dan moral, pertama , dilihat dari dasarnya, hukum memliki dasar yurudis, konsensus, dan hukum alam, sedangkan moral berdasarkan hukum alam, kedua, dilihat dari otonominya , hukum bersipat heteronom yaitu datang dari luar diri manusia, sedangkan moral bersipat otonom yaitu datang dari diri sendiri, ketiga dilihat dari pelaksanaan, hukum secara lahiriah dapat dipaksakan, sedangkan moral berdasarkan lahiriah dan terutama bathiniah tidak dapat dipaksakan, keempat, dilihat dari sanksinya, sanksi hikum bersifat yuridis sanksi lahiriah, sedangkan sanksi moral bersifat kodrati, batiniah, menyesal, malu tehadap diri sendiri. Kelima, dilihatdari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia, keenam, dilihat dari waktu dan tempat, hikum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar