Minggu, 03 Oktober 2010

Barometer Manusia

Mensyukuri Nikmat
Alangkah nikmatnya hidup ini, sampai hari ini kita masih dapat bernafas dan beribadah kepada Allah swt. Kita masih bisa menikmati manisnya gula, kita masih bisa menikmati sedapnya sajian makanan. Kita masih bisa bercanda dan melakukan apa saja untuk mengisi kehidupan ini. Memang semakin kita menghitung nikmat ini, rasanya semakin kita tidak dapat merinci dan membalasnya.

وان تعدوا نعمة الله لاتحصوها ان الله لغفور رحيم (النحل:18 )
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah niscaya tidak dapat menghitungnya. Sesungguhnya Tuhan itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (Q.S An-Nahl: 18)

Hal ini kalau kita dapat melihat secara positif segala karunia yang ada dalam dunia ini, sekecil apapun dan sebesar apapun tentu kita dapat mensyukurinya. Namun sebaliknya, jika manusia melihat dengan sikap negatif, sebesar apapun kenikmatan dan kemewahan yang dimilikinya, bisa jadi semuanya akan terasa sangat kurang. Sama-sama memakan nasi putih, belum tentu seseorang bersyukur dan menikmatinya seperti orang lain mensyukurinya. Di situlah letak kontrol hati dan jiwa manusia sehingga seseorang dapat sadar bahwa nikmat itu adalah karunia Ilahi yang perlu disyukuri dan dipergunakan sebaik-baiknya.

Barometer Islam untuk Manusia
Agama Islam dengan segala aturan yang ada, tidak lain adalah sebagai kontrol atas segala sesuatu di dunia ini. Dari hal yang paling kecil sampai hal paling besar, dari keadaan yang paling sempit sampai keadaan yang paling lapang dan bahagia. Dari keadaan paling rumit sampai keadaan yang paling simple dan sederhana. Oleh karena itu dalam Islam, tolak ukur seseorang bukan dilihat dari keadaan dia bahagia secara duniawi atau tidak, juga kebaikan dan ketaatan seseorang bukan diukur dari pencapaiannya pada status sosial tertentu, melainkan semuanya ditentukan oleh proses, cara pandang dan sikap yang diambil ketika seseorang itu berada dalam kondisi tertentu tersebut.

Ketika keberhasilan dan kebaikan seseorang diukur dengan pencapain suatu hal tertentu seperti suatu jabatan, hal ini akan rentan dengan hilangnya nilai ketaatan dan kemuliaan itu sendiri. Kita ambil suatu misal, jika ketaatan seseorang diukur dengan pencapaiannya menjadi presiden, nilai dan ajaran agama yang universal dan kekal akan hilang dengan berhasilnya seorang itu mencapai level kepresidenan. Karena barometer yang dipakai adalah pencapaian target menjadi presiden. Setelah menjadi presiden bisa jadi sifat-sifat mulia yang diperintahkan agama akan dilanggar dengan ringan olehnya. Contoh lain, ketika seseorang menjadi tokoh agama yang terkenal, ukuran ketaatannya bukan dilihat dari status ke-tokoh-annya itu namun dari sikap dan kegigihannya memegang komitmen agamanya ketika ia berada dalam level tersebut. Pencapaian pada suatu kedudukan atau level status sosial tertentu adalah bersifat alami sesuai dengan hukum kausalitas dan takdir Tuhan yang mengaturnya, dan tidak menjadi barometer ketaatan dan kesuksesan sesorang dalam melakukan kebaikan.

Dalam hal ini, Islam telah mengajarkan bagaimana cara mengukur kebaikan dan keberhasilan seseorang. Salah satunya kata Nabi saw.

"خير الناس أحسنهم خلقا"
“Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yg paling mulia akhlaknya” (H.R. Thabrani dari Ibn Umar)

Dalam hadist lain Nabi mengatakan:

"خير الناس أنفعهم للناس"
“Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yg paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (H.R. Bukhari)

Juga dalam riwayat lain:
"خيركم من يرجى خيره ويؤمن شره وشركم من لا يرجى خيره ولا يؤمن شره"
(hadist Tirmidzy)

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang bisa diharapkan kebaikannya dan tidak ditakutkan kejahatannya. Sedangkan seburuk-buruk kalian adalah orang yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan ditakutkan kejahatannya”

Dengan demikian, barometer sesorang sangat ditentukan oleh sifat-sifat universal yang luhur yang banyak digambarkan oleh ajaran agama ini. Pada intinya bahwa tidak menjadi ukuran seseorang ketika orang tersebut berada dalam posisi tertentu, melainkan yang menjadi ukuran adalah nilai-nilai mulia yang diharapkan mampu diterapkan untuk kebaikan manusia, seperti keikhlasan, kebaikan, kemanfaatan, kedermawanan, kesabaran, kejujuran dsb. Dengan kata lain, sejauh mana kontrol agama itu mampu berperan dalam diri seseorang dalam keadaan apapun yang sedang ia lalui, di situlah barometer ketaatan dan hakikat jati diri manusia yang mulia. Dalam hal ini sama sekali tidak memandang pencapaian seseorang dalam kedudukan atau status sosial tertentu. Kondisi seseorang dalam posisi tertentu atau pencapaiannya pada suatu jabatan sosial dalam roda kehidupan ini tidak lain adalah tempat dan ruang untuk merefleksikan nilai-nilai luhur tersebut.

Meneladani Barometer Kekasih Allah
Dalam sejarah umat Islam, dari sejak turunnya Nabi Adam dan Hawa dari sorga sampai kisah-kisah para Nabi sahabat-sahabatnya, semuanya memberikan ilustrasi dan gambaran tentang berbagai proses kehidupan yang beraneka ragam. Dari yang sangat kaya sampai yang miskin, dari seorang Nabi sampai seorang budak/hamba sahaya, dari seorang Nabi yang memiliki kerajaan dan kekuasaan sampai Nabi yang penuh dengan penderitaan, dan sampai bagaimana kisah meninggalnya para nabi dan sahabat yang berbeda-beda caranya.

Dari kisah-kisah para Nabi dan sahabatnya itu, dapat disimpulkan bahwa tolak ukur ketaatan dan kemuliaan mereka sama sekali tidak berkaitan dengan kondisi dan status sosial yang mereka hadapi, atau dari pencapaian sesuatu target tertentu sesuai kacamata manusia dan dunia ini. Artinya, kondisi lingkungan dan kedudukan jabatan yang kebetulan mereka miliki hanya sebagai perantara dan fenomena hidup yang ada dan tidak adanya hal itu tidak menghalangi mereka untuk selalu mentaati perintah Tuhannya.

Untuk lebih jelasnya, dapat kita ambil sebagai contoh:

1. Nabi Nuh (as) yang dalam dakwahnya memakan waktu lebih dari 900 tahun untuk mengajak kaumnya. Bisa dikatakan bahwa seruan dakwahnya itu kurang berhasil karena hanya mampu mengajak sebagian kecil kaumnya yang kurang dari seratusan orang, bahkan anak kandungnya sendiri yang bernama Kan’an pun tidak dapat dia ajak untuk masuk menjadi pengikutnya. Nah dengan demikian, pencapaian pada target tertentu tidak menjadi ukuran keberhasilan dan ketaatan seseorang dalam agama, melainkan sejauh mana nilai-nilai dan prinsip agama itu mampu ia pertahankan selama hidupnya.

2. Nabi Ayub (as) yang menjadi simbol kesabaran umat manusia, dimana semasa hidupnya ia diberi cobaan dengan menghadapi penderitaan yang luar biasa. Hartanya hilang sehingga ia menjadi seorang fakir setelah sebelumnya termasuk paling kaya, kemudian ia ditinggalkan keluarga dan kerabatnya sehingga ia dalam kesendirian dan kesunyian, kemudian ia ditimpa penyakit kronis yang cukup lama. Namun dengan segala penderitaan itu, nabi Ayub tetap bersabar dan bersyukur kepada Allah swt. Sampai dikatakan oleh Allah swt.:
انا وجدناه صابرا, نعم العبد انه أوّاب ) ص: (44
"Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS. Shad: 44)

Dapat kita ambil kesimpulan lagi, bahwa situasi dan kondisi yang dihadapi manusia tidak menentukan barometer kebaikan dan tingkat kemuliaan seseorang itu, melainkan dari prinsip-prinsip dan nilai agama yang mampu ia realisasikan sesuai dengan kondisi kehidupan yang dialami. Entah dalam keadaan jaya maupun pada saat menderita, entah dalam keadaan sehat maupun sakit, entah dalam keadaan kaya maupun papa. Itulah tolak ukur manusia.

3. Umar Bin Khattab dan Abdurrahman bin Auf : yang terkenal dengan kekayaan hartanya. Diriwayatkan, sahabat Umar mewariskan 70.000 properti (berupa ladang pertanian) seharga 160 Dinar perpropertinya atau setara dengan Rp 16 Triliun pada waktu itu. Total passive income dari properti tersebut sekitar 2,8 Triliun/ tahun atau 233 Miliar/bulan.

Kemudian Abdurrahman bin Auf diketahui memiliki simpanan uang 151 ribu dinar plus seribu dirham, serta mewariskan properti sepanjang wilayah Aris dan Khaibar, kemudian beberapa sumur senilai 200 ribu dinar (Rp 240 M). Dengan kekayaan tersebut ternyata sama sekali tidak menjadikannya seorang Umar dan Abdurraman menjadi sosok yang sombong atau kikir. Bahkan pada masa Rasulullah SAW, dikisahkan dalam satu kali duduk, Abdurrahman bin Auf mampu berinfaq sebesar 40 ribu dinar atau setara dengan Rp. 60 miliar.

Demikianlanlah sebagian kecil gambaran tentang bagaimana agama ini melihat menusia dan bagaimana Islam memandang kemuliaan dan kebaikan seseorang yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan kebaikan universal yang berguna pada seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
(Dialah Dzat Yang) Menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Q.S. Al-Mulk: 2)

Oleh karena itu, dengan memahami secara benar tolak ukur kemuliaan dan ketaatan seorang hamba kepada Khaliknya ini, semoga kita dapat lebih mengedepankan nilai-nilai luhur yang hakiki daripada sekedar tampilan jasmani, semoga kita dapat lebih mengedepankan substansi daripada simbol, dan semoga kita dapat mendahulukan hakikat daripada predikat. Dan semuanya itu pada akhirnya akan memberi dampak yang positif bagi kehidupan antar manusia di sekitar kita. Amin ya rabbal alamin…

Sumber : Pesantren Virtual

Tidak ada komentar:

Posting Komentar