Jumat, 18 Maret 2011

Pengumuman PMDK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011

Bagi kawan kawan SMA dan MA se Indonesia, bersuka citalah karena hari ini tanggal 19 Maret 2011 kalian dapat lulus di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bagi yang belum dapat nantikan kesempatan selanjutnya dan jangan berkecil hati, karena masih ada jalur SPMB dan UMB, belajar lebih giat lagi dan belajar, belajar dan belajar.

Kawan-kawan yang lulus PMDK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bisa lihat Di pengumuman kelulusan PMDK UIN Jakarta dan jangan lupa sujud SYUKUR ya, karena kalian dah mendapatkan nikmat yang tiada tara.
Dan bagi yang lulus, kalian juga bisa LIHAT SK Nya di sini . saya ucapkan SELAMAT.
Demikian tulisan singkat ini, mudah mudahan ada manfaatnya.

Rabu, 16 Maret 2011

Unsur-unsur dan Syarat-syarat Pewarisan

1). Unsur-unsur Pewarisan
Unsur terjadinya pewarisan diperlukan unsur-unsur sebagai berikut :
a). Adanya orang yang meninggal dunia (erflater), yang meninggalkan harta warisan yang disebut pewaris.

b). Adanya orang yang masih hidup (erfgenaam), yaitu orang yang menurut Undang-undang atau testaman berhak mendapat waris, yang disebut ahli waris.
c). Adanya benda yang ditinggalkan (erfenis tialatemchap), yaitu segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris pada saat ia meninggal dunia yang disebut harta warisan, bisa berbentuk aktiva atau passiva.
2). Syarat- syarat pewaris
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat atau tanpa surat wasiat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam unsur-unsur pewarisan adalah :
a). Syarat-syarat yang berhubungan dengan pewaris
Untuk terjadinya maka si pewaris harus sudah meninggal dunia sebagaimana disebutkan pada pasal 830 KUH Perdata “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.
b). Syarat-syarat yang berhubungan dengan ahli waris
1. Mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris hak ini ada karena:
a). Adanya hubungan darah atau perkawinan antara ahli waris dengan pewaris disebut ahli waris menurut undang-undang (Ab- intestato), (pasal 874 KUHPerdata). Ada dua cara mewaris berdasarkan undang-undang, berdasarkan kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofde) atau dengan mewarisi langsung, ahli warisnya adalah mereka yang terpanggil untuk mewaris berdasarkan kedudukan sendiri pada asasnya ahli waris mewaris kepala demi kepala yang tercantum pada pasal 852 ayat 2 KUHPerdata yang isinya “ Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak kerena diri sendiri. Orang yang mewaris karena kedudukannya sendiri dalam susunan keluarga si pewaris mempunyai posisi yang memberikan kepadanya hak untuk mewaris. Haknya tersebut adalah haknya sendiri, bukan menggantikan hak orang lain. Mewaris kepala demi kepala artinya tiap-tiap ahli waris menerima bagian yang sama besarnya. Dan berdasarkan penggantian (Bij plaatvervulling), Yakni pewarisan dimana ahli waris menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. Dalam mewaris berdasarkan penggantian tempat ahli waris artinya mereka yang mewaris berdasarkan penggantian tempat, mewaris pancang demi pancang. Mewaris karena penggantian tempat diatur dalam pasal 841 sampai dengan 848 KUHPerdata.” Penggantian memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti.
b). Adanya pemberian wasiat yang diberikan oleh pewaris untuk para ahli waris atau testaminair (pasal 875 KUHPerdata). Adapun yang dinamakan surat wasiat atau testamen ialah suatu fakta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehindakinya akan terjadinya setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali. Yang paling lazim suatu testamen berisi apa yang dinamakan suatu “erfsteling” yaitu penunjukan seorang atau beberapa orang menjadi ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan, orang yang ditunjuk itu dinamakan “ testamentaire erfgenaam”.
2. Ahli waris ada atau masih hidup pada saat kematian pewaris
3. Tidak terdapat sebab-sebab atau hal-hal yang menurut undang-undang, ahli waris tidak patut atau terlarang (onwaarding) untuk menerima warisan dari si pewaris. Menurut pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada empat kelompok yang tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya dikecualikan dari pewarisan ialah :
a) Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal.
b) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah mengajukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal ialah suatu pengaduan telah melakukan suatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c) Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah atau menghalangi-halangi si meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
d) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat yang meninggal.

Prinsip-Prinsip Hukum Pembuktian

Prinsip-prinsip dalam hukum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud, prinsip hukum pembuktian anatara lain sebagai berikut:
1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil

Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang {negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran ini harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki. Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Namun, tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Pada. dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.
Dalam rangka mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai pegangan bagi hakum maupun bagi para pihak yang berperkara, yaitu antara lain tugas dan peran Hakim bersifat pasif, artinya hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat, Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata hanya terbatas pada mencari dan menemukan kebenaran formil, dimana kebenaran tersebut diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakte-fakte yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung. Dan kemudian putusan hakim berdasarkan pembuktian fakte, hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian, kunci ditolak atau dikabulkannya gugatan harus berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakte-fakte yang diajukan para pihak.

2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak, begitu juga sebaliknya.

3. Fakte-fakte yang Tidak Perlu Dibuktikan
Tidak semua fakte harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan dalam fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain.

4. Bukti Lawan (Tegenbewijs)
Salah satu prinsip dalam hukum pembuktian yaitu memberi hak kepada pihak lawan mengajukan bukti lawan.
Pasal 1918 KUHPerdata menyatakan:
"Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, di dalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya."
Dengan kata lain, Pasal 1918 KUHPerdata ini memberi hak kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan bukti lawan atau tegenbewijs.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai macam-macam alat bukti, maka terlebih dahulu kita harus diketahui dan dimengerti beberapa pengertian tentang bukti dan juga beberapa teori pembuktian.
1. Bukti lemah
Bukti lemah adalah alat bukti yang dikemukakan penggugat yang sedikitpun tidak memberikan pembuktian atau memberikan pembuktian tetapi tidak memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk menerima dalil-dalil gugatan, artinya alat bukti ini hanya mempunyai daya bukti permulaan (kracht van begin bewijs). Jadi derajat bukti yang dibutuhkan belum tercapai oleh karena itu gugatan harus ditolak dan penggugat sebagai pihak yang kalah. Daya bukti permulaan saja tidak dapat menjadi dasar hakim bagi pengiriman suatu gugatan.

2. Bukti sempurna
Bukti sempurna adalah bukti yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan telah sempurna, artinya tidak perlu lagi melengkapi dengan alat bukti lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan diajukan dengan bukti sangkalan (Tengen bewijs). Jadi dengan bukti sempurna yang diajukan tersebut, memberikan kepada hakim kepastian yang cukup, akan tetapi masih dapat dijatuhkan oleh bukti sangkalan. Dengan demikian, bukti sempurna mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa tuntutan penggugat benar dan harus diterima kecuali tergugat dengan bukti sangkalannya (tengen bewijs) berhasil mengemukakan alat bukti yang berdaya bukti cukup guna menyangkal apa yang dianggap oleh hakim telah benar.
3. Bukti pasti/menentukan (Beslissend Bewijs)
Akibat diajukan pembuktian dengan alat bukti yang mempunyai daya bukti pasti/menentukan, maka terhadap pembuktian tersebut tidak diperbolehkan untuk memajukan bukti sangkalan. Pembuktian dengan alat bukti pasti/menentukan, mengakibatkan bagi penggugat atau tergugat yang mengemukakan alat bukti tersebut, suatu posisi yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Dengan demikian tuntutan yang diajukan dianggap benar, beralasan dan dapat diterima. Peluang pihak lawan untuk mengajukan bukti sangkalan tidak ada lagi.

4. Bukti yang mengikat (Verplicht Bewijs)
Dengan adanya alat bukti yang mempunyai daya bukti mengikat, maka hakim wajib untuk menyesuaikan keputusannya dengan pembuktian tersebut. Contoh dalam hal ini adalah dalam hal adanya sumpah pemutus (sumpah decissoir).

5. Bukti sangkalan (Tengen Bewijs)
Bukti sangkalan adalah alat bukti yang dipergunakan dalam bantahan terhadap pembuktian yang diajukan oleh lawan dalam persidangan. Pembuktian ini bertujuan untuk menggagalkan gugatan pihak lawan. Pada prinsipnya segala bukti dapat dilemahkan dengan bukti sangkalan, kecuali undang-undang sendiri secara tegas melarang diajukannya suatu alat bukti sangkalan, misalnya terhadap sumpah pemutus (sumpah decissoir) Yang diatur dalam Pasal 1936 KUHPerdata.
Seperti telah diuraikan di atas, maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Namun, hakim yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim:
1. Teori hukum subyektif (teori hak), Teori ini menetapkan bahwa barangsiapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
2. Teori hukum objektif, Teori ini mengajarkan bahwa seseorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum atas fakte-fakte untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.
3. Teori hukum acara dan Teori kelayakan
Kedua teori iru bermuara pada hasil yang sama yakni hakim seyogianya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian. Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan prosesml yang sama dari para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan demikian hakim harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
Sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan adalah hakim, dan hanya judex facti. Terdapat 3 (tiga) buah teori bagi hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak:

1. Teori pembuktian bebas
Teori ini menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam menilai alat bukti. Hakim tidak terikat oleh suatu ketentuan hukum, atau setidak-tidaknya ikatan-ikatan oleh ketentuan hukum harus dibatasi seminimum mungkin. Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak terpengaruh oleh apapun dan oleh siapapun.

2. Teori pembuktian negatif
Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif. Ketentuan tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan pengecualian. (Pasal 306 RBg/169 HIR, Pasal 1905 KUHPerdata)
Pasal 306 RBg/169 HIR:
" Keterangan seorang saksi saja, dengan ddak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercayai di dalam hukum. "

Pasal 1905 KUHPerdata:
" Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya. "


3. Teori pembuktian positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat. (Pasal 285 RBg/165 HIR, Pasal 1870 KUHPerdata)
Pasal 285 RBg/165 HIR:
" Akte otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentaan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akte tersebut. "
Pasal 1870 KUHPerdata :
"Suatu akte otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahH watisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. "

Sekilas Pengertian dan Tarikh Perkembangan Kritik Sanad

Yang dimaksud dengan sanad hadis atau biasa disebut juga dengan isnad hadis, ialah penjelasan tentang jalan (rangkaian periwayat) yang menyampaikan kita kepada materi hadis. Dalam hal ini, termasuk juga para periwayat (Ruwat) hadis. Pengertian kaedah kesahihan sanad hadis disini ialah segala syarat, criteria, atau unsur yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas shahih.
Sanad, menurut lughah atau secara etimologis, as-sanadu mempunyai arti sebagai berikut, antara lain:

1. سند (sanadun) = sokongan, tunjangan = support
2. أسند (asnada) = menaikan, mengangkat ke atas = to help ascend
3. إستند إلى (istannada ila) = bersandar pada … = to lean upon
4. سندان ج سنا دين (sandânun, jamak sanâdin) = landasan, paron = anvil

Pengertian ini bisa dilihat dalam kamus-kamus bahasa yang bersangkutan dengan ini
Adapun menurut istilah atau terminologis, as-Sanadu mempunyai arti: “Jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis”. Maksudnya, sejumlah nama orang yang menjadi perawi sebuah hadis secara berurutan.
Hal ini artinya bahwa semua nama-nama perawi hadis itu diidentifikasi satu persatu dari mulai sahabat yang mengambil dan menerima langsung dari Rasulullah saw, lalu tabî’în yang menerima langsung dari sahabat sampai dengan kepada pengkodifikasi hadis-hadis Nabi saw seperti al Imam al-Bukhâri, al-Imam Muslim, an-Nasâi, Abu Dâwud, at-Turmudzi, Ibnu Mâjah, Ahmad ibnu Hanbal, al-Imam Malik, ad-Dâruquthni, ad-Dârimi, dan lain-lain. Imam as-Syafi’i telah mengemukakan criteria hadis shahih yaitu rangkaian sanadnya bersambung kepada Nabi saw
Kritik sanad yakni kritik yang mengandung suatu pengertian penilaian terhadap keadaan setiap perawi hadis yang bersangkutan dari berbagai aspek, nama lengkap, nama ayah, kunyah (panggilan), al-Laqab (gelar), masa hidup, pengetahuan, guru dan murid, kejujuran, kesalehan, kekuatan ingatan, cara berfikir, dan aliran teologi yang dianutnya sehingga penilai dapat menentukan apakah riwayatnya dapat diterima atau tidak. Kritik sanad dalam ilmu hadis disebut an-Naqd al-Khariji (kritik ekstern).
Sebelum lahirnya Islam, orang Arab sudah mengenal sistem sanad, yaitu ketika meriwayatkan sya’ir dan kisah yang diperolehnya dari generasi sebelumnya kepada generasi sesudahnya. Demikian pula halnya dengan penggunaan sanad dalam periwayatan hadis pada masa permulaan Islam. Pada zaman dahulu kaum muslimin tidak mempertanyakan isnad, demikian Muhammad ibnu Sîrîn (w. 110 H) menjelaskan, akan tetapi setelah terjadi Fitnah al-Kubrâ (perang saudara), mereka berkata: “sebutkan kepada kami orang-orangmu”. Dan apabila dilihat oleh mereka hadis itu berasal dari Ahlu al-Sunnah mereka mengambilnya dan bila dari ahli bid’ah, mereka tidak mau mengambilnya. Pada masa permulaan Islam mereka tidak mempertanyakan isnad karena mereka pada ketika itu tidak melakukan dusta (barangkali karena Rasulullah saw masih ada di tengah-tengah mereka), rasa iman mereka masih tetap teguh kuat mantap di dada dan hati mereka masih penuh diliputi dengan rasa kejujuran. Akan tetapi setelah terjadinya perang saudara, sudah lain lagi permasalahannya, ada diantara mereka yang berani berdusta demi kepentingan diri, partai, fraksi dan golongannya.
Semua keterangan di atas yang diterangkan oleh Ibnu Sîrîn (w. 23-110 H), itu bukan berarti bahwa para sahabat dan tabi’in sama sekali tidak menggunakan sanad dalam meriwayatkan hadis sebelum perang saudara terjadi, kadang kala mereka menyebutkan sanadnya dan kadang kala tidak. Sebagaimana Muhammad Musthafa al-‘Azami menerangkan bahwa aktifitas umum yang ada di kalangan para sahabat bahkan di masa Nabi saw adalah meriwayatkan hadis di kala mereka bertemu. Di antara mereka banyak yang membuat ketentuan khusus untuk menghadiri halaqah (majlis Nabi saw) dan untuk memberitahukan apa yang mereka dengar dari Nabi saw kepada teman-teman mereka yang tidak hadir. Biasanya secara alami, dalam menyampaikan informasi kepada orang ketiga, mereka biasanya menggunakan kalimat tertentu seperti: “Nabi saw bersabda demikian dan demikian” atau “Nabi saw berbuat begini dan begitu”. Suatu contoh saja, Imam Ibnu Thalhah datang kepada Nabi saw dan berkata: “Muhammad, utusanmu datang dan memberitahu kami…” . Kemudian ada juga diterangkan bahwa Abu Ayyub (w. 50 H) pernah meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah (w. 59 H) yang tidak didengarnya langsung dari Nabi saw.
Keterangan yang diterangkan oleh Ibnu Sîrîn (23–110 H) seperti tersebut di atas adalah menunjukan bahwa tuntutan terhadap sanad muncul setelah berlangsungnya perang saudara dan sanad ketika itu dibagi kepada dua macam; (1) Ahli Sunnah, dan (2) Ahli Bid’ah. Riwayat Ahli Sunnah bisa diterima sedangkan riwayat Ahli Bid’ah tidak bisa diterima. Perang saudara bisa kita temukan dalam sejarah Islam telah terjadi beberapa kali. Namun, perang saudara (Fitnah al-Kubra) yang paling besar dan mengerikan yang menyebabkan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam dan pengaruhnya bisa dirasakan sampai dengan sekarang adalah perang yang terjadi antara Sayyidina ‘Ali Ibn Abi Thalib (Khalifah IV) Karramallâhu Wajhahu (w. 40 H) dengan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan (w. 66 H). Perang tersebut terjadi pada tahun 37 H. Ada cerita yang menarik bahwasanya pernah Busyair al-‘Adwi (w. sebelum 100 H) datang kepada Ibnu Abbas (w. 59 H) menyampaikan suatu hadis dengan katanya: “Rasulullah saw telah bersabda, Rasulullah saw telah bersabda (diulang-ulang dalam pengucapan hadisnya itu), sedangkan Ibnu Abbas sendiri tidak mau mendengarkan perkataan (hadis)-nya itu dan tidak mau menoleh kepadanya. Lalu Busyair al-Adwi bertanya kepada Ibnu Abbas: “Kenapa engkau bersikap demikian tidak mau mendengar perkataan (hadis) nya”. Lalu Ibnu Abbas menjelaskan; “Dahulu, jika kami mendengar seseorang berkata: “Rasulullah saw bersabda”, maka kami segera menoleh kepadanya dan kami mendengarnya dengan telinga kami, akan tetapi setelah ada orang melakukan penyimpangan dan kehinaan, kami tidak mau lagi mengambil perkataan (hadis) dari orang kecuali apa yang kami ketahui”. Hal ini menunjukan pertanyaan (kritik) tentang sanad telah terjadi di kalangan para sahabat. Adapun di masa tabi’in, orang mempertanyakan dan mengharuskan adanya sanad adalah suatu contoh saja misal apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abd al-Barr (w. 463 H) dari as-Sya’bi (w. 103 H) dari ar-Râbi’ ibnu Khutsaim (w. 63 H) as-Sya’bi berkata: “saya bertanya kepada ar-Râbi’ Ibn Khutsaim: “siapakah yang menceritakan kepadamu hadis ini?” Jawabnya: ‘Amr Ibn Maimûn al-‘Audi (w. 74 H). Sayapun menjumpai ‘Amr Ibn Maimûn dan bertanya: “Siapakah yang menceritakan kepadamu hadis ini?”, Jawabnya: “Abdurrahman Ibn Abi Laila (w. 86 H)”. Lalu saya temui lagi Ibnu Abi Laila dan bertanya: “Siapakah yang menceritakan kepadamu hadis ini?”, jawabnya: “Abu Ayyub al-Anshari (w. 50 H) yaitu sahabat Rasulullah saw”.
Ibnu Sîrîn juga menerangkan bahwa mereka membedakan juga antara Ahli Sunnah dan Ahli Bid’ah. Mereka mempunyai kriteria tentang ahli bid’ah yakni orang yang tidak menganut faham ahli sunnah pada umumnya mereka nilai sebagai ahli bid’ah, artinya bahwa mereka benar-benar telah melakukan kritik sanad karena mereka telah melakukan penilaian terhadap perawi hadis yang tidak mereka terima sesuai dengan kriteria yang mereka tentukan, demikian pula di kalangan para sahabat, kedudukan sanad sangat diperhatikan sekali misalnya Abdullah Ibn Abbas (w. 68 H) dan Abu Hurairah (w. 59 H) berkata: “Sesungguhnya ilmu (hadis) ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu ambil agamamu”. Ungkapan yang sama ini ditemukan juga di kalangan tabî’în seperti Zaid Ibn Aslam al-‘Adwi (w. 126 H) al-Hasan (w. 110 H), ad-Dhahak Ibn Muzahin (w. 105 H), Ibrâhîm an-Nakhâi (w. 96 H) dan Anas Ibn Sîrîn (w. 118 H). Malik Ibn Anas (w.197 H) berkata: “Sesungguhnya ilmu (hadis) ini adalah daging dan darahmu dan tentangnya engkau akan ditanya pada hari kiamat. Oleh karena itu maka perhatikanlah dari siapa engkau mengambil ilmu (hadis) itu?”. Sufyan al-Tsauri (w.161 H) berkata: “Isnad adalah senjata seorang mukmin. Bila orang mukmin tanpa senjata, dengan apa ia berperang?”, Abdullah Ibn al-Mubarak (w. 181 H) berkata: “Isnad adalah bagian dari agama. Sekiranya tanpa isnad niscaya orang yang ingin berkata akan mengatakan apa saja yang diinginkannya”.
Dari keterangan Abdul Maujûd Muhammad Ibn Lathîf dalam kitabnya Ilmu al-Jarhu wa at-Ta’dil dan keterangan-keterangan lainnya seperti tersebut di atas adalah menunjukan adanya keberadaan dan kedudukan sanad di kalangan sahabat dan tabi’in. Ungkapan-ungkapan mereka juga menunjukan adanya kritik sanad, baik di masa sahabat maupun tabi’in. Lalu kita dapati juga keterangan bahwa ada ungkapan yang senada di kalangan para ulama ahli hadis berikutnya, seperti pernyataan al-Hakim (w. 405 H): “Sekiranya tanpa isnad dan tuntutan kelompok ini terhadapnya serta banyaknya mereka latihan untuk menghafalnya, niscaya hilanglah obor Islam, sedang kaum atheis dan ahli bid’ah akan dapat membuat-buat hadis, membolak-balik sanad-sanad, karena sesungguhnya khabar (hadis) jika luput dari keberadaan sanad-sanad yang ada padanya maka pasti akan menjadi putus.

Pintu Ijtihad Tidak Tertutup

Para ulama ushul telah sepakat bahwa ijtihad (dalam arti merujukkan suatu perkara ke suatu hukum yang sudah ada) tetap terbuka. Ijtihad dalam arti ini tidak termasuk ijtihad menurut ketentuan ushul fiqh. Dalam ijtihad menurut ushul fiqh terjadi perbedaan pendapat tentang tertutup atau terbukanya pintu ijtihad. Pada awal abad keempat Hijriah, sebagian ulama, yang dipelopori oleh ulama khalaf, berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertuti Sebagian ulama yang lain, yang dipelopori oleh Imam Al-Syaukani pada pertengahan abad ketiga belas Hijriah, berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka, yang kemudian di Mesir pendapat ini digalakkan oleh Syeikh Al-Maraghi, Rektor Universitas Azhar pada waktu itu.

Kelompok yang memandang ijtihad sebagai sumber hukum berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka. Sedangkan kelompok yang memandang ijtihad sebagai kegiatan (pekerjaan) mujtahid berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup, yaitu sejak wafatnya para mujtahid kenamaan. Argumentasi kelompok yang berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka, antara ialah:
1. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan Hukum Islam yang dinamis menjadi kaku dan beku, sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Sebab, banyak kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh Al-Quran, Sunnah, dan belum juga di bahas oleh ulama-ulama terdahulu.
2. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan bagi para ulama Islam untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber (dalil ) Hukum Islam.
3. Membuka pintu ijtihad berarti membuat setiap permasalan baru yang dihadapi oleh umat dapat diketahui hukumnya sehingga Hukum Islam akan selalu berkembang serta sanggup menjawab tantangan zaman.
Argumentasi kelompok yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup, antara lain, ialah :
1. Hukum-hukum Islam dalam bidang ibadah, muamalah, munakahat, jinayat, dan sebagainya, sudah lengkap dan dibukukan secara terinci dan rapi. Karena itu, ijtihad dalam hal-hal ini tidak diperlukan lagi.
2. Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui madzhab empat. karena itu, penganut madzhab Ahl al-Sunnah hendaknya memilih salah satu dari madzhab empat, dan tidak boleh pindah madzhab.
3. Membuka pintu ijtihad, selain hal itu percuma dan membuang-buang waktu, hasilnya akan berkisar pada hukum yang terdiri atas kumpulan pendapat dua madzhab atau lebih, hal semacam ini terkenal dengan istilah "talfiq", yang kebolehannya masih diperselisihkan oleh kalangan ulama ushul; hukum yang telah dikeluarkan oleh salah satu madzhab empat, berarti ijtihad itu hanyalah tahsil al-hasil, hukum yang sesuai dengan salah satu madzhab di luar madzhab empat, padahal selain madzhab empat tidak dianggap sah oleh mayoritas ulama Ahl al-Sunnah, hukum yang tidak seorang ulama pun membenarkannya, hal semacam ini pada hakikatnya sama dengan menentang ijma'.
4. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad keempat Hijriah sampai kini, tak seorang ulama pun berani menonjolkan dirinya atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai seorang mujtahid muthlaq mustaqil. Hal ini menunjukkan bahwa syarat-syarat berijtihad itu memang sangat sulit, kalau tidak dapat dikatakan tidak mungkin lagi untuk saat sekarang.
Sebelum mempertemukan kedua pendapat yang saling bertentangan tersebut, terlebih dahulu penulis kutipkan hasil keputusan lembaga Penelitian Islam al-Azhar di Kairo yang bersidang pada Maret 1964 M :
"Muktamar mengambil keputusan bahwa AI-Quran dan Sun¬nah Rasul merupakan sumber pokok Hukum Islam dan bahwa berijtihad untuk mengambil hukum dari Al-Quran dan Sunnah adalah dibenarkan bagi orang yang memenuhi persyaratannya manakala ijtihad itu dilakukan pada tempatnya dan bahwa jalan untuk memelihara kemaslahatan dan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang selalu timbul, hendaklah dipilih di antara hukum-hukum fiqh pada tiap-tiap madzhab hukum yang memuaskan. Jika dengan jalan tersebut tidak terdapat suatu hukum yang memuaskan, maka berlakulah ijtihad bersama (kolektif) berdasarkan madzhab dan jika tidak memuaskan, maka berlakulah ijtihad bersama secara mutlak. Lembaga penelitian akan mengatur usaha-usaha untuk mencapai ijtihad beirsaama, baik secara madzhab maupun secara mutlak, untuk dapat dipergunakan bila diperlukan."
Dari keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar terset dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Pintu ijtihad muthlaq mustaqil, baik secara perseorang (fardi) maupun secara kolektif (jama'iy) sudah tertutup. Ijtihad muthlaq mustaqil ialah ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan norma-norma hukum dan kaidah istinbath yang menjadi sistem (metode) bagi mujtahid dalam menggali hukum. Norma dan kaidah-kaidah itu dapat diubahnya manakala dipandang perlu.
2. Pintu ijtihad muthlaq muntasib, secara perseorangan, sudah tertutup, tetapi tetap terbuka bagi orang-orang yang memenuhi syarat dan dilakukan secara bersama. Ijtihad muthlaq muntasib ialah "ijtihad yang dilakukan dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath yang dibuat oleh mujtahid muthlaq mustaqil, dan berhak hanya menafsirkan apa yang dimaksud dengan norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut."
3. Pintu ijtihad di bidang tarjih oleh perseorangah maupun bersama masih tetap terbuka bagi mereka yang memenuhi syarat-syarat ijtihad.
4. Masalah fiqh tidak dapat dilepaskan dari persoalan madzhab sebab madzhab merupakan sistemnya orang yang melakukan ijtihad.
Berdasarkan tingkatan dan syarat-syarat ijtihad, keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar merupakan jalan tengah yang mempertemukan dua pendapat yang berbeda di atas. Keputu tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
Dengan demikian, yang dimaksud "pintu ijtihad telah tutup" ialah ijtihad muthlaq mustaqil perseorangan maupun kolektif, dan ijtihad muthlaq muntasib perseorangan. Dan yang maksud dengan "pintu ijtihad masih tetap terbuka" ialah ijtihad muthlaq muntasib. secara kolektif dan ijtihad di bidang tarjih bagi yang memenuhi persyaratan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi
لا تزال طائفة من أمتي على الحق ظاهرين حتى تقوم الساعة
Artinya:
Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menjelaskan kebenaran sehingga tiba hari kiamat.
Dan Sabda Nabi Muhammad Saw sebagai berikut :
ان الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل ما ئة سنة يجدد لها أمر دينها

Artinya:
"sungguhnya Allah SWT akan membangkitkan seorang pembaharu (mujtahid) urusan agama (fiqh) untuk umat ini (umat Islam) pada setiap satu abad"
Dengan demikian tidak tepat kalau dikatakan bahwa pintu Ijtihad tetap sepenuhnya terbuka tanpa ada batasan. Sebab, hal ini selain tidak realistis, juga akan membuka peluang bagi orang-jorang yang tidak bertanggung jawab untuk mengacaukan Islam dengan dalih ijtihad. Hal ini sangat berbahaya. Demikian juga, tidak tepat kalau dikatakan bahwa pintu ijtihad sudah sepenuhnya tertutup tanpa ada batasan. Sebab dalam kenyataannya banyak masalah baru muncul, yang belum pemah disinggung oleh Al-Qur'an dan Sunnah, bahkan belum pemah dibicarakan oleh para mujtahid terdahulu, dan masalah-masalah tersebut memerlukan ketentuan hukum. Apabila pintu ijtihad tertutup, maka akan banyak permasalahan baru yang tidak dapat kita ketahui hukumnya. Dengan demikian, Hukum Islam menjadi beku, kaku, danstatis sehingga Islam akan ketinggalan zaman.
Di sini dapat penulis tegaskan bahwa ijtihad dalam arti menciptakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath yang dapat di pergunakan sebagai patokan atau sistem penggalian hukum, adalah tertutup. Sebab, norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath yang telah dirumuskan oleh imam-imam mujtahid terdahulu sudah baku dan paten, yang validitas dan kredibilitasnya diakui oleh seluruh ulama. Kita memang sudah tidak mungkin lagi dapat menciptakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath yang bam. Sedangkan ijtihad mengenai hukum suatu permasalahan baru yang belum disinggung oleh AI-Quran dan Sunnah serta pembahasan ulama-ulama terdahulu, tetap terbuka bagi yang memenuhi persyaratan, baik perseorangan maupun kolektif.

Sabtu, 05 Maret 2011

Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam pasal 77-84. Adapun isi dalam pasal-pasal tersebut, secara garis besar mempertegas kembali dalam pasal 30-34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal-pasal tersebut dikemukakan bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberikan bantuan batin yang satu kepada yang lain. Selain itu suami isteri juga harus memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka. Suami isteri harus mempunyai tempat yang ditentukan bersama. Dalam rumah tangga itu kedudukan suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Kewajiban suami dalam rumah tangga adalah;
(1) Membimbing isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai urusan dalam rumah tangga yang penting diputuskan bersama-sama oleh suami isteri.
(2) Melindungi isteri dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan member kesempatan belajar pengetahuan yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung nafkah, pakaian, tempat dan kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak serta membiayai pendidikan anak.

Kewajiban suami sebagaimana telah dikemukakan di atas, khususnya kewajiban suami yang berkaitan nafkah, pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, perawatan, pengobatan gugur apabila isteri nusyuz. Isteri dianggap nusyuz jika ia tidak berbakti lahir batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam kecuali dengan alasan yang sah. Apabila isteri tidak nusyuz lagi, maka suami wajib memberikan ketentuan yang yang telah ditetapkan sebagaimana tersebut diatas seperti kewajibannya sebelum isteri nusyuz. Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Suami wajib pula menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas`isteri yang dalam masa iddah. Tempat kediaman yang berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan sebagai tempat menata dan mengatur alat rumah tangga. Ketentuan ini berlaku juga kepada seorang suami yang beristri lebih dari satu orang kecuali ada perjanjian kawin. Jika para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.
C. Pelanggaran Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Pelanggaran adalah sebuah perilaku yang kurang baik karena tidak mematuhi, mengikuti serta melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan dan juga dapat merugikan seseorang. Dalam sebuah pernikahan, salah satu pelanggaran yang dilakukan yaitu tidak terpenuhinya hak dan kewajiban bersama antara suami dan isteri atau sebaliknya salah satu diantara kedua belah pihak tidak memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing.
Pernikahan adalah sebuah ikatan yang suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, mawaddah, dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT seperti dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu, keutuhan dalam rumah tangga harus dijaga sejak pernikahan dilaksanakan, dengan melakukan serta memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing.
Apabila hak dan kewajiban masing-masing tidak terlaksana maka keduanya yaitu suami isteri telah melanggar aturan yang telah ditentukan dalam hukum pernikahan. Karena hak dan kewajiban suami isteri telah diatur secara baik dan pasti dalam Al-Quran, Hadis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ,serta dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Syahrizal Abbas dalam bukunya mengutip sebuah tulisan dari M. Hoballah yang berjudul “Marriage, Divorce, and Inheritance in Islamic Law” yang di dalamnya menerangkan, bahwasanya Hoballah menyebutkan dari beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa penyebab utama ketidaknyamanan rumah tangga dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami isteri secara adil dan makruf, baik hak dan kewajiban yang bersifat materiil maupun hak dan kewajiban yang bersifat immateriil.
Selain karena tidak terpenuhinya hak dan kewajiban di antara masing-masing pihak merupakan sebuah bentuk pelanggaran dalam hak dan kewajiban suami isteri. Adapun bentuk lain dari pelanggaran hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga yaitu adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga baik itu dilakukan oleh suami kepada isteri atau sebaliknya, namun biasanya perempuan lebih banyak menjadi korban kekerasan daripada pelaku karena dianggap kaum lemah dan tidak dapat bertindak sesuatu apapun.
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap/segala perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam kehidupan rumah tangga. Berdasarkan data-data yang direkam dari berbagai lembaga pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga dan kasus yang ditangani oleh kepolisian, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi adalah;
1. Kekerasan Fisik
2. Kekerasan Seksual
3. Kekerasan Psikis
4. Kekerasan Ekonomi/ Penelantaran Ekonomi
Islam menghendaki seseorang tidak boleh melakukan kekerasan kepada siapapun (menjadi pelaku), dan memerintahkan untuk tidak menjadi korban. Karena itu pelaku kekerasan harus ditindak tegas, demikian pula perlindungan terhadap korban kekerasan untuk pulih dan bisa hidup normal.
Dalam sebuah hadits yang dikutip oleh Mufidah Ch dari hadits yang diriwayatkan Imam al Turmudzi:
عَنْ سُلَيْمَانَ عَمْرُو بْنُ اْلأَحْوَصِ. حَدَّثنَِيْ أَبِيْ أَنـَّهُ شَهِدَ حُجَّةُ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُوْلِ للهِ ص.م.... أَلاَّ وَاسْتـَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنمَّاَ هُوَ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ ذَلِكَ. ( رواه الترمذي)
Artinya: Dari Sulaeman A’mru ibnu Akhwas, bahwasnya ayahku telah mengatakan kepadaku bahwa ia telah menyaksikan haji wada’ bersama Rasulullah SAW…. “Ingatlah aku berpesan agar kalian berbuat baik terhadap perempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan diantara kalian, padahal sedikitpun kalian tidak berhak memperlakukan mereka, kecuali untuk kebaikan itu”.(H.R. Imam Turmudzi)

Dengan adanya tindak kekerasan dalam keluarga, maka kebahagiaan dalam rumah tangga tidak tercipta dan jauh dari tujuan pertama perkawinan yaitu mebentuk keluarga yang sakinah. Karena kebahagiaan dalam keluarga serta membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah merupakan harapan bagi semua orang.