Yang dimaksud dengan sanad hadis atau biasa disebut juga dengan isnad hadis, ialah penjelasan tentang jalan (rangkaian periwayat) yang menyampaikan kita kepada materi hadis. Dalam hal ini, termasuk juga para periwayat (Ruwat) hadis. Pengertian kaedah kesahihan sanad hadis disini ialah segala syarat, criteria, atau unsur yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas shahih.
Sanad, menurut lughah atau secara etimologis, as-sanadu mempunyai arti sebagai berikut, antara lain:
1. سند (sanadun) = sokongan, tunjangan = support
2. أسند (asnada) = menaikan, mengangkat ke atas = to help ascend
3. إستند إلى (istannada ila) = bersandar pada … = to lean upon
4. سندان ج سنا دين (sandânun, jamak sanâdin) = landasan, paron = anvil
Pengertian ini bisa dilihat dalam kamus-kamus bahasa yang bersangkutan dengan ini
Adapun menurut istilah atau terminologis, as-Sanadu mempunyai arti: “Jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis”. Maksudnya, sejumlah nama orang yang menjadi perawi sebuah hadis secara berurutan.
Hal ini artinya bahwa semua nama-nama perawi hadis itu diidentifikasi satu persatu dari mulai sahabat yang mengambil dan menerima langsung dari Rasulullah saw, lalu tabî’în yang menerima langsung dari sahabat sampai dengan kepada pengkodifikasi hadis-hadis Nabi saw seperti al Imam al-Bukhâri, al-Imam Muslim, an-Nasâi, Abu Dâwud, at-Turmudzi, Ibnu Mâjah, Ahmad ibnu Hanbal, al-Imam Malik, ad-Dâruquthni, ad-Dârimi, dan lain-lain. Imam as-Syafi’i telah mengemukakan criteria hadis shahih yaitu rangkaian sanadnya bersambung kepada Nabi saw
Kritik sanad yakni kritik yang mengandung suatu pengertian penilaian terhadap keadaan setiap perawi hadis yang bersangkutan dari berbagai aspek, nama lengkap, nama ayah, kunyah (panggilan), al-Laqab (gelar), masa hidup, pengetahuan, guru dan murid, kejujuran, kesalehan, kekuatan ingatan, cara berfikir, dan aliran teologi yang dianutnya sehingga penilai dapat menentukan apakah riwayatnya dapat diterima atau tidak. Kritik sanad dalam ilmu hadis disebut an-Naqd al-Khariji (kritik ekstern).
Sebelum lahirnya Islam, orang Arab sudah mengenal sistem sanad, yaitu ketika meriwayatkan sya’ir dan kisah yang diperolehnya dari generasi sebelumnya kepada generasi sesudahnya. Demikian pula halnya dengan penggunaan sanad dalam periwayatan hadis pada masa permulaan Islam. Pada zaman dahulu kaum muslimin tidak mempertanyakan isnad, demikian Muhammad ibnu Sîrîn (w. 110 H) menjelaskan, akan tetapi setelah terjadi Fitnah al-Kubrâ (perang saudara), mereka berkata: “sebutkan kepada kami orang-orangmu”. Dan apabila dilihat oleh mereka hadis itu berasal dari Ahlu al-Sunnah mereka mengambilnya dan bila dari ahli bid’ah, mereka tidak mau mengambilnya. Pada masa permulaan Islam mereka tidak mempertanyakan isnad karena mereka pada ketika itu tidak melakukan dusta (barangkali karena Rasulullah saw masih ada di tengah-tengah mereka), rasa iman mereka masih tetap teguh kuat mantap di dada dan hati mereka masih penuh diliputi dengan rasa kejujuran. Akan tetapi setelah terjadinya perang saudara, sudah lain lagi permasalahannya, ada diantara mereka yang berani berdusta demi kepentingan diri, partai, fraksi dan golongannya.
Semua keterangan di atas yang diterangkan oleh Ibnu Sîrîn (w. 23-110 H), itu bukan berarti bahwa para sahabat dan tabi’in sama sekali tidak menggunakan sanad dalam meriwayatkan hadis sebelum perang saudara terjadi, kadang kala mereka menyebutkan sanadnya dan kadang kala tidak. Sebagaimana Muhammad Musthafa al-‘Azami menerangkan bahwa aktifitas umum yang ada di kalangan para sahabat bahkan di masa Nabi saw adalah meriwayatkan hadis di kala mereka bertemu. Di antara mereka banyak yang membuat ketentuan khusus untuk menghadiri halaqah (majlis Nabi saw) dan untuk memberitahukan apa yang mereka dengar dari Nabi saw kepada teman-teman mereka yang tidak hadir. Biasanya secara alami, dalam menyampaikan informasi kepada orang ketiga, mereka biasanya menggunakan kalimat tertentu seperti: “Nabi saw bersabda demikian dan demikian” atau “Nabi saw berbuat begini dan begitu”. Suatu contoh saja, Imam Ibnu Thalhah datang kepada Nabi saw dan berkata: “Muhammad, utusanmu datang dan memberitahu kami…” . Kemudian ada juga diterangkan bahwa Abu Ayyub (w. 50 H) pernah meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah (w. 59 H) yang tidak didengarnya langsung dari Nabi saw.
Keterangan yang diterangkan oleh Ibnu Sîrîn (23–110 H) seperti tersebut di atas adalah menunjukan bahwa tuntutan terhadap sanad muncul setelah berlangsungnya perang saudara dan sanad ketika itu dibagi kepada dua macam; (1) Ahli Sunnah, dan (2) Ahli Bid’ah. Riwayat Ahli Sunnah bisa diterima sedangkan riwayat Ahli Bid’ah tidak bisa diterima. Perang saudara bisa kita temukan dalam sejarah Islam telah terjadi beberapa kali. Namun, perang saudara (Fitnah al-Kubra) yang paling besar dan mengerikan yang menyebabkan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam dan pengaruhnya bisa dirasakan sampai dengan sekarang adalah perang yang terjadi antara Sayyidina ‘Ali Ibn Abi Thalib (Khalifah IV) Karramallâhu Wajhahu (w. 40 H) dengan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan (w. 66 H). Perang tersebut terjadi pada tahun 37 H. Ada cerita yang menarik bahwasanya pernah Busyair al-‘Adwi (w. sebelum 100 H) datang kepada Ibnu Abbas (w. 59 H) menyampaikan suatu hadis dengan katanya: “Rasulullah saw telah bersabda, Rasulullah saw telah bersabda (diulang-ulang dalam pengucapan hadisnya itu), sedangkan Ibnu Abbas sendiri tidak mau mendengarkan perkataan (hadis)-nya itu dan tidak mau menoleh kepadanya. Lalu Busyair al-Adwi bertanya kepada Ibnu Abbas: “Kenapa engkau bersikap demikian tidak mau mendengar perkataan (hadis) nya”. Lalu Ibnu Abbas menjelaskan; “Dahulu, jika kami mendengar seseorang berkata: “Rasulullah saw bersabda”, maka kami segera menoleh kepadanya dan kami mendengarnya dengan telinga kami, akan tetapi setelah ada orang melakukan penyimpangan dan kehinaan, kami tidak mau lagi mengambil perkataan (hadis) dari orang kecuali apa yang kami ketahui”. Hal ini menunjukan pertanyaan (kritik) tentang sanad telah terjadi di kalangan para sahabat. Adapun di masa tabi’in, orang mempertanyakan dan mengharuskan adanya sanad adalah suatu contoh saja misal apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abd al-Barr (w. 463 H) dari as-Sya’bi (w. 103 H) dari ar-Râbi’ ibnu Khutsaim (w. 63 H) as-Sya’bi berkata: “saya bertanya kepada ar-Râbi’ Ibn Khutsaim: “siapakah yang menceritakan kepadamu hadis ini?” Jawabnya: ‘Amr Ibn Maimûn al-‘Audi (w. 74 H). Sayapun menjumpai ‘Amr Ibn Maimûn dan bertanya: “Siapakah yang menceritakan kepadamu hadis ini?”, Jawabnya: “Abdurrahman Ibn Abi Laila (w. 86 H)”. Lalu saya temui lagi Ibnu Abi Laila dan bertanya: “Siapakah yang menceritakan kepadamu hadis ini?”, jawabnya: “Abu Ayyub al-Anshari (w. 50 H) yaitu sahabat Rasulullah saw”.
Ibnu Sîrîn juga menerangkan bahwa mereka membedakan juga antara Ahli Sunnah dan Ahli Bid’ah. Mereka mempunyai kriteria tentang ahli bid’ah yakni orang yang tidak menganut faham ahli sunnah pada umumnya mereka nilai sebagai ahli bid’ah, artinya bahwa mereka benar-benar telah melakukan kritik sanad karena mereka telah melakukan penilaian terhadap perawi hadis yang tidak mereka terima sesuai dengan kriteria yang mereka tentukan, demikian pula di kalangan para sahabat, kedudukan sanad sangat diperhatikan sekali misalnya Abdullah Ibn Abbas (w. 68 H) dan Abu Hurairah (w. 59 H) berkata: “Sesungguhnya ilmu (hadis) ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu ambil agamamu”. Ungkapan yang sama ini ditemukan juga di kalangan tabî’în seperti Zaid Ibn Aslam al-‘Adwi (w. 126 H) al-Hasan (w. 110 H), ad-Dhahak Ibn Muzahin (w. 105 H), Ibrâhîm an-Nakhâi (w. 96 H) dan Anas Ibn Sîrîn (w. 118 H). Malik Ibn Anas (w.197 H) berkata: “Sesungguhnya ilmu (hadis) ini adalah daging dan darahmu dan tentangnya engkau akan ditanya pada hari kiamat. Oleh karena itu maka perhatikanlah dari siapa engkau mengambil ilmu (hadis) itu?”. Sufyan al-Tsauri (w.161 H) berkata: “Isnad adalah senjata seorang mukmin. Bila orang mukmin tanpa senjata, dengan apa ia berperang?”, Abdullah Ibn al-Mubarak (w. 181 H) berkata: “Isnad adalah bagian dari agama. Sekiranya tanpa isnad niscaya orang yang ingin berkata akan mengatakan apa saja yang diinginkannya”.
Dari keterangan Abdul Maujûd Muhammad Ibn Lathîf dalam kitabnya Ilmu al-Jarhu wa at-Ta’dil dan keterangan-keterangan lainnya seperti tersebut di atas adalah menunjukan adanya keberadaan dan kedudukan sanad di kalangan sahabat dan tabi’in. Ungkapan-ungkapan mereka juga menunjukan adanya kritik sanad, baik di masa sahabat maupun tabi’in. Lalu kita dapati juga keterangan bahwa ada ungkapan yang senada di kalangan para ulama ahli hadis berikutnya, seperti pernyataan al-Hakim (w. 405 H): “Sekiranya tanpa isnad dan tuntutan kelompok ini terhadapnya serta banyaknya mereka latihan untuk menghafalnya, niscaya hilanglah obor Islam, sedang kaum atheis dan ahli bid’ah akan dapat membuat-buat hadis, membolak-balik sanad-sanad, karena sesungguhnya khabar (hadis) jika luput dari keberadaan sanad-sanad yang ada padanya maka pasti akan menjadi putus.