Rabu, 16 Maret 2011

Prinsip-Prinsip Hukum Pembuktian

Prinsip-prinsip dalam hukum pembuktian adalah landasan penerapan pembuktian semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang digariskan prinsip dimaksud, prinsip hukum pembuktian anatara lain sebagai berikut:
1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil

Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang {negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran ini harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki. Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Namun, tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Pada. dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.
Dalam rangka mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai pegangan bagi hakum maupun bagi para pihak yang berperkara, yaitu antara lain tugas dan peran Hakim bersifat pasif, artinya hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat, Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata hanya terbatas pada mencari dan menemukan kebenaran formil, dimana kebenaran tersebut diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakte-fakte yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung. Dan kemudian putusan hakim berdasarkan pembuktian fakte, hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian, kunci ditolak atau dikabulkannya gugatan harus berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakte-fakte yang diajukan para pihak.

2. Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Perkara
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara sudah berakhir apabila salah satu pihak memberikan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni dan bulat atas materi pokok yang didalilkan penggugat, dianggap perkara yang disengketakan telah selesai, karena dengan pengakuan itu telah dipastikan dan diselesaikan hubungan hukum yang terjadi antara para pihak, begitu juga sebaliknya.

3. Fakte-fakte yang Tidak Perlu Dibuktikan
Tidak semua fakte harus dibuktikan. Fokus pembuktian ditujukan pada kejadian atau peristiwa hubungan hukum yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan dalam fundamentum petendi gugatan pada satu segi dan apa yang disangkal pihak lawan pada sisi lain.

4. Bukti Lawan (Tegenbewijs)
Salah satu prinsip dalam hukum pembuktian yaitu memberi hak kepada pihak lawan mengajukan bukti lawan.
Pasal 1918 KUHPerdata menyatakan:
"Suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, di dalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya."
Dengan kata lain, Pasal 1918 KUHPerdata ini memberi hak kepada pihak lawan untuk mengajukan pembuktian sebaliknya terhadap pembuktian yang melekat pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembuktian sebaliknya itulah yang dimaksud dengan bukti lawan atau tegenbewijs.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai macam-macam alat bukti, maka terlebih dahulu kita harus diketahui dan dimengerti beberapa pengertian tentang bukti dan juga beberapa teori pembuktian.
1. Bukti lemah
Bukti lemah adalah alat bukti yang dikemukakan penggugat yang sedikitpun tidak memberikan pembuktian atau memberikan pembuktian tetapi tidak memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk menerima dalil-dalil gugatan, artinya alat bukti ini hanya mempunyai daya bukti permulaan (kracht van begin bewijs). Jadi derajat bukti yang dibutuhkan belum tercapai oleh karena itu gugatan harus ditolak dan penggugat sebagai pihak yang kalah. Daya bukti permulaan saja tidak dapat menjadi dasar hakim bagi pengiriman suatu gugatan.

2. Bukti sempurna
Bukti sempurna adalah bukti yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan telah sempurna, artinya tidak perlu lagi melengkapi dengan alat bukti lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan diajukan dengan bukti sangkalan (Tengen bewijs). Jadi dengan bukti sempurna yang diajukan tersebut, memberikan kepada hakim kepastian yang cukup, akan tetapi masih dapat dijatuhkan oleh bukti sangkalan. Dengan demikian, bukti sempurna mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa tuntutan penggugat benar dan harus diterima kecuali tergugat dengan bukti sangkalannya (tengen bewijs) berhasil mengemukakan alat bukti yang berdaya bukti cukup guna menyangkal apa yang dianggap oleh hakim telah benar.
3. Bukti pasti/menentukan (Beslissend Bewijs)
Akibat diajukan pembuktian dengan alat bukti yang mempunyai daya bukti pasti/menentukan, maka terhadap pembuktian tersebut tidak diperbolehkan untuk memajukan bukti sangkalan. Pembuktian dengan alat bukti pasti/menentukan, mengakibatkan bagi penggugat atau tergugat yang mengemukakan alat bukti tersebut, suatu posisi yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Dengan demikian tuntutan yang diajukan dianggap benar, beralasan dan dapat diterima. Peluang pihak lawan untuk mengajukan bukti sangkalan tidak ada lagi.

4. Bukti yang mengikat (Verplicht Bewijs)
Dengan adanya alat bukti yang mempunyai daya bukti mengikat, maka hakim wajib untuk menyesuaikan keputusannya dengan pembuktian tersebut. Contoh dalam hal ini adalah dalam hal adanya sumpah pemutus (sumpah decissoir).

5. Bukti sangkalan (Tengen Bewijs)
Bukti sangkalan adalah alat bukti yang dipergunakan dalam bantahan terhadap pembuktian yang diajukan oleh lawan dalam persidangan. Pembuktian ini bertujuan untuk menggagalkan gugatan pihak lawan. Pada prinsipnya segala bukti dapat dilemahkan dengan bukti sangkalan, kecuali undang-undang sendiri secara tegas melarang diajukannya suatu alat bukti sangkalan, misalnya terhadap sumpah pemutus (sumpah decissoir) Yang diatur dalam Pasal 1936 KUHPerdata.
Seperti telah diuraikan di atas, maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Namun, hakim yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim:
1. Teori hukum subyektif (teori hak), Teori ini menetapkan bahwa barangsiapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
2. Teori hukum objektif, Teori ini mengajarkan bahwa seseorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum atas fakte-fakte untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.
3. Teori hukum acara dan Teori kelayakan
Kedua teori iru bermuara pada hasil yang sama yakni hakim seyogianya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian. Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan prosesml yang sama dari para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan demikian hakim harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
Sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan adalah hakim, dan hanya judex facti. Terdapat 3 (tiga) buah teori bagi hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak:

1. Teori pembuktian bebas
Teori ini menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam menilai alat bukti. Hakim tidak terikat oleh suatu ketentuan hukum, atau setidak-tidaknya ikatan-ikatan oleh ketentuan hukum harus dibatasi seminimum mungkin. Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak terpengaruh oleh apapun dan oleh siapapun.

2. Teori pembuktian negatif
Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif. Ketentuan tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan pengecualian. (Pasal 306 RBg/169 HIR, Pasal 1905 KUHPerdata)
Pasal 306 RBg/169 HIR:
" Keterangan seorang saksi saja, dengan ddak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercayai di dalam hukum. "

Pasal 1905 KUHPerdata:
" Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya. "


3. Teori pembuktian positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat. (Pasal 285 RBg/165 HIR, Pasal 1870 KUHPerdata)
Pasal 285 RBg/165 HIR:
" Akte otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentaan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akte tersebut. "
Pasal 1870 KUHPerdata :
"Suatu akte otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahH watisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. "

Tidak ada komentar:

Posting Komentar