Kamis, 05 Mei 2011

Perkawinan Menurut Agama Budha

Agama Budha lahir dan berkembang pada abad ke-6 Sebelum Masehi. Agama ini beroleh namanya dari panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang mula-mula, Sidharta Gautama (563 - 483 SM), yang dipanggil dengan Budha.
Gautama Buddha nama aslinya Pangeran Siddhartha putra Raja Kapilavastu. Beliau dilahirkan pada awal masa Magadha (546–324 SM) di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini, yang secara geografis terletak di Nepal bagian selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (orang bijak dari kaum Sakya). Ayahnya adalah Raja Suddodana dari kerajaan Sakya.
Agama Budha mengajarkan agar umatnya hidup dengan menjauhi kotoran-kotoran duniawi, bahkan lebih jauh lagi Budha melegitimasi bahwa hidup ini adalah penderitaan. Siklus yang berputar-putar antara dilahirkan, tua, mati dan dilahirkan kembali merupakan penderitaan.
Adapun yang menjadi faktor penyebab orang dilahirkan kembali adalah karena keinginannya kepada hidup yang disertai dengan nafsu mencari kepuasan yang disebabkan karena ketidak tahuan (avidya). Agar manusia terlepas dari penderitaan, harus ditempuh dengan menghapus keinginan atau nafsu secara sempurna dengan menggunakan delapan jalan (maga) kelepasan, yakni: percaya yang benar, maksud yang benar, kata-kata yang benar, perbuatan yang benar, hidup yang benar, ingatan yang benar dan samadhi yang benar.

Agama Budha mengajarkan kepada umatnya untuk memprioritaskan apa yang disebut dengan kebahagiaan tertinggi (nirwana). Maka sebuah perkawinan tidak akan mencapai kebahagian apabila yang menjadi prioritas bagi suami dan isteri hanyalah hal-hal yang bersifat keduniaan. Perkawinan sebagai salah satu aspek hidup akan selalu dicengkeram oleh dukha, dan dalam satu perkawinan kebahagiaan yang diperoleh adalah kebahagiaan yang bersifat duniawi (lokiya) sedangkan kebahagiaan yang tertinggi adalah nirwana (nibbana), yang untuk mencapainya diperlukan pemadaman semua kotoran bathin, termasuk nafsu seks.
Mengenai persoalan perkawinan ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Pandita Sasanadhaja Dokter R. Surya Widya dalam artikel di situs resmi Samanggi Phala (Buddhist Information Network), menyatakan bahwa dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur perkawinan, akan tetapi dari berbagai Sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia. Sedikitnya uraian (hukum) yang mengatur persoalan perkawinan, berdasar atas azas kebebasan bahwa seorang laki-laki yang beragama Buddha di dalam hidupnya dapat memilih antara hidup berkeluarga dan tidak berkeluarga.
Sebelum dilangsungkannya perkawinan, bagi umat Budha diharuskan untuk saling memantau antara calon pasangan, sehingga masing-masing mendapatkan informasi mendalam tentang kondisi pribadi pasangannya. Hal ini didasarkan atas konsep kesetaraan yang dipandang sangat penting dalam kelangsungan hidup berumah tangga. Sebagaimana yang ditulis oleh Pandita Sasana Dhaja R. Surya Widya: Apabila sepasang suami isteri ingin bersama-sama (berjodoh) dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang akan datang maka ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu keduanya harus setara dalam keyakinan (saddha), setara dalam etika atau moral (sila), setara dalam kemurahan hati (caga) dan setara dalam kebijaksanaan/pengertian (panna). (Angutara N. II, 62).
Yang dimaksud dengan saddha adalah keyakinan yang mendalam terhadap sang Tiratna (Triratna) yaitu Budha, Dhamma dan Sangha dalam keadaan yang bagaimanapun juga umat Budha hanyalah berlindung kepada sang Triratna.
Sila mempunyai pengertian bahwa bagi setiap umat Budha yang hidup berkeluarga terdapat lima sila yang wajib ditaati. Kelima sila tersebut adalah:
1) Tekad melatih diri untuk tidak menghilangkan nyawa makhluk lain yang bernafas,
2) Tidak mengambil barang orang yang diberikan,
3) Tidak melakukan perbuatan asusila,
4) Tidak mengucapkan kata-kata yang tidak benar, tidak berguna, tidak beralasan dan tidak tepat waktu,
5) Tidak menggunakan segala zat yang dapat melemahkan kesadaran.
Caga adalah kemurahan hati, suka memberi atau berdarma, suka membantu mereka yang perlu dibantu, merasa gembira dan bahagia melihat orang lain berbahagia dan damai.
Panna adalah kebijaksanaan yang merupakan landasan segala hal yang baik, yang dilakukan oleh seorang yang memahami ajaran sang Budha.
Di dalam agama Budha tidak banyak ditemukan hukum yang mengatur tata cara perkawinan itu sendiri secara langsung seperti dikemukakan oleh Pandita Sasanadhaja Dokter R. Surya Widya diatas, namun demikian dapat ditelusuri berbagai macam aturan yang harus dijadikan pedoman kehidupan suami dan istri agar hidup mereka bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar