Kamis, 13 September 2012

POLITIK HUKUM ISLAM DALAM RUU HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1] Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Tak dapat dibantah lagi bahwa menikah adalah hak asasi setiap manusia. Konvensi Internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional telah dengan jelas melindungi dan mengatur agar terjaminnya hak-hak warga negara untuk melangsungkan perkawinan. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28b (1) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. UU no 39 tahun 1999 juga menyebutkan hal yang sama di pasal 10 ayat (1). Tak hanya instrumen hukum nasional, instrumen hukum internasional pun menjelaskan hal senada. Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM) menegaskan posisi perkawinan sebagai hak asasi manusia melalui article 16 yang menjelaskan bahwa pria dan wanita tanpa batasan ras, kewarganegaraan, atau agama memiliki hak yang sama untuk menikah dan membentuk keluarga. Dengan jaminan instrumen hukum nasional maupun internasional sudah jelas bahwa perkawinan adalah hak asasi manusia.

Dengan mengetahui persamaan esensial, maka diharapkan suami istri didalam kehidupan keluarga dapat menempatkan diri masing-masing secara proporsional dan wajar, sehingga masing-masing pihak bisa menghargai dan menghormati kedudukannya secara obyektif.[2]

Berbicara tentang perkawinan, tak hanya hak untuk menikah yang terlibat di dalamnya, namun hak-hak perempuan, hak untuk mendapatkan keturunan, hak anak, hak untuk memilih pasangan , dan lain-lain. Karena itu, pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi seluruh hak tersebut sekaligus menjaga nilai-nilai dalam masyarakat (agama, kesusilaan, kesopanan,adat) tetap lestari adalah wajib. Pembentukan hukum perkawinan yang melanggar hak-hak di atas jelas adalah tiran, namun membentuk hukum yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat juga akan menimbulkan resistensi dan jelas tidak akan efektif dalam keberlakuannya.

Dalam kehidupan bermasyarakat, sebuah ikatan perkawinan mempunyai dampak yang luas, baik cultural, sosial maupun yuridis atau hokum. Dampak yang lebih besar akan muncul manakala sebuah perkawinan menghasilkan keturunan. Persoalan-persoalan itu kemudian menimbulkan beberapa aspek salah satunya meengenai anak, yaitu akta kelahiran anak, dan sebagainya yang dikategorikan kedalam aspek hokum. Karena itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan dengan segala aspeknya.[3]

B. Rumusan Masalah

Melihat latar belakag diatas, dapat dirumuskan permasalahan mengenai RUU HMPABP ini kedalam beberapa poin berikut;

1. Jelaskan sekilas mengenai RUU Hukum materil peradilan agama bidang perkawinan ini?

2. Apa yang menjadi materi konflik perdebatan dalam RUU HMPABP ini?

3. Apa yang diperdebatkan antar kekuatan politik dalam RUU HMPABP?

4. Apa yang menjadi titik temu (Akomodasi) perdebatan dalam RUU HMPABP ini?

5. Apa hasil akomodasinaya?

BAB II

POLITIK HUKUM ISLAM DALAM

RUU HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN

A. Sekilas tentang RUU HMPABP

Usaha kerah pembentukan UU perkawinan telah dimulai semenjak tahun 1950 dengan surat Putusan Menteri Agama No. B/2/4299 tanggal 1 oktober 1950 dengan membentuk panitia penyidik peraturan hokum perkawinan, talak dan rujuk yang diketuai oleh Mr Teuku Mohammad Hasan. Setelah mengalami bebarapa kali perubahan personalia, maka pada tanggal 1 April 1961 di bentuk panitia baru yang di ketuai oleh Mr. H. Moh. Noer Poerwosoetjipto.[4]

Secara hukum, ikhtiar Negara untuk memiliki Hukum Keluarga telah hadir melalui keberadaan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun patut diakui bahwa undang-undang tersebut lahir dari proses tarik menarik yang kuat di antara berbagai kelompok kepentingan dan masih memiliki muatan untuk mengatur salah satu agama saja dan memberikan kewenangan agar KUA dan Kantor Catatan Sipil mengurus administrasi perkawinan. Oleh karenanya, situasi semacam ini rentan memunculkan konflik kepentingan (conflict of interest) di antara berbagai lembaga peradilan dan intervensi negara yang terlalu kuat pada hak-hak sipil warganya dalam hal perkawinan.

Saat ini, Pemerintah telah rampung menyusun Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. RUU ini bahkan telah masuk dalam prioritas Prolegnas 2010 di DPR RI. RUU yang dikomandoi oleh Departemen Agama RI sejak beberapa tahun ini, terbagi atas 24 Bab dengan 156 Pasal. Berikut ini bab-bab dalam RUU HMPA bidang perkawinan secara umum sebagai berikut:[5]

Bab I Ketentuan Umum

Bab II Dasar-Dasar Perkawinan

Bab III Peminangan

Bab IV Rukun Dan Syarat Perkawinan

Bab V Mahar

Bab VI Larangan Perkawinan Dan Perkawinan Yang Dilarang

Bab VII Taklik Talak Dan Perjanjian Perkawinan

Bagian Kesatu : Taklik Talak

Bagian Kedua : Perjanjian Perkawinan

Bab VIII Perkawinan Perempuan Hamil Karena Zina

Bab IX Beristeri Lebih Dari Satu Orang

Bab X Pencegahan Perkawinan

Bab XI Batalnya Perkawinan

Bab XII Hak Dan Kewajiban Suami Isteri

Bagian Kesatu : Umum

Bagian Kedua : Kedudukan Suami Isteri

Bagian Ketiga : Kewajiban Suami

Bagian Keempat : Tempat Kediaman

Bagian Kelima : Kewajiban Isteri

Bab XIII Harta Kekayaan Dalam Perkawinan

Bab XIV Kedudukan Anak

Bab XV Putusnya Perkawinan

Bab XVI Akibat Putusnya Perkawinan

Bagian Kesatu : Akibat Cerai Talak

Bagian Kedua : Waktu Tunggu

Bagian Ketiga : Harta Bersama Akibat Perceraian

Bagian Keempat : Akibat Khuluk

Bagian Kelima : Akibat Lian

Bab XVII Pemeliharaan Anak

Bab XVIII Perwalian

Bab XIX Rujuk

Bab XX Perkawinan Campuran

Bab XXI Ketentuan Pidana

Bab XXIII Ketentuan Lain

Bab XXIII Ketentuan Peralihan

Bab XXIV Ketentuan Penutup

Kelahiran RUU tersebut didasarkan atas niatan untuk menaikkan status Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi Undang-Undang. Niatan tersebut dilator belakangi absennya Instruksi Presiden dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Absennya Instruksi Presiden tersebut tentu menimbulkan rasa cemas bagi Peradilan Agama. Karena selama hampir 20 tahun, KHI menjadi amunisi para Hakim Peradilan Agama ketika akan memutus perkara yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang melibatkan umat muslim. Hingga tak heran bila akan banyak Pasal dan Bab dalam RUU sebagai penyempurnaan dari Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada masa kelahirannya, KHI bertujuan mengkodifikasi berbagai pandangan mazhab fiqh yang berpotensi menimbulkan perbedaan putusan hukum dalam perkara yang sama.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip itu menuntut penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari kekuasaan negara harus diselenggarakan dengan atau berdasarkan undang-undang.

Dalam menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, Mahkamah Agung dan badan peradilan agama menerapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Mengingat hukum materiil di bidang perkawinan belum memadai, sedangkan sahnya perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing, maka dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, para hakim berpedoman kepada Kompilasi Hukum Islam yang tercantum dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang memuat hukum materiil di bidang perkawinan.

Untuk memenuhi kebutuhan para hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dengan atau berdasarkan Undang-undang, dan masyarakat yang memerlukan kepastian hukum di bidang perkawinan, maka materi Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum Perkawinan perlu diatur dengan undang-undang, sebagaimana halnya materi Buku III tentang Hukum Perwakafan telah ditampung dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Dengan pertimbangan perlunya Hukum Islam di bidang Perkawinan dijadikan sebagai bagian dari sistem hukum nasional serta adanya berbagai perubahan kehidupan masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi pemahaman mengenai perkawinan, maka Undang-undang ini melengkapi beberapa ketentuan hukum materiil di bidang perkawinan.

Meski dalam Prolegnas 2009-2014, keberadaan RUU Hukum Materiil Bidang Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HMPABP) merupakan prioritas untuk dibahas pada tahun ini. Beberapa Materi Pokok dalam RUU HMPABP Ini Adalah:[6]

a. Sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Undang-undang No­mor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Undang-Un­dang ini mewajibkan pencatatan perkawinan di hadapan Pe­jabat Pencatat Nikah untuk menjamin ketertiban administrasi perkawinan dan kepastian hukum bagi para pihak yang me­langsungkan perkawinan guna membentuk keluarga sakinah. Kewajiban hukum pencatatan perkawinan membebankan tu­gas dan wewenang kepada Pejabat Pencatat Nikah untuk mencatat perkawinan dan mengadministrasikannya dalam Akta Nikah dan Buku Pencatatan Rujuk. Selain itu pencata­tan perkawinan merupakan peristiwa penting dari aspek ad­ministrasi kependudukan, sehingga Akta Nikah merupakan akta autentik dalam sistem administrasi Akta Catatan Sipil berdasarkan Undang-Undang.

b. Perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat-syarat per­kawinan atau melanggar ketentuan larangan perkawinan, dinyatakan batal atau dapat dibatalkan berdasarkan gugatan yang diajukan ke Pengadilan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan yang tidak sesuai dengan hukum agama dan tidak sejalan dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

c. Perkawinan mensyaratkan mempelai pria mencapai umur 21 tahun dan mempelai wanita 18 tahun. Peningkatan batas minimum usia perkawinan ini dengan pertimbangan bahwa kondisi kehidupan keluarga (rumah tangga) sakinah me-nuntut kesiapan suami dan isteri untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang makin berat antara lain dalam mengusahakan nafkah dan penyediaan tempat kediaman se-hingga diperlukan tingkat kedewasaan yang umumnya ditan-dai dengan kematangan usia (maturity). Dengan demikian per-kawinan di bawah umur yang merupakan penyimpangan terhadap ketentuan ini harus dengan dispensasi Pengadilan.

d. Mengingat perkawinan dilangsungkan berdasarkan hukum agama, maka larangan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam dimaksudkan untuk menghindari konflik yang terus menerus dalam rumah tangga yang dibangun atas dasar perbedaan agama (interfaith marriage). Perbedaan agama yang terjadi ka­rena salah satu pihak keluar dari agama Islam (murtad) menjadi alasan untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan.

e. Mengingat penegakan hukum materiil di bidang perkawinan termasuk kewenangan yang berada dalam lingkungan pera­dilan agama, maka perkara pidana yang terjadi sebagai akibat pelanggaran Undang-Undang ini harus diputus oleh Pengadi­lan dalam lingkungan peradilan agama setelah perkara terse­but dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri setempat.

B. Materi konflik yang menjadi perdebatan

Hampir tidak ada sesuatu pun yang tidak memunculkan pro-kontra dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Setiap diangkat di media massa, walaupun benang merahnya sudah jelas, tetap saja menjadi perdebatan menarik, walaupun sesuatu itu dibangun dengan niat dan semangat kepentingan nasional. Dalam konteks membangun kecerdasan bangsa, perdebatan itu akan berdampak positif jika didasari nalar, akal sehat, mengusung norma dan memegang etika.

Termasuk di dalamnya pro-kontra Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang mencantumkan pasal-pasal pidana pelanggaran dan kejahatan. Perdebatan masalah ini begitu panjang, mulai perdebatan akademis hingga aspek teknis hukum. Semenjak disahkannya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sebenarnya masyarakat sudah mengetahui konsekuensi hukum dari nikah sirri, diantaranya tidak ada perlindungan hak-hak keperdataan secara utuh bagi sang suami istri dan anak-anaknya. Rentang waktu sejak tahun 1974 ini, ternyata dalam perkembangannya banyak menimbulkan kerugian kepentingan perempuan dan anak-anak. UU 1/1974 tidak cukup mengatur ‘ketat dan kuat’ sebagaimana filosfis dibentuknya sebuah undang-undang.

RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan adalah salah satu usaha pemerintah (sebagai penggagas) untuk membentuk hukum perkawinan yang akomodatif terhadap hak. Meski telah diusulkan sejak enam tahun lalu, namun kini baru menuai kontroversi (Konflik). Hal itu mungkin karena kini RUU tersebut baru saja dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010.

Muatan dalam RUU HMPABP sebenarnya berusaha untuk menyempurnakan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun yang sampai saat ini menjadi kontroversi dalam pembahasan RUU HMPABP adalah adanya materi sanksi pidana dalam RUU tersebut. Diatur Dalam Bab XXI (mulai Pasal 143s/d pasal 151), tindak Pidana Dalam Bab XXI terdiri dari :[7]

a. Pelanggaran (Pasal 143, 145, 146, 148)

b. Tindak Pidana Kejahatan (Psal 144, 147, 149,150)

1. Bentuk Pelanggaran

Pasal 143 yang bunyinya sebagai berikut; Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan.

Pejabat Pencatat Nikah atau disebut Penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Menteri Agama dengan kewenangan untuk mencatat dan mengadministrasikan perkawinan menurut Undang- Undang.

Pasal 145 yang bunyinya sebagai berikut; Setiap orang yang melangsungkan perkawinana dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (eanm) bulan.

Yang dilarang pada pasal ini adalah kawin/nikah lebih dari satu tanpa izin dari Pengadilan Agama.

Pasal 146 yang bunyinya sebagai berikut; Setiap orang yang menceraikan isterinya tidak di depan siding Pengadilan sebagaimana dalam pasal 119 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan.

Yang dilarang oleh Pasal ini adalah seorang laki-laki menceraikan isterinya tidak di depan siding pengadilan.

Pasal 148 yang bunyinya sebagai berikut; Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).

Yang dilarang pada pasal ini adalah bagi Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya untuk mencatat menurut Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

2. Bentuk Tindak Pidana Kejahatan

Pasal 144 yang bunyinya sebagai berikut; Setiap orang yang melakukan perkawinan mutah sebagaimana dimaksud Pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun, dan perkawinanannya batal karena hukum.

Yang dilarang pada pasal ini adalah setiap orang yang melakuan perkawinan mutah. Yang dimaksud perkawinan mutah adalah perkawinan yang dilangsungkan untuk jangka waktu tertentu dengan maksud untuk mencari kesenangan dan kepuasan seksual.

Pasal 147 yang bunyinya sebagai berikut; Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin sehingga menyebabkan perempuan tersebut hamil sedang ia menolak mengawininya dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

Yang dimaksud dengan zina disini adalah hubungan badan di luar nikah yang dilakukan oleh seorang laki- laki dengan seorang perempuan.

Pasal 149 yang bunyinya sebagai berikut; Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Yang dilarang dalam Pasal ini adalah orang yang melakukan kegiatan seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat Nikah/Penghulu, dan Bertindak sebagai wali hakim yang sebenarnya ia tidak berhak (Periksa Pasal 4 dan Pasal 21).

Pasal 150 yang bunyinya sebagai berikut; Setiap orang yang tidak berhak sebagai wali nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah dipidana dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Yang dilarang dalam Pasal ini dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah yang sebenarnya ia tidak berhak (Periksa Pasal 19 dan Pasal 21).

C. Debat antar kekuatan politik dalam RUU HMPABP

RUU Hukum Materiil Peradilan Agama merupakan salah satu RUU prioritas dalam pembahasan prolegnas tahun 2010. RUU ini memuat tentang hukum nikah sirri, poligami dan sanksi terhadap pelakunya. Salah satu sanksi pelaku nikah sirri adalah dengan memidanakan pelaku-pelaku yang terlibat dalam pernikahan sirri. Inilah yang menjadi isu hangat dan perdebatan di kalangan masyarakat mengenai adanya pemidanaan tersebut.

RUU ini mendapat respon yang luar biasa dari berbagai kalangan. Dua ormas Islam besar di tanah air yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tegas menolak pemidanaan pelaku nikah sirri. Menurut Ahmad Bahdja (salah satu ketua PBNU), tidak setuju dengan pemidanaan pelaku nikah sirri karena yang dilanggar bukanlah domain pidana akan tetapi administrasi maka seyogyanya sanksinya bukanlah pidana akan tetapi administrasi.

Berbeda dengan Muhammadiyah, Yunahar Ilyas lebih menyoroti agar lebih menfokuskan pada pemberantasan prostitusi bukan membahas nikah sirri. Gelombang penolakan tidak saja datang dari ke-2 ormas besar tersebut akan tetapi juga dari kalangan pesantren dan ulama.

Berbeda dengan Ketua Mahkamah Konstitusi yang dengan tegas mendukung RUU HMPABP, menyangkut nikah sirri untuk melindungi kepentingan perempuan alias istri dan anaknya. Menurut Mahfud MD, Kepentingan perempuan dan anak hasil nikah sirri lebih diutamakan karena selama ini nikah sirri menimbulkan masalah dengan tidak terjaminnya masa depan pihak istri dan anak hasil nikah sirri secara hukum. Mahfud MD mencontohkan ketika mau sekolah anak harus mempunyai akta kelahiran begitu juga kalau mau mendapatkan warisan maka harus punya akta kelahiran sementara akta kelahiran bisa didapatkan jikalau nikahnya dicatat alias di akui oleh negara sebagai insitusi hukum.

Dukungan pun tidak hanya datang dari Ketua MK akan tetapi juga dari ketua MUI Pusat, MUI Jabar dan juga Menkumham, Patrialis Akbar. Argumentasi mereka adalah melihat sisi si korban yaitu pihak perempuan dan anaknya yang secara hukum negara tidak diakui. Akibatnya akan menimbulkan persoalan dikemudian hari sementara si suami tidak bisa dijerat dengan sanksi karena belum ada peraturannya. Ada peraturan untuk pelaku nikah sirri di kenai sanksi denda Rp. 7.500 sebagaimana dalam UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Banyak pihak perempuan yang bersuara mendukung dipidanakannya pelaku nikah sirri salah satunya adalah mantan istri raja dangdut Rhoma Irama, Leilga, alasannya karena pihak perempuanlah yang dirugikan dalam pernikahan sirri tersebut. Bahkan sampai sekarang Leilga masih trauma dengan praktek nikah sirri tersebut.

Ketua MA menyhambut positif mengenai RUU HMPABP ini, Harifin A. Tumpa, mengemukakan bahwa hukum materiil yang terkait dengan kewenangan peradilan agama relatif masih sedikit dibanding dengan kewenangan yang telah dimilikinya. Sehingga, Ketua MA menyambut positif dimasukannya RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan (HMPABP) ke dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) sekarang ini. Ketua MA mengemukakan hal tersebut ketika menjadi pembicara kunci (keynote speaker) dalam seminar nasional bertajuk “Hukum Materiil Peradilan Agama : antara realita, cita, dan harapan” yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM) di Jakarta.

Sementara itu, mantan Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial yang juga Ketua PPHIMM, Dr. Syamsuhadi Irsyad, SH, MH, berpendapat bahwa selama ini pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa perkawinan menerapkan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya. Namun, hukum materiil di bidang perkawinan bagi umat Islam belum memadai, sehingga para Hakim di lingkungan peradilan agama berpedoman pada KHI buku I tentang Perkawinan yang tercantum dalam lampiran Inpres Nomor 1 Tahun 1991. “KHI menjadi rujukan hakim ini, banyak mendapat kritikan dari akademisi”.

Namun ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa, KHI ini kiranya akan lebih tepat bila statusnya menjadi Keppres ketimbang melompat sebagai Undang-undang. Karena idealnya UU, harusnya sifatnya nasional dan bisa memayungi kepentingan semua kelompok. Di sisi lain, sudah ada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang bersifat nasional, sehingga besar kemungkinan bila RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan (notabene adalah Kompilasi Hukum Islam) tetap dipaksakan menjadi UU akan berdampak menimbulkan dualisme hukum di bidang perkawinan.

Itulah pandangan-pandangan yang pro maupun yang kontra terhadap RUU HMPABP ini, dan bagaimana menurut pandangan teman-teman semua terhadap RUU tersebut yang memuat pasal-pasal pemidanaan bagi yang melanggarnya?

D. Titik temu (Akomodasi) perdebatan dalam RUU HMPABP

RUU HMPABP ini sudah menjadi prioritas pembahasan Prolegnas di DPR, mengenai banyaknya yang kontra terhadap RUU ini dari kalangan umat islam sebagaimana yang telah diuraikan di atas, namun dari kalangan umat islam sendiri maupun dari pemerintah banyak juga yang mendukung terhadap RUU HMPABP ini.

RUU HMPABP ini dapat di sahkan menjadi UU jika diantara para pihak yang berkepentingan yang pro maupun yang kontra terhadap RUU ini, dapat diakomodasi oleh lembaga legislatif agar tercapai sebuah kesepakatan mengenai pasal-pasal yang menjadi perdebatan tersebut tidak bertentangan dengan subtansi hokum islam itu sendiri.

Namun pertarungan antar kelompok yang berkepentingan di DPR belum usai, RUU ini sampai dengan sekarang belum dapat disahkan, keberhasilan dari RUU ini menjadi sebuah produk UU ditentukan konfigurasi politik itu sendiri. Menurut Dr. Abdul Halim, MA, bahwa hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hokum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hokum mencerminkan dari konfigurasi politik yang melahirkannya.[8]

E. Hasil Akomodasi

Akhir dari politik hukum pada RUU ini khususnya yang berkaitan dengan lingkungan Peradilan yang mengadilinya tergantung pada politik hukum kekuasaan yang mengesahkannya. Terlepas dari akhir perjalanan pembahasan RUU, politik hukum RUU ini berasaskan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI Tahun 2009 Nomor 157), Pasal 2 ayat (4) yang berbunyi “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan,” yang penjelasan masing-masing kata tersebut adalah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan „sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif.

Yang dimaksud dengan „biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.”

Apabila RUU disahkan maka para Hakim di lingkungan Peradilan Agama harus mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan undang-undang

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian diatas, dapat ditarik point-point penting dalam pembahasan makalah ini sebagai berikut :

1. Pemerintah telah rampung menyusun Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. RUU ini telah masuk dalam prioritas Prolegnas 2010 di DPR RI. RUU yang dikomandoi oleh Departemen Agama RI, terbagi atas 24 Bab dengan 156 Pasal.

2. Untuk memenuhi kebutuhan para hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dengan atau berdasarkan Undang-undang, dan masyarakat yang memerlukan kepastian hukum di bidang perkawinan, maka materi Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum Perkawinan perlu diatur dengan undang-undang, sebagaimana halnya materi Buku III tentang Hukum Perwakafan telah ditampung dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

3. Yanga menjadi kontroversi dalam pembahasan RUU HMPABP adalah adanya materi sanksi pidana dalam RUU tersebut. Diatur Dalam Bab XXI, mencakup Pelanggaran (Pasal 143, 145, 146, 148), dan Tindak Pidana Kejahatan (Psal 144, 147, 149,150)

4. Akhir dari politik hukum pada RUU ini khususnya yang berkaitan dengan lingkungan Peradilan yang mengadilinya tergantung pada politik hukum kekuasaan yang mengesahkannya. Terlepas dari akhir perjalanan pembahasan RUU, politik hukum RUU ini berasaskan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (LNRI Tahun 2009 Nomor 157), Pasal 2 ayat (4) yang berbunyi “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan,”

B. Saran

Semoga tulisan makalah yang berada di tangan teman-teman sekalian ini, walaupun banyak kekurangan disana sini memberikan manfaat bagi kita semua. Kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari teman-teman semua, hal ini dimaksudkan sebagai cambuk bagi kami untuk pembuatan makalah yang lebih baik lagi. Mohon kepada Yth. Bapak Dr। Abdul Halim, MA, selaku pembimbing dalam mata kuliah Politik Hukum Islam di Indonesia untuk mengoreksi tugas kelompok kami ini, semoga amal kebaikan dan pengabdian beliau dilipatgandakan oleh Allah Swt, Amien.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan file Yuli Muth, Juni 2009

Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004

Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, Depok: BP Iblam, 2004, cet. Ke-1



[1] Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 2

[2] Abdul qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995), hlm. 349-350

[3] Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, (Depok: BP Iblam, 2004), cet. Ke-1, hlm. 34

[4] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 116, dikutip dari Arso Sosroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,( Jakarta:Bulan intang, 1981), Cet. Ke-3, hlm. 9

[5] Draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan file Yuli Muth, Juni 2009, hlm. 2

[6] Draft RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan file Yuli Muth, Juni 2009, hlm. 53

[7] Draf RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan

[8] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 161

Tidak ada komentar:

Posting Komentar