Rabu, 05 Desember 2012

Antara Dissenting Opinion dan Concuring Opinion

Mencermati seleksi hakim agung pada Komisi Yudisial, berita yang muncul dimedia bahwa dalam seleksi agung tersebut ada sebagian Calon Hakim Agung yang tidak mampu menjawab pertanyaan dari para panelis, sebut saja Hamdi, salah satu kontenstan ialah hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Saat ditanyai oleh panelis, Hamdi tidak bisa menjelaskan apa itu Concurring opinion.
Hal itu terlihat saat seleksi calon hakim agung tahap IV. Kala itu, Hamdi ditanyai oleh panelis Saldi Isra tentang arti Concurring opinion. Tetapi Hamdi malah menjelaskan tentang dissenting opinion.
Sebagaimana media Viva menjelaskan dalam beritanya, "Kapan Concurring opinion bisa digunakan?" tanya Saldi Isra. Lantas Hamdi pun menjawab bahwa Concurring opinion bisa dilakukan apabila majelis hakim tidak bisa memberikan keputusan yang sama.
Mendengar jawaban itu, Saldi Isra nampak geleng-geleng. "Itu namanya dissenting opinion, Pak," ucap Saldi. Sekadar diketahui, Concurring opinion adalah majelis hakim memiliki keputusan yang sama tapi alasan pertimbangannya berbeda.
Selain ditanyai soal istilah hukum, para calon hakim agung juga ditanyai tentang harta kekayaan pribadi serta motivasi untuk menjadi 'wakil Tuhan' nan agung itu. Hamdi menjelaskan bahwa dia ingin menjadi hakim agung karena kebanggaan pribadi dan motivasi untuk melakukan perubahan di lembaga peradilan.
Kiranya suasana yang ditampilkan pada saat seleksi hakim agung oleh KY ini, yang pada saat itu keliru menjelaskan apa yang ditanya oleh panelis, mungkin saja merupakan karena tidak ada kesiapan dari yang bersangkutan sendiri, mungkin juga karena alasan grogi atau orang bilang dengan kata “Salting” dihadapan para panelis, sehingga beliau keliru dalam menjawab pertanyaan yang dilontarkan panelis.
Maka atas peristiwa tersebut, timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan dissenting opinion itu? Juga apa yang dimaksud dengan concurring opinion itu? Untuk lebih jelasnya, saya mengutip dari blog sebelah (Mas Abdul Affandi), beliau menjelaskan apa yang dimaksud dengan kedua istilah tersebut dan apa perbedaannya, berikut penjelasannya;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 14 yakni:

(1) Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
(2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
(3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung."

Berdasarkan kaidah hukum yang terkandung dalam undang-undang di atas, memperlihatkan bahwa bagi hakim di Indonesia dapat memungkinkan untuk menyampaikan pendapatnya yang berbeda dan dimuatnya dalam putusan.
Perbedaan pendapat ini bercorak concurring opinion untuk adanya kata mufakat bulat dalam permusyawaratan hakim tetapi ada hakim yang mempunyai pendapat berbeda dengan pendapat mayoritas pada mufakat bulat tersebut.
Sedangkan pendapat yang bercorak dissenting opinion untuk tidak adanya kata mufakat bulat dalam permusyawaratan hakim, dan putusan ditempuh dengan surat terbanyak dari hakim, serta hakim yang berbeda pendapat terhadap surat terbanyak dalam permusyawaratan hakim wajib memuat pendapatnya dalam putusan.
Walaupun demikian, apabila terjadi kedua corak tersebut, hakim yang berbeda pendapat wajib untuk menandatangani dan mengikat dirinya kepada mufakat bulat atau pun terhadap suara terbanyak dalam permusyawaratan hakim.
Dengan adanya kaidah hukum demikian, maka bagi penegakan hukum di Indonesia dapat menjadi tercerahkan. Karena sudah menjadi kelajiman jika ada dua sarjana hukum yang berkumpul akan ada tiga pendapat hukum. Masyarakat akan menjadi paham dan mengerti, pada perkara hukum dapat terjadi pendapat hukum yang berbeda-beda. Dan jalan menuju perbedaan tersebut selalui disertai oleh landasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga akan menjadikan masyarakat menjadi melek hukum.
Dengan adanya kaidah hukum dalam Pasal 14 di Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dapat menjadi "pintu hukum" bagi hakim yang mempunyai rasa pertanggungjawaban kepada masyarakat atas putusan yang diambilnya. Yang mana dahulu kala sebelum undang-undang ini, pendapat yang berbeda di dalam majelis hakim hanyalah bersifat rahasia dan hakim yang berbeda pendapat dengan mayoritas hanya bisa menempuh menulisnya di "buku rahasia"/"buku hitam" yang dipegang oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Semoga untuk perjalanan dunia peradilan di Indonesia ke depannya dapat menjadi bermartabat dengan adanya kebolehan memuat pendapat yang berbeda dalam putusan hakim, yang selanjutnya hal tersebut dapat menjadi penelitian bagi para akademisi di pendidikan tinggi, sehingga hal yang berbeda pendapat tersebut bukan lagi sebagai hal yang rahasia di balik toga sang hakim.
Itulah penjelasan beliau mengenai dissenting opinion dan concurring opinion yang biasa terjadi didalam suatu majelis hakim dalam persidangan, itu tidak bisa dinapikan dalam praktek beracara di pengadilan di Indoensia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar