Mencermati seleksi hakim agung pada Komisi Yudisial, berita yang
muncul dimedia bahwa dalam seleksi agung tersebut ada sebagian Calon Hakim
Agung yang tidak mampu menjawab pertanyaan dari para panelis, sebut saja Hamdi,
salah satu kontenstan ialah hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Saat ditanyai
oleh panelis, Hamdi tidak bisa menjelaskan apa itu Concurring opinion.
Hal itu terlihat saat seleksi calon hakim agung tahap IV. Kala itu,
Hamdi ditanyai oleh panelis Saldi Isra tentang arti Concurring opinion. Tetapi
Hamdi malah menjelaskan tentang dissenting opinion.
Sebagaimana media Viva menjelaskan dalam beritanya, "Kapan
Concurring opinion bisa digunakan?" tanya Saldi Isra. Lantas Hamdi pun
menjawab bahwa Concurring opinion bisa dilakukan apabila majelis hakim tidak
bisa memberikan keputusan yang sama.
Mendengar jawaban itu, Saldi Isra nampak geleng-geleng. "Itu
namanya dissenting opinion, Pak," ucap Saldi. Sekadar diketahui,
Concurring opinion adalah majelis hakim memiliki keputusan yang sama tapi
alasan pertimbangannya berbeda.
Selain ditanyai soal istilah hukum, para calon hakim agung juga
ditanyai tentang harta kekayaan pribadi serta motivasi untuk menjadi 'wakil
Tuhan' nan agung itu. Hamdi menjelaskan bahwa dia ingin menjadi hakim agung
karena kebanggaan pribadi dan motivasi untuk melakukan perubahan di lembaga
peradilan.
Kiranya suasana yang ditampilkan pada saat seleksi hakim agung oleh
KY ini, yang pada saat itu keliru menjelaskan apa yang ditanya oleh panelis,
mungkin saja merupakan karena tidak ada kesiapan dari yang bersangkutan
sendiri, mungkin juga karena alasan grogi atau orang bilang dengan kata “Salting”
dihadapan para panelis, sehingga beliau keliru dalam menjawab pertanyaan yang
dilontarkan panelis.
Maka atas peristiwa tersebut, timbul pertanyaan, apakah yang
dimaksud dengan dissenting opinion itu? Juga apa yang dimaksud dengan
concurring opinion itu? Untuk lebih jelasnya, saya mengutip dari blog sebelah (Mas
Abdul Affandi), beliau menjelaskan apa yang dimaksud dengan kedua istilah
tersebut dan apa perbedaannya, berikut penjelasannya;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 14 yakni:
(1) Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang
bersifat rahasia.
(2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
(3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat
bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung."
Berdasarkan kaidah hukum yang terkandung dalam undang-undang di
atas, memperlihatkan bahwa bagi hakim di Indonesia dapat memungkinkan untuk
menyampaikan pendapatnya yang berbeda dan dimuatnya dalam putusan.
Perbedaan pendapat ini bercorak concurring opinion untuk adanya
kata mufakat bulat dalam permusyawaratan hakim tetapi ada hakim yang mempunyai
pendapat berbeda dengan pendapat mayoritas pada mufakat bulat tersebut.
Sedangkan pendapat yang bercorak dissenting opinion untuk tidak
adanya kata mufakat bulat dalam permusyawaratan hakim, dan putusan ditempuh
dengan surat terbanyak dari hakim, serta hakim yang berbeda pendapat terhadap
surat terbanyak dalam permusyawaratan hakim wajib memuat pendapatnya dalam
putusan.
Walaupun demikian, apabila terjadi kedua corak tersebut, hakim yang
berbeda pendapat wajib untuk menandatangani dan mengikat dirinya kepada mufakat
bulat atau pun terhadap suara terbanyak dalam permusyawaratan hakim.
Dengan adanya kaidah hukum demikian, maka bagi penegakan hukum di
Indonesia dapat menjadi tercerahkan. Karena sudah menjadi kelajiman jika ada
dua sarjana hukum yang berkumpul akan ada tiga pendapat hukum. Masyarakat akan
menjadi paham dan mengerti, pada perkara hukum dapat terjadi pendapat hukum
yang berbeda-beda. Dan jalan menuju perbedaan tersebut selalui disertai oleh
landasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga akan menjadikan
masyarakat menjadi melek hukum.
Dengan adanya kaidah hukum dalam Pasal 14 di Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman dapat menjadi "pintu hukum" bagi hakim yang
mempunyai rasa pertanggungjawaban kepada masyarakat atas putusan yang
diambilnya. Yang mana dahulu kala sebelum undang-undang ini, pendapat yang
berbeda di dalam majelis hakim hanyalah bersifat rahasia dan hakim yang berbeda
pendapat dengan mayoritas hanya bisa menempuh menulisnya di "buku
rahasia"/"buku hitam" yang dipegang oleh Ketua Pengadilan
Negeri.
Semoga untuk perjalanan dunia peradilan di Indonesia ke depannya
dapat menjadi bermartabat dengan adanya kebolehan memuat pendapat yang berbeda
dalam putusan hakim, yang selanjutnya hal tersebut dapat menjadi penelitian
bagi para akademisi di pendidikan tinggi, sehingga hal yang berbeda pendapat
tersebut bukan lagi sebagai hal yang rahasia di balik toga sang hakim.
Itulah penjelasan beliau mengenai dissenting opinion dan concurring
opinion yang biasa terjadi didalam suatu majelis hakim dalam persidangan, itu
tidak bisa dinapikan dalam praktek beracara di pengadilan di Indoensia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar