HUBUNGAN BANK INDONESIA DENGAN PERBANKAN SYARIAH
A.
BANK INDONESIA
Ditinjau dari fungsinya, salah satu jenis Bank yang
paling utama dan penting adalah bank central. Setiap negara harus mempunyai
bank central yang berfungsi mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan
keuangan suatu negara secara luas, baik dalam maupun luar negeri. Di Indonesia
tugas bank sentral dipegang Bank Indonesia (BI).
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den
Haag, Belanda tahun 1949, boleh dikatakan merupakan tonggak sejarah lahirnya
Bank sentral di Indonesia. Salah satu keputusan penting KMB tersebut adalah
menunjuk De Javasche Bank NV sebagai bank sentral. De Javasche Bank NV adalah
bank komersial dan sirkulasi milik pemerintah kolonial Hindia Belanda yang
sudah berdiri sejak tahun 1828. De Javasche Bank NV didirikan dalam rangka
membantu pemerintah Belanda untuk mengurus keuangan di Hindia Belanda pada
waktu itu.
Namun sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945, Indonesia
mencita-citakan memiliki sebuah bank sentral. Cita-cita untuk mendirikan bank
dengan nama Bank Indonesia yang akan bekerja sebagai bank sentral dikemukakan
secara tertulis untuk pertama kalinya dalam penjelasan UUD 1945 pasal 23.[2]
Fakta sejarah mencatat sejak tahun 1946 Indonesia telah memiliki sebuah bank
yang cukup besar yaitu Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Pada awalnya bank ini
berstatus sebagai bank sentral dan kemudian oleh keputusan KMB di ubah menjadi bank
pembangunan.
Mengingat pentingnya peranan bank sentral yang bersifat
nasional bagi perekonomian suatu negara yang merdeka dan berdaulat, maka pada
tanggal 30 April 1951, Menteri Keuangan Mr. Jusuf Wibisono mengumumkan maksud
pemerintah untuk menasionalisasikan De Javasche Bank. Dalam keterangan
pemerintah dimuka Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 Mei 1951 dikemukakan
pula keinginan pemerintah untuk menasionalisasikan De Javasche Bank.[3]
Berdasarkan Undang-undang No. 11 tahun 1953 tanggal 2
Juni 1953 didirikan suatu bank dengan nama Bank Indonesia yang bertujuan
sebagai pengganti De Javasche Bank dan bertindak sebagai bank sentral
Indonesia. Inilah tonggak awal berdirinya bank sentral di Indonesia dengan nama
Bank Indonesia.
Tugas-tugas pokok Bank Indonesia hingga 17 Mei 1999 tetap
mengacu pada pasal 7 undang-undang Bank Indonesia Tahun 1968 yaitu membantu
pemerintah dalam (1) mengatur, menjaga, dan memulihkan kestabilan nilai rupiah dan
(2) mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan
kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Rincian tugasnya juga tidak
berubah, yaitu mencakup tugas-tugas di bidang pengedaran uang, perbankan dan
perkreditan, hubungan keuangan dengan pemerintah, pengerahan dana-dana,
hubungan internasional, serta tugas-tugas lain Bank Indonesia sebagai bank
sentral, secara keseluruhan tugas-tugas tersebut mencerminkan tiga pilar tugas
bank sentral, yaitu bidang moneter, bidang perbankan, dan bidang lalu lintas
pembayaran.[4]
Wewenang Bank
Indonesia dalam pemberian kredit likuiditas menyangkut pemberian kredit
likuiditas dalam mempercepat pembangaunan nasional, kredit likuiditas dengan
gadai uang, jaminan surat berharga dan atau aksep. Bank Indonesia dapat juga
memberikan kredit likuiditas kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas
dalam keadaan darurat. Berkaitan dengan kredit likuiditas untuk mengatasi
likuiditas dalam keadaan darurat tersebut di tugaskan pula dalam penjelasan
umum undang-undang Bank Indonesia tahun 1968, yang menyebutkan tugas Bank Indonesia
sebagai lender of last resort
(Pemberian Kredit).[5]
Perumusan tugas pokok dalam Undang-undang Bank Indonesia
tahun 1964 tidak hanya memuat tugas-tugas tradisional bank sentral, tetapi juga
kelancaran produksi dalam pembangunan serta memperluas kesempatan kerja agar
meningkatkan taraf hidup rakyat. Perumusan tugas pokok tersebut dan tersedianya
sumber daya sebagaimana dikemukakan diatas memungkinkan berlanjutnya peran BI
sebagai Inovator pembangunan ekonomi nasional.[6]
2. Status dan Kedudukan Bank Indonesia
Lembaga
Negara yang
Independen
Babak
baru dalam Sejarah Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen dimulai
ketika sebuah UU baru, yaitu UU No.23/ 1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan
berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 dan sebagaimana telah diubah dengan
UU.No.3/2004 tanggal 15 Januari 2004 Undang-Undang ini diberikan status dan
kedudukan sebagai.[7]
Sebagai suatu lembaga Negara yang independen,
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap
tugas dan wewenangnya sebagai mana ditentukan dalam Undang-Undang tersebut.
Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan
Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau memberikan intervensi dalam bentuk apapun
dari pihak manapun juga. Status
dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat
melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih epektif
dan efisien.[8]
Sebagai
Badan Hukum
Status Bank Indonesia baik sebagai
badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan dengan Undang-Undang.
Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan–peraturan
hukum yang merupakan pelaksanaan
dari Undang-Undang yang mengikat
seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan
hukum perdata, Bank Indonesia dapat
bertindak untuk dan atas nama sendiri didalam maupun diluar pengadilan.[9]
3. Misi, Visi dan Sasaran Strategis Bank Indonesia
Misi
Mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan mengembangkan
stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang
berkesinambungan
Visi
Menjadi lembaga bank sentral yang
dapat dipercaya (kredibel) secara nasional maupun internasional melalui
nilai-nilai strategis yang dimiliki serta mencapai inflasi yang rendah dan
stabil.[10]
Sasaran Strategi
Untuk
mewujudkan misi, visi tersebut, Bank Indonesia
menetapkan sasaran strategis jangka menengah panjang yaitu:[11]
1.
Terpeliharanya Kestabilan Moneter.
2.
Terpeliharanya stabilitas Sistem Keuangan.
3.
Terpeliharanya Kondisis Keuangan Bank Indonesia yang
sehat dan akuntabel.
4.
Meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen moneter.
5.
Memelihara
SSK:(i) melalui efektifitas pengaturan dan pengawasan bank, surveillance
sector keuangan, dan manajemen krisis serta (ii) mendorong fungsi intermediasi.
6.
Memelihara keamanan dan efesiensi system pembayaran.
7.
Meningkatkan kapabilitas organisasi, SDM dan sistem
informasi.
8.
Memperkuat
institusi melalui good
governance, efektifitas komunikasi dan kerangka
hukum.
9.
Mengoptimalkan
pencapaian dan manfaat inisiatif Bank Indonesia
4. Tujuan dan Tugas Bank Indonesia
Tujuan Tunggal
Dalam
kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan
tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan
nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap
barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.[12]
Untuk
mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia di dukung oleh tiga pilar yang
merupakan tiga bidang tugasnya.[13]
1. Menetapkan dan
Melaksanakan Kebijakan Moneter.
2. Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem
Pembayaran
3. Mengatur
dan Mengawasi Bank
B. BANK SYARIAH
1. Pengertian Bank Syariah
Kata Bank dari kata banque dalam bahasa Prancis,
dan dari Banco dalam bahasa Italia, yang bararti peti/lemari atau
bangku. Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat penyimpanan
benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya.
Dalam al-Qur’an, istilah bank tidak disebutkan secara eksplisit. Tetapi jika
yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur,
manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua itu disebutkan dengan jelas,
seperti zakat, sadaqah, ghanimah, (rampasan perang), bai’ (jual beli), dayn
(utang dagang), maal (harta) dan sebagainya, yang memiliki fungsi yang dilaksanakan
oleh peran tertentu dalam kegiatan ekonomi.[14]
Dari
pengertian diatas dapat dipahami pengertian bank syariah yang merupakan sebuah
wujud perbankan dengan sistem dan praktek oprasional yang mengacu kepada
ketentuan-ketentuan al-Quran dan Hadist baik itu berupa larangan-larangan yang
harus dijauhi maupun perintah yang harus dijalankan. Menurut Amin Azis bank
syariah merupakan lembaga perbankan yang mengikuti tata cara berusaha dan
perjanjian usaha berdasarkan al-Quran dan Sunnah Rasul. Hal ini dipertegas
dengan Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No.7
tahun 1992, tentang perbankan bab1 pasal 1 ayat (3), bank syariah adalah bank
umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[15]
2.
Ciri-Ciri Bank Syariah
Sebagaimana
kita ketahui bahwa bank syariah dengan
bank konvesional memiliki banyak perbedaan, terutama dalam menggunakan prinsip oprasional.
Sebagai pembeda dengan bank konvesional, bank syariah juga memiliki beberapa
ciri atau karekteristik tersendiri, yang antara lain adalah sebagai berikut:[16]
1. Berdimensi keadilan dan pemerataan
2. Adanya pemberlakuan jaminan
3. Menciptakan rasa kebersamaan
4. Bersifat mandiri
5.
Persaingan secara sehat
6.
Adanya Dewan Pengawas Syariah
Pada bank Islam terdapat lembaga Dewan pengawas Syariah
yang mempunyai dua fungsi utama yaitu:
1.
Mengawasi operasional bank Islam agar tidak menyimpang
dari ajaran agama.
2.
Memelihara akhlak dan moral para pengelola bank Islam dan
para nasabahnya, sehingga terbina ikatan-ikatan emosional yang kuat antar bank
dengan masyarakat Islam dan sekitarnya. Maka, baik dari sisi pengarahan dana
masyarakat maupun dari sisi penyaluran dana kepada masyarakat akan berjalan
dengan baik dan sejalan dengan prinsip syariat.[17]
3.
Latar Belakang Lahirnya Bank Syariah di Indonesia
Proses pembentukan bank syariah di Indonesia
telah berjalan secara alami yang
sebenarnya bermula dari kelemahan–kelemahan
yang melekat pada perbankan dengan sistem bunga. Pada waktu itu, keadaan perbankan
sangat tidak efesien dan sangat bergantung pada tersedianya kredit likuiditas
BI. Karena sebelum adanya deregulasi 1 Juni 1983, pemerintah masih mengatur dan
menetapkan tingkat bunga. Kemudian setelah diluncurkannya deregulasi tersebut BI mengizinkan bank-bank untuk menentukan
sendiri tingkat bunga deposito atau
tabungan dan pinjaman yang ditujukan agar bank dapat lebih mandiri dan lebih
efesien.[18]
Dengan adanya deregulasi
1 Juni 1983 tersebut telah membuka peluang bagi umat islam yang memiliki
bank untuk mengoperasionalkannya sesuai dengan prinsip syariah dengan sistem
bagi hasil. Tapi sayangnya pada waktu itu belum ada umat Islam yang mempunyai
bank. Menyadari hal ini, telah banyak membangkitkan umat islam yang mempunyai dana yang cukup mencoba untuk
mendirikan bank syariah. Walaupun pemerintah belum memberikan izin untuk
pendirian bank-bank baru.
Sebagai jalan keluarnya, dana yang telah
terkumpul itu dipakai untuk mendirikan semacam lembaga keuangan dalam bentuk
koperasi, diantaranya Koperasi Ridha Gusti di Jakarta, Koperasi Baitut Tamwil
di Salman – Bandung yang sempat tumbuh mengesankan dan lain-lain. Namun
tampaknya bentuk koperasi untuk suatu
lembaga keuangan sangat terbatas ruang geraknya, sehingga koperasi-koperasi ini dalam operasinya tidak
berjalan mulus. Baru setelah pemerintah meluncurkan paket kebijaksanaan 27
Oktober 1988 (PAKTO 1988), terbuka bagi umat Islam untuk mendirikan bank tanpa
bunga dengan sistem bagi hasil sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.[19] Oleh karena itu umat Islam patut bersukur kepada Allah,
sebab dengan adanya Deregulasi tahun 1983 dan PAKTO 1988 telah menjadi pondasi
awal untuk mendirikan bank syariah.
Perkembangan perbankan syariah di negara-negara muslim berpengaruh terhadap
perekonomian Indonesia, khususnya dunia perbankan, yaitu dengan didirikanya
bank syariah pertama pada tangal 1 November 1991 dengan nama Bank Muamalat
Indonesia (BMI).[20]
Berdirinya BMI merupakan hasil dari diselenggarakannya lokakarya Bunga Bank dan
perbankan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 di
Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Kemudian hasil lokakarya tersebut
dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI, yang berlangsung di
Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Setelah itu dibentuklah kelompok
kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia.[21]
Pendirian
BMI ini diikuti oleh pendirian bank-bank perkreditan rakyat, namun demikian,
adanya kedua jenis bank tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat Islam
lapisan bawah, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Baitul Mal wa Tanwil (BMT).[22]
4.
Tujuan Pengembangan dan Didirikanya Bank Syariah di
Indonesia
Setelah di dalam perjalanan sejarah
bank-bank yang telah ada (bank
konvesional) dirasakan mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsi utamanya
untuk menjembatani
antara pemilik modal atau kelebihan dana dengan kekurangan dana maka dibentuklah bank-bank syariah dengan tujuan utamanya adalah
tiada lain sebagai upaya kaum muslim untuk mendasari segenap aspek kehidupan
ekonominya yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah.[23]
Di
antara alasan didirikan dan dikembangkanya Bank Syariah bisa dijelaskan melalui
poin-poin berikut ini:[24]
1. Memenuhi
kebutuhan masyarakat yang tidak mau menggunakan jasa perbankan berbasis
”bunga”.
2. Memberikan
peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan.
3. Memberikan
produk dan jasa perbankan unggulan.
4. Mengarahkan
kegiatan ekonomi umat untuk berinteraksi secara islami, khususnya interaksi yang
berhubungan dengan perbankan.
5.
Untuk menciptakan suatu keadilan dibidang ekonomi, dengan jalan
meratakan pandapatan melalui kegiatan investasi agar tidak terjadi kesenjangan yang amat
mencolok atara pemilik modal (orang kaya) dengan pihak yang membutuhkan dana (orang miskin)
6. Untuk
meningkatkan kualitas hidup umat, dengan jalan membuka peluang usaha yang lebih
besar terutama kepada kelompok miskin dan diarahkan kepada kegiatan usaha yang
produktif, menuju terciptanya kemandirian berusaha (berwirausaha)
7. Untuk membantu masalah
kemiskinan yang menjadi program utama negara-negara berkembang.
8. Untuk menyelamatkan
ketergantungan umat Islam terhadap bank non-islami (konvesional) yang
menyebabkan umat Islam berada dibawah kekuasaan bank, sehingga umat Islam tidak
bisa melaksanakan ajaran agamanya secara penuh, terutama dibidang bisnis dan
aktivitas prekonomian.
Dengan
demikian bisa ditarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya tujuan didirikanya bank syariah
adalah agar umat Islam dalam perekonomian selalu sesuai dengan nilai-nilai Islam yang
luhur, terpuji dan adil. Karena adanya bank yang bebas bunga akan tercipta
kesejahtaraan sosial bersama tanpa menghilangkan hak-hak individu dan
masyarakat
5.
Tantangan Pengembangan Sistem Perbankan Syariah di Indonesia Pada Saat ini
Kenyataan
menunjukan bahwa dalam periode krisis ekonomi, perbankan syariah memiliki daya
tahan yang relatif lebih kuat. Berkaitan dengan itu perbankan syariah
diharapkan dapat berperan lebih besar dalam proses pemulihan perekonomian
indonesia yang masih terus berlangsung.
Dalam
upaya mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah yang masih berada dalam
tahap awal pengembangan, beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian
antara lain:[25]
Ø Kerangka dan perangkat pengaturan perbankan syariah belum
lengkap
Ø Cakupan pasar masih terbatas
Ø Kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai produk dan
jasa perbankan syariah
Ø Institusi
pendukung yang belum lengkap dan efektif
Ø Efisiensi
operasional
perbankan syariah yang masih belum optimal
Ø Porsi
skim pembiayaan bagi hasil dalam transaksi bank syariah masih perlu
ditingkatkan
Ø Kemampuan
untuk memenuhi standar keuangan syariah internasional
C. Hubungan Bank Indonesia
dengan
Bank Syariah
1.
Hubungan yang
bersifat professional
Salah satu kelemahan perbankan syariah adalah masih banyaknya kalangan
perbankan syariah yang membidik sasarannya pada loyalis syariah yang fanatik
pada syariah. Artinya lebih mencari pelanggan yang lebih mementingkan sentimen
emosional dari pada pertimbangan rasional-profesional. Menu dan isi
komunikasinya masih menonjolkan isu nilai pelayanan yang diraih oleh pelanggan.
Paradigma seperti itu tidak salah, tapi untuk jangka panjang dan masa mendatang
kurang tepat dan tidak bisa diandalkan. Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, jumlah orang fanatik jauh
lebih sedikit dibanding segmen pasar
yang mengambang (floating market).
Pasar yang mengambang ini umumnya akan mencari perbankan yang dapat memberi
nilai (value) lebih tinggi. Kedua, ketika jumlah perbankan syariah
sudah banyak dan persaingan semakin ketat, isu riba-boleh jadi sudah tidak
relevan lagi. Persaingan akan bergeser kepada perbankan mana yang dapat
memberikan value dan pelayanan yang
lebih baik.[26]
Karenanya, perbankan dimasa mendatang harus sudah mengemas komunikasi
yang lebih menekankan pada aspek-aspek rasional dalam proses pengambilan
keputusan pelanggan. Isu halal-haram atau isu riba harus menjadi isu sekunder,
sedangkan isu primernya adalah profesionalisme dari perbankan serta pelayanan
yang akan diterima oleh pelanggan.
Di masa depan, perbankan syariah di Indonesia semakin baik hal ini di
dukung oleh beberapa faktor, yang antara lain adalah:[27]
·
Penduduk Indonesia mayoritas
muslim merupakan pasar yang potensial untuk pengembangan produk-produk yang
berbasis syariah
·
Meningkatnya kesadaran umat
Islam dalam menerapkan syariat Islam, termasuk dalam bidang ekonomi
·
Kondisi ekonomi global yang
sedang dilanda krisis, menjadikan sistem ekonomi syariah sebagai alternatif
Lembaga ini juga harus lebih mencerminkan sikap amanah, jujur, terbuka,
menerapkan prinsip kehati-hatian, profesional, dan berorientasi pelanggan.
Lembaga ini harus memandang karyawan sebagai manusia yang bermartabat tinggi.
Mereka dipandang mitra yang dikelola dengan penuh rahmat. Selain itu juga
berarti peduli pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Dengan sikaf profesionalismenya, perbankan syariah juga harus membuka
diri dan pro-aktif ” menjemput bola” pelanggan umum dan non-muslim.[28]
2. Hubungan yang
bersifat struktural
Langkah berikut yang harus dilakukan
untuk pengembangan perbankan syariah adalah strategi pendekatan strukturalis. Hal itu paling tidak mengacu pada beberapa langkah
utama.
1. Penyempurnaan Ketentuan
Penyesuaian
perangkat dasar UU Bank sentral, UU perbankan dan penyusunan perangkat-perangkat ketentuan
pendukung kegiatan operasional bank syariah.
Dalam UU
No.7 tahun 1998 tentang perbankan No.7 tahun 1992 tentang perbankan, telah
ditetapkan pasal-pasal yang membuka peluang pengembangan yang lebih luas bagi
bank syariah. Pencantuman pasal-pasal dalam UU selanjutnya akan dituangkan
dalam surat-surat keputusan Direksi Bank Indonesia yang mengatur
sejumlah kegiatan oprasional bagi bank syariah. Dengan adanya
ketentuan yang mendukung secara optimal dan memiliki daya saing yang tinggi.[29]
Strategi pengembangan peraturan bank
syariah diarahkan untuk menciptakan sistem
perbankan yang sehat dan dapat berperan sebagai lembaga intermediasi secara
optimal dengan mendukung struktur sistem perbankan syariah yang mampu mengakomodasi sistem penghimpunan dana dan pembiayaan
secara harmonis. Untuk itu
pengembangan ketentuan mengenai struktur perlu senantiasa mengacu pada
resiko yang meliputi:
a. Struktur
permodalan yang kuat tapi tidak terkonsentrasi pada suatu pihak atau kelompok
tertentu saja.
b.
Struktur organisasi dengan sumber daya yang tangguh.
c. Struktur oprasional dengan kebijakan dan pelaksanaan usaha yang berlandaskan
pada prinsip
kehati-hatian dan praktek perbankan yang sehat.
d. Sistem pengawasan dan pembinaan yang efektif dalam
rangka mewujudkan iklim usaha bank yang kondusif serta dapat melindungi
kepentingan masyarakat.
2.
Pengembangan Jaringan Bank Syariah
Pengembangan jaringan bank syariah,
diajukan untuk mengembangkan perluasan
jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu, kurangnya jumlah bank
syariah yang ada juga menghambat perkembangan kerjasama antar bank syariah.[30]
Pengembangan jaringan perbankan syariah diserahkan
sepenuhnya kepada mekanisme pasar (market
driven) yaitu interaksi antara masyarakat yang membutuhkan jasa perbankan
syariah dengan investor atau lembaga perbankan yang menyediakan pelayanan jasa
perbankan syariah. Dalam hal ini peran otoritas perbankan (BI) lebih ditekankan
pada penciptaan perangkat ketentuan perbankan yang dapat mendukung
terlaksananya kegiatan usaha bank syariah yang sehat, efisien dan sejalan
dengan prinsip syariah.[31]
3.
Pengembangan Piranti Moneter
Penyusunan piranti moneter diajukan dalam rangka
mendukung kebijakan moneter dan kegiatan usaha bank syariah. Kaitannya dengan kegiatan bank syariah dalam
pembentukan piranti ini, diharapkan dapat membantu pengembangan pasar uang
antar bank syariah. Saat ini BI, sedang melakukan pengkajian untuk membentuk
piranti yang dapat melaksanakan
fungsi penarikan kelebihan dana perbankan syariah serta membentuk piranti yang
dapat mendukung pasar uang antar bank syariah dengan tetap memperhatikan prinsip syariah.[32]
[1] Didik
J. Rachbini, Suwidi Tono dkk, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank
Sentral (Jakarta:PT.Mandi Mulyo 2000), Cet. Ke-1, h. 1
[7] Veitzal Rivai, dkk, Bank
and Financial Institution Managemen, jakarta: PT Grafindo Persada,2007,
Ed,1
[8] Bank
Indonesia diakes
pada tanggal 13 April dari http://www.bi.go.id/eb/id/tentang bi/fungsi+bank+indonesia/tujuan+dan
+tugas/
[9]
Veitzal Rivai,dkk, Ibid h.37
[14] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskriptif dan Ilustrasi,
yogyakarta: EKONISIA Kampus Fakultas Ekonomi UII,2003,ct,1, h.18
[16] Djazuli,
Yadi Janwar, Lembaga-Lembaga Perekonomian
Umat, jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, Ed, Cet,1, h.55-62
[17] Wirdyaningsih,SH.,MH,et al, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana,2005, Ed.1. Cet. 2.h. 42
[18]
Karnaen A. Perwaatmadja, Membumikan
Ekonomi Islam di Indonesia,(depok: Usaha Kami, 1996), Cet. 1. H. 142
[19] Karnaen A. Perwaatmadja,Ibid, h.
143
[20] Muhammad Ghafur, Potret Pebankan
Syariah Indonesia Terkini (Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah),
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, Cet,1, Desember 2007, h.4
[21] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syarih: dari teori
ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 25
[22] Zainul
Arifin, Memahami bank Syarih: Lingkup,
Peluang, Tantangan dan Prospek,Jakrta: Alvabet, 2000, h. 26
[24] Ma’ruf Amin,
Propek Cerah Perbankan Islam, Jakarta, LEKAS(Lembaga Kajian Agama dan
Sosial),2007,cet.1, h. 80-85
[25]
Bank Indonesia, Cetak Biru Pemgembangan Perbankan Syariah Indonesia,
Jakarta, 2002, h.9
[26]
Irman Hilman dkk, Perbankan Syariah
Masa Depan, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, Cet.1, 2003, h. 9
[29]
M. Syafi’i Amntonio, Ibid, h. 227
[31]
Heri Sudarsono, Ibid, h. 37
Pak,saya mau share. Tp ga ada pilihan sahe nya
BalasHapus