Negara atau Pemerintah bahasa Arabnya adalah دولة (ج: دول): الحكومة. Negeri,
Desa atau Kampung bahasa Arabnya adalah البلاد (ج: بلاد وبلدان).[1] Wilayah
atau Daerah bahasa Arabnya adalah البين (بيون) :الناحية atau الحوزة:الناحية ,[2] sedangkan Kekuasaan atas Wilayah Negara bahasa Arabnya
adalah الولية على البلد.[3]
Negara
dalam terminologi secara umum, banyak sekali pengertian Negara yang dapat kita
temukan dalam referensi buku tentang Ilmu Negara. Namun dalam Islam sebagaimana
telah saya singgung di atas, bahwa Negara dalam Islam di Istilahkan dengan “Daulah”
atau “Al-Balad”. Kata “Daulah” pengertiannya selalu merujuk pada al-Qur’an
yang menggunakan kata “al-Balad” dan derivasinya. Kata al-Balad sebagaimana
telah disebutkan di atas secara leksikal berarti tinggal di suatu tempat, kota,
daerah, kampung, dan negeri.
Kata
al-Balad yang berarti kota ditemukan dalam Surat al-Balad ayat 1-2. Sedangkan
derivasi atau turunan kata al-Balad yang berarti negeri ditemukan dalam Surat
al-Fajr ayat 11, Surat al-Furqan ayat 49.
Negeri
yang juga dapat diartikan negara (al-Bilad), disebut dalam al-Qur’an dengan
berbagai bentuknya sebanyak 19 kali dengan perincian: kata balada disebut
sebanyak 8 kali, kata baladan 1 kali, kata biladi 5 kali, sedangkan kata
baldatun disebut sebanyak 5 kali, yang kesemuanya berarti negara/negeri.
Surat
al-balad ayat 1 -2
ا أُقْسِمُ بِهَذَا الْبَلَدِ (1) وَأَنْتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ (2)
Artinya:
“Aku
benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu (Muhammad) bertempat di
kota Mekah ini”. (QS. Al-Balad: 1-2)
Surah
al-Balad ini mengandung sejumlah hakikat pokok dalam kehidupan manusia. Juga
mengandung isyarat-isyarat yang sarat dengan motivasi dan sentuhan-sentuhan
yang mengesankan. sejumlah persoalan yang sulit, di himpun secara ringkas dalam
al-Qur'an dengan Uslubnya yang unik dan menggetarkan kalbu manusia dengan
sentuhan-sentuhannya yang cepat dan mendalam seperti ini. hakikat pokok dan isyarat
yang terkandung dalam surat ini antara lain; Kehidupan manusia yang penuh
dengan kesusah payahan, Lupa diri, jalan
yang mendaki lagi sukar, dan Kondisi golongan kiri (orang-orang kafir terhadap
ayat-ayat al-Qur'an).[4]
Surat
ini di mulai dengan mengemukakan sumpah yang agung terhadap hakikat yang tetap
dalam kehidupan manusia.
Yang
dimaksud dengan kota ini adalah mekah Baitullah al-Haram, rumah peribadatan
yang pertama kali dibangun untuk manusia, untuk menjadi tempat berkumpul
manusia dan tempat yang aman. di rumah ini mereka meletakan senjata mereka, serta melepaskan
pertengkaran dan permusuhan mereka. disana mereka bertemu dan berdamai, haram atas sebagian mereka berbuat aniaya terhadap sebagaina yang lain,
sebagaimana rumah itu sendiri, pohonnya, burungnya dan segala makhluk yang
hidup didalamnya adalah haram untuk diburu. kemudia ia adalah rumah Ibrahim
ayah Ismail, bapak bangsa Arab dan seluruh kaum muslimin.
Ketika
Allah Swt bersumpah dengan kota ini dan Nabi Saw yang berdomisili disana, maka
lepaslah semua bentuk keagungan dan penghormatan selain yang diberikan Allah
itu. tampaklah kedudukan orang-orang musyrik yang mengaku pemangku Baitul Haram
dan putra-putra Ismail serta sebagai pemeluk agama Ibrahaim (Hanifiyah) itu
sebagai sesuatu yang mungkar dan buruk dilihat dari semua segi.
Barangkali
makna inilah yang dimaksud dalam kalimat, "Dan demi bapak dan
anaknya...". Kalimat itu sebagai isyarat khusus terhadap nabi Ibrahim atau
abi ismail dan diidhafatkan hal ini kepada sumpah dengan kota Mekkah dan Nabi
Saw yang menempatinya, serta putranya yang pertama dan keturunannya. Meskipun
hal ini tidak menolak kemungkinan maksud kalimat, "Demi Bapak dan
anaknya" secara mutlak. Juga kemungkinannya sebagai isyarat yang
menunjukan tabiat penciptaan manusia yang perkembangannya beranak pinak.[5]
Kesimpulan
yang dapat dipetik dari potongan ayat surat al-Balad tersebut adalah bahwa yang
dimaksud dengan kata "Balad" yang artinya kota atau negeri adalah
tiada lain merupakan kota Makkah, kota suci ummat Islam seluruh dunia. Dan
disanalah baginda Nabi Muhammad Saw bertempat tinggal (sebelum Hijrah). Jadi
Balad disini adalah merupakan suatu tempat, dan ditemmpat itulah dihuni oleh
masyarakat yang tunduk atas suatu peraturan yang di buat bersama-sama demi
terciptanya suatu tatanan masyarakat yang Harmonis.
Surat al-Fajr ayat
11
الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ
Artinya:
“Yang
berbuat sewenang-wenang dalam negeri”. (QS. Al-Fajr: 11)
Dalam
tafsir Fi Zilal al-Qur’an potongan ayat tersebut masih berkaitan dengan ayat
sebelum dan ayat sesudahnya. Didalam surat ini, khususnya ayat 6 sampai dengan
ayat 14 terdapat isyarat-isyarat sepintas tentang puing-puing orang-orang
terdahulu yang sewenang-wenang juga terdapat kesan-kesan yang ditimbulkannya
antara yang satu dan yang lain, anatar kisah-kisah yang panjang dan puing-puing
yang keras.
Dalam
ayat-ayat tersebut, Allah Swt mengumpulkan puing-puing kekuatan para diktator
yang sudah di kenal oleh sejarah masa lalu, seperti puing-puing kaum Aad yaitu
kaum Iram. ada yang mengatakan bahwa mereka
adalah dari bangsa Arab pedalaman, yang berdiam di bukit-bukit pasir,
mereka adalah kaum Badui yang bertempat di tenda-tenda yang di pasang di atas
tiang-tiang, alam al-Qur'an mereka disifati sebagai bangsa yang kuat dan keras
pada zamannya. (ayat) kemudian kaum tsamud yang berdiam di daerah bebatuan
disebelah utara Jajirah Arabia dianatara Madinah dan Syam (Syiria) (ayat 9).
juga kaum Fir'aun yang dengan pasak-pasaknya (piramid) tersebut membangun
bangunan yang kokoh, fira'un yang diisyaratkan dalam ayat ini aadalah fir'aun
yang dzalim dan diktator pada zaman nabi Musa as.
Kaum-kaum
tersebut berbuat sewenang-wenang (diktator) dalam negeri mereka, dalam
kesewenang-wenangannya tersebut yang ada adalah menyebabkan kerusakan
dimana-mana. Maka kesewenang-wenangan tersebut merusak orang yang berbuat
sewenang-wenang itu sendiri, dan juga merusak orang-orang yang diperlakukan
dengan sewenang-wenang, hal ini juga menyebabkan kerusakan segala sesuatu yang
berhubungan dan berkaitan dengannya dalam semua sisi kehidupan.
Sesungguhnya
kediktatoran dan kesewenang-wenangan itu menjadikan seorang diktator sebagai
tawanan hawa nafsunya sendiri, karena ia tidak mau kembali pada timbangan yang
mantap dan tidka mau berhenti pada batas yang jelas. lalu ia membuat kerusakan
yang diawali dengan dirinya sendiri, dan menempatkan dirinya di bumi ini bukan
sebagai hamba yang ditugasi mengemban tugas kekhalifahan. selanjutnya ia
menjadika masyarakat sebagai budak-budak yang hina, yang selalu menjadi sasaran
kemurkaan dan kemarahan yang keterlaluan. kemudian ia mengahncurkan
norma-norma, tata nilai, serta pola pikir dan pola pandnag yang lurus, karena
semua itu dianggap membahayakkan bagi para diktator dan kediktatorannya.
setelah mereka melakukan banyak kerusakan di muka bumi, maka pengobatannya
ialah dengan membersihkan muka bumi ini dari kerusakan, dia (Allah) menimpakan kepada mereka cemeti
azab yang begitu banyak dan bertubi-tubi (ayat 11).[6]
Kesimpulan
yang dapat di dipetik dalam ayat
tersebut adalah, bahwasannya para pemimpin dalam suatu kaum apabila dalam
memimpin suatu negeri (Bilad) dengan gaya kepemimpinan diktator, seperti yang
terjadi pada kepemimpinan Fir'aun dalam memimpin kaumnya dengan kesewenang-wenangan,
menjadikan dirinya sebagai tuhan yang harus disembah oleh kaum atau warga
masyarakatnya, dan berbuat dzalim terhadap warganya sendiri, sehingga
menyebabkan kerusakan dalam berbagai lini kehidupan kaumnya akibat kesewenang-wenangannya
tersebut. Sehingga pada akhirnya mereka di azab oleh Allah Swt dengan azab yang
begitu banyak dan bertubi-tubi menimpa mereka yang berbuat dzalim, azab
tersebut karena tingkah laku pemimpin mereka sendiri yang berbuat dengan
sewenang-wenang.
Surat al-Furqan
ayat 49
لِنُحْيِيَ بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا وَنُسْقِيَهُ مِمَّا خَلَقْنَا أَنْعَامًا وَأَنَاسِيَّ كَثِيرًا
Arinya :
“Agar
Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami
memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami,
binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak. (QS. Al-Furqan: 49)
Kehidupan
dimuka bumi ini seluruhnya berasal dari air hujan, secara langsung atau melalui
kanal dan sungai yang mengalir dimuka bumi. juga dari sumber air, mata air, dan
sumur yang mengalirkan air dari dalam tanah yang pada dasarnya bersal dari air
yang merembes ke perut bumi dari hujan tersebut
namun
orang-orang yang hidup dengan air yang bersal dari hujan itu, merekalah yang
merasakan rahmat Allah yang tercermin dalam hujan tersebut dengan kesadaran
yang benar dan sempurna, mereka adalah orang-orang yang hatinya dibukakan untuk
beriman kepada Allah.
redaksi
al-Qur'an disini menampilkan makna
kebersihan dan penyusian.
"Kami
turunkan dari langit air yang amat bersih". (al-Furqan ayat 48)
Padahal
redaksinya disini sedang mebicarakan kehidupan yang terdapat dalam air
tersebut. (lihat terjemahna ayat 49)
Sehingga
memberikan nuansa tersendiri dalam kehidupa itu, Nuansa kesucian, karena Allah
meghendaki kehidupan yang bersih dan suci. dia mensucikan pemukaan bumi dengan
air hujan yang mensucikan yang membangkitka kehidupan dari kematian dan memberi
minum manusia serta hewan ternak yang banyak.[7]
Kesimpulan
dari potongan ayat tersebut adalah kata "Baldah" yang artinya Negeri
namun diartikan sebagai tanah dalam konteks ayat tersebut, Inti ayat tersebut
menceritakan tentang kehidupan yang ada dalam air tersebut. Sehingga dapat
dikatakan segala kehidupan yang ada dimuka bumi ini atau dalam suatu negeri
seluruhnya berasal dari air hujan.
[1] Ahmad Warson
Al-Munawir, (Yogyakarta : Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984), Hlm. 434
[2] Ibid, Hlm. 125
[3]Ibid,
Hlm. 945
[4] Sayyid Qutub, Fi
Zilal al-Qur’an, Hlm. 270
[5] Ibid, Hlm. 270-271
[6] Ibid, Hlm. 264-265
Tidak ada komentar:
Posting Komentar