BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara masalah perkembangan mengenai
ilmu politik jelas bahwa seiring dengan perkembangan zaman maka perkembangan
ilmu politikpun terus mengalami peningkatan dan terus berkembang, kebutuhan
akan pentingnya ilmu politik dalam keberlangsungan hidup bernegara dan peran serta memajukan
atas bangsa ini. Maka ilmu politikpun menjadi dianggap sangat penting untuk
menopang kemajuan tersebut. Manusia yang
terus menerus melakukan penelitian terhadap aspek kehidupan politik itu
sendiri. Ilmu politik yang dianggap sebagai bagian dari ilmu yang sangat
penting terhadap pengelolaan ketatanegaraan maka mulai dari SD, SMP, SMA hingga
Perguruan Tinggi memberikan pengajaran tentang aspek berpolitik, kalau dalam
pendidikan dasar sampai sekolah menengah atas itu terdapat didalam mata
pelajaran PKN yang juga sama terdapat didalamnya pola pengajaran/transper ilmu
politik terhadap siswanya, maka di tingkat perguruan tinggi sekarang sudah
banyak fakultas atau jurusan atau perguruan tinggi khusus yang mewadahi secara
khusus mengenai ilmu politik. Sebagai contoh FISIP, STISIP, dan ini merupakan
ciri bahwa benar ilmu politik dari zaman ke zaman terus mengalami perkembangan.
Sekarang zaman terus menuntut kita untuk
terus berusaha dan terus mengembangkan perkembangan terhadap ilmu itu sendiri,
sangat penting kiranya untuk mahasiswa hokum memahami betul akan esensi dari
ilmu politik itu sendiri, dengan belajar serta mengkaji mengenai ilmu politik
kita mengaktualisasikan dalam kehidupan bernegara/ dalam mengurusi bidang
kepemerintahan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1) Apa yang dimaksud dengan ilmu politik?
2) Bagaimana sejarah perkembangan ilmu politik?
3) Bagaimana perkembangan ilmu politik sebagai disiplin ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ilmu Politik
Politik
adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut
proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan
itu. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan
tujuan pribadi seseorang. Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai
kelompok termasuk partai politik dan kegiatan individu.
Ilmu
politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau kepolitikan. Politik
merupakan usaha untuk mecapai kehidupan yang lebih baik. Di Indonesia kita
mengenal pepatah gemah ripah loh jinawi, orang yunani kuno terutama
Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good
life.[1] Pemikiran mengenai politik didunia barat
banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsuf yunani kuno abad ke- 5 SM, plato dan
Aristoteles menganggap politik sebagai suatu
usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik.
Bahwa
politik dalam suatu Negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power),
pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public
policy), dan alokasi atau distribusi
(allocation or distribution).
Tidak
dapat disangkal bahwa kegiatan politik
disamping terdapat segi-segi positif, juga mencakup segi-segi
negatifnya. Hal inidisebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik
nalurinya yang baik maupun nalurinya yang buruk, perasaan manusia yang beraneka
ragam sifatnya, sangat mendalam dan
sering bertentangan, mencakup rasa cinta, benci, setia, bangga, malu dan marah.[2]
Politik
menurut Rod Hogue adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana
kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan
mengikat meelalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya.
Sedangkan politik menurut Andrew Heywood adalah kegiatan suatu bangsa yang
bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-pertauran
umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak terlepas dari gejala
konflik dan kerjasama.
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Politik
Ilmu
politik merupakan salah satu ilmu tertua
dari berbagai cabang ilmu yang ada, meskipun beberapa cabang ilmu
pengetahuan yang ada telah mencoba melacak asal-usul keberadaannya hingga zaman
yunani kuno, tetapi hasil yang dicaopai tidak segemilang apa yang telah dicapai
oleh ilmu politik.[3]
Apabila
ilmu politik di pandang semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu
social yang memilik dasar, rangka, focus, dan ruang lingkup yang jelas, maka
dapat dikatakan bahwa ilmu politik masih muda usianya karena baru lahir pada
akhir abad ke-19. Pada tahap itu ilmu politik berkembang secara pesat
berdampingan dengan cabang-cabang ilmu social lainnya, seperti sosiologi,
antropologi, ekonomi, dan psikologi, dalam perkembangan ini saling
mempengaruhi.[4]
Untuk
mengetahui perkembangan ilmu
politik, kita harus
meninjau ilmu politik dalam kerangka
yang luas. Sebagaimana telah
diterangkan pada presentasi makalah minggu yang lalu bahwa
ilmu politik ditinjau dari kerangka yang luas telah ada sekitar tahun 427
S.M. Sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan
kehidupan politik, maka ilmu politik tersebut memiliki umur yang lebih tua
lagi. Ilmu tersebut dikatakan tua karena pada taraf perkembangannya, ilmu
politik masih bersandar pada sejarah dan filsafat.
Contohnya
di Yunani Kuno misalnya, pemikiran mengenai negara sudah dimulai pada tahun 450
S.M., yang terbukti dalam karya-karya ahli seperti Herodotus, Plato,
Aristoteles, Socrates, dan lain sebagainya. Bahkan Plato yang telah
meletakan dasar-dasar pemikiran
ilmu politik dikenal sebagai
Bapak filsafat politik,
sedangkan Aristoteles yang
telah meletakan dasar-dasar
keilmuan dalam kajian politik dikenal sebagai Bapak ilmu politik.
Mengenai
konsep negara ideal pada masa plato (427 – 347 SM) dan selanjutnya dilanjutkan
oleh aristoteles (384 – 322 SM) paling
tidak ada 3 buah karya yang sangat relevan dengan masalah kenegaraan, yaitu:
pertama ’politea’ (the Republica); kedua, Politicos, (the Stateman); dan
ketiga, Nomoi (the Law).[5]
Keduanya memandang Negara dari perspektif filosof yang melihat semua
pengetahuan merupakan suatu kesatuan yang utuh.[6]
Politea
ini muncul dilatarbelakangi adanya penyelenggaraan negara yang dipimpin oleh
orang yang haus oleh harta, kekuasaan, dan gila hormat. Pemerintah
sewenang-wenang yang tidak memperhatikan penderitaan rakyatnya. Oleh karena
itu, pemikirannya yang dituangkan dalam Politea adalah, suatu negara yang bebas
dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi.
Agar supaya negara menjadi baik, maka pemimpin negara harus diserahkan kepada
filosof, kerena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, yang menghargai
kesusilaan, berpengetahuan tinggi. Filosoflah yang paling mengetahui apa yang
baik bagi semua orang, dan apa yang buruk yang harus dihindari. Karena itu
kepada filosoflah seharusnya pimpinan negara dipercayakan, tidak usah
dikhawatirkan bahwa ia akan menyalahgunakan kekuasaan yang diserahkan kepadanya.
Ternyata, cita-cita yang ideal tersebut tidak pernah terwujud, karena hampir
tidak mungkin mencari manusia yang sempurna, bebas hawa nafsu dan kepentingan
pribadi.
Berdasarkan kenyataan inilah kemudian muncul
pemikian ’Politicos’, yang menganggap bahwa adanya hukum untuk mengatur warga
negara, sekali lagi hanya untuk warga negara saja. Hukum yang dibuat manusia
tentunya tidak harus berlaku bagi penguasa itu sendiri, karena penguasa di
samping memiliki pengetahuan untuk memerintah juga termasuk pengetahuan membuat
hukum.
Dalam pemikiran selanjutnya, yang disebut ’Nomoi’
yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya bernama Aristoteles. Menurut
Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan
konstitusi dan berkedaulatan hukum, dengan menyatakan, ’Aturan yang
konstitusional dalam negara konstitusional dalam negara berkaitan secara erat,
juga dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau hukum
terbaik, selama suatu pemerintahan menurut hukum, oleh sebab itu supremasi
hukum diterima sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan
yang tak selayaknya’.[7]
Warisan jaman romawi kuno kepada ilmu politik yang utama adalah sumbangannya dibidang
hokum, yurisprudensi dan administrasi Negara, kesemua bidnag tersebut sejalan dengan stoicisme mengenai kesamaan
manusia, persaudaraan setiap orang ,
ketuhanan dan keunikan nilai individu, yang bagaimanapun rendahnya, mempercayai
cahaya tuhan menjiwai seluruh semesta. Filsafat demokrasi dengan asumsinya
tentang rasionalitas, moralitas dan persamaan serta konsepnya tentang hokum
alam dan hak-hak alamiah, banyak menurun dari faham stoic dan cicero, yang memadukan filsafat
stoic kedalam pemikiran barat.[8]
Kemudian selaama abad pertengahan, Negara menjadi
kurang penting dibandingkan gereja, yang bisa memaksakan kekuasaanya pada
raja dan memecat para pangeran dan
mengatur kebijakan umum. Dibawah dominasi intelektual dan politik gereja
Kristen, pemikiran politik pada abad pertengahan peratama-tama berurusan dan
untuk menjawab persoalan mengenai yang seharusnya (nilai), bukan pertanayaan
tentang yang ada (fakta). Dengan demikian pemikiran politik pada masa abad
pertengahan lebih dekat dengan tradisi Plato (filsafat) daripada dengan tradisi
Aristoteles (ilmu).[9]
Di Asia ada beberapa pusat kebudayaan terkait
dengan perkembangan ilmu politik, antara lain : India dan China yang telah
mewariskan tulisan-tulisan politik yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India
terkumpul antara lain dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang
berasal dari masa kira-kira 500 SM. Di antara Filsuf China yang terkenal,
seperti : Confucius atau Kung Fu Tzu (500 SM), Mencius (350 SM) dan mazhab
Legalist (antara lain Shang Yang 350 SM).
Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulisan
yang membahas masalah sejarah dan kenegaraan, seperti : Negara Kertagama (yang
ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan 15 M) dan Babad Tanah Jawi.
Namun sayang di negara-negara Asia tersebut kesusastraan yang mencakup bahasan
politik mulai akhir abad ke-19 telah mengalami kemunduran karena terdesak oleh
pemikiran Barat yang dibawa oleh negara-negara, seperti : Inggris, Jerman,
Amerika Serikat dan Belanda dalam rangka imperialism.
Di Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan
mengenai politik pada abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum,
karena itu ilmu politik hanya berfokus pada negara. Selain ilmu hukum, pengaruh
ilmu sejarah dan filsafat pada ilmu politik masih terasa sampai perang Dunia
II.
Di Amerika Serikat terjadi perkembangan berbeda,
karena ada keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis, dan lebih
mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris. Perkembangan selanjutnya
bersamaan dengan perkembangan sosiologi dan psikologi, sehingga dua cabang ilmu
tersebut sangat mempengaruhi ilmu politik. Perkembangan selanjutnya berjalan
dengan cepat, dapat dilihat dengan didirikannya American Political Science Association (APSA) pada 1904.[10]
Ilmu politik masa kini telah berkembang dari
berbagi bidang studi yang berkaitan termasuk sejarah, filsafat, hokum dan
ekonomi. Ditinjau dari tahap perkembangannya sebagai ilmu, memang tidak dapat
disangkal bahwa ilmu politik agak tertinggal dibelakang jika dibandingkan
dengan ilmu lainnya, seperti ilmu ekonomi yang mengalami kemajuan yang pesat seiring
denagn era “revolusi
industry” pertengahan
abad XVIII.
Sesudah perang dunia ke II perkembangan ilmu
politik semakin pesat. Di Negara Belanda, dimana waktu itu penelitian mengenai
Negara dimonopoli oleh Fakultas Hukum, didirikan Faculteit der Sociale Wetenschappen pada tahun1947 di Amsterdam. Di
Indonesia pun didirikan fakultas-fakultas yang serupa, yang dinamakan fakultas
Ilmu Sosial dan Politik (seperti pada Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) atau
Fakultas ilmu-ilmu Sosial (seperti pada Universitas Indonesia, Jakarta) dimana
ilmu politik merupakan Departemen tersendiri. Akan tetapi, oleh karena
pendidikan tinggi ilmu Hukum sangat maju, tidaklah mengherankan apabila pada
permulaan perkembangannya, ilmu politik di Indonesia terpengaruh kuat oleh ilmu
itu. Akan tetapi dewasa ini konsep-konsep ilmu politik yang berangsur-angsu
mulai di kenal.
Pesatnya perkembangan ilmu politik sesuda perang
dunia ke II tersebut juga disebabkan karena mendapat dorongan kuat dari
beberapa badan internasional, terutam UNESCO(United Nations Educational
Scientific and Cultural Organization). Terdorong oleh tidak adanya keseragaman
dalam terminology dalam ilmu politik, UNESCO dalam tahun 1948 menyelenggarakan
suatu survey mengenai kedudukan ilmu politik dalam kira-kira 30 negara. Proyek
ini dipimpin oleh W. Ebenstein dari Princeton University Amerika Serikat
kemudian di bahas oleh beberapa ahli dalam suatu pertemuan di Paris dan
menghasilkan buku “Contemporary Political Science”.[11]
Selanjutnya UNESCO bersama International Political
Science Association (IPSA) yang mencakup kira-kira ssepuluh negara, diantaranya negara Barat, di
samping India, Meksiko, dan Polandia. Pada tahun 1952 hasil penelitian ini
dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris dan hasilnya disusun oleh W.
A. Robson dari London School of Economics and Political Science dalam buku The University Teaching of Political Science. Buku ini diterbitkan oleh UNESCO
untuk pengajaran beberapa ilmu social (termasuk ekonomi, antropologi budaya,
dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina
perkembangan ilmu politik dan mempertemukan pandangan yang berbeda-beda. Pada
masa-masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak memanfaatkan penemuan-penemuan
dari antropologi, sosiologi, psikologi, dan ekonomi, dan dengan demikian ilmu
politik dapat meningkatkan mutunya dengan banyak mengambil model dari cabang
ilmu sosial lainnya. Berkat hal ini, wajah ilmu politik telah banyak berubah
dan ilmu politik menjadi ilmu yang penting dipelajari untuk mengerti tentang politik.
Oleh karena itu, sejarah ringkas perkembangan ilmu
politik yang paling mudah kita pahami
menurut sejarah adalah bahwa politik sudah ditemukan dalam literature klasik
yunani kuno. Periode awal ada Plato, kkemudian disusul oleh muridnya
Aristoteles yang mengemukakan gagasan besar dan brilian mengenai upaya mencapai
kebaikan bersama. Kemudian disambung pada awal abad pertengahan ada pemikir
seperti augustinus (354-430) dengan doktrin tentang dua belah pedang (civitate dei dan
civitate terena). Kemudian
ditengah abad pertengahan ada Thomas Aquinas (1225-1274) yang memberikan
gambaran pentingnya hokum sebagai roda penggerak kehidupan kemasyarakatan.
Lantas pada abad pencerahan, pemikir seperti Niccolo Machiaveli (1469-1527),
Thomas Hobbes (1588-1778), john Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755),
serta jean Jacques Rousseau (1712-1778) yang menjelaskan berbagai hal tentang
politik. Kemudian pemikir-pemikir abad Modern mulai dari Karl Marx hingga
Gabriel Almond, Robert Dahl, juga Samuel Huntington. Bahwa menurut mereka semua
tuujuan dari politik adalah melembagakan kebaikan bersama, melalui organisasi
yang kemudian kita kenal sampai saat ini dengan pemerintah.[12]
C. Perkembangan Ilmu Politik Sebagai Sebuah
Disiplin Ilmu
Menurut S. P. Varma ilmu politik
merupakan salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada, tentunya
bila hal ini ditinjau sebagai sebuah pembahasan secara rasional dari berbagai
aspek negara dan kehidupan politik, sedangkan Miriam Budiardjo
menjelaskan apabila ilmu politik dipandang semata-mata sebagai salah satu
cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus dan ruang
lingkup yang jelas maka dapat dikatakan bahwa ilmu politik masih muda usianya
karena baru lahir pada akhir abad ke-19.[13]
Sampai abad ini ilmu politik sebagai
salah satu disiplin dari ilmu-imu sosial telah mengalami perkembangan yang
sangat pesat sejak kelahirannya, maka apabila kita tinjau dari buku Varma
tentang sejarah perkembangan ilmu politik beliau membagi perkembangan ilmu
politik pada tiga periode yaitu, periode tradisional, behavioralisme
(pendekatan perilaku) dan post behavioralisme (pendekatan pasca perilaku),
dari ketiga periode tersebut Varma menjelaksan ciri-ciri, ruang lingkup serta
objek kajiannya.
Pada periode klasik ilmu politik
memusatkan perhatiannya kepada masalah negara ideal, para pemikir politik abad
pertengahan ini melibatkan diri mereka pada pengembangan suatu kerangka bagi
adanya kerajaan Tuhan di dunia, sedangkan para pemikir politik pada zaman
sesudahnya telah melibatkan diri mereka pada masalah-masalah lainya seperti
kekuasaan, wewenang dan lain-lain. Tetapi pada masa selanjutnya, ilmu politik
berfokus kepada masalah kelembagaan dan pendekatan yang digunakan semakin luas.
Pendekatan yang digunakan pada saat itu bersifat historis dalam pengertian
bahwa para pemikir politik lebih memusatkan perhatianya pada upaya melacak
serta menggambarkan berbagai fenomena politik yang ada, atau pada perkembangan
lembaga-lembaga politik yang bersifat khusus.[14]
Jadi pada periode ini (periode tradisional)
menurut Varma penekanan utama objek kajian ilmu politik menitikberatkan pada
pendekatan kelembagaan dan aspek kesejarahan, walaupun terkadang para pemikir
ilmu politik ini juga mencoba juga menganalisis konsep-konsep seperti : negara,
hak-hak, keadilan dan tentang cara kerja pemerintahan, tetap kita akan sulit
membedakan antara ilmu politik dan ilmu sejarah pada periode ini. Saat itu ilmu
politik masih merupakan sebuah disiplin ilmu sosial yang hanya dapat dipelajari
di perpustakaan atau ruang-ruang belajar dari pada pembelajaran di lapangan, di
mana interaksi-interaksi politik sebenarnya terjadi disana.
Kencenderungan ilmu politik menggunakan
analisa sejarah terus berlanjut, sampai kemudian pendekatan sejarah ini
ditambah dengan perspektif normatif, sehingga para penulis politik mulai
membahas teori perbandingan pemerintahan dengan meneliti kekurangan dan
kelebihan dari berbagai lembaga politik, misalnya penelitian perbandingan
sistem presidensil dan parlementer, sistem pemilihan distrik dan proporsional
serta negara kesatuan dan negara federal. Tetapi penambahan perspektif baru
pada penelitian ilmu politik tidak membawa perubahan yang fundamental bagi
perkembangan ilmu politik. Pada perkembangan selanjutnya pendekatan ilmu
politik ditambahkan lagi dengan pendekatan yang bersifat taksonomi
deskriptif, di mana ada suatu penekanan yang begitu besar pada pengumpulan
dan penggolongan fakta-fakta tentang lembaga-lembaga serta proses-proses
politik.
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan
dalam ilmu politik tradisional sebagaimana digambarkan yaitu bersifat analisisa
historis, legal kelembagaan, normatif perspektif dan taksonomi
deskriptif, tidak begitu eksklusif satu sama lain dan kadang-kadang
objek penelitian mereka saling bertemu satu-sama lain. Terlepas dari beberapa
kekurangan pendekatan penelitian ilmu politik dalam kerangka tradisional, para
ilmuwan politik pada masa itu menurut Varma telah mengembangkan pengetahuan
yang lebih luas tentang cara kerja berbagai lembaga politik, dari pada apa yang
dilakukan pada beberapa abad sebelumnya. Mereka telah berhasil menyelidiki
dimana kekuasaan terletak dalam suatu masyarakat serta bagaimana proses
operasional kekuasaan tersebut di dalam sebuah institusi lembaga pemerintahan.
Menurut Varma penekanan metodelogi penelitian
pada struktur-struktur lembaga politik formal oleh para ilmuwan politik
tradisional, secara perlahan mulai membuka jalan baru bagi penelitian ilmu
politik yang lebih terarah, sehingga ruang lingkup ilmu politik tidak lagi
terbatas pada filsafat politik dan deskripsi kelembagaan saja. Terdapat suatu
kecenderungan yang lebih besar dalam meneliti lembaga atau organisasi politik
menggunakan metodelogi yang bersifat empiris. Bahkan ada keinginan untuk lebih
memanfaatkan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu analisa politik, seperti
pemakaian metode kuntitatif dan penggunaan peralatan riset untuk mengumpulkan
dan mengolah data-data politik yang ditemukan.
Perkembangan ini menurut Varma terjadi
bukan sepenuhnya jasa dari kaum behavioralis, sebelum pendekatan
perilaku menjadi kiblat pendekatan penelitian politik, para ilmuwan politik
sudah mempunyai keinginan ilmu politik menjadi subjek yang bersifat interdisipliner.
Walaupun kemudian penelitian politik yang dihasilkan oleh para ilmuwan politik
ini dapat dianggap sangat akurat dengan peralatan riset yang sangat primitif,
tapi bagi Varma perkembangan tersebut belum menunjukan bahwa ilmu politik mampu
menjangkau metode pengumpulan, pengelolaan serta analisa data yang canggih dan
teliti.
Oleh karena itu ketidakpuasan terhadap
keadaan ilmu politik benar-benar tidak dapat dihindari. Ketidakpuasan ini
menyebabkan keresahan serta tuntutan supaya ilmu politik membutuhkan unit
analisa, metode, teknik, dan teori sistematis yang baru, terlebih pada masa
perang dunia kedua ada kesan disiplin ilmu politik tidak diakui oleh pemerintah
Amerika Serikat terbukti dengan tidak dilibatkanya para ilmuwan politik dalam
proses pengambilan sebuah keputusan, berbeda dengan para ilmuwan sosial dari
disiplin ilmu ekonomi, ilmu sosiologi dan antropologi, mereka mampu memberikan
peranan pada setiap pembuatan kebijakan pemerintah. Ada juga pendapat yang
menjelaskan bahwa lembaga-lembaga politik tidak lagi dianggap sebagai unit-unit
dasar analisa dan penelitian, sehingga penelitian lebih dititik beratkan ke
arah perilaku individu-individu dalam
situasi-situasi politik, kedua hal tersebut menjadi faktor pendorong lahirnya
pendekatan perilaku (behavioral approach).
Pendekatan perilaku dalam ilmu politik
menurut David E Apter[15] menggunakan paradigma
ilmu pengetahuan alam yang dihubungkan dengan doktrin positivisme Saint Simon
yang menekankan metode-metode ilmiah. Positivisme merupakan perkembangan
lebih lanjut dari aliran empirisme yang didukung oleh para filosof
Inggris seperti Locke, Berkeley dan Hume.[16] Empirisme seperti yang
kita ketahui bersama meyakini bahwa realitas adalah sesuatu yang hadir melalui
data sensoris, dengan kata lain pengetahuan kita harus berawal dari verifikasi
empirik dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu
positif atau sains (ilmu-ilmu yang berangkat dari fakta-fakta yang
terverifikasi dan terukur secara ketat). Kemunculan positivisme ini tidak dapat
dilepaskan dari iklim kultur saat itu yang memungkinkan berkembangnya gerakan
untuk menerapkan cara kerja sains dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
Sehingga positivisme menurut Donny
Gahral Adian,[17]
menjadi sebuah dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan haruslah
mengikuti doktrin unified science apabila ingin disebut ilmu pengetahuan
ilmiah bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis eksistensial.
Menurutnya positivisme memiliki beberapa ciri yang antara lain :
1)
Objektif
/ bebas nilai, dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek
peneliti mengambil jarak dengan realitas dengan bersikap bebas nilai
2)
Fenomenalisme
: tesis bahwa realitas terdiri dari
impresi-impresi, ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas
berupa impresi-impresi tersebut
3)
Reduksionisme
: realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati
4)
Mekanisme
: tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip
sistem-sistem mekanis.
Para ilmuwan politik ini kemudian
berusaha menjadikan disiplin ilmu politik menjadi ilmu pengetahuan yang
bersifat ilmiah dan sistematis, sehingga bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu
pengetahuan lain (baik ilmu sosial dan ilmu alam), salah satu caranya dengan
menggunakan logika positivisme seperti yang dijelaskan diatas sebagai metode
penelitian untuk memahami realitas politik yang terjadi di masyarakat. Mereka
berargumen bahwa penelitian di bidang politik harus mempunyai relevansi
langsung dengan kenyataan politik praktis yang ada.
Beberapa ilmuwan politik seperti Charles
Beard, AL Lowell dan Arthur Bentley memainkan peranan yang sangat penting dalam
upaya memperluas ruang lingkup ilmu politik ini dengan penggunaan metode teknik
statistik, sedangkan Arthur Bentley memberikan sumbangan dua gagasanya untuk
pendekatan perilaku yaitu gagasan kelompok dan konsep tentang proses. Selain
ketiga ilmuwan politik tersebut perkembangan pendekatan perilaku menganal
Charles Merriam, sumbangan Charles Merriam dalam perkembangan pendekatan
perilaku dalam ilmu politik adalah :
1)
Ia
berkeinginan penelitian-penelitian di bidang politik benar-benar memanfaatkan
kemajuan inteligensia manusia yang telah di bawa ke dunia oleh ilmu-ilmu sosial
dan ilmu-ilmu alam dan mendorong adanya penelitian yang bersifat kooperatif dan
kolaboratif
2)
Ia
berpendapat bahwa pendekatan disiplin sejarah tidak relevan digunakan sebagai
salah satu pendekatan yang digunakan dalam ilmu politik, dengan alasan
pendekatan historis mengabaikan faktor-faktor psikologis, sosial dan
ekonomi.
Pendekatan perilaku mencapai puncak
perkembangnya setelah perang dunia kedua, ilmu politik tidak lagi dianggap
sebagai ilmu pengetahuan kelas dua, perkembangan ini tentunya tidak lepas dari
dukungan berbagai organisasi penderma (donatur) seperti Carnegie, Rockefeller
dan Ford yang memberikan dana bagi penelitian-penelitian perilaku, tanpa
dukungan organisasi-organisasi ini, penelitian perilaku yang banyak memakan
biaya tidak akan pernah berkembang dengan baik hingga saat ini.
Menurut Varma mengutip pendapat Waldo
perkembangan pendekatan perilaku dalam ilmu politik selain mengandung sisi
positif juga mengandung sisi negatif, sisi positif perkembangan
pendekatan perilaku bagi ilmu politik diantaranya mendorong ilmu politik
menggunakan metode-metode cabang ilmu sosial dan ilmu alam yang telah lebih
dulu maju dalam metode penelitian dan riset, sehingga pendekatan penelitian
yang digunakan ilmu politik bisa lebih komprehensif untuk menjelaskan banyak
fenomena politik yang terjadi, apalagi dengan menerapkan sebanyak mungkin
logika matematis khususnya metode statistik kuantitatif dalam pendekatan
perilaku bisa mencapai generalisasi yang lebih tinggi yang mampu menerangkan
banyak fenomena dengan lebih jelas. Sedangkan sisi negatifnya pendekatan
perilaku menentang analisa kelembagaan serta menentang upaya melibatkan ilmu
politik dengan masalah-masalah moral dan etika serta menghindari pemihakan
ilmuwan dalam penelitianya.[18]
Sisi negatif dari pendekatan perilaku
ini kemudian menjadi embrio ketidakpuasan beberapa kalangan yang memunculkan
pendekatan baru dalam ilmu politik yang disebut pendekatan pasca perilaku (post
behavioral approach). Pendekatan pasca perilaku sangat dipengaruhi oleh
aliran kiri baru yang menjadi sebuah fenomena politik era tahun 1960an di
Amerika Serikat serta beberapa negara Eropa saat itu. Istiah kiri baru pertama
kali digunakan oleh kelompok Marxis liberal yang berpusat di sekitar New left
Review , istilah itu kemudian digunakan oleh gerakan mahasiswa dunia.[19]
Pemikiran kaum kiri baru ini sangat
dipengaruhi oleh para intelektual Frankfurt di Jerman, mereka membudayakan
aliran sosial kritis yang bersifat emansipatoris, teori emansipatoris
menurut mereka harus memenuhi tiga syarat :
1)
Bersikap
kritis dan selalu curiga terhadap zamanya
2)
Berpikir
secara historis, berpijak pada masyarakat dalam prosesnya yang historis
3)
Tidak
memisahkan teori dan praksis, tidak melepaskan fakta dari nilai.
Teori kritis senantiasa menolak logika
pengetahuan yang dikembangkan oleh aliran positivisme, menurut mereka
positivisme hanya merekontruksi hukum-hukum kausal yang bekerja dalam suatu
tatanan masyarakat yang bisa diverifikasi melalui empirical test,
sehingga “membutakan” para ilmuwan sosial bahwasanya perilaku manusia
tidak bisa dipandang sebagai manifestasi suatu tata kausalitas, perilaku
manusia lebih menampilkan simbol yang berarti terhadap makna yang mendasarinya.
Selain itu positivisme membimbing pelaku
sejarah dan ilmuwan sosial pada total pasitivity, kriteria bebas nilai yang
diajukan membuat ilmuwan tidak mampu melihat sesuatu yang salah dalam
masyarakat, tugas seorang ilmuwan hanya memaparkan, mendeskripsikan realitas
sedetil-detilnya lewat fakta-fakta yang terukur sehingga proses-proses sosial
yang sifatnya melampaui fakta-fakta yang terukur menjadi tertutupi. Realitas
yang dideskripsikanya adalah realitas statis dengan hukum-hukum objektif,
sedangkan realitas sesungguhnya adalah realitas yang penuh dinamika.[20]
Pengaruh teori kritis berimbas juga pada
perkembangan ilmu politik selanjutnya, banyak para ilmuwan politik dan sosial
mempertanyakan kembali pendekatan perilaku dalam menjelaskan berbagai fenomena
yang terjadi di masyarakat, serangkaian pertemuan digelar oleh Asosiasi Ilmu
Politik Amerika (APSA) merespon ketidakpuasan pendekatan perilaku selama ini,
terlebih-lebih suatu forum rapat (Caucus) pada tahun 1969 telah mengeluarkan
manifestonya, bahwa dibutuhkan pendekatan ilmu politik baru yang diarahkan
untuk melayani rakyat miskin, tertindas dan terbelakang, baik dalam negara
mereka sendiri maupun di luar negara, dalam perjuanganya melawan
hirarki-hirarki, kelompok elit serta bentuk-bentuk manipulasi kelembagaan yang
telah mapan.[21]
Munculnya pendekatan pasca perilaku ini
dalam ilmu politik merupakam sebuah antitesa terhadap kemapanan logika
positivisme yang dikembangkan dalam pendekatan perilaku, pendekatan ini
menitikberatkan supaya para ilmuwan politik mampu memahami masalah sosial dan
politik yang terjadi dengan memberikan sumbangan pemikiran bagi pemecahanya.
Secara garis besar dalam bukunya Varma menjelaskan dua tuntutan utama
pendekatan pasca perilaku yaitu relevansi dan tindakan, termasuk
ada tujuh karakter yang dimiliki oleh kaum pendekatan pasca perilaku. Ketujuh
karakter tersebut adalah :[22]
1.
Dalam
penelitian politik subtansi harus mendahului teknik artinya bahwa setiap
penelitian politik yang akan dilaksankan terlebih dahulu harus memiliki tujuan
untuk memecahkan permasalahan sosial politik yang terjadi.
2.
Perubahan
sosial harus menjadi penekanan yang utama pada pendekatan ilmu politik, nilai
social transformation menjadi kebutuhan utama dari pada social preservation.
3.
Ilmu
politik tidak boleh melepaskan dirinya dari realitas sosial.
4.
Ilmu
politik jangan melepaskan dirinya dari sistem nilai.
5.
Tugas
utama ilmuwan ialah mempunyai peranan yang harus dimainkan dalam masyarakat
serta melindungi peradaban nilai-nilai kemanusiaan.
6.
Ilmu
pengetahuan khususnya ilmu politik memiliki komitmen untuk bertindak. Ilmu
politik bagi mereka harus menggantikan ilmu yang bersifat kontemplatif.
7.
Kaum
intelektual memiliki peranan positif dalam masyarakat dan peranan ini
menentukan tujuan yang pantas bagi masyarakat serta membuat masyarakat bergerak
sesuai dengan tujuan itu.
Perkembangan ilmu politik tersebut
membuat kita mengerti tentang sejarah tahapan-tahapan perkembangan ilmu
politik, dari tahapan ilmu politik yang menggunakan pendekatan tradisional,
perilaku dan pasca perilaku. Dinamika perkembangan ilmu politik tersebut tidak
bisa dilepaskan dari konstruksi serta relevansi sosial yang terjadi saat itu,
menurut penulis pendekatan ketiganya merupakan bentuk responsif ilmu politik
terhadap perubahan serta dinamika yang terjadi di masyarakat. Pendekatan perilaku
muncul karena desakan situasi dan kondisi saat itu di Amerika Serikat supaya
ilmu politik bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainya, sehingga
kebutuhan akan unit analisa komprehensif yang mencakup logika matematis,
statistik kuantitatif, psikologi, sosiologi dan beberapa metodelogi ilmu alam
sangat dibutuhkan. Unit analisa tersebut tentu saja tidak cukup memberikan
kepastian ilmu politik bisa diakui sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang
bersifat ilmiah dan sistematis. Ilmu politik harus bisa merubah dirinya menjadi
ilmu pengetahuan yang sesuai dengan logika positivisme, sebuah logika yang
diciptakan untuk menempatkan ilmu pengetahuan dalam wilayah objektifitas,
netralitas dan bebas nilai, karena ilmu sosial pada umumnya termasuk didalamnya
ilmu politik sangat rentan dengan unsur-unsur subjektifisme.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu
politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau kepolitikan. Politik
merupakan usaha untuk mecapai kehidupan yang lebih baik. Di Indonesia kita
mengenal pepatah gemah ripah loh jinawi, orang yunani kuno terutama
Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good
life. Bahwa politik dalam suatu Negara (state) berkaitan dengan
masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making),
kebijakan publik (public policy),
dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).
Sejarah
ringkas perkembangan ilmu politik dapat
kita pahami menurut pembabakan sejarah yang dimulai dan sudah ditemukan dalam
literature klasik Yunani kuno, kemudian pada awal abad pertengahan, kemudian ditengah abad pertengahan, kemudian abad pencerahan, dan kemudian abad
Modern.
Sampai abad ini ilmu politik sebagai
salah satu disiplin dari ilmu-imu sosial telah mengalami perkembangan yang
sangat pesat sejak kelahirannya, maka apabila kita tinjau tentang sejarah
perkembangan ilmu politik perkembangan ilmu politik terbagi pada tiga periode
yaitu, periode tradisional, behavioralisme (pendekatan perilaku) dan
post behavioralisme (pendekatan pasca perilaku).
B. Saran
Perkembangan ilmu politik akan tarus
dianamis seiring dengan perkembangn gejala atau perubahan social dalam
masyarakat, oleh karena itu sebagai mahasiswa kita harus benyak belajar tentang
politik yang baik agar dapat diperguankan dalam kehidupan sehari-hari dalam
bermasyarakat dan bernegara.
Semoga makalah yang ada di tangan
kawan-kawan sekalian, walaupun banyak kekurangan disana sini memberikan manfaat
bagi kita semua. Kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari
kawan-kawan semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif
tentang Unsur-unsurnya, Jakarta: UI
Press, 1995
Carlton Clymer Rodee, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta:
Rajawali Press, 2009
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta:
CV.Rajawali, 1988
Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer : Atheisme,
Positivieme Logis, Neo Marxisme, Posmodernisme dan Post Ideology Syndrome,
Yogyakrata : Jalasutra
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik Sebuah Bahasa Memahami Ilmu
Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007
Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, Jakarta
: PT. Bina Aksara, 1986
Miriam Budiardjo, Dasar-
Dasar Ilmu Politik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008
S.P. Varma, Teori Politik modern, Jakarta: Rajawali, 1987
[1] Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008),
h. 13
[2] Ibid, h. 17
[3] S.P. Varma, Teori Politik
modern, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 3
[4] Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, h. 5
[5] Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis
Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya,
(Jakarta: UI Press, 1995), h. 19
[6] Carlton Clymer Rodee, Pengantar
Ilmu Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 6
[7] Ibid, h. 20
[8] Carlton Clymer Rodee, Pengantar Ilmu Politik, h.
6-7
[9] Ibid, 7
[10] Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, h. 6
[11] Ibid, h. 7
[12] Leo Agustino, Perihal Ilmu
Politik Sebuah Bahasa Memahami Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2007), h. 1
[13] S.P. Varma, Teori Politik
modern, h. 3. Lihat juga Miriam
Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, h. 5
[14] S.P. Varma, Teori Politik
modern, h. 3
[15] David E. Apter, Pengantar
Analisa Politik, (Jakarta: CV.Rajawali, 1988), h. 333.
[16] Donny Gahral Adian, Arus
Pemikiran Kontemporer : Atheisme, Positivieme Logis, Neo Marxisme, Posmodernisme
dan Post Ideology Syndrome, (Yogyakrata : Jalasutra, 2001), h. 30
[17] Ibid, h. 36
[18] S.P. Varma, Teori Politik
modern, h. 31
[19] Lyman Tower Sargent, Ideologi
Politik Kontemporer, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1986), h. 228
[20] Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran
Kontemporer : Atheisme, Positivieme Logis, Neo Marxisme, Posmodernisme dan Post
Ideology Syndrome, h. 66-68.
[21] S.P. Varma, Teori Politik
modern, h. 46-47
[22] S.P. Varma, Teori Politik
modern, h. 53-56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar