Jumat, 01 November 2013

SBY SEBAGAI PRESIDEN MERANGKAP KETUA UMUM PARTAI

ANALIS SBY SEBAGAI PRESIDEN JUGA MERANGKAP
SEBAGAI  KETUA UMUM PARTAI

Di tengah panasnya suhu politik menjelang pemilu 2014, wacana tentang fenomena rangkap jabatan kembali mengemuka. Hal itu didasarkan pada fakta bahwa saat ini, banyak anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II yang juga menyandang jabatan sebagai ketua umum sebuah partai politik.
Pada tanggal 30 sampai dengan tanggal 31 Maret 2013 di Laguna Nusa dua Bali diadakan Kongres Luar Biasa (KLB) oleh partai penguasa di negeri ini yaitu partai Demokrat. Akhirnya, kongres luar biasa yang tidak biasa dilakukan Partai Demokrat, secara aklamasi memilih Susilo Bambang yudhoyono yang tidak lain merupakan Presiden RI yang saat ini sedang menajabat hingga 2014 di tetapkan sebagai ketua umum Partai Demokrat secara Aklamasi menggantikan Anas Urbaningruum yang telah di tetapkan sebagai tersangka. Kemudian sang presidenpun pun langsung menunjuk Syarief Hasan sebagai Ketua Harian DPP Demokrat.
Terpilihnya SBY sebagai ketua umum partai Demokrat banyak yang mengkritk bahwa SBY sedang turun derajat, seharusnya SBY fokus dalam mengurusi Negara bahkan banyak diantaranya yang mengingnkan sebaiknya SBY turun saja dari kursi presidenan. Penulis menilai Apa yang hari ini terjadi pada Presiden SBY siapapun orang yang berada pada posisi sebagai SBY yakni sebagai pendiri partai Demokrat yang melihat prahara di kubu partainya sehingga mengharuskan turun gunung kembali, demi menciptakan kerukunan di internal partainya tidak bisa disalahkan, karena biar bagaimanapun partai Demokrat adalah Partai pemenang Pemilu Legislatif di tahun 2009.
Lebih jauh untuk menelusuri apakah Presideng sebagai kepala Negara juga sebagai kepala pemeritahan juga sebagai warga Negara Indoensia  boleh  merangkap sebagai ketua partai? Alangkahbaiknya kita lihat dalam berbagai aspek berikut ini :

a.      Aspek Sosiologis
Secara sosiologis hal ini juga pernah dilakukan pada era orde lama dimana Ir. Soekarno selain menjabat sebagai Presiden RI juga menjabat sebagai ketua umum PNI, KH Abdurrrahman Wahid (Gusdur) yang terpilih menjadi Presiden ke-4 RI beliau juga menjabat sebagai ketua umum PKB sekaligus sebagai ketua umum PKB meskipun hingga tahun 2000 saja beliau menjabat dan setelahnya beliau menjadi ketua dewan syuro PKB, kemudian DR(HC) Megawati Soekarno Putri disamping beliau sebagai Presiden RI ke-5 beliau juga merupakan ketua DPP PDIP hingga sekarang selain mereka yang merangkap jabatan Presiden sekaligus ketua umum partai diantara mereka yang pernah menjabat sebagai perdana mentri sekaligus ketua umum partai ada sosok KH.DR (HC) Mohamad Natsir yang menjadi perdana mentri tahun 1950-1951 sekaligus sebagai ketua umum Partai Masyumi juga diantara mereka yang pernah menjadi Wakil Presiden sekaligus ketua umum partai ada sosok Megawati sebagai ketua Umum DPP PDIP Kala itu juga ada Drs.Muhamad Jusuf Kalla yang menjadi Wakil Presiden sekaligus sebagai ketua DPP Partai Golkar. Jadi secara sosiologis hal ini pernah dilakukan sebelumnya oleh para pemimpin-pemimpin bangsa ini.

b.      Aspek Filosofis
Secara Filosofis sila ke-2 pada pancasila yang berisi kemanusiaan yang adil dan beradab dalam salah satu butirnya yang berisi Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. SBY disamping sebagai Presiden RI pada hakekatnya beliau juga adalah warga Negara Indonesia pula sehingga ia pun berhak menjadi ketua umum partai disamping sebagai Presiden RI.

c.       Aspek Yuridis.
Secara Yuridis tidak ada satupun undang-undang yang dalam pasal-pasal yang berisi larangan Presiden untuk tidak rangkap jabatan termasuk didalamnya larangan untuk menjadi ketua umum partai.
Namun kalau kita menilik urgensi UU No. 24 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, aganya sungguh membingungkan, apakah tidak terjadi pemiuhan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, jika UU tersebut menegaskan bahwa “Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.”
Secara umum UU No. 42 Tahun 2008 menegaskan, dalam konteks penyelenggaraan sistem pemerintahan Presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum. Selain para Menteri, Undang-Undang ini juga mewajibkan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengundurkan diri apabila dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan.
Juga ditegaskan, “presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu. Untuk itu, dalam rangka membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa Presiden atau Wakil Presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai Pimpinan Partai Politik yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing Partai Politik”.
SBY memang saat ini sebagai ketua umum partai Demokrat, namun penulis menilai SBY sebagai ketua umum partai Demokrat hanyalah sebagai symbol di internal partai Demokrat karena tugas SBY sebagai ketua umum dalam pelaksana hariannya di lakukan oleh Syarif Hasan yang tidak lain sebagai mentri koperasi dan usaha kecil menengah Republik Indonesia selaku pelaksana tugas harian ketua umum selama dan Marzuki Ali yang merupakan ketua DPR RI juga wakil ketua ketua majlis tinggi partai sebagai pelaksana tugas harian dewan pembinan partai Demokrat, sehingga penulis menilai SBY hanyalah sebagai symbol ketua umum di partai Demokrat di tengah prahara yang tengah menghadangnya sehingga walaupun dia sebagai ketua umum partai Demokrat pun tidak akan terpengaruh pada tugasnya selaku Presiden RI.
Apa yang dilakukan oleh presiden SBY saat ini tidak salah dalam mengkritik apa yang dia lakukan, hanya saja kritik yang dilontarkan ada baiknya adalah kritik yang membangun bukan kritik yang menjatuhkan terlebih kritik yang mengarah kepada suatu penghinaan meskipun tindakan mengkertik dilindungi oleh pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 juga UU NO 9 Tahun 1998 tentang kebebasan menyatakan pendapat dimuka umum, karena biar bagaimanapun beliau adalah Presiden RI yang dipilih secara langsung oleh warga Negara Indonesia.
Sudah saatnya penyelenggara negara yang sedang merangkap jabatan sebagai ketua umum partai bisa memisahkan antara tugas negara dan tugas sebagai ketuam umum partai politik.

SEJARAH PEREKEMBANGAN ILMU POLITIK

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Berbicara masalah perkembangan mengenai ilmu politik jelas bahwa seiring dengan perkembangan zaman maka perkembangan ilmu politikpun terus mengalami peningkatan dan terus berkembang, kebutuhan akan pentingnya ilmu politik dalam keberlangsungan  hidup bernegara dan peran serta memajukan atas bangsa ini. Maka ilmu politikpun menjadi dianggap sangat penting untuk menopang kemajuan tersebut.  Manusia yang terus menerus melakukan penelitian terhadap aspek kehidupan politik itu sendiri. Ilmu politik yang dianggap sebagai bagian dari ilmu yang sangat penting terhadap pengelolaan ketatanegaraan maka mulai dari SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi memberikan pengajaran tentang aspek berpolitik, kalau dalam pendidikan dasar sampai sekolah menengah atas itu terdapat didalam mata pelajaran PKN yang juga sama terdapat didalamnya pola pengajaran/transper ilmu politik terhadap siswanya, maka di tingkat perguruan tinggi sekarang sudah banyak fakultas atau jurusan atau perguruan tinggi khusus yang mewadahi secara khusus mengenai ilmu politik. Sebagai contoh FISIP, STISIP, dan ini merupakan ciri bahwa benar ilmu politik dari zaman ke zaman terus mengalami perkembangan.
Sekarang zaman terus menuntut kita untuk terus berusaha dan terus mengembangkan perkembangan terhadap ilmu itu sendiri, sangat penting kiranya untuk mahasiswa hokum memahami betul akan esensi dari ilmu politik itu sendiri, dengan belajar serta mengkaji mengenai ilmu politik kita mengaktualisasikan dalam kehidupan bernegara/ dalam mengurusi bidang kepemerintahan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1)      Apa yang dimaksud dengan ilmu politik?
2)      Bagaimana sejarah perkembangan ilmu politik?
3)      Bagaimana perkembangan ilmu politik sebagai disiplin ilmu?


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Definisi Ilmu Politik
Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi seseorang. Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan individu.
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau kepolitikan. Politik merupakan usaha untuk mecapai kehidupan yang lebih baik. Di Indonesia kita mengenal pepatah gemah ripah loh jinawi, orang yunani kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life.[1]  Pemikiran mengenai politik didunia barat banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsuf yunani kuno abad ke- 5 SM, plato dan Aristoteles menganggap politik sebagai suatu  usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik.
Bahwa politik dalam suatu Negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy),  dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).
Tidak dapat disangkal bahwa kegiatan politik  disamping terdapat segi-segi positif, juga mencakup segi-segi negatifnya. Hal inidisebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik maupun nalurinya yang buruk, perasaan manusia yang beraneka ragam  sifatnya, sangat mendalam dan sering bertentangan, mencakup rasa cinta, benci, setia, bangga, malu dan marah.[2]
Politik menurut Rod Hogue adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat meelalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya. Sedangkan politik menurut Andrew Heywood adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-pertauran umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak terlepas dari gejala konflik dan kerjasama.

B.     Sejarah Perkembangan Ilmu Politik
Ilmu politik merupakan  salah satu  ilmu tertua  dari berbagai cabang ilmu yang ada, meskipun beberapa cabang ilmu pengetahuan yang ada telah mencoba melacak asal-usul keberadaannya hingga zaman yunani kuno, tetapi hasil yang dicaopai tidak segemilang apa yang telah dicapai oleh ilmu politik.[3]
Apabila ilmu politik di pandang semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu social yang memilik dasar, rangka, focus, dan ruang lingkup yang jelas, maka dapat dikatakan bahwa ilmu politik masih muda usianya karena baru lahir pada akhir abad ke-19. Pada tahap itu ilmu politik berkembang secara pesat berdampingan dengan cabang-cabang ilmu social lainnya, seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, dan psikologi, dalam perkembangan ini saling mempengaruhi.[4]
Untuk mengetahui perkembangan ilmu  politik,  kita    harus   meninjau   ilmu   politik dalam   kerangka    yang    luas. Sebagaimana   telah    diterangkan    pada    presentasi makalah minggu yang lalu bahwa ilmu politik ditinjau dari kerangka yang luas telah ada sekitar tahun  427  S.M. Sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik, maka ilmu politik tersebut memiliki umur yang lebih tua lagi. Ilmu tersebut dikatakan tua karena pada taraf perkembangannya, ilmu politik masih bersandar pada sejarah dan filsafat. 
Contohnya di Yunani Kuno misalnya, pemikiran mengenai negara sudah dimulai pada tahun 450 S.M., yang terbukti dalam karya-karya ahli seperti Herodotus, Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain sebagainya. Bahkan Plato yang telah meletakan dasar-dasar pemikiran  ilmu  politik dikenal  sebagai  Bapak   filsafat   politik,   sedangkan Aristoteles yang  telah  meletakan  dasar-dasar  keilmuan dalam kajian politik dikenal sebagai Bapak ilmu politik.


Mengenai konsep negara ideal pada masa plato (427 – 347 SM) dan selanjutnya dilanjutkan oleh aristoteles (384 – 322 SM) paling tidak ada 3 buah karya yang sangat relevan dengan masalah kenegaraan, yaitu: pertama ’politea’ (the Republica); kedua, Politicos, (the Stateman); dan ketiga, Nomoi (the Law).[5] Keduanya memandang Negara dari perspektif filosof yang melihat semua pengetahuan merupakan suatu kesatuan yang utuh.[6]
Politea ini muncul dilatarbelakangi adanya penyelenggaraan negara yang dipimpin oleh orang yang haus oleh harta, kekuasaan, dan gila hormat. Pemerintah sewenang-wenang yang tidak memperhatikan penderitaan rakyatnya. Oleh karena itu, pemikirannya yang dituangkan dalam Politea adalah, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi. Agar supaya negara menjadi baik, maka pemimpin negara harus diserahkan kepada filosof, kerena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, yang menghargai kesusilaan, berpengetahuan tinggi. Filosoflah yang paling mengetahui apa yang baik bagi semua orang, dan apa yang buruk yang harus dihindari. Karena itu kepada filosoflah seharusnya pimpinan negara dipercayakan, tidak usah dikhawatirkan bahwa ia akan menyalahgunakan kekuasaan yang diserahkan kepadanya. Ternyata, cita-cita yang ideal tersebut tidak pernah terwujud, karena hampir tidak mungkin mencari manusia yang sempurna, bebas hawa nafsu dan kepentingan pribadi.
Berdasarkan kenyataan inilah kemudian muncul pemikian ’Politicos’, yang menganggap bahwa adanya hukum untuk mengatur warga negara, sekali lagi hanya untuk warga negara saja. Hukum yang dibuat manusia tentunya tidak harus berlaku bagi penguasa itu sendiri, karena penguasa di samping memiliki pengetahuan untuk memerintah juga termasuk pengetahuan membuat hukum.
Dalam pemikiran selanjutnya, yang disebut ’Nomoi’ yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya bernama Aristoteles. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum, dengan menyatakan, ’Aturan yang konstitusional dalam negara konstitusional dalam negara berkaitan secara erat, juga dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau hukum terbaik, selama suatu pemerintahan menurut hukum, oleh sebab itu supremasi hukum diterima sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tak selayaknya’.[7]
Warisan jaman romawi kuno  kepada ilmu politik  yang utama adalah sumbangannya dibidang hokum, yurisprudensi dan administrasi Negara, kesemua bidnag tersebut  sejalan dengan stoicisme mengenai kesamaan manusia, persaudaraan  setiap orang , ketuhanan dan keunikan nilai individu, yang bagaimanapun rendahnya, mempercayai cahaya tuhan menjiwai seluruh semesta. Filsafat demokrasi dengan asumsinya tentang rasionalitas, moralitas dan persamaan serta konsepnya tentang hokum alam dan hak-hak alamiah, banyak menurun dari faham  stoic dan cicero, yang memadukan filsafat stoic kedalam pemikiran barat.[8]
Kemudian selaama abad pertengahan, Negara menjadi kurang penting dibandingkan gereja, yang bisa memaksakan kekuasaanya pada raja  dan memecat para pangeran dan mengatur kebijakan umum. Dibawah dominasi intelektual dan politik gereja Kristen, pemikiran politik pada abad pertengahan peratama-tama berurusan dan untuk menjawab persoalan mengenai yang seharusnya (nilai), bukan pertanayaan tentang yang ada (fakta). Dengan demikian pemikiran politik pada masa abad pertengahan lebih dekat dengan tradisi Plato (filsafat) daripada dengan tradisi Aristoteles (ilmu).[9]
Di Asia ada beberapa pusat kebudayaan terkait dengan perkembangan ilmu politik, antara lain : India dan China yang telah mewariskan tulisan-tulisan politik yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul antara lain dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang berasal dari masa kira-kira 500 SM. Di antara Filsuf China yang terkenal, seperti : Confucius atau Kung Fu Tzu (500 SM), Mencius (350 SM) dan mazhab Legalist (antara lain Shang Yang 350 SM).
Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulisan yang membahas masalah sejarah dan kenegaraan, seperti : Negara Kertagama (yang ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan 15 M) dan Babad Tanah Jawi. Namun sayang di negara-negara Asia tersebut kesusastraan yang mencakup bahasan politik mulai akhir abad ke-19 telah mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh negara-negara, seperti : Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan Belanda dalam rangka imperialism.
Di Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan mengenai politik pada abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena itu ilmu politik hanya berfokus pada negara. Selain ilmu hukum, pengaruh ilmu sejarah dan filsafat pada ilmu politik masih terasa sampai perang Dunia II.
Di Amerika Serikat terjadi perkembangan berbeda, karena ada keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis, dan lebih mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris. Perkembangan selanjutnya bersamaan dengan perkembangan sosiologi dan psikologi, sehingga dua cabang ilmu tersebut sangat mempengaruhi ilmu politik. Perkembangan selanjutnya berjalan dengan cepat, dapat dilihat dengan didirikannya American Political Science Association (APSA)  pada 1904.[10]
Ilmu politik masa kini telah berkembang dari berbagi bidang studi yang berkaitan termasuk sejarah, filsafat, hokum dan ekonomi. Ditinjau dari tahap perkembangannya sebagai ilmu, memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu politik agak tertinggal dibelakang jika dibandingkan dengan ilmu lainnya, seperti ilmu ekonomi yang mengalami kemajuan yang pesat seiring denagn era “revolusi industry” pertengahan abad XVIII.
Sesudah perang dunia ke II perkembangan ilmu politik semakin pesat. Di Negara Belanda, dimana waktu itu penelitian mengenai Negara dimonopoli oleh Fakultas Hukum, didirikan Faculteit der Sociale Wetenschappen pada tahun1947 di Amsterdam. Di Indonesia pun didirikan fakultas-fakultas yang serupa, yang dinamakan fakultas Ilmu Sosial dan Politik (seperti pada Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) atau Fakultas ilmu-ilmu Sosial (seperti pada Universitas Indonesia, Jakarta) dimana ilmu politik merupakan Departemen tersendiri. Akan tetapi, oleh karena pendidikan tinggi ilmu Hukum sangat maju, tidaklah mengherankan apabila pada permulaan perkembangannya, ilmu politik di Indonesia terpengaruh kuat oleh ilmu itu. Akan tetapi dewasa ini konsep-konsep ilmu politik yang berangsur-angsu mulai di kenal.
Pesatnya perkembangan ilmu politik sesuda perang dunia ke II tersebut juga disebabkan karena mendapat dorongan kuat dari beberapa badan internasional, terutam UNESCO(United Nations Educational Scientific and Cultural Organization). Terdorong oleh tidak adanya keseragaman dalam terminology dalam ilmu politik, UNESCO dalam tahun 1948 menyelenggarakan suatu survey mengenai kedudukan ilmu politik dalam kira-kira 30 negara. Proyek ini dipimpin oleh W. Ebenstein dari Princeton University Amerika Serikat kemudian di bahas oleh beberapa ahli dalam suatu pertemuan di Paris dan menghasilkan buku “Contemporary Political Science”.[11]
Selanjutnya UNESCO bersama International Political Science Association (IPSA) yang mencakup kira-kira ssepuluh negara, diantaranya negara Barat, di samping India, Meksiko, dan Polandia. Pada tahun 1952 hasil penelitian ini dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris dan hasilnya disusun oleh W. A. Robson dari London School of Economics and Political Science dalam buku The University Teaching of Political Science. Buku ini diterbitkan oleh UNESCO untuk pengajaran beberapa ilmu social (termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina perkembangan ilmu politik dan mempertemukan pandangan yang berbeda-beda. Pada masa-masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak memanfaatkan penemuan-penemuan dari antropologi, sosiologi, psikologi, dan ekonomi, dan dengan demikian ilmu politik dapat meningkatkan mutunya dengan banyak mengambil model dari cabang ilmu sosial lainnya. Berkat hal ini, wajah ilmu politik telah banyak berubah dan ilmu politik menjadi ilmu yang penting dipelajari untuk mengerti tentang politik.
Oleh karena itu, sejarah ringkas perkembangan ilmu politik  yang paling mudah kita pahami menurut sejarah adalah bahwa politik sudah ditemukan dalam literature klasik yunani kuno. Periode awal ada Plato, kkemudian disusul oleh muridnya Aristoteles yang mengemukakan gagasan besar dan brilian mengenai upaya mencapai kebaikan bersama. Kemudian disambung pada awal abad pertengahan ada pemikir seperti augustinus (354-430) dengan doktrin tentang dua belah pedang (civitate dei dan civitate terena). Kemudian ditengah  abad pertengahan ada Thomas Aquinas (1225-1274) yang memberikan gambaran pentingnya hokum sebagai roda penggerak kehidupan kemasyarakatan. Lantas pada abad pencerahan, pemikir seperti Niccolo Machiaveli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1778), john Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755), serta jean Jacques Rousseau (1712-1778) yang menjelaskan berbagai hal tentang politik. Kemudian pemikir-pemikir abad Modern mulai dari Karl Marx hingga Gabriel Almond, Robert Dahl, juga Samuel Huntington. Bahwa menurut mereka semua tuujuan dari politik adalah melembagakan kebaikan bersama, melalui organisasi yang kemudian kita kenal sampai saat ini dengan pemerintah.[12]

C.    Perkembangan Ilmu Politik Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu
Menurut S. P. Varma ilmu politik merupakan salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada, tentunya bila hal ini ditinjau sebagai sebuah pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik, sedangkan Miriam Budiardjo menjelaskan apabila ilmu politik dipandang semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus dan ruang lingkup yang jelas maka dapat dikatakan bahwa ilmu politik masih muda usianya karena baru lahir pada akhir abad ke-19.[13]
Sampai abad ini ilmu politik sebagai salah satu disiplin dari ilmu-imu sosial telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak kelahirannya, maka apabila kita tinjau dari buku Varma tentang sejarah perkembangan ilmu politik beliau membagi perkembangan ilmu politik pada tiga periode yaitu, periode tradisional, behavioralisme (pendekatan perilaku) dan post behavioralisme (pendekatan pasca perilaku), dari ketiga periode tersebut Varma menjelaksan ciri-ciri, ruang lingkup serta objek kajiannya.
Pada periode klasik ilmu politik memusatkan perhatiannya kepada masalah negara ideal, para pemikir politik abad pertengahan ini melibatkan diri mereka pada pengembangan suatu kerangka bagi adanya kerajaan Tuhan di dunia, sedangkan para pemikir politik pada zaman sesudahnya telah melibatkan diri mereka pada masalah-masalah lainya seperti kekuasaan, wewenang dan lain-lain. Tetapi pada masa selanjutnya, ilmu politik berfokus kepada masalah kelembagaan dan pendekatan yang digunakan semakin luas. Pendekatan yang digunakan pada saat itu bersifat historis dalam pengertian bahwa para pemikir politik lebih memusatkan perhatianya pada upaya melacak serta menggambarkan berbagai fenomena politik yang ada, atau pada perkembangan lembaga-lembaga politik yang bersifat khusus.[14]
Jadi pada periode ini (periode tradisional) menurut Varma penekanan utama objek kajian ilmu politik menitikberatkan pada pendekatan kelembagaan dan aspek kesejarahan, walaupun terkadang para pemikir ilmu politik ini juga mencoba juga menganalisis konsep-konsep seperti : negara, hak-hak, keadilan dan tentang cara kerja pemerintahan, tetap kita akan sulit membedakan antara ilmu politik dan ilmu sejarah pada periode ini. Saat itu ilmu politik masih merupakan sebuah disiplin ilmu sosial yang hanya dapat dipelajari di perpustakaan atau ruang-ruang belajar dari pada pembelajaran di lapangan, di mana interaksi-interaksi politik sebenarnya terjadi disana.
Kencenderungan ilmu politik menggunakan analisa sejarah terus berlanjut, sampai kemudian pendekatan sejarah ini ditambah dengan perspektif normatif, sehingga para penulis politik mulai membahas teori perbandingan pemerintahan dengan meneliti kekurangan dan kelebihan dari berbagai lembaga politik, misalnya penelitian perbandingan sistem presidensil dan parlementer, sistem pemilihan distrik dan proporsional serta negara kesatuan dan negara federal. Tetapi penambahan perspektif baru pada penelitian ilmu politik tidak membawa perubahan yang fundamental bagi perkembangan ilmu politik. Pada perkembangan selanjutnya pendekatan ilmu politik ditambahkan lagi dengan pendekatan yang bersifat taksonomi deskriptif, di mana ada suatu penekanan yang begitu besar pada pengumpulan dan penggolongan fakta-fakta tentang lembaga-lembaga serta proses-proses politik.
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam ilmu politik tradisional sebagaimana digambarkan yaitu bersifat analisisa historis, legal kelembagaan, normatif perspektif dan taksonomi deskriptif, tidak begitu eksklusif satu sama lain dan kadang-kadang objek penelitian mereka saling bertemu satu-sama lain. Terlepas dari beberapa kekurangan pendekatan penelitian ilmu politik dalam kerangka tradisional, para ilmuwan politik pada masa itu menurut Varma telah mengembangkan pengetahuan yang lebih luas tentang cara kerja berbagai lembaga politik, dari pada apa yang dilakukan pada beberapa abad sebelumnya. Mereka telah berhasil menyelidiki dimana kekuasaan terletak dalam suatu masyarakat serta bagaimana proses operasional kekuasaan tersebut di dalam sebuah institusi lembaga pemerintahan.
Menurut Varma penekanan metodelogi penelitian pada struktur-struktur lembaga politik formal oleh para ilmuwan politik tradisional, secara perlahan mulai membuka jalan baru bagi penelitian ilmu politik yang lebih terarah, sehingga ruang lingkup ilmu politik tidak lagi terbatas pada filsafat politik dan deskripsi kelembagaan saja. Terdapat suatu kecenderungan yang lebih besar dalam meneliti lembaga atau organisasi politik menggunakan metodelogi yang bersifat empiris. Bahkan ada keinginan untuk lebih memanfaatkan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu analisa politik, seperti pemakaian metode kuntitatif dan penggunaan peralatan riset untuk mengumpulkan dan mengolah data-data politik yang ditemukan.
Perkembangan ini menurut Varma terjadi bukan sepenuhnya jasa dari kaum behavioralis, sebelum pendekatan perilaku menjadi kiblat pendekatan penelitian politik, para ilmuwan politik sudah mempunyai keinginan ilmu politik menjadi subjek yang bersifat interdisipliner. Walaupun kemudian penelitian politik yang dihasilkan oleh para ilmuwan politik ini dapat dianggap sangat akurat dengan peralatan riset yang sangat primitif, tapi bagi Varma perkembangan tersebut belum menunjukan bahwa ilmu politik mampu menjangkau metode pengumpulan, pengelolaan serta analisa data yang canggih dan teliti.
Oleh karena itu ketidakpuasan terhadap keadaan ilmu politik benar-benar tidak dapat dihindari. Ketidakpuasan ini menyebabkan keresahan serta tuntutan supaya ilmu politik membutuhkan unit analisa, metode, teknik, dan teori sistematis yang baru, terlebih pada masa perang dunia kedua ada kesan disiplin ilmu politik tidak diakui oleh pemerintah Amerika Serikat terbukti dengan tidak dilibatkanya para ilmuwan politik dalam proses pengambilan sebuah keputusan, berbeda dengan para ilmuwan sosial dari disiplin ilmu ekonomi, ilmu sosiologi dan antropologi, mereka mampu memberikan peranan pada setiap pembuatan kebijakan pemerintah. Ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa lembaga-lembaga politik tidak lagi dianggap sebagai unit-unit dasar analisa dan penelitian, sehingga penelitian lebih dititik beratkan ke arah perilaku individu-individu  dalam situasi-situasi politik, kedua hal tersebut menjadi faktor pendorong lahirnya pendekatan perilaku (behavioral approach).
Pendekatan perilaku dalam ilmu politik menurut David E Apter[15] menggunakan paradigma ilmu pengetahuan alam yang dihubungkan dengan doktrin positivisme Saint Simon yang menekankan metode-metode ilmiah. Positivisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran empirisme yang didukung oleh para filosof Inggris seperti Locke, Berkeley dan Hume.[16] Empirisme seperti yang kita ketahui bersama meyakini bahwa realitas adalah sesuatu yang hadir melalui data sensoris, dengan kata lain pengetahuan kita harus berawal dari verifikasi empirik dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu positif atau sains (ilmu-ilmu yang berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara ketat). Kemunculan positivisme ini tidak dapat dilepaskan dari iklim kultur saat itu yang memungkinkan berkembangnya gerakan untuk menerapkan cara kerja sains dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
Sehingga positivisme menurut Donny Gahral Adian,[17] menjadi sebuah dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan haruslah mengikuti doktrin unified science apabila ingin disebut ilmu pengetahuan ilmiah bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis eksistensial. Menurutnya positivisme memiliki beberapa ciri yang antara lain :
1)      Objektif / bebas nilai, dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan realitas dengan bersikap bebas nilai
2)      Fenomenalisme : tesis bahwa realitas terdiri dari  impresi-impresi, ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut
3)      Reduksionisme : realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati
4)      Mekanisme : tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip sistem-sistem mekanis.
Para ilmuwan politik ini kemudian berusaha menjadikan disiplin ilmu politik menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah dan sistematis, sehingga bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain (baik ilmu sosial dan ilmu alam), salah satu caranya dengan menggunakan logika positivisme seperti yang dijelaskan diatas sebagai metode penelitian untuk memahami realitas politik yang terjadi di masyarakat. Mereka berargumen bahwa penelitian di bidang politik harus mempunyai relevansi langsung dengan kenyataan politik praktis yang ada.
Beberapa ilmuwan politik seperti Charles Beard, AL Lowell dan Arthur Bentley memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya memperluas ruang lingkup ilmu politik ini dengan penggunaan metode teknik statistik, sedangkan Arthur Bentley memberikan sumbangan dua gagasanya untuk pendekatan perilaku yaitu gagasan kelompok dan konsep tentang proses. Selain ketiga ilmuwan politik tersebut perkembangan pendekatan perilaku menganal Charles Merriam, sumbangan Charles Merriam dalam perkembangan pendekatan perilaku dalam ilmu politik adalah :
1)      Ia berkeinginan penelitian-penelitian di bidang politik benar-benar memanfaatkan kemajuan inteligensia manusia yang telah di bawa ke dunia oleh ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam dan mendorong adanya penelitian yang bersifat kooperatif dan kolaboratif
2)      Ia berpendapat bahwa pendekatan disiplin sejarah tidak relevan digunakan sebagai salah satu pendekatan yang digunakan dalam ilmu politik, dengan alasan pendekatan historis mengabaikan faktor-faktor psikologis, sosial dan ekonomi. 
Pendekatan perilaku mencapai puncak perkembangnya setelah perang dunia kedua, ilmu politik tidak lagi dianggap sebagai ilmu pengetahuan kelas dua, perkembangan ini tentunya tidak lepas dari dukungan berbagai organisasi penderma (donatur) seperti Carnegie, Rockefeller dan Ford yang memberikan dana bagi penelitian-penelitian perilaku, tanpa dukungan organisasi-organisasi ini, penelitian perilaku yang banyak memakan biaya tidak akan pernah berkembang dengan baik hingga saat ini.
Menurut Varma mengutip pendapat Waldo perkembangan pendekatan perilaku dalam ilmu politik selain mengandung sisi positif juga mengandung sisi negatif, sisi positif perkembangan pendekatan perilaku bagi ilmu politik diantaranya mendorong ilmu politik menggunakan metode-metode cabang ilmu sosial dan ilmu alam yang telah lebih dulu maju dalam metode penelitian dan riset, sehingga pendekatan penelitian yang digunakan ilmu politik bisa lebih komprehensif untuk menjelaskan banyak fenomena politik yang terjadi, apalagi dengan menerapkan sebanyak mungkin logika matematis khususnya metode statistik kuantitatif dalam pendekatan perilaku bisa mencapai generalisasi yang lebih tinggi yang mampu menerangkan banyak fenomena dengan lebih jelas. Sedangkan sisi negatifnya pendekatan perilaku menentang analisa kelembagaan serta menentang upaya melibatkan ilmu politik dengan masalah-masalah moral dan etika serta menghindari pemihakan ilmuwan dalam penelitianya.[18]
Sisi negatif dari pendekatan perilaku ini kemudian menjadi embrio ketidakpuasan beberapa kalangan yang memunculkan pendekatan baru dalam ilmu politik yang disebut pendekatan pasca perilaku (post behavioral approach). Pendekatan pasca perilaku sangat dipengaruhi oleh aliran kiri baru yang menjadi sebuah fenomena politik era tahun 1960an di Amerika Serikat serta beberapa negara Eropa saat itu. Istiah kiri baru pertama kali digunakan oleh kelompok Marxis liberal yang berpusat di sekitar New left Review , istilah itu kemudian digunakan oleh gerakan mahasiswa dunia.[19]
Pemikiran kaum kiri baru ini sangat dipengaruhi oleh para intelektual Frankfurt di Jerman, mereka membudayakan aliran sosial kritis yang bersifat emansipatoris, teori emansipatoris menurut mereka harus memenuhi tiga syarat :
1)      Bersikap kritis dan selalu curiga terhadap zamanya
2)      Berpikir secara historis, berpijak pada masyarakat dalam prosesnya yang historis
3)      Tidak memisahkan teori dan praksis, tidak melepaskan fakta dari nilai.
Teori kritis senantiasa menolak logika pengetahuan yang dikembangkan oleh aliran positivisme, menurut mereka positivisme hanya merekontruksi hukum-hukum kausal yang bekerja dalam suatu tatanan masyarakat yang bisa diverifikasi melalui empirical test, sehingga “membutakan” para ilmuwan sosial bahwasanya perilaku manusia tidak bisa dipandang sebagai manifestasi suatu tata kausalitas, perilaku manusia lebih menampilkan simbol yang berarti terhadap makna yang mendasarinya.
Selain itu positivisme membimbing pelaku sejarah dan ilmuwan sosial pada total pasitivity, kriteria bebas nilai yang diajukan membuat ilmuwan tidak mampu melihat sesuatu yang salah dalam masyarakat, tugas seorang ilmuwan hanya memaparkan, mendeskripsikan realitas sedetil-detilnya lewat fakta-fakta yang terukur sehingga proses-proses sosial yang sifatnya melampaui fakta-fakta yang terukur menjadi tertutupi. Realitas yang dideskripsikanya adalah realitas statis dengan hukum-hukum objektif, sedangkan realitas sesungguhnya adalah realitas yang penuh dinamika.[20] 
Pengaruh teori kritis berimbas juga pada perkembangan ilmu politik selanjutnya, banyak para ilmuwan politik dan sosial mempertanyakan kembali pendekatan perilaku dalam menjelaskan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat, serangkaian pertemuan digelar oleh Asosiasi Ilmu Politik Amerika (APSA) merespon ketidakpuasan pendekatan perilaku selama ini, terlebih-lebih suatu forum rapat (Caucus) pada tahun 1969 telah mengeluarkan manifestonya, bahwa dibutuhkan pendekatan ilmu politik baru yang diarahkan untuk melayani rakyat miskin, tertindas dan terbelakang, baik dalam negara mereka sendiri maupun di luar negara, dalam perjuanganya melawan hirarki-hirarki, kelompok elit serta bentuk-bentuk manipulasi kelembagaan yang telah mapan.[21]
Munculnya pendekatan pasca perilaku ini dalam ilmu politik merupakam sebuah antitesa terhadap kemapanan logika positivisme yang dikembangkan dalam pendekatan perilaku, pendekatan ini menitikberatkan supaya para ilmuwan politik mampu memahami masalah sosial dan politik yang terjadi dengan memberikan sumbangan pemikiran bagi pemecahanya. Secara garis besar dalam bukunya Varma menjelaskan dua tuntutan utama pendekatan pasca perilaku yaitu relevansi dan tindakan, termasuk ada tujuh karakter yang dimiliki oleh kaum pendekatan pasca perilaku. Ketujuh karakter tersebut adalah :[22]
1.      Dalam penelitian politik subtansi harus mendahului teknik artinya bahwa setiap penelitian politik yang akan dilaksankan terlebih dahulu harus memiliki tujuan untuk memecahkan permasalahan sosial politik yang terjadi.
2.      Perubahan sosial harus menjadi penekanan yang utama pada pendekatan ilmu politik, nilai social transformation menjadi kebutuhan utama dari pada social preservation.
3.      Ilmu politik tidak boleh melepaskan dirinya dari realitas sosial.
4.      Ilmu politik jangan melepaskan dirinya dari sistem nilai.
5.      Tugas utama ilmuwan ialah mempunyai peranan yang harus dimainkan dalam masyarakat serta melindungi peradaban nilai-nilai kemanusiaan.
6.      Ilmu pengetahuan khususnya ilmu politik memiliki komitmen untuk bertindak. Ilmu politik bagi mereka harus menggantikan ilmu yang bersifat kontemplatif.
7.      Kaum intelektual memiliki peranan positif dalam masyarakat dan peranan ini menentukan tujuan yang pantas bagi masyarakat serta membuat masyarakat bergerak sesuai dengan tujuan itu.

Perkembangan ilmu politik tersebut membuat kita mengerti tentang sejarah tahapan-tahapan perkembangan ilmu politik, dari tahapan ilmu politik yang menggunakan pendekatan tradisional, perilaku dan pasca perilaku. Dinamika perkembangan ilmu politik tersebut tidak bisa dilepaskan dari konstruksi serta relevansi sosial yang terjadi saat itu, menurut penulis pendekatan ketiganya merupakan bentuk responsif ilmu politik terhadap perubahan serta dinamika yang terjadi di masyarakat. Pendekatan perilaku muncul karena desakan situasi dan kondisi saat itu di Amerika Serikat supaya ilmu politik bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainya, sehingga kebutuhan akan unit analisa komprehensif yang mencakup logika matematis, statistik kuantitatif, psikologi, sosiologi dan beberapa metodelogi ilmu alam sangat dibutuhkan. Unit analisa tersebut tentu saja tidak cukup memberikan kepastian ilmu politik bisa diakui sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah dan sistematis. Ilmu politik harus bisa merubah dirinya menjadi ilmu pengetahuan yang sesuai dengan logika positivisme, sebuah logika yang diciptakan untuk menempatkan ilmu pengetahuan dalam wilayah objektifitas, netralitas dan bebas nilai, karena ilmu sosial pada umumnya termasuk didalamnya ilmu politik sangat rentan dengan unsur-unsur subjektifisme.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau kepolitikan. Politik merupakan usaha untuk mecapai kehidupan yang lebih baik. Di Indonesia kita mengenal pepatah gemah ripah loh jinawi, orang yunani kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Bahwa politik dalam suatu Negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy),  dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).
Sejarah ringkas perkembangan ilmu politik  dapat kita pahami menurut pembabakan sejarah yang dimulai dan sudah ditemukan dalam literature klasik Yunani kuno, kemudian pada awal abad pertengahan,  kemudian ditengah abad pertengahan,  kemudian abad pencerahan, dan kemudian abad Modern.
Sampai abad ini ilmu politik sebagai salah satu disiplin dari ilmu-imu sosial telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak kelahirannya, maka apabila kita tinjau tentang sejarah perkembangan ilmu politik perkembangan ilmu politik terbagi pada tiga periode yaitu, periode tradisional, behavioralisme (pendekatan perilaku) dan post behavioralisme (pendekatan pasca perilaku).

B.     Saran
Perkembangan ilmu politik akan tarus dianamis seiring dengan perkembangn gejala atau perubahan social dalam masyarakat, oleh karena itu sebagai mahasiswa kita harus benyak belajar tentang politik yang baik agar dapat diperguankan dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara.
Semoga makalah yang ada di tangan kawan-kawan sekalian, walaupun banyak kekurangan disana sini memberikan manfaat bagi kita semua. Kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari kawan-kawan semua.


DAFTAR PUSTAKA


Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang  Unsur-unsurnya, Jakarta: UI Press, 1995

Carlton Clymer Rodee, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Rajawali Press, 2009

David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta: CV.Rajawali, 1988

Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer : Atheisme, Positivieme Logis, Neo Marxisme, Posmodernisme dan Post Ideology Syndrome, Yogyakrata : Jalasutra

Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik Sebuah Bahasa Memahami Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007

Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1986

Miriam Budiardjo,  Dasar- Dasar Ilmu Politik, Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama, 2008

S.P. Varma, Teori Politik modern, Jakarta: Rajawali, 1987


[1] Miriam Budiardjo,  Dasar- Dasar Ilmu Politik, (Jakarta:  Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 13
[2] Ibid, h. 17
[3] S.P. Varma, Teori Politik modern, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 3
[4] Miriam Budiardjo,  Dasar- Dasar Ilmu Politik,  h. 5
[5] Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang  Unsur-unsurnya, (Jakarta: UI Press, 1995), h. 19
[6] Carlton Clymer Rodee, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 6
[7] Ibid, h. 20
[8] Carlton Clymer Rodee, Pengantar Ilmu Politik, h. 6-7
[9] Ibid, 7
[10] Miriam Budiardjo,  Dasar- Dasar Ilmu Politik,  h. 6
[11] Ibid, h. 7
[12] Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik Sebuah Bahasa Memahami Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 1
[13] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 3. Lihat juga  Miriam Budiardjo,  Dasar- Dasar Ilmu Politik,  h. 5
[14] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 3
[15] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: CV.Rajawali, 1988), h. 333.
[16] Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer : Atheisme, Positivieme Logis, Neo Marxisme, Posmodernisme dan Post Ideology Syndrome, (Yogyakrata : Jalasutra, 2001), h. 30
[17] Ibid, h. 36
[18] S.P. Varma, Teori Politik modern, h.  31
[19] Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1986), h. 228
[20] Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer : Atheisme, Positivieme Logis, Neo Marxisme, Posmodernisme dan Post Ideology Syndrome, h. 66-68.
[21] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 46-47
[22] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 53-56