Keharusan Dokument Mahram Bagi Wanita
Yang Hendak Berumroh
Dalam kehidupan sehari-hari
dalam masyarakat, kita sering mendengar
kata Mahram atau kata Muhrim, sehingga ada sebagain kaum muslimin sendiri
bingung dengan kedua kosa kata tersebut. Dalam literatur kajian fiqh islam, Kata Mahram berasal dari bahasa Arab yaitu Mahram, Mahram
memiliki arti sesuatu yang dilarang. Dalam fiqih istilah juga, kata mahram ini
digunakan untuk menyebut wanita yang haram dinikahi oleh seorang pria. Sebagimana
telah saya singgung dimuka, selain istilah mahram, terkadang juga ada sebutan
Muhrim. Sebenarnya arti dari Muhrim adalah yang mengharamkan. Dalam hal ini
yang dimaksud adalah suami, karena suami menyebabkan seorang wanita haram
dinikahi oleh pria lain.
Penjelasan
tentang wanita-wanita yang haram untuk dinikahi dalam islam, kita dapat melihat
dalam dalil-dalil Al-Qur’an al-Kariem dan
al-Hadis as-Syarief. Di antaranya yang cukup terperinci adalah terdapat dalam Surah
an-Nisa (4) ayat 23. Wanita-wanita tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
wanita yang dinikahi untuk selamanya dan yang haram dinikahi dalam waktu
tertentu.
Dalam kajian hukum islam, menyebutkan ada tiga hal yang dapat menyebabkan
wanita haram dinikahi untuk selamanya.
Pertama, karena hubungan kekerabatan (qarabah) atau keturunan
(nasab). Yang diharamkan karena sebab ini terdiri dari empat golongan.
1.
Orang tua, yakni ibu, nenek, dan
seterusnya hingga ke atas.
2.
Keturunannya, yaitu anak perempuan, cucu
perempuan, dan seterusnya sampai ke bawah
3.
Keturunan kedua orang tua atau salah
satunya, yaitu saudara perempuan, baik sekandung, seayah, maupun seibu beserta
anak perempuan mereka, cucu perempuan mereka, dan seterusnya sampai ke bawah.
4.
Keturunan langsung dari kakek atau nekek,
yaitu saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu.
5.
Sedangkan keturunan tidak langsung dari
kakek atau nenek tidak tergolong mahram. Misalnya, anak perempuan paman atau
bibi.
Kedua, karena hubungan perkawinan (musaharah).
Wanita-wanita yang termasuk mahram karena sebab ini juga terdiri atas empat
golongan, yaitu
1.
Istri orang tua, yakni istri ayah, istri
kakek, dan seterusnya hingga ke atas, baik sudah disetubuhi maupun belum, baik
yang masih berstatus sebagai istri mereka maupun sudah dicerai atau ditinggal
wafat. Dengan kata lain, yang termasuk mahram adalah ibu tiri, nenek tiri, dan
seterusnya sampai ke atas.
2.
Istri keturunan, yaitu istri anak, istri
cucu, dan seterusnya sampai ke bawah, baik yang sudah disetubuhi ataupun belum,
baik yang masih berstatus sebagai istri mereka maupun yang sudah dicerai atau
ditinggal meninggal.
3.
Orang tua istri, yaitu ibunya, neneknya
dan seterusnya sampai ke atas, baik orang itu sudah berhubungan badan dengan
istrinya maupun belum, baik istrinya tersebut masih dalam ikatan perkawinan
dengannya maupun yang sudah dicerai atau sudah meninggal.
4.
Keturunan istri, yaitu anak perempuannya,
cucu perempuannya dan seterusnya sampai ke bawah, jika orang tersebut sudah
berhubungan badan dengan istrinya itu, baik istrinya itu masih dalam ikatan
perkawinan dengannya maupun sudah sudah diceraikan atau sudah meninggal . Namun
apabila ia belum berhubungan badan dengan sang istri, kemudian menceritakannya,
maka ia boleh menikahi keturunan mantan istrinya itu.
Selain perkawinan yang sah seperti
dijelaskan di atas, Mahzab Hanafi menambahkan tiga sebab lagi yaitu :
1.
Hubungan badan dalam akad nikah yang
fasid, seperti nikah tanpa adanya saksi
2.
Hubungan badan yang terjadi karene
kekeliruan, seperti seorang berhubungan badan dengan seorang perempuan yang
disangka istrinya
3.
Hubungan badan karena zina. Penyebab terakhir ini juga ditambahkan
oleh Mahzab Hanbali. Dalam tiga hal ini, keharaman yang ditimbulkannya sama
seperti nikah yang sah. Misalnya, seseorang haram menikahi anak perempuannya
dari hasil zina.
Ketiga, karena hubungan persusuan (rada’ah). Yang diharamkan
karena sebab ini seperti yang diharamkan karena sebab nasab dan perkawinan.
Dengan demikian, delapan golongan yang sudah dijelaskan di atas juga menjadi
haram dinikahi karena sebab hubungan persusuan. Hal ini dijelaskan dalam sabda
Rasulullah SAW, “Perempuan-perempuan yang haram karena susuan sama dengan yang
diharamkan karena keturunan.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Ada dua syarat yang
harus dipenuhi agar susuan mengakibatkan keharaman yaitu
1.
Susuan tersebut terjadi sebelum usia dua
tahun
2.
Susuan terjadi sebanyak lima kali secara
terpisah. Syarat yang kedua ini ditetapkan oleh Mazhab Syafii dan Mahzad
Hanbali.
Sedangkan perempuan yang haram dinikahi dalam waktu tertentu adalah sebagai
berikut :
Pertama, perempuan yang sedangn dalam ikatan perkawinan atau sedang dalam maasa
idah.
Kedua, Perempuan yang sudah ditalak tiga. Ketentuan ini hanya berlaku bagi
mantan suaminya. Perempuan demikian boleh dinikahi kembali olen mantan suami
setelah menikah dengan lelaki lain, melakukan hubungan badan dengan suami
kedua, lalu bercerai dan telah habis masa idahnya.
Ketiga, perempuan yang berzina. Mengenai perinciannya, para ulama
berbeda pendapat. Semua ulama sepakat bahwa laki-laki yang berzina dengannya
boleh menikahinya. yang diperselisihkan adalah kebolehan lelaki lain
menikahinya. Mazhab Syafii membolekannya. Mazhab Hanafi juga membolehkan hal
itu. Namun, jika perempuan itu hamil karena zina, maka sebelum melahirkan tidak
boleh disetubuhi. Mazhab Maliki membolehkan menikahi perempuan yang berzina
dengan syarat telah melewati masa tiga bulan sejak terjadinya zina atau setelah
ia melahirkan kandungannya.Sedangkan menurut Mazhab Hanbali, perempuan yang
berzina boleh dinikahi dengan dua syarat :
1.
Telah melewati masa tiga bulan sejak
terjadinya zina atau telah melahirkan,
2.
Sudah bertobat.
Keempat, Perempuan selain Ahli kitab. Perempuan murtad digolongkan dalam kategori
ini, meskipun ia memeluk agam yahudi atau nasrani. Ia baru boleh dinikahi
setelah masuk islam.
Kelima, saudara perempuan istri dan perempuan-perempuan lain yang termasuk
mahramnya, seperti bibinya atau keponakannya. Namun, jika istri tersebut sudah
sudah diceraikan dan habis masa idahnya, mantan suami boleh menikahi sudara
perempuan mantan istrinya.
Keenam, menikahi perempuan kelima. Hal ini diharamkan karena jumlah maksimal
perempuan yang boleh dinikahi dalam waktu yang sama adalah empat orang.
Ketujuh, Perempuan yang sedang berihram haji atau umrah. ia boleh dinikahi setelah
ibadah haji atau umrahnya Selesai.
Pertanyaannya adalah, kenapa
setiap wanita yang pergi haji dan umrah wajib didampingi mahram? Apakah ini
merupakan ketentuan syariah Islam ataukah hanya merupakan kebijakan pemerintah
Saudi Arabia saja?
Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia
punya kebijakan yang cukup unik dan mungkin satu-satunya di dunia. Kebijakan
itu menyangkut ketentuan bagi para wanita yang memasuki wilayah negara
tersebut. Para wanita tidak diperkenankan untuk masuk ke wilayah Kerajaan Saudi
Arabia, baik untuk haji atau umrah, apabila tidak didampingi oleh laki-laki
yang menjadi mahramnya.
Maka setiap jamaah haji atau
umrah wanita harus dibekali dengan dokumen tambahan, selain passport dan visa
masuk, yaitu keterangan mahram yang tertuang di dalam passport kedua belah
pihak.
Pemeriksaan dokumen dan bukti
fisik langsung dilakukan di bagian imigrasi bandara King Abdul Aziz, saat para
jamaah mendarat pertama kali di negeri itu. Jamaah haji atau umrah wanita yang
tidak punya dokumen yang diminta, maka tidak diperkenankan untuk masuk ke
wilayah negara itu.
Dalam praktiknya tentu tidak
semua jamaah haji dan umrah wanita punya mahram yang mendampingi. Sehingga
seharusnya bila tidak ada mahram, maka tidak mungkin seorang wanita bisa masuk
ke dalam wilayah Kerajaan Saudi Arabia.
Namun rupanya kebijakan ini
banyak diakali oleh semua pihak. Bukan hanya pihak penyelenggara haji dan umrah
saja yang mengakalinya, tetapi pihak petugas imigrasi di banda King Abdul Aziz
pun seakan tidak peduli, apakah mahram dari para wanita itu betul-betul mahram
atau bukan.
Buat para petugas, yang penting
jamaah membawa dokumen yang tertulis dan memenuhi ketentuan, tetapi apakah
kemahraman itu sah secara hukum syariah atau tidak, mereka tidak terlalu
peduli. Buktinya, semua dokumen 'palsu' itu lolos dan terjadi sejak berpuluh
tahun yang lalu, tanpa ada komplain dari pihak manapun.
Lalu apa hukum memalsukan
keterangan mahram, dimana seorang laki-laki sesungguhnya bukan mahram bagi
seorang wanita secara syar'i, namun di dalam dokumen kemudian ditulis
seolah-olah mereka adalah mahram. Praktek seperti ini harus diakui pasti
dilakukan oleh hampir semua penyelenggara haji dan umrah. Dan untuk itu memang
ada biaya tertentu yang harus dikeluarkan.
Di sisi lain kebijakan pihak
Kerajaan Saudi Arabia sendiri kelihatan agak pincang. Hal itu karena ada jutaan
tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia yang masuk begitu saja ke Kerajaan
tanpa ada mahramnya. Mereka umumnya bekerja pada sektor informal menjadi
pembantu rumah tangga di negara itu.
Data resmi Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) 2010 hingga Februari 2010 menyebutkan
bahwa total TKI di luar negeri mencapai mencapai 2.679.536 orang. Dari jumlah
tersebut Arab Saudi menempati urutan kedua yaitu tercatat 927.500 orang.
Namun angka ini agak sedikit
berbeda dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan jumlah tenaga kerja
Indonesia (TKI) yang bekerja di Arab Saudi mencapai 1,5 juta orang.
Pertanyaan kedua, bagaimana hukum
wanita bepergian tanpa ditemani mahram dalam tinjauan fiqh islam? Keharusan
wanita bepergian disertai mahram memang menjadi titik perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Sebagian dari mereka menjadikannya syarat mutlak, sehingga bila
wanita yang ingin pergi haji atau umrah tidak punya mahram yang sah, maka dia
tidak boleh pergi.
Dan sebagian ulama yang lain
memandang bahwa ketentuan itu sifatnya tidak mutlak, dimana dalam kondisi
tertentu tidak dibutuhkan mahram bagi wanita.
1. Pendapat Yang Mewajibkan
Dasar atas syarat ini adalah
beberapa hadits Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ
النَّبِيِّ قَالَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي
مَحْرَمٍ.فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ امْرَأَتِي خَرَجَتْ
حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ ارْجِعْ فَحُجَّ مَعَ
امْرَأَتِكَ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahunahu
dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Janganlah sekali-kali seorang laki-laki
berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya." Lalu seorang
laki-laki bangkit seraya berkata, "Wahai Rasulullah, isteriku berangkat
hendak menunaikan haji sementara aku diwajibkan untuk mengikuti perang ini dan
ini." beliau bersabda: "Kalau begitu, kembali dan tunaikanlah haji
bersama isterimu."(HR. Bukhari)
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ
عَنْ النَّبِيِّ قَالَ لاَ تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ ثَلاثًا إِلاَّ مَعَ ذِي
مَحْرَمٍ
Dari Nafi' dari Ibnu Umar
radhiyallahuanhu dari Nabi SAW, beliau bersabda,"Janganlah seorang wanita
bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahramnya. (HR. Ahmad)
Juga ada hadits lain :
Janganlah seorang wanita pergi
haji kecuali bersama suaminya. (HR. Ad-Daruqutni)
2. Pendapat Yang Tidak Mewajibkan
Namun kesertaan suami atau mahram
ini tidak dijadikan syarat oleh sebagian ulama, diantaranya Mazhab Al-Malikiyah
dan As-Syafi'iyah. Sehingga menurut mereka bisa saja seorang wanita mengadakan
perjalanan haji berhari-hari bahkan berminggu-minggu, meski tanpa kesertaan
mahram.
a. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan
asalkan seorang wanita pergi haji bersama rombangan wanita yang dipercaya
(tsiqah), misalnya teman-teman perjalanan sesama wanita yang terpercaya, maka
mereka boleh menunaikan ibadah haji, bahkan hukumnya tetap wajib menaunaikan
ibadah haji. Syaratnya, para wanita itu bukan hanya satu orang melainkan
beberapa wanita.
b. Al-Malikiyah
Al-Malikiyah juga mengatakan
bahwa seorang wania wajib berangkat haji asalkan ditemani oleh para wanita yang
terpercaya, atau para laki-laki yang terpercaya, atau campuran dari rombongan
laki-laki dan perempuan.
Sebab dalam pandangan kedua
mazhab ini, 'illat-nya bukan adanya mahram atau tidak, tetapi ’illatnya adalah
masalah keamanan. Adapun adanya suami atau mahram, hanya salah satu cara untuk
memastikan keamanan saja. Tetapi meski tanpa suami atau mahram, asalkan
perjalanan itu dipastikan aman, maka sudah cukup syarat yang mewajibkan haji
bagi para wanita.
c. Dalil Kebolehan
Dasar dari kebolehan wanita pergi
haji tanpa mahram asalkan keadaan aman, adalah hadits berikut ini :
بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ ص
إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ فَشَكَا
إِلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيلِ. فَقَالَ يَا عَدِيُّ هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ ؟
قُلْتُ لَمْ أَرَهَا وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا. قَالَ : فَإِنْ طَالَتْ بِكَ
حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنْ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ
بِالْكَعْبَةِ لا تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللَّهَ
Dari Adiy bin Hatim
berkata,"Ketika aku sedang bersama Nabi SAW tiba-tiba ada seorang
laki-laki mendatangi beliau mengeluhkan kefakirannya, kemudian ada lagi seorang
laki-laki yang mendatangi beliau mengeluhkan para perampok jalanan". Maka
beliau berkata,"Wahai Adiy, apakah kamu pernah melihat negeri Al
Hirah?". Aku jawab,"Belum pernah Aku melihatnya namun Aku pernah
mendengar beritanya". Beliau berkata,"Seandainya kamu diberi umur
panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan
berjalan dari Hirah hingga melakukan tawaf di Ka’bah tanpa takut kepada
siapapun kecuali kepada Allah". (HR. Bukhari)
Hadits ini mengisahkan penjelasan
Rasulullah SAW bahwa suatu saat di kemudian hari nanti, keadaan perjalanan haji
akan menjadi sangat aman. Begitu amannya sehingga digambarkan bahwa akan ada
seorang wanita yang melakukan perjalanan haji yang teramat jauh sendirian,
tidak ditemani mahram, namun dia tidak takut kepada apa pun.
Maksudnya, saat itu keadaan sudah
sangat aman, tidak ada perampok, begal, penjahat, dan sejenisnya, yang
menghantui perjalanan haji. Kalau pun wanita itu punya rasa takut, rasa takut
itu hanya kepada Allah SWT saja.
Dan ternyata masa yang
diceritakan beliau SAW tidak lama kemudian terjadi. Adi bin Hatim
radhiyallahuanhu mengisahkan bahwa di masa akhir dari hidupnya, beliau memang
benar-benar bisa menyaksikan apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Selain menggunakan dalil hadits
di atas, mereka juga mendasarkan pendapat mereka di atas praktek yang dilakukan
oleh para istri Nabi, ummahatul mukminin. Sepeninggal Rasulullah SAW mereka
mengadakan perjalanan haji dari Madinah ke Mekkah. Dan kita tahu persis bahwa
tidak ada mahram yang mendampingi mereka, juga tidak ada suami. Mereka berjalan
sepanjang 400-an km bersama dengan rombongan laki-laki dan perempuan.
Namun perlu dicatat bahwa
kebolehan wanita bepergian tanpa mahram menurut Mazhab As-Syafi'iyah dan
Al-Malikiyah hanya pada kasus haji yang wajib saja.
Sedangkan haji yang sunnah, yaitu
haji yang kedua atau ketiga dan seterusnya, tidak lagi diberi keringanan.
Apalagi untuk perjalanan selain haji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar