Minggu, 27 April 2014

Keharusan Dokument Mahram Bagi Wanita Yang Hendak Berumroh

Keharusan Dokument Mahram Bagi Wanita 
Yang Hendak Berumroh

Dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, kita  sering mendengar kata Mahram atau kata Muhrim, sehingga ada sebagain kaum muslimin sendiri bingung dengan kedua kosa kata tersebut. Dalam literatur kajian fiqh islam, Kata Mahram berasal dari bahasa Arab yaitu Mahram, Mahram memiliki arti sesuatu yang dilarang. Dalam fiqih istilah juga, kata mahram ini digunakan untuk menyebut wanita yang haram dinikahi oleh seorang pria. Sebagimana telah saya singgung dimuka, selain istilah mahram, terkadang juga ada sebutan Muhrim. Sebenarnya arti dari Muhrim adalah yang mengharamkan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah suami, karena suami menyebabkan seorang wanita haram dinikahi oleh pria lain.
Penjelasan tentang wanita-wanita yang haram untuk dinikahi dalam islam, kita dapat melihat  dalam dalil-dalil Al-Qur’an al-Kariem dan al-Hadis as-Syarief. Di antaranya yang cukup terperinci adalah terdapat dalam Surah an-Nisa (4) ayat 23. Wanita-wanita tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wanita yang dinikahi untuk selamanya dan yang haram dinikahi dalam waktu tertentu.
Dalam kajian hukum islam, menyebutkan ada tiga hal yang dapat menyebabkan wanita haram dinikahi untuk selamanya.
Pertama, karena hubungan kekerabatan (qarabah) atau keturunan (nasab). Yang diharamkan karena sebab ini terdiri dari empat golongan.
1.      Orang tua, yakni ibu, nenek, dan seterusnya hingga ke atas.
2.      Keturunannya, yaitu anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya sampai ke bawah
3.      Keturunan kedua orang tua atau salah satunya, yaitu saudara perempuan, baik sekandung, seayah, maupun seibu beserta anak perempuan mereka, cucu perempuan mereka, dan seterusnya sampai ke bawah.
4.      Keturunan langsung dari kakek atau nekek, yaitu saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu.
5.      Sedangkan keturunan tidak langsung dari kakek atau nenek tidak tergolong mahram. Misalnya, anak perempuan paman atau bibi.
Kedua, karena hubungan perkawinan (musaharah). Wanita-wanita yang termasuk mahram karena sebab ini juga terdiri atas empat golongan, yaitu
1.      Istri orang tua, yakni istri ayah, istri kakek, dan seterusnya hingga ke atas, baik sudah disetubuhi maupun belum, baik yang masih berstatus sebagai istri mereka maupun sudah dicerai atau ditinggal wafat. Dengan kata lain, yang termasuk mahram adalah ibu tiri, nenek tiri, dan seterusnya sampai ke atas.
2.      Istri keturunan, yaitu istri anak, istri cucu, dan seterusnya sampai ke bawah, baik yang sudah disetubuhi ataupun belum, baik yang masih berstatus sebagai istri mereka maupun yang sudah dicerai atau ditinggal meninggal.
3.      Orang tua istri, yaitu ibunya, neneknya dan seterusnya sampai ke atas, baik orang itu sudah berhubungan badan dengan istrinya maupun belum, baik istrinya tersebut masih dalam ikatan perkawinan dengannya maupun yang sudah dicerai atau sudah meninggal.
4.      Keturunan istri, yaitu anak perempuannya, cucu perempuannya dan seterusnya sampai ke bawah, jika orang tersebut sudah berhubungan badan dengan istrinya itu, baik istrinya itu masih dalam ikatan perkawinan dengannya maupun sudah sudah diceraikan atau sudah meninggal . Namun apabila ia belum berhubungan badan dengan sang istri, kemudian menceritakannya, maka ia boleh menikahi keturunan mantan istrinya itu.
Selain perkawinan yang sah seperti dijelaskan di atas, Mahzab Hanafi menambahkan tiga sebab lagi yaitu :
1.      Hubungan badan dalam akad nikah yang fasid, seperti nikah tanpa adanya saksi
2.      Hubungan badan yang terjadi karene kekeliruan, seperti seorang berhubungan badan dengan seorang perempuan yang disangka istrinya
3.      Hubungan badan karena zina. Penyebab terakhir ini juga ditambahkan oleh Mahzab Hanbali. Dalam tiga hal ini, keharaman yang ditimbulkannya sama seperti nikah yang sah. Misalnya, seseorang haram menikahi anak perempuannya dari hasil zina.

Ketiga, karena hubungan persusuan (rada’ah). Yang diharamkan karena sebab ini seperti yang diharamkan karena sebab nasab dan perkawinan. Dengan demikian, delapan golongan yang sudah dijelaskan di atas juga menjadi haram dinikahi karena sebab hubungan persusuan. Hal ini dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW, “Perempuan-perempuan yang haram karena susuan sama dengan yang diharamkan karena keturunan.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar susuan mengakibatkan keharaman yaitu
1.      Susuan tersebut terjadi sebelum usia dua tahun
2.      Susuan terjadi sebanyak lima kali secara terpisah. Syarat yang kedua ini ditetapkan oleh Mazhab Syafii dan Mahzad Hanbali.

Sedangkan perempuan yang haram dinikahi dalam waktu tertentu adalah sebagai berikut :
Pertama, perempuan yang sedangn dalam ikatan perkawinan atau sedang dalam maasa idah.
Kedua, Perempuan yang sudah ditalak tiga.  Ketentuan ini hanya berlaku bagi mantan suaminya. Perempuan demikian boleh dinikahi kembali olen mantan suami setelah menikah dengan lelaki lain, melakukan hubungan badan dengan suami kedua, lalu bercerai dan telah habis masa idahnya.
Ketiga, perempuan yang berzina. Mengenai perinciannya, para ulama berbeda pendapat. Semua ulama sepakat bahwa laki-laki yang berzina dengannya boleh menikahinya. yang diperselisihkan adalah kebolehan lelaki lain menikahinya. Mazhab Syafii membolekannya. Mazhab Hanafi juga membolehkan hal itu. Namun, jika perempuan itu hamil karena zina, maka sebelum melahirkan tidak boleh disetubuhi. Mazhab Maliki membolehkan menikahi perempuan yang berzina dengan syarat telah melewati masa tiga bulan sejak terjadinya zina atau setelah ia melahirkan kandungannya.Sedangkan menurut Mazhab Hanbali, perempuan yang berzina boleh dinikahi dengan dua syarat :
1.      Telah melewati masa tiga bulan sejak terjadinya zina atau telah melahirkan,
2.      Sudah bertobat.
Keempat, Perempuan selain Ahli kitab. Perempuan murtad digolongkan dalam kategori ini, meskipun ia memeluk agam yahudi atau nasrani. Ia baru boleh dinikahi setelah masuk islam.
Kelima, saudara perempuan istri dan perempuan-perempuan lain yang termasuk mahramnya, seperti bibinya atau keponakannya. Namun, jika istri tersebut sudah sudah diceraikan dan habis masa idahnya, mantan suami boleh menikahi sudara perempuan mantan istrinya.
Keenam, menikahi perempuan kelima. Hal ini diharamkan karena jumlah maksimal perempuan yang boleh dinikahi dalam waktu yang sama adalah empat orang.
Ketujuh, Perempuan yang sedang berihram haji atau umrah. ia boleh dinikahi setelah ibadah haji atau umrahnya Selesai.

Pertanyaannya adalah, kenapa setiap wanita yang pergi haji dan umrah wajib didampingi mahram? Apakah ini merupakan ketentuan syariah Islam ataukah hanya merupakan kebijakan pemerintah Saudi Arabia saja?
Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia punya kebijakan yang cukup unik dan mungkin satu-satunya di dunia. Kebijakan itu menyangkut ketentuan bagi para wanita yang memasuki wilayah negara tersebut. Para wanita tidak diperkenankan untuk masuk ke wilayah Kerajaan Saudi Arabia, baik untuk haji atau umrah, apabila tidak didampingi oleh laki-laki yang menjadi mahramnya.
Maka setiap jamaah haji atau umrah wanita harus dibekali dengan dokumen tambahan, selain passport dan visa masuk, yaitu keterangan mahram yang tertuang di dalam passport kedua belah pihak.
Pemeriksaan dokumen dan bukti fisik langsung dilakukan di bagian imigrasi bandara King Abdul Aziz, saat para jamaah mendarat pertama kali di negeri itu. Jamaah haji atau umrah wanita yang tidak punya dokumen yang diminta, maka tidak diperkenankan untuk masuk ke wilayah negara itu.
Dalam praktiknya tentu tidak semua jamaah haji dan umrah wanita punya mahram yang mendampingi. Sehingga seharusnya bila tidak ada mahram, maka tidak mungkin seorang wanita bisa masuk ke dalam wilayah Kerajaan Saudi Arabia.
Namun rupanya kebijakan ini banyak diakali oleh semua pihak. Bukan hanya pihak penyelenggara haji dan umrah saja yang mengakalinya, tetapi pihak petugas imigrasi di banda King Abdul Aziz pun seakan tidak peduli, apakah mahram dari para wanita itu betul-betul mahram atau bukan.
Buat para petugas, yang penting jamaah membawa dokumen yang tertulis dan memenuhi ketentuan, tetapi apakah kemahraman itu sah secara hukum syariah atau tidak, mereka tidak terlalu peduli. Buktinya, semua dokumen 'palsu' itu lolos dan terjadi sejak berpuluh tahun yang lalu, tanpa ada komplain dari pihak manapun.
Lalu apa hukum memalsukan keterangan mahram, dimana seorang laki-laki sesungguhnya bukan mahram bagi seorang wanita secara syar'i, namun di dalam dokumen kemudian ditulis seolah-olah mereka adalah mahram. Praktek seperti ini harus diakui pasti dilakukan oleh hampir semua penyelenggara haji dan umrah. Dan untuk itu memang ada biaya tertentu yang harus dikeluarkan.
Di sisi lain kebijakan pihak Kerajaan Saudi Arabia sendiri kelihatan agak pincang. Hal itu karena ada jutaan tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia yang masuk begitu saja ke Kerajaan tanpa ada mahramnya. Mereka umumnya bekerja pada sektor informal menjadi pembantu rumah tangga di negara itu.
Data resmi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) 2010 hingga Februari 2010 menyebutkan bahwa total TKI di luar negeri mencapai mencapai 2.679.536 orang. Dari jumlah tersebut Arab Saudi menempati urutan kedua yaitu tercatat 927.500 orang.
Namun angka ini agak sedikit berbeda dengan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Arab Saudi mencapai 1,5 juta orang.
Pertanyaan kedua, bagaimana hukum wanita bepergian tanpa ditemani mahram dalam tinjauan fiqh islam? Keharusan wanita bepergian disertai mahram memang menjadi titik perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian dari mereka menjadikannya syarat mutlak, sehingga bila wanita yang ingin pergi haji atau umrah tidak punya mahram yang sah, maka dia tidak boleh pergi.
Dan sebagian ulama yang lain memandang bahwa ketentuan itu sifatnya tidak mutlak, dimana dalam kondisi tertentu tidak dibutuhkan mahram bagi wanita.
1. Pendapat Yang Mewajibkan
Dasar atas syarat ini adalah beberapa hadits Rasulullah SAW berikut ini :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ.فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ ارْجِعْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahunahu dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya." Lalu seorang laki-laki bangkit seraya berkata, "Wahai Rasulullah, isteriku berangkat hendak menunaikan haji sementara aku diwajibkan untuk mengikuti perang ini dan ini." beliau bersabda: "Kalau begitu, kembali dan tunaikanlah haji bersama isterimu."(HR. Bukhari)
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ لاَ تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ ثَلاثًا إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Dari Nafi' dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu dari Nabi SAW, beliau bersabda,"Janganlah seorang wanita bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahramnya. (HR. Ahmad)
Juga ada hadits lain :
Janganlah seorang wanita pergi haji kecuali bersama suaminya. (HR. Ad-Daruqutni)
2. Pendapat Yang Tidak Mewajibkan
Namun kesertaan suami atau mahram ini tidak dijadikan syarat oleh sebagian ulama, diantaranya Mazhab Al-Malikiyah dan As-Syafi'iyah. Sehingga menurut mereka bisa saja seorang wanita mengadakan perjalanan haji berhari-hari bahkan berminggu-minggu, meski tanpa kesertaan mahram.
a. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan asalkan seorang wanita pergi haji bersama rombangan wanita yang dipercaya (tsiqah), misalnya teman-teman perjalanan sesama wanita yang terpercaya, maka mereka boleh menunaikan ibadah haji, bahkan hukumnya tetap wajib menaunaikan ibadah haji. Syaratnya, para wanita itu bukan hanya satu orang melainkan beberapa wanita.
b. Al-Malikiyah
Al-Malikiyah juga mengatakan bahwa seorang wania wajib berangkat haji asalkan ditemani oleh para wanita yang terpercaya, atau para laki-laki yang terpercaya, atau campuran dari rombongan laki-laki dan perempuan.
Sebab dalam pandangan kedua mazhab ini, 'illat-nya bukan adanya mahram atau tidak, tetapi ’illatnya adalah masalah keamanan. Adapun adanya suami atau mahram, hanya salah satu cara untuk memastikan keamanan saja. Tetapi meski tanpa suami atau mahram, asalkan perjalanan itu dipastikan aman, maka sudah cukup syarat yang mewajibkan haji bagi para wanita.
c. Dalil Kebolehan
Dasar dari kebolehan wanita pergi haji tanpa mahram asalkan keadaan aman, adalah hadits berikut ini :
بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ ص إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ فَشَكَا إِلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيلِ. فَقَالَ يَا عَدِيُّ هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ ؟ قُلْتُ لَمْ أَرَهَا وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا. قَالَ : فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنْ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ لا تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللَّهَ
Dari Adiy bin Hatim berkata,"Ketika aku sedang bersama Nabi SAW tiba-tiba ada seorang laki-laki mendatangi beliau mengeluhkan kefakirannya, kemudian ada lagi seorang laki-laki yang mendatangi beliau mengeluhkan para perampok jalanan". Maka beliau berkata,"Wahai Adiy, apakah kamu pernah melihat negeri Al Hirah?". Aku jawab,"Belum pernah Aku melihatnya namun Aku pernah mendengar beritanya". Beliau berkata,"Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Hirah hingga melakukan tawaf di Ka’bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah". (HR. Bukhari)
Hadits ini mengisahkan penjelasan Rasulullah SAW bahwa suatu saat di kemudian hari nanti, keadaan perjalanan haji akan menjadi sangat aman. Begitu amannya sehingga digambarkan bahwa akan ada seorang wanita yang melakukan perjalanan haji yang teramat jauh sendirian, tidak ditemani mahram, namun dia tidak takut kepada apa pun.
Maksudnya, saat itu keadaan sudah sangat aman, tidak ada perampok, begal, penjahat, dan sejenisnya, yang menghantui perjalanan haji. Kalau pun wanita itu punya rasa takut, rasa takut itu hanya kepada Allah SWT saja.
Dan ternyata masa yang diceritakan beliau SAW tidak lama kemudian terjadi. Adi bin Hatim radhiyallahuanhu mengisahkan bahwa di masa akhir dari hidupnya, beliau memang benar-benar bisa menyaksikan apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Selain menggunakan dalil hadits di atas, mereka juga mendasarkan pendapat mereka di atas praktek yang dilakukan oleh para istri Nabi, ummahatul mukminin. Sepeninggal Rasulullah SAW mereka mengadakan perjalanan haji dari Madinah ke Mekkah. Dan kita tahu persis bahwa tidak ada mahram yang mendampingi mereka, juga tidak ada suami. Mereka berjalan sepanjang 400-an km bersama dengan rombongan laki-laki dan perempuan.
Namun perlu dicatat bahwa kebolehan wanita bepergian tanpa mahram menurut Mazhab As-Syafi'iyah dan Al-Malikiyah hanya pada kasus haji yang wajib saja.
Sedangkan haji yang sunnah, yaitu haji yang kedua atau ketiga dan seterusnya, tidak lagi diberi keringanan. Apalagi untuk perjalanan selain haji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar