Minggu, 03 Oktober 2010

UmurKU Bertambah, UsiaKU Berkurang (4 Oktober 2010)


Tak terasa Umurku sekarang bertambah 21 tahun,disisi lain Usiaku semakin berkurang, yaa rabb Panjangkan umurku hanya untu taat kepadamu dan rosulmu Muhammad SAW.
Ternyata tahuun kemarin berbeda dengan tahun sekarang, bulan kemaren berbeda dengan bulan sekarang, minggu kemarin berbeda dengan minggu sekarang, hari kemarin berbeda dengan hari sekarang dan seterusnya. Namun aku insyaf apa yang aku dapatkan untuk bekal di dunia dan akhirat belumlah mencukupi.

Sebelum ku dapat membahagiakan ayah, ternyata kehendak Allah berbedda dengan keinginan manusia, ayah menghadap kepadanya begitu dini, maafkan anakmu ini ayah, selama ini mungkin telah banyak membuatmu jengkel dan sedih, Allahumaj a’l qobrohu roudhotam min riyaadil jinaan, walaa taja’l qobrohu hufrotam min hifaarin niraan, Allhumagfirlahu warhamhu waa’fihi wa’fu anhu.
Ibu, enggkaulah wanita yang mulia tiada tandingnya, setiap malam engkau menagis mendoakanku supaya menjadi anak yang soleh, mempunyai ilmu yang bermanfaat dan berguna. Jasamu semenjak ku dilahirkan sampai sekarang tak terhingga, izinkanlah yaa Allah ku dapat membahagiakan orang tuaku satu- satunya ini.
Pada akhirnya, perjalanan aku di persinggahan ini. Hari berganti hari. Berganti hari, berarti kian dekat pada saat akhir hidupku. Di dunia ini aku hanya mampir. Bukankah sudah banyak orang yang hidup sebelum aku, yang kini mereka kembali ke asal, menjadi tulang belulang. Lalu aku mau ke mana, mau ke mana, aku pasti mati, mati adalah tempat mutasi aku yang terakhir. Aku pasti akan mempertanggungjawabkan apa yang telah aku lakukan. Sebanyak apa pun harta yang aku miliki tak akan bisa menolak kematianku. Sehebat apa pun kekuasaan yang aku genggam, tak akan bisa menghalau kematian walau satu detik, walau aku kuat dan perkasa.
Semoga dengan bertambahnya usia dan berkurangnya jatah umurku ini, aku lebih bias mawas diri, membahagiakan orang tuaku (Ibu), segala anganku dapat tercapai, sehat lahir dan bathin, bisa menjadi manusia yang berguna, serta membahgiakan orang- orang yang aku sayangi.

Ketika Usia Kita Bertambah

قال رب أوزعني أن أشكر نعمتك التي أنعمت علي وعلى والدي وأن أعمل صالحا ترضه وأصلح لي في ذريتي إني تبت إليك وإني من المسلمين (الأ حقاف:15)

“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada ibu-bapakku, serta untuk mengerjakan amal sholeh yang Engaku ridhoi, berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak-cucuku. Sungguh aku bertobat kepada-Mu, dan sesungguhnya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri.” al-Ahqaf (QS 46:15)

Ayat di atas adalah do’a kesadaran akan hakikat hidup yang diajarkan Allah kepada manusia bila mencapai umur 40-an tahun.

Inilah do’a sarat makna yang penuh keterbukaan dan kesadaran akan peran masa lalu (orang tua), masa kini (diri kita sendiri), dan harapan masa depan (anak-cucu). Inilah do’a keselamatan setelah menjalani hidup hingga cukup bekal pengalaman serta berkesempatan untuk menata ulang setelah melihat tantangan proyeksi dirinya di masa depan. Inilah do’a penuh permohonan, penuh kesyukuran, dan penuh pertobatan yang perlu dilantunkan secara khusyuk, intim, dan sepenuh jiwa oleh siapa pun yang punya kesadaran akan umur, posisi, peran, peluang, serta hakikat kehidupannya.

Sungguh ketika seseorang menapaki usia yang ke-40 telah sampailah ia pada fase kearifan hidup. Puncak fase fisik sudah dilampauinya, simpang jalan kehidupan sudah diketahuinya, derita dan bahagia sudah dialaminya, serta jalur, rambu, dan lapis-lapis kehidupan sudah transparan bagi mata batinnya. Pada usia ini, seseorang sudah bisa mengukur secara tepat kekuatan dan kelemahan dirinya, tinggallah kemudian mana pilihan jalan yang akan diteruskanya. Persoalan kehidupan sudah semakin kelihatan berat dan bukan lagi fase fisik, bukan lagi fase coba-coba, melainkan fase kearifan hidup.

Ahli tafsir ada yang menyebutkan bahwa do’a seperti pada ayat di atas diucapkan oleh Abu Bakar As-Shidiq ra ketika kedua orangtuanya menyatakan masuk Islam. Dan, do’a itu masih dilantunkannya setiap hari hingga seluruh anggota keluarga Abu Bakar yang lain masuk Islam. Sedangkan oleh Talhah bin Masyraf kepada Abu Ma’syar ketika dia mengadukan kenakalan anaknya agar anaknya menjadi orang-orang sholeh dan sholehah.

Dua kata kunci pada do’a ini adalah ‘syukur’ dan ‘taubat’. Hakikat syukur adalah penegasan pengakuan diri akan nikmat yang telah diterimanya serta ungkapan rasa terima kasih kepada Allah atas segala kebaikan-Nya. Sementara inti tobat adalah saling ‘berbuat kebaikan’ antara manusia dengan Allah. Dimulai dari manusia yang ‘berbuat kebaikan’ dengan penyesalan kemudian dibalas oleh Allah ‘berbuat kebaikan’ dengan pengampunan dan pemberian rahmat-Nya serta manusia bertobat lantas Allah mengampuninya. Inilah hubungan mesra dan bermakna hakiki antara mahluk dan kholik.

Di zaman yang serba mengkhawatirkan seperti sekarang ini, ketika tantangan dan godaan hidup tidak lagi ringan, sudah selayaknya kita lakukan ikhtiar batin dengan berdo’a dan munajat selain ikhtiar lahir dengan fisik dan pikiran.

Insya Allah dengan laku syukur dan laku taubat, seluruh keluarga kita bisa selamat meniti jalan kehidupan, menapak duniawi sehingga bisa mencapai khusunul khotimah. Amin.

Pada akhirnya, mari bersama kita renungkan perjalanan kita di persinggahan ini. Hari berganti hari. Berganti hari, berarti kian dekat pada saat akhir hidup kita. Di dunia ini kita hanya mampir. Bukankah sudah banyak orang yang hidup sebelum kita, yang kini mereka kembali ke asal, menjadi tulang belulang.

Di depan kita, sudah banyak generasi muda yang kini hidup untuk menggantikan kita. Lalu kita mau ke mana, mau ke mana, kita pasti mati, mati adalah tempat mutasi kita yang terakhir. Kita pasti akan mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan. Sebanyak apa pun harta yang kita miliki tak akan bisa menolak kematian kita. Sehebat apa pun kekuasaan yang kita genggam, tak akan bisa menghalau kematian walau satu detik, walau kita kuat dan perkasa.

Kajian Fiqih: Qadla Sholat


Definisi Ada' adalah menjalankan ibadah di dalam waktunya. Sedangkan Qadla adalah menjalankan ibadah setelah lewat waktunya.

Seseorang yang mengakhirkan sholat hingga lewat waktunya, ada kalanya kerana uzur seperti tidur, ada halangan yang sangat kuat atau lupa, dan ada kalanya karena tanpa udzur seperti sengaja, menunda-nunda atau alasan yang tidak diakui secara agama.

Bagaimana hukumnya seseorang yang mengakhirkan sholat hingga habis waktunya?
Menurut mayoritas ulama, sholat yang ditinggalkan hingga habis waktunya, baik karena disengaja atau tidak, wajib di-qadla. Artinya sholat yang ditinggalkan tersebut wajib diulang. Bagi yang meninggalkannya dengan sengaja, itu termasuk perbuatan maksiat, selain mengulang juga harus diiringi dengan taubat dan istighfar.


Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sholat yang ditinggalkan wajib di-qadla adalah sbb.:
1. Ayat perintah sholat dalam Qur'an " وأقيموا الصلاةyang artinya "Dirikanlah Sholat" disebutkan dengan tanpa menyebut waktu, maka artinya perintah sholat tersebut menunjukkan wajib melaksanakan sholat di dalam waktunya atau di luar waktunya.

2. Hadist riwayat Bukhari dan Muslim;" Anas bin Malik, Rasulullah bersabda :"Barang siapa tertidur dan meninggalkan Sholat, maka hendaklah ia bergegas Sholat ketika ingat". Dalam riwayat Muslim disebutkan tambahan redaksi"Tidak ada tebusan kecuali itu".
"Ketika inga" juga menunjukkan bahwa kewajiban melaksanakan sholat yang ditinggalkan adalah mutlak, baik sengaja atau tanpa sengaja.

3. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra.: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika kembali dari peperangan Khaibar, berjalan pada malam hari bersama para sahabat, dan ketika beliau merasakan kantuk, memerintahkan para sahabat untuk berhenti dan beristirahat dan berkata pada Bilal "Berjaga-jagalah malam ini", kemudian Bilal shalat beberapa rekaat dan berjaga-jaga. Rasulullah SAW tertidur bersama para sahabat, dan ketika mendekati waktu fajar, Bilal bersandar pada kuda tunggangannya sambil menghadap pada arah fajar, Bilal merasakan kantuk dan akhirnya tertidur, tak satupun dari para sahabat terbangun hingga panas matahari mengenai mereka, yang pertama kali bangun adalah Rasulullah SAW, terkejut dan berkata pada Bilal, "Hai Bilal", kemudian Bilal menjawab "telah menimpa padaku seperti yang menimpa padamu ya Rasul"(kantuk). Kemudian Rasulullah SAW berkata pada para sahabat "Tambatkan tunggangan kalian", kemudian para sahabat melakukannya. Rasulullah SAW berwudlu dan memerintahkan pada Bilal untuk beriqomat, kemudian Rasulullah bersama para sahabat shalat (qadla) berjamaah dan ketika selesai shalat Rasulullah SAW bersabda "Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, maka kerjakanlah shalat ketika Ia mengingatnya, dan sesungguhnya Allah SWT telah berfirman "Dirikanlah shalat untukmengingat-Ku".

Hadist tersebut menujukkan bahwa Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya melakukan qadla sholat karena ketiduran dan tanpa sengaja. Tanpa sengaja meninggalkan sholat telah diwajibkan qadla, apalagi meninggalkan dengan sengaja tentu lebih diwajibkan.

4. Sholat yang ditinggalkan menjadi hutang dan tanggungan. Ini juga berlaku pada ibadah-ibadah yang lain, manakala telah wajib di pundak kita maka itu adalah tanggungan dan kewajiban kita sampai kita melaksanakannya. Kalau kita tidak melaksanakannya, itu adalah hutang yang harus kita bayar. Dalam hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim diriwayatkan seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w. menanyakan perihal ibunya yang meninggal dan punya hutang puasa,apakah ia harus menggantinya? Rasulullah s.a.w. menjawab: "Ya, hutang Allah lebih berhak untuk dibayar".
Dalam riwayat lain dari Bukhari Muslim juga diceritakan bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah s.a.w. menanyakan perihal ibunya yang telah bernadzar untuk haji, namun keburu meninggal, apakah ia harus menebuh nadzar tersebut? Rasulullah s.a.w. menjawab:"Behajilah untuknya, bukankah kalau ibumu mempunyai hutang, kamu wajib membayarnya? Maka bayarlah hutang itu dan Allah lebih berhak untuk dibayar.

Hadist-hadist tersebut menunjukkan bahwa ibadah yang wajib kepada kita kalau ditinggalkan menjadi hutang kita kepada Allah. Cara membayar hutang tersebut adalah dengan melaksanakannya meskipun di luar waktunya.

5. Hutang bani Adam yang terkait dengan waktu, tidak akan gugur meskipun waktu tersebut habis. Begitu juga hutang kita kepada Allah tidak akan gugur meskipun waktunya habis. Apalagi hutang Allah tidak menerima ampunan atau maaf.

6.Para ulama sepakat bahwa hutang puasa Ramadhan wajib dibayar di luar Ramadhan, baik karena sengaja atau udzur. Maka hutang sholat juga demikian logisnya.

Wajib qadla shalat yang ditinggalkan, merupakan pendapat empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali dan berdasarkan perintah dan tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. terssebut di atas. Para ulama sepakat bahwa sholat yang ditinggalkan dengan tanpa sengaja seperti karena tidur, wajib di qadla.

Sebagian ulama seperti riwayat dari Imam Ibn Taymiyah, Ibn Hazmin, ia juga diamalkan oleh Umar alKhattab, Ibn Umar, Umar abd Aziz, Ibn Sirin, dan lain-lain mengatakan sholat yang ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib qadla dan cukup dengan taubat dan solat sunat yang banyak untuk menggantikannya. Pendapat ini dilandasi pada pemahaman tekstual dari hadist di atas bahwa hadist tersebut menyebutkan bahwa Rasulullah s.a.w. melakukan qadla karena meninggalkan sholat tanpa sengaja yaitu ketiduran. Kalau meninggalkannya dengan sengaja adalah masalah baru yang tidak dapat dimasukkan dalam hadist tersebut. Pendapat ini juga mengatakan bahwa mereka yang meninggalkan sholat dengan sengaja telah melakukan kekafiran dan keluar dari Islam. Maka baginya hanya satu jalan yaitu taubat dan masuk Islam kembali dan tidak qadla karena saat ia meninggalkan sholat sudah masuk kafir.

Pendapat ini tentu saja banyak ditentang para ulama karena dianggap sangat kaku menafsirkan redaksi hadist qadla di atas. Orang kafir yang masuk Islam kembali, tidak berarti mengugurkan dari hutang-hutangnya. Seperti orang muslim yang murtad tidak berarti menggugurkan hutang-hutangya. Hutang Allah lebih berat dari hutang manusia, seperti disinggung di atas.

Tata Cara Qadla Sholat
Tata cara qadla sholat adalah sama seperti sholat tersebut dilakukan di dalam waktunya. Hanya saja niatnya dibedakan, yaitu bagi yang mengucapkan niat dengan kata "qadlaa'an" sebagai ganti "adaa'an". Urutannya juga demikian, diurutkan sesuai urutan sholat lima waktu.

Sholat yang ditinggalkan saat bepergian, apabila diqadla masih saat bepergian maka dapat melakukannya seperti saat bepergian, misalnya dengan qashar. Tetapi apabila menqadlanya setelah sampai dirumah atau setelah muqim, pelaksanaanya diharuskan sempurna dan tidak boleh diqashar.

Melaksanakan sholat qadla diharuskan untuk segera, karena itu hutang. Hutang sebaiknya segera dibayar saat kita punya uang untuk membayarnya. Begitu sholat seharusnya segera kita laksanakan manakala kita sempat. Mengakhirkan sholat qadla hanya diperbolehkan kalau ada alasan atau udzur yang kuat.

Qadlla sholat yang ditinggalkan dan tidak diketahui jumlahnya
Mereka yang meninggalkan sholat baik sengaja atau tidak dan tidak mengetahui jumlahnya, maka wajib bagi dia untuk melakukan qadla sholat yang dia tinggalkan. Kalau tidak tahu jumlahnya, maka ia cukup melakukan qadla sejumlah yang ia yakini dan diiringi dengan taubat dan memperbanyak sholat

Mengqadha salatnya orang yang sudah meninggal

Dalam salah satu qaidah fiqh dikatakan “la niyaabata fil-‘ibaadahal-badaniyah al-mahdlah” tidak boleh mengganti dalam ibadah yang murnifisik.

Sholat adalah ibadah fisik maka tidak boleh digantikan oleh oranglain meskipun setelah meninggal.
Sholat adalah fardlu ‘ain, yaitu fardlu yang wajib dilaksanakan olehsetiap muslim dan tidak diterima pengganti atau wakil karena itu hak Allahterhadap hambaNya. Tidak ada udzur apapun yang bisa menjustifikasiseseorang meninggalkan sholat sejauh dia sadar dan mempunyai akal. Merekayang tidak mampu melaksanakan sholat berdiri, harus melaksanakannya sambil duduk, yang tidak bisa duduk harus melaksanakannya sambil tiduran danbahkan sambil berkedip mata untuk melaksanakan sholat.


Sholat adalah sarana komunikasi spiritual dan dialog batin antara hamba dan tuhannya,bagaimana mungkin digantikan oleh orang lain. Begitu pentingnya sholatsehingga Rasulullah menegaskan “Yang membedakan antara seorang muslim dankafir adalah sholat, barangsiapa meninggalkannya dengan sengaja ataumempermainkannya maka ia telah kafir” (H.R. Muslim).

Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sholat tidak boleh digantikan olehorang lain antara lain:
1. Firman Allah:
وأن ليس للإنسان إلا ما سعى : 39
“Dan tidak ada bagi seorang manusia, kecuali apa yang diamalkannya”.
Allah hanya menerima sholat untuk dirinya sendiri.
2. Hadis Nabi: "Bila seorang hamba meninggal, maka putuslah semua amalnyakecuali dari tiga perkara, yaitu sedekah yang mengalir, ilmu yangbermanfaat dan anak soleh yang mendoakannya" (H.R. Muslim).
Sholat demikian halnya tidak lagi bisa dilakukan oleh siapapun untuk orangyang telah meninggal.
3. Selain qaidah fikih yang telah disebutkan di atas, ada juga qaidah fikih lain mengatakan "Semua fardlu 'ain, pada dasarnya tidak bolehdigantikan oleh orang lain, kecuali ada dalil dan nash eksplisit yangmemperbolehkannya seperti puasa, zakat dan dan haji."

Adapun sholat yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tua yang meninggal dunia (bukan menggantikan sholat orang tua yang telah meninggal) paraulama mengatakan boleh melakukannya. Misalnya seorang anak melakukan sholat sunnah dan pahalanya dihadiahkan kepada orang tuanya yang telahmeninggal dunia, maka ini diperbolehkan dan merupakan amal baik yangdilakukan seorang anak kepada orang tuanya yang telah meninggal.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Usaid Malik bin Rabiah, iaberkata:"suatu hari kami duduk-duduk bersama Rasulullah s.a.w. laludatanglah seorang lelaki dari Bani Sulaim bertanya: Wahai Rasulullah,adakah kebaikan yang bisa aku berikan kepada kedua orang tuaku setelahmereka meninggal dunia?". Jawab Rasulullah s.a.w.:"Ya, sholat untuk mereka, istighfar untuk mereka, melaksanakan janji mereka, silaturrahmiyang tidak tersambung tanpa keduanya dan memuliakan sahabat-sahabatmereka". Dalam riwayat Daru Qutni dikatakan:" Sesungguhnya termasuk kebaikan kepada dua orang tua yang telah meninggal adalah anda sholat untuk mereka bersama sholatmu, dan berpuasa untuk mereka bersama puasamu"

Maka melihat dalil-dalil di atas, mayoritas ulama mengatakan bahwameng-qadla atau mengantikan sholat seorang yang telah meninggal hukumnya dilarang. Ibnu Battal bahkan menegaskan bahwa telah terjadi ijma' (konsensus ulama) tentang larangan tersebut. Tapi klsim ijma' tersebutmasih diragukan mengingat di sana ada juga pendapat ulama yang mengatakanboleh meng-qadla shalat orang yang telah meninggal dunia.

Beberapa ulama dari Tabi'in membolehkan penggantian sholat untuk orang yang telah meninggal. Dalil-dalil yang dijadikan landasan pendapat ini adalah:
1. Hadist riwayat Bukhari dari Abdullah bin Umar r.a. beliau memerintahkan seorang perempuan yang ibunya bernadzar untu sholat di masjid Quba tapi meninggal dunia, anak perempuan tersebut melakukan sholat di Quba' untuk ibunya yang telah meninggal.

2. Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih meriwayatkan seorang perempuan berkata kepada Ibnu Abbas r.a. "Ibuku meninggal dan telah bernadzar untuk berjalan ke masjid Quba untuk sholat, maka Ibnu Abbas berfatwa agar perempuan tersebut melakukan nadzar ibunya.
3. Sholat untuk mayit diqiyaskan (disamakan hukumnya) dengan do'a, sedekah dan haji yang diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil yang kuat.

Namun riwayat dari Ibnu dan Ibnu Abbas di atas masih dipertanyakan, sebab dalam Muwatta' karya Imam Malik diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar menyatakan "Tidak boleh melakukan sholat untuk orang lain dan tidak boleh melakukan puasa untuk orang lain". Nasa'I juga meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas menyatakan hal serupa. Ibnu Hajar mengatakan untuk mensingkronkan kedua riwayat yang bertentangan tersebut, maksudnya diperbolehkan mengganti untuk orang yang telah meninggal dan larangan untuk yang masih
hidup. (Nailul Authar 9/155).

Imam Nawawi dalam muqaddimah syarah Muslim mengatakan: "Dalam sahih Bukhari bab seorang yang mati dan mempunyai nadzar diriwayatkan bahwa Ibnu Umar memerintahkan seseorang yang ibunya meninggal dan masih punya tanggungan sholat agar ia menggantikannya.
Imam Mawardi meriwayatkan dari Atha' bin Abi Rabah dan Ishaq bin Rahawiyah keduanya mengatakan boleh menggantikan sholat orang yang telah meninggal dunia. Baghawi dalam kitab Tahdzib mengatakan:"Untuk orang yang telah meninggal dan mempunyai tanggungan sholat, maka bisa digantikan setiap sholat dengan satu mud makanan". Namun Imam Nawawi mengatakan bahwa semua pendapat tadi sangat lemah karena dalilnya hanya qiyas kepada do'a, sedekah dan haji. Alusi dalam tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Hazm memperbolehkan menggantikan sholat nadzar, atau fardlu yang ditinggalkan karena lupa atau tertidur dan belum mengadlanya hingga meninggal, maka anaknya boleh menggantikannya, sesuai hadist "Haq Allah lebih berhak untuk dibayar".

Melihat kedua pendapat di atas, Syeh A'tiyah Muhammad Shaqr dari ulama Azhar memilih fatwa yang melarang seseorang menngantikan sholat orang lain, baik setelah meninggal ataupun dalam keadaan masih hidup. Sholat adalah ibadah yang tidak bisa digantikan oleh orang lain, agar orang tidak menggampangkan masalah sholat. Sejauh seseorang masih sadar maka ia wajib sholat dan orang yang disekitarnya wajib mengingatkannya.

Wallahu a'lam

Dari Fatawa Azhariyah nomor 45 1997
Oleh Syeh "Athiyah Muhammad Shaqr

Istri Saya Tidak Bekerja

Dalam suatu seminar pernah terjadi perdebatan sengit tentang apakah status ibu rumah tangga termasuk kategori pekerjaan atau tidak. Meski perdebatan itu berakhir masih saja perempuan menghadapi situasi dilematis terhadap dua pilihan langkahnya, berkarier atau rumah tangga. Berkarier dengan segala kelebihan dan kekuranganya tentu membawa konsekuensi pada rumah tangga, sementara menjadi ibu rumah tangga semata akan menghambat aktualisasi potensi diri karena perempuan hanya akan berhadapan pada pekerjaan monoton, non-profit, dan rumah sendiri tak lebih sebagai terminal terakhir perempuan dimana di sana tak perlu pengasahan otak dan tuntutan SDM berkualitas tinggi. Dari sini terlihat bahwa status ibu rumah tangga lebih disandang dengan perasaan inferioritas tinggi dibanding karier yang terlihat jelas keunggulannya. Dalam hubungan bermasyarakatpun si perempuan akan memperkenalkan statusnya dengan suara lirih dengan mengatakan "saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa", atau seorang suami akan memperkenalkan status istrinya dengan nada suara merendah "istri saya tidak bekerja, ia hanya di rumah."


Bila ditelaah dengan seksama masing-masing profesi tentu bermuara sama yakni pada nilai kesungguhan dan keberhasilan yang akan dihasilkan, hanya performance-nyalah yang berbeda. Lalu benarkah stereotip yang berkembang bahwa ibu rumah tangga bukan suatu karier, dan karier hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat official dan profit semata? lalu status apa yang mesti disandang bagi perempuan yang memilih jalur rumah tangga sebagai pilihan hidupnya ? Tulisan ini mencoba mengulas posisi perempuan sebagai seorang ibu rumah tangga yang menjadikan rumah sebagai basis kariernya. Diantara banyak profesi yang ada, rumah bisa diposisikan sebagai basis karier perempuan pula, yang membutuhkan kesungguhan dan penanganan yang matang,well-planning, dan visi yang tinggi. Hanya anggapan yang melekat bahwa perempuan tidak bekerja bila perhatian dan tenaga yang dimilikinya dicurahkan di sanalah yang harus segera dieliminasi. Sebuah puisi dari Chages, Challenges and Choices: Women in Develompent in Papua New Guinea menuturkan:

My Wife Does Not Work

But then,
Who scrapes the sago?
Who tends the pigs?
Grows and sells the food
So that the family survives?
......
Who fetches the water?
Looks after the children?
Who nurses the sick?
Whose work provides the time
For the men to drink, smoke and play poltics with friends?
Who minds the children?
.......
Whose labour
unseen
Unheard
Unpaid
Unrecognised
Unhelped
Helps development?
Who dares to say
My wife does not work?

(Artinya: Istriku Yang Tidak Bekerja////Suatu ketika/Siapa yang mengerik sagu?/Siapa merawat ternak itu?/Menjadi tumbuh dan menjual makanannya/Hingga keluarga itu bertahan//Siapa menimba air di sumur?/Merawat dan menyayang anak-anak itu?/Merawat yang sakit?/Yang pekerjaannya menghabiskan waktu/Yang bagi lelaki untuk minum kopi, merokok, berpolitik dengan temannya?/Siapa hatinya tercurah bagi anak-anak?//Yang perjuangannya/Tak- terlihat/Tak-terdengar/Tak-dihargai/Tak-terbantu./Membantu pembangunan?/Siapa peduli untuk bilang/Benarkah Istriku tidak bekerja?)

Puisi ini seakan ingin menggugah kesadaran masyarakat bahwa perempuan dalam segala upayanya baik di rural area maupun di kota-kota besar, bekerja siang dan malam dalam situasi yang berbeda untuk kemajuan dan kelangsungan hidup suatu keluarga. Menanami ladang , mencari air, mendidik anak, merawat si sakit menyediakan waktu untuk kepentingan suami yang sibuk dengan dunia perpolitikan, bertandang dan bekerja bersama koleganya. Segala kesibukan tersebut telah menguras energi, waktu, dan kesempatan perempuan, pada bentuk kerja yang tidak terlihat, terdengar, terbayar, tidak dikenal, tidak terbantu meski untuk suatu kemajuan......... dari realita ini siapa yang masih kuasa untuk mengatakan istri saya tidak bekerja?

Indah sekali bila diilusrasikan pada konteks kekinian di mana perempuan di rumah sibuk dengan segala urusan rumah tangga yang nampak sepele dan tidak ternilai namun membutuhkan suatu penanganan yang cermat. Merawat anak dan mendidiknya pada era teknologi bukan perkara mudah apalagi permainan anak dan tontonannya tidak lagi berupa hal-hal sederhana tapi perlu perhatian dan wawasan luas karena hal tersebut bagian dari target kapitalisme global. Pada setiap serbuan berbagai permainan elektronik dan modern maupun suguhan hiburan tentu membawa ekses-ekses negatif pada psikologis anak hingga tumbuh menjadi pribadi yang konsumtif, hedonistik, manja atau cengeng selain aspek positif lain berupa kemandirian atau kemampuan mengaktualisasikan diri pada anak.

Nabi s.a.w. bersabda "bahwa setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan suci, orang tuanyalah yang akan membuat ia Yahudi, Nasrani atau Majusi. Barangkali jika dianalogikan menjadi peran orang tua sangat besar dalam membentuk kepribadian generasi entah qur’ani kah, sekuler, marxis, hedonis, oportunis, kapitalis atau ateis. Hal ini tidak terlalu mengejutkan jika dicermati dengan perkembangan fasilitas teknologi dan internet atau komputerisasi dimana seorang anak lebih mengenal Pakemon, Dora emon atau memuja film-film produk Walt Disney, boneka Barbie, atau boneka Telletubis bahkan game-game yang seronok sekalipun yang dikemas dalam bentuk permainan anak dari pada mengenal rosul dan kisah-kisah para nabi. Tak perlu di salahkan peradaban yang telah mempromosikan produksinya namun akan lebih bagus jika tantangan jaman dihadapi dengan proaktif dimana ketika seorang perempuan dengan dukungan suami telah memilih rumah sebagai basis karier, itu berarti mempersiapkan suatu wawasan dan membuka cakrawala lebar akan segala kemungkinan yang bakal datang di jaman generasi selanjutnya. Hal itu tentu tidak bisa dicapai dengan proses yang alami namun perlu pembelajaran sejak dini.

Dalam bukunya Stephen R.Covey pernah memaparkan suatu kejadian yang menimpa sebuah keluarga dimana sang anak yang baru menginjak usia tujuh tahun telah menjadi penonton setia sajian pornografi di situs internet, inipun di peroleh dari kawan seusia anak tersebut dari hasil perambahan di dunia maya. Atau penemuan The Ladies Home Journal Amerika bahwa pada umur 13 tahun 1 dari 12 anak bukan perawan lagi dan 45% anak laki-laki telah melakukan kegiatan seks bebas. Hal di atas bukan tidak mungkin terjadi di lingkungan terpencil di pelosok Indonesia. Di tanah air, kasus tindak kekerasan, tawuran, prostitusi di bawah umur, drug addiction menjadi sajian berita yang tak asing. Dengan demikian tantangan keluarga dalam mendidik anak sangatlah besar. Bekal mendidik generasi tidak hanya ditanggung oleh lembaga pendidikan atau lingkungan namun keluarga sangatlah menentukan. Dan peran ibu sangatlah besar, dan ini tidak cukup dengan kuantitas ibu berada bersama anak tapi kualitas pun sangat perlu. Ini terbukti dari banyak anak nakal hasil didikan dari ibu rumah tangga meski juga dari background ibu yang berkarier.

Hingga sampai pada kesimpulan bahwa profesi orang tua atau ibu tidaklah menjamin keselamatan anak atau generasi yang bakal lahir dari keluarga tersebut. Keseriusan dalam mendidiklah yang menentukan selain hal itu ditunjang dengan bekal ilmu yang tidak sedikit baik wawasan psikologis,perkembangan teknologi, pemahaman terhadap trasformasi sosial yang ada dan pendidkan dasar beragama atau moral.

Ada beberapa hal yang mungkin diabaikan sebagian perempuan atau laki-laki ketika mendidik suatu generasi bahwa semua itu ditangani dengan ala kadarnya tanpa perencanaan dan pemantauan serius hingga generasi yang dihasilkan pun jauh dari yang dicita-citakan Islam. Maka bila seorang perempuan telah konsis dengan pilihannya untuk menjadi ibu rumah tangga maka ini adalah karier pula yang perlu keseriusan dan ketekunan penuh, bukan inferiority. Karena rumah bukan terminal akhir bagi perempuan yang tidak berkarier di luar rumah, aktualisasi bisa berawal dari sini. Akankah generasi yang dididik dengan intensitas tinggi dari keberadaan seorang ibu di rumah, jauh lebih baik ditinjau dari segi kualitas moral dan kepribadian? atau hasil didikan seorang ibu yang menjadikan rumah sebagai profesi sambilan setelah karier di luar rumah lebih baik?

Mengendalikan roda rumah tangga, mendidik generasi yang baik dan berkualitas tentu membutuhkan SDM yang berkualitas unggul, yang akhirnya sampai pada firman Allah "Katakanlah tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya"(QS 17;84). Tak perlu ragu untuk mengatakan dengan mantap status perempuan atau istri bahwa ia berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Tentu dengan memberi dukungan moril dan spiritual sehingga profesi ini pun sejajar denga profesi-profesi lain agar lebih mmpunyai target yang jelas dan pencapaian yang matang. Wallahua’laam.

Sumber : Pesantren Virtual

Barometer Manusia

Mensyukuri Nikmat
Alangkah nikmatnya hidup ini, sampai hari ini kita masih dapat bernafas dan beribadah kepada Allah swt. Kita masih bisa menikmati manisnya gula, kita masih bisa menikmati sedapnya sajian makanan. Kita masih bisa bercanda dan melakukan apa saja untuk mengisi kehidupan ini. Memang semakin kita menghitung nikmat ini, rasanya semakin kita tidak dapat merinci dan membalasnya.

وان تعدوا نعمة الله لاتحصوها ان الله لغفور رحيم (النحل:18 )
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah niscaya tidak dapat menghitungnya. Sesungguhnya Tuhan itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (Q.S An-Nahl: 18)

Hal ini kalau kita dapat melihat secara positif segala karunia yang ada dalam dunia ini, sekecil apapun dan sebesar apapun tentu kita dapat mensyukurinya. Namun sebaliknya, jika manusia melihat dengan sikap negatif, sebesar apapun kenikmatan dan kemewahan yang dimilikinya, bisa jadi semuanya akan terasa sangat kurang. Sama-sama memakan nasi putih, belum tentu seseorang bersyukur dan menikmatinya seperti orang lain mensyukurinya. Di situlah letak kontrol hati dan jiwa manusia sehingga seseorang dapat sadar bahwa nikmat itu adalah karunia Ilahi yang perlu disyukuri dan dipergunakan sebaik-baiknya.

Barometer Islam untuk Manusia
Agama Islam dengan segala aturan yang ada, tidak lain adalah sebagai kontrol atas segala sesuatu di dunia ini. Dari hal yang paling kecil sampai hal paling besar, dari keadaan yang paling sempit sampai keadaan yang paling lapang dan bahagia. Dari keadaan paling rumit sampai keadaan yang paling simple dan sederhana. Oleh karena itu dalam Islam, tolak ukur seseorang bukan dilihat dari keadaan dia bahagia secara duniawi atau tidak, juga kebaikan dan ketaatan seseorang bukan diukur dari pencapaiannya pada status sosial tertentu, melainkan semuanya ditentukan oleh proses, cara pandang dan sikap yang diambil ketika seseorang itu berada dalam kondisi tertentu tersebut.

Ketika keberhasilan dan kebaikan seseorang diukur dengan pencapain suatu hal tertentu seperti suatu jabatan, hal ini akan rentan dengan hilangnya nilai ketaatan dan kemuliaan itu sendiri. Kita ambil suatu misal, jika ketaatan seseorang diukur dengan pencapaiannya menjadi presiden, nilai dan ajaran agama yang universal dan kekal akan hilang dengan berhasilnya seorang itu mencapai level kepresidenan. Karena barometer yang dipakai adalah pencapaian target menjadi presiden. Setelah menjadi presiden bisa jadi sifat-sifat mulia yang diperintahkan agama akan dilanggar dengan ringan olehnya. Contoh lain, ketika seseorang menjadi tokoh agama yang terkenal, ukuran ketaatannya bukan dilihat dari status ke-tokoh-annya itu namun dari sikap dan kegigihannya memegang komitmen agamanya ketika ia berada dalam level tersebut. Pencapaian pada suatu kedudukan atau level status sosial tertentu adalah bersifat alami sesuai dengan hukum kausalitas dan takdir Tuhan yang mengaturnya, dan tidak menjadi barometer ketaatan dan kesuksesan sesorang dalam melakukan kebaikan.

Dalam hal ini, Islam telah mengajarkan bagaimana cara mengukur kebaikan dan keberhasilan seseorang. Salah satunya kata Nabi saw.

"خير الناس أحسنهم خلقا"
“Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yg paling mulia akhlaknya” (H.R. Thabrani dari Ibn Umar)

Dalam hadist lain Nabi mengatakan:

"خير الناس أنفعهم للناس"
“Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yg paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (H.R. Bukhari)

Juga dalam riwayat lain:
"خيركم من يرجى خيره ويؤمن شره وشركم من لا يرجى خيره ولا يؤمن شره"
(hadist Tirmidzy)

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang bisa diharapkan kebaikannya dan tidak ditakutkan kejahatannya. Sedangkan seburuk-buruk kalian adalah orang yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan ditakutkan kejahatannya”

Dengan demikian, barometer sesorang sangat ditentukan oleh sifat-sifat universal yang luhur yang banyak digambarkan oleh ajaran agama ini. Pada intinya bahwa tidak menjadi ukuran seseorang ketika orang tersebut berada dalam posisi tertentu, melainkan yang menjadi ukuran adalah nilai-nilai mulia yang diharapkan mampu diterapkan untuk kebaikan manusia, seperti keikhlasan, kebaikan, kemanfaatan, kedermawanan, kesabaran, kejujuran dsb. Dengan kata lain, sejauh mana kontrol agama itu mampu berperan dalam diri seseorang dalam keadaan apapun yang sedang ia lalui, di situlah barometer ketaatan dan hakikat jati diri manusia yang mulia. Dalam hal ini sama sekali tidak memandang pencapaian seseorang dalam kedudukan atau status sosial tertentu. Kondisi seseorang dalam posisi tertentu atau pencapaiannya pada suatu jabatan sosial dalam roda kehidupan ini tidak lain adalah tempat dan ruang untuk merefleksikan nilai-nilai luhur tersebut.

Meneladani Barometer Kekasih Allah
Dalam sejarah umat Islam, dari sejak turunnya Nabi Adam dan Hawa dari sorga sampai kisah-kisah para Nabi sahabat-sahabatnya, semuanya memberikan ilustrasi dan gambaran tentang berbagai proses kehidupan yang beraneka ragam. Dari yang sangat kaya sampai yang miskin, dari seorang Nabi sampai seorang budak/hamba sahaya, dari seorang Nabi yang memiliki kerajaan dan kekuasaan sampai Nabi yang penuh dengan penderitaan, dan sampai bagaimana kisah meninggalnya para nabi dan sahabat yang berbeda-beda caranya.

Dari kisah-kisah para Nabi dan sahabatnya itu, dapat disimpulkan bahwa tolak ukur ketaatan dan kemuliaan mereka sama sekali tidak berkaitan dengan kondisi dan status sosial yang mereka hadapi, atau dari pencapaian sesuatu target tertentu sesuai kacamata manusia dan dunia ini. Artinya, kondisi lingkungan dan kedudukan jabatan yang kebetulan mereka miliki hanya sebagai perantara dan fenomena hidup yang ada dan tidak adanya hal itu tidak menghalangi mereka untuk selalu mentaati perintah Tuhannya.

Untuk lebih jelasnya, dapat kita ambil sebagai contoh:

1. Nabi Nuh (as) yang dalam dakwahnya memakan waktu lebih dari 900 tahun untuk mengajak kaumnya. Bisa dikatakan bahwa seruan dakwahnya itu kurang berhasil karena hanya mampu mengajak sebagian kecil kaumnya yang kurang dari seratusan orang, bahkan anak kandungnya sendiri yang bernama Kan’an pun tidak dapat dia ajak untuk masuk menjadi pengikutnya. Nah dengan demikian, pencapaian pada target tertentu tidak menjadi ukuran keberhasilan dan ketaatan seseorang dalam agama, melainkan sejauh mana nilai-nilai dan prinsip agama itu mampu ia pertahankan selama hidupnya.

2. Nabi Ayub (as) yang menjadi simbol kesabaran umat manusia, dimana semasa hidupnya ia diberi cobaan dengan menghadapi penderitaan yang luar biasa. Hartanya hilang sehingga ia menjadi seorang fakir setelah sebelumnya termasuk paling kaya, kemudian ia ditinggalkan keluarga dan kerabatnya sehingga ia dalam kesendirian dan kesunyian, kemudian ia ditimpa penyakit kronis yang cukup lama. Namun dengan segala penderitaan itu, nabi Ayub tetap bersabar dan bersyukur kepada Allah swt. Sampai dikatakan oleh Allah swt.:
انا وجدناه صابرا, نعم العبد انه أوّاب ) ص: (44
"Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS. Shad: 44)

Dapat kita ambil kesimpulan lagi, bahwa situasi dan kondisi yang dihadapi manusia tidak menentukan barometer kebaikan dan tingkat kemuliaan seseorang itu, melainkan dari prinsip-prinsip dan nilai agama yang mampu ia realisasikan sesuai dengan kondisi kehidupan yang dialami. Entah dalam keadaan jaya maupun pada saat menderita, entah dalam keadaan sehat maupun sakit, entah dalam keadaan kaya maupun papa. Itulah tolak ukur manusia.

3. Umar Bin Khattab dan Abdurrahman bin Auf : yang terkenal dengan kekayaan hartanya. Diriwayatkan, sahabat Umar mewariskan 70.000 properti (berupa ladang pertanian) seharga 160 Dinar perpropertinya atau setara dengan Rp 16 Triliun pada waktu itu. Total passive income dari properti tersebut sekitar 2,8 Triliun/ tahun atau 233 Miliar/bulan.

Kemudian Abdurrahman bin Auf diketahui memiliki simpanan uang 151 ribu dinar plus seribu dirham, serta mewariskan properti sepanjang wilayah Aris dan Khaibar, kemudian beberapa sumur senilai 200 ribu dinar (Rp 240 M). Dengan kekayaan tersebut ternyata sama sekali tidak menjadikannya seorang Umar dan Abdurraman menjadi sosok yang sombong atau kikir. Bahkan pada masa Rasulullah SAW, dikisahkan dalam satu kali duduk, Abdurrahman bin Auf mampu berinfaq sebesar 40 ribu dinar atau setara dengan Rp. 60 miliar.

Demikianlanlah sebagian kecil gambaran tentang bagaimana agama ini melihat menusia dan bagaimana Islam memandang kemuliaan dan kebaikan seseorang yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan kebaikan universal yang berguna pada seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
(Dialah Dzat Yang) Menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Q.S. Al-Mulk: 2)

Oleh karena itu, dengan memahami secara benar tolak ukur kemuliaan dan ketaatan seorang hamba kepada Khaliknya ini, semoga kita dapat lebih mengedepankan nilai-nilai luhur yang hakiki daripada sekedar tampilan jasmani, semoga kita dapat lebih mengedepankan substansi daripada simbol, dan semoga kita dapat mendahulukan hakikat daripada predikat. Dan semuanya itu pada akhirnya akan memberi dampak yang positif bagi kehidupan antar manusia di sekitar kita. Amin ya rabbal alamin…

Sumber : Pesantren Virtual

Imam Abu Hanifah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Para imam Mujtahid seperti imam Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup di kenal di Indonesia oleh sebagian besar ummat Islam. Menganut suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya mentup pintu rapat- rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran- pemikiran yang ada pada mazhab yang lain yang juga bersumber dari dalil Al-quran dan Sunnah Rosulullah SAW. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak fanatik kepada satu mazhab.
Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada satu mazhab, sekurang- kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya. Berikut ini akan dijelaskan tokoh Mazhab Hanafi secara komprehensif oleh pemakalah.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Imam Abu Hanifah?
2. Apa Sajakah karya- karya besar yang pernah ditinggalkan Imam Abu Hanifah?
3. Siapa Sajakah Murid- murid/ para pendukung Imam Abu Hanifah?
4. Bagaimana Pola pemikiran, metode Istidlal serta faktor- faktor yang mempengaruhi Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum?
5. Bagaimana perkembangan dan penyebaran Mazhab Hanafi?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Abu Hanifah (80H- 150H)
Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauth bin Mah, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (berasal dari bahasa Arab Haniif: condong atau cenderung kepada yang benar) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. dan mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufah akibat pertikaian politik yang mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia.Menurut riwayat lain pula, beliau diberi gelar Abu hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta, hanifah menurut bahasa irak adalah tinta.
Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri.
Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i ” Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh “. karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut, karena Abu Hanifah hendak menjahui harta dan kedudukan dari raja, maka beliau ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang.

B. Karya- Karya besar Imam Abu Hanifah
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi antara lain sebagai berikut :Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Wa a’lmuta’lim, dan Musnad Fiqh Akhbar, sebuah majalah ringkasan yang terkenal. Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit Of Islam, karya-karya imam Abu Hanifah baik mengenai fatwa- fatwanya maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada masa beliau masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal buah pemikirannnya dikodifikasikan oleh para murid-muridnya dan para ppengikutnyasehingga menjadi madzhab ahli ra’yu yang hidup dan berkembang, madrasah ini kemudian dikenal dengan madrasah Hanafi dan madrasah Ahli Ra’yu.

C. Para Pendukung/murid Imam Abu Hanifah
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
Dari sekian banyak murid beliau yang paling banyak menyusun buah pikiran dan Berjasa di madrasah Kufah dan membukukan fatwa-fatwanya imam Abu Hanifah adalah Muhammad al-syaibani yang terkenal dengan kutub as-sittah (enam kitab), yaitu :
1. Kitab al-Mabsuth
2. Kitab al-Ziyadat
3. Kitab al-jami’ as-shagir
4. Kitab jami’ al-kabir
5. Kitab al-sair al-shagir
6. Kitab al-sair al-kabir
Disamping itu muridnya, yang bernama Abu Yusuf yang menjadi Qadhy al-Qudhat di jaman khalifah Harun Ar-rasyid, menulis kitab “al- kharaj” yang membahas tentang hokum yang berhubungan dengan pajak tanah.

D. Pola pemikiran, metode Istidlal serta faktor- faktor yang mempengaruhi Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum
Abu Haniifah hidup selam 52 tahun pada masa dinasti umayyah dan 18 tahun pada masa dinasti Abbasiyyah. Alih kekuasaan dari bani umayyah yang runtuh kepada bani Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di kufah sebagai ibu kota Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad di bangun oleh khalifahkedua bani Abbasiyah, Abu ja’far al-mansyur (754-775 M), sebagai ibu kota kerajaan pada tahun 762 M.
Dari perjalanan hidupnya ituu, Abu hanifah sempat menyaksikan tragedi- tragedi besar di Kufah. Disatu sisi kota kufah member makna dalam kehidupannya sehingga menjadi salah seorang ulama besar dan al-imam al-A’zham. Di sisi lain ia merasakan kota kufah sebaga kota terror yang di warnai dengan pertentangan politik. Oleh karena itu pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hokum, sudah tentu sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan serta pendidikannya, dan jugatidak terlepas dari sumber hokum yang ada.
Abu hanifah dikenal sebagai ulama ahlu ra’yi. Dalam menetapkan hokum islam, baik yang di istimbatkan dari Al-quran maupun hadist, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra’yi dari khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan hokum dengan jalan qiyas dan istihsan.
Adapun metode Istidlal, imam Abu hanifah dapat di pahami dari ucapan beliau sendiri, “sesungguhnya saya mengambil kitab suci Al-quran dalam menetapkan hokum, apabila tidak didapatkan dalam Al-quran, maka saya mengambil sunah rosul Saw. Yang sahih dan tersiar dikalangan orang-orang terpercaya. Apabila saya tidak menemukan dari keduanya, maka saya mengambil pendapat orang- orang yang terpercaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim Al-sya’by, Hasan Ibnu Syirin dan Sai’d Ibn Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimna mereka berijtihad.”.
Dalam kesempatan lain Abu Hanifah berkata,”pertama-tama saya mengambil dasar hokum dalam Al-quran,kalau tidak ada, sayacari dalam sunnah nabi, kalau juga tidak ada, saya pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan saya pilih mana yang saya anggap kuat….Kalau orang melakukan ijtihad, saya pun melakukan ijtihad.”
Abu hanifah tidak bersifat fanatic terhadap pendapatnya, ia selalu mengatakan,”Inilah pendapat saya dan kalua ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih kuat.”. pernah ada orang yang berjkata kepadanya,”Apakah yang engkau fatwakan itu benar, tidak diragukan lagi?” ia menjawab,”Demi Allah, boleh jadi ia adalah fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi”.
Dari keterangan diatas, Nampak bahwa imam Abu hanifah dalam beristidlal ataumenetapkan hokum syara yang tidak di tetapkan dalalahnya secara qati’y dari Al-quran atau hadist yang diragukan keshahihannya, ia selalu mengghunakan ra’yu. Ia sangat selektif dalam menerima hadis. Imam Abu hanifah memperhatikan muamalat manusia, data istiadat serta urf mereka. Beliau berpegang kepada qiyas dan apabila tidak bias ditetapkan berdasarjkan qiyas, beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak, maka beliuau berpegang kepada adat dan urf.
Dalam menetapkan hokum, imam Abu hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hokum di kufah, yang terletak jauh dari madinahsebagai kota tempat tinggal nabi Muhammad Saw yang banyak mengetahui hadis. Di kufah kurang perbendaharaan hadist. Disamping itu, kufah sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan persi, kondisi kemasyaraatannya telah mencapai tingkat peradaban yang cukup tinggi. Oleh karena itu banyak muncul problem kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya, karena problem itu belum pernah terjadi padazaman nabi, atau jaman sahabat dan tabi’in, maka untuk menghadapinya memerlukan ijtihad atau ra’yu. Hal inilah perbedaan perkembangan pemikiran hukum di kufah (irak) dengan di madinah (Hijaz). Ulama di madinah banyak memakai sunnah dalammenyelesaikan permasallahan yang muncul dalam masyarakat, sedangkan di kufah sunnah hanya sedikit yang diketahui disamping banyak terjadi pemalsuan hadist, sehingga Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadits dank arena itu maka untuk menyelesaikan masalah actual, beliau banyak menggunakan ra’yu.
Menurut Subhy Mahmasany, pengetahuan Abu Hanifah yang mendalam dibidang ilmu hukum (fiqih) dan profesinya sebagai saudaga, memberi peluang baginya untuk memperlihatkan hubungan- hubungan hukum secara praktis. Kedua factor inilah yang menyebabkan keahliannya sangat luas dalam menguasai pendapat dan logika dalam penerapan hukum syariat dengan qiyas dan istihsan. Karena itulah madzhab hanafi terkenal dengan sebutan mazhab ra’yu.

E. Perkembangan dan penyebaran Mazhab Hanafi
Munculnya madzhab-madzhab itu mulai pada zaman Harun Ar-Rosyid. Ketika beliau menjadi kholifah. Ketika beliau menunjuk Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) sebagai qodhi setelah tahun 170 H. Maka kekuasaan kehakiman ada di tangannya. Kemudian Harun Ar-Rosyid tidak menunjuk qodhi di negeri Iraq, Khurosan, Syam dan Mesir sampai di Afrika kecuali orang yang dipilih oleh Abu Yusuf!
Dia tidak menunjuk melainkan pengikut Abu Yusuf dan dan orang-orang yang menisbatkan pada madzhabnya yang baru, yaitu madzhab hanafi. Orang-orang awam dipaksa untuk mengambil hukum dengan mereka dan mengambil fatwa mereka. Sampai tersebar madzhab hanafi di negeri ini.
Abu hanifah meninggalkan karya- karya besar yaitu Fiqh Akbar, Al-alim wa al-mutalim dan musnad fiqh akbar tetapi belum di kodifikasikan. Disamping itu mendirikan membentuk badan-badan yang terdiri dari tokoh- tokoh cendekiawan yang ia sendiri sebagai ketuanya, badan ini berfungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran islam dalam berbagai tulisan dan mengalihkan syariat islam kedalam undang-undang.
Madzhab hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengfan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
Para pengikut imam hanafi tersebar di berbagai Negara seperti Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunisia, Turkistan, Syria, Mesir,dan Libanon. Mazdhab hanafi pada masa khalifah bani Abbasiyah merupakan mazhab yang banyak dianut oleh umat islam dan pada masa pemerintahan utsmani, mazhab ini merupakan mazdhab resmi Negara. Sekarang penganut mazdhab ini tetap termasuk golongan mayoritas di samping madzhab Syafi’i.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lengkapnya, nama Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Zutha, lahir pada tahun 80 H di kota Kufah dan meniggal tahun 150 H (tahun lahirnya Imam Syafi’i). Ketika beliau lahir umat Islam berada dibawah kekhalifahan Bani Umayyah. Di waktu muda beliau juga merasakan keadilan khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan hidup beliau terus berlanjut ketika Bani Umayyah jatuh dan digantikan oleh Bani Abbasiyah. Jadi bisa dikatakan bahwa beliau sangat mengetahui tentang polemik, kemajuan dan kemunduran kekhalifahan Bani Umayyah. Sedangkan ketika beliau wafat umat Islam berada dibawah kekhalifahan al-Manshur dari Bani Abbasiyah
Metode yang dipakai Mazdhab Hanafi jika kita rincikan maka ada sekitar 6Ushul Istinbath antara lain: al-Qur’an; Sunnah, Perkataan Shahabat, Qiyas, Istihsan dan ‘Urf (Adat).
Diantara poin penting yang menjadikan penyebaran Mahzab ini ke banyak negeri adalah: Banyaknya murid Abu Hanifah dan perhatian mereka dalam menyebarkan dan menjelaskan pendapat-pendapat Imam mereka, Mazhab Hanafi dijadikan sebagai mazhab resmi negara semasa kekuasaan Abbasiyah, Pengangkatan Imam Abu Yusuf sebagai Qadhi al-Qudhah (hakim tertinggi) yang memiliki kekuatan dalam memilih qudhahi (hakim-hakim) di daerah-daerah, dan para hakim tersebut selalu memakai pendapat Imam Abu Yusuf dalam memutuskan perkara-perkara dan Perhatian besar ulama-ulama Mazhab ini dalam percepatan pertumbuhan Mazhab Hanafi dengan mencurahkan kemampuan mereka dalam mencari ilat hukum dan sekaligus mempraktekkannya dalam banyak masalah-masalah baru yang timbul.Hal ini menjadikan Mazhab ini selalu memiliki solusi-solusi dalam setiap permasalahan.

B. Saran
Tulisan ini sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena itu sudikiranya pembaca memberikan/menuangkan kritik serta sarannya agar pemakalah dalam pembuatan makalah selanjutnya lebih baik lagi. Semoga tulisan ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua mahasiswa yang ikut kuliah Pengantar Perbendinagan Mazdhab pada kesempatan yang baik kali ini. अमिएं



DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali, perbandingan mazhab, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. Iv, 2002

Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar perbandingan mazhab, jakarta : logos, cet. iii, 2003

http://idrusali85.wordpress.com/2007/09/28/sejarah-singkat-imam-hanafi/

http://ragab304.wordpress.com/2009/02/13/mazhab-hanafi/

Rukun dan Hukum Pernikahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Al-quran dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan , hidup berjodoh- jodoh adalah naluri segala mahkluk Allah, termasuk manusia sebagaimana yang dilukiskan Allah Swt dalam Al-quran surat Az-Zariyat ayat 49 yang artinya, “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT”.
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh- jodohan itu jenjang perkawinan yang ketentuannya di rumuskan dalam wujud aturan yang disebut hukum perkawinan islam. Hukum islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat.
Menurut Syariat Islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu Rukun dan Syarat. Rukun adalah unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum. Syarat adalah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Apabila kedua unsur tidak dipenuhi maka perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum. Demikian pula untuk sahnya suatu pernikahan harus dipenuhi rukun dan syarat.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hukum Perkawinan Dalam Islam?
2. Apa saja Syarat dan Rukun Nikah?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Melakukan Perkawinan Dalam Islam
Kata hukum memiliki dua makna, yang dimaksud disini adalah : Pertama,sifat syara pada sesuatu seperti wajib, haram, makruh, sunnah dan mubah. Kedua : buah atau pengaruh yan ditimbulkan sesuatu menurut syara’, seperti pernikahan berarti penghalalan masing- masing dari pasangan suami istri untuk bersenang- senag kepada yang lain, kewajiban suami terhadap mahar dannafkah terhadap istri, kewajiban istri untuk taat kepada suami dan pergaulan yang baik.
Pada pembahasan ini dimaksudkan hukum makna yang pertama, yaitu sifat syara’. Jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya Sunna, golongan Zhahiriyah bahwa nikah itu hukumnya Wajib. Menurut ulama Hanafiyah, hukum nikah itu adakalanya mubah, mandub, wajib, makruh dan haram. Sedangkan menurut. Para ulama malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian yang lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, disamping ada yang sunna, wajib, haram dan makruh.
Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi mukallaf, baik dari segi karakter kemanusiaannya maupun dari segi kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf. Masing- masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang lebih spesipik sesuai dengan kondisinya yang spesipik pula, baik persyaratan harta, fisik atuapun akhlak.
Perbedaan pendapat ini juga menurut Ibnu Rusyd disebabkan adanya penapsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadis- hadis yang berkenaan dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnah ataukah mubah?ayat tersebut adalah sebagai berikut :

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعًَ…

…maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat…
(Q.S. An Nisa : 3)
Diantara hadis yang berkenaan dengan nikah adalah:

تَنَكَهُ فَإنِّى مُكَاثِرُبِكُمُ الأَمَمُ

Kawinlah kamu karena sesungguhnya dengan kamu kawin, aku akan berlomba- lomba dengan umat yang lain….
Bagi Fuqoha yang berpendapat bahwa kawin itu wajib bagi sebagian orang, suannah untuk sebagian yang lain dan mubah untuk sebagian yang lain, maka pendapat ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Qiyas seperti inilsh ysng disebut qiyas mursal, yakni suatu qiyas yang tidak mempunyai dasar penyandaran. Kebanyakan ulama mengingkari qiyas tersebut, tetapi madhab maliki tampak jelas dipegangi.


1. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya : Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)
2. Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnah
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif. Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT. Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,\"Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Melakukan perkawinan yang hukumnya harram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah.
Pertama, tidak mampu memberi nafkah.
Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya. Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya. Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah. Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah. Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5. Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.

B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
1. Pengertian rukun, Syarat dan Sah
“Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknyya suatu pekerjaan (Ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu seperti membasuh muka ketika berwudu’ atau adanya calon pengantin laki- laki/ perempuan dalam perkawinan”.
“Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dann tidaknya suatu pekerjaan (Ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat pada sholat atau calon pengantin laki- laki/ perempuan itu harus beragama islam”.
“Sah yaitu sesuaatu pekerjaan (Ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat”.

2. Rukun perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas :
a. Ada calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b. Adanya wali dari calon pengantin wanita. Hal ini berdasarkan sabda nabi SAW :
Perempuaan mana saja yang menikah tanpa seijin walinya, maka pernikahannya batal (HR. Arba’ah kecuali Nasai)
c. Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan hadis nabi Saw :


d. Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita an dijawab oleh calon pengantin laki- laki.
Tentnag jumlah rukun ini ulama berbeda pendapat:
Imam malik menagatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
• Wali dari pihak perempuan
• Mahar/ maskawin
• Calon pengantin laki- laki
• Calon pengantin perempuan
• Sighat akad nikah
Imam syafi’I berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
• Calon pengantin laki- laki
• Calon pengantin perempuan
• Wali
• Ddua orang saksi
• Sighat akad nikah
Menurut ulama hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan Kabul saja/ akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki.

3. Syarat sah perkawinan
Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua :
1. Calon mempelai perempauannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadiaknnya istri. Jadi, perempuannya itu bukan orang yang haram di nikahi, baik haram karena sementara maupun untuk selamanya.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Secararinci, masing- masing rukun diaatas akan di terangkan syarat- syaratnya sebagai berikut :
1. Syarat-syarat kedua mempelai
a. Syarat pengantin pria
Syariat islam menentukan beberapa syarat yang harusdipenuhi oleh calon suamiberdasarkan ijtihad ulama, yaitu:
1) Calon suami beragama islam, ketentuan ini di tetapkan, karena dalam islam suami merupakan pengayom, maka pokok huikum itu dikembalikan pada hukum pengayom. Nash keharaman wanita muslimah kawin dengan laki-laki non muslim tercantum dalam surat al-mumtahanah ayat 10:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى
الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Dalam pada itu laki-laki muslim ayng kawin dengan wanita yang beragama lain (Ahlu kitab) oleh Al-quran diperkenankan sebagaimana rtersebutdalam surat Al-maidah ayat 5:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5).
2) Terang/ jelas bahwa calon suami itu benar laki- laki, hal ini diisyaratkan agar pelaksanaan hukum isla lancer, tidak ada hambatan-hambatan.
3) Orang yang diketahui dan tertentu.
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.persyarratan inii diperlukan untuk melandasi jangan sampai perkawinan itu merupakan pelanggaran terhadap hukum.
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calion mempelai wanita serta tahu betul bahwa calon istrinya itu halal baginya.
6) Calon suami rela untuk melakukan perkawinan,perkawinan merupakan perbuatan hukum , harus dijalankan dengan kerelaan pelakunya, dalam hal ini suami.
7) Tidak sednag melakukan ihram. Orang yang sedang ihram tidak boleh melakukan perkawinan,mengawinkan bahkan melamar juga tidak boleh. Hal ini didasarkan pada hadis nabi saw :

Tidak boleh kawin orang yang sedang ihram dan tidak boleh mengawinkan serta tidak boleh melamar (HR. Muslim)
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri. Hal ini didasarkan pada firman Allah surat An-nisa ayat 23:
9) Tidak sedang mempunyai istri empat.
b. Syarat calon pengantin perempuan
1) Beragama islam, wanita yang tidak mulimah selain kitabiyah tidak boleh dikawin oleh lelaki muslim,berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-baqoroh ayat 221
2) Terang bahwa ia wanita
3) Wanita itu tentu orangnya
4) Halal bagi clon suami
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masuh dalam i’ddah.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar. Paksaan disini adalah paksaan dengan ancaman yang mengakibatkan terancamnnya keselamatan jiwa.
7) Tidak dalam keadaan ihram haji dan umrah.

2. Syarat-syarat ijab Kabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan iijab dan Kabul denggan lisan, bagi orang yang bisu sah perkainannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bias dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki- laki atau walinya.
Menurut pendapat hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai laki- laki atau wakilnya ddan Kabul oleh pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal dan boleh sebaliknya.
Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan Kabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing- masing ijab Kabul dan Kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Hanafi membolehkan ada jarak anatara ijab dan Kabul asal masih dalam satu majlis dan tidak ada hal- hal yang menunjukan salah satu pihakberpaling dari maksud itu.
Lapazd yang dipakai untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalaha nikah atau kawin.sebab kalimat tersebut ada dalam kitabullah dan sunnah.demikian meurut syafi’I dan hambali.

3. Syarat- syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaknya seorang laki-laki,muslim balig, berakal dan adil (tidak fasik), perkawinan tanpawali tidak sah, berdasarkan hadis nabi SAW:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Artinya: Tidak sah perkawinan tanpa wali

Hanafi tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri, tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi, sedangkan maliki berpendapat bahwa wali adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan, bukan untuk mengawinkan perempuan awwam.
Anak kecil, budak dan orang gila tidak mendapat wali. Bagaimana mereka menjadi wali, sedangkan untuk menjadi wali atas dirinya mereka sendiri tidak mampu.
Wali hendaknya menayai calon mempelai perempuan,berdasarkan sabda nabi saw :
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya rosulullah saw berkata: janda itu lebih berhak atas dirinya, sedangkan seorang gadis hendaknya dimintai izinnya, dan izin si gadis itu adalah diamnya. Diriwayatkan oleh jama’ah,kecuali bukhori,sedangkan dalam riwayata ahmad, abu dawud, dan nasa’I dikemukakan: dan sigadis, hendaklah ayahnya meminta izin kepadanya.

4. Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki- laki, muslim, baligh, berakal, memelihara dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.
Tetapi menurut golongan hanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang laki- laki dan dua orang perempuan. Dan menurut hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil). Orang yang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.
Ada yang berpendapat bahwa syarat saksi itu sebagai berikut :
• Berakal, bukan orang gila
• Baligh, bukan anak-anak
• Merdeka, bukan budak
• Islam
• Kedua orang saksi itu mendengar
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Para ulama menyebutkan bahwa nikah diperintahkan karena dapat mewujudkan maslahat; memelihara diri, kehormatan, mendapatkan pahala dan lain-lain. Oleh karena itu, apabila pernikahan justru membawa madharat maka nikahpun dilarang. Dari sini maka hukum nikah dapat dapat dibagi menjadi lima:
Disunnahkan bagi orang yang memiliki syahwat (keinginan kepada wanita) tetapi tidak khawatir berzina atau terjatuh dalam hal yang haram jika tidak menikah, sementara dia mampu untuk menikah.
Wajib bagi yang mampu nikah dan khawatir zina atau maksiat jika tidak menikah.
Mubah bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya.
Haram nikah bagi orang yang tidak mampu menikah (nafkah lahir batin) dan ia tidak takut terjatuh dalam zina atau maksiat lainnya
Makruh menikah jika tidak mampu karena dapat menzhalimi isteri.
Rukun nikah yang disepakati oleh jumhur ulama adalah sebagai berikut Adanya calon suami dan istri, adanya wali dari pihak calon pengantin wanita,adanya dua orang saksi dan sighat akad nikah.

B. Kritik dan Saran
Tulisan ini sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena itu sudikiranya pembaca memberikan/menungkan kritik serta sarannya. Semoga tulisan ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua. Amin.


DAFTAR ISI

Abdul, Rahman, Ghazali, Prof, Dr, MA, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003

Abdurrahman, H., S.H., Kompilasi Hukum IslamDi Indonesia, Jakarta:CV. Akademika Pressindo, 1995

Hasbi, ash-shiddieqy, T. M, Hukum- Hukum Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1970