PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Al-quran dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan , hidup berjodoh- jodoh adalah naluri segala mahkluk Allah, termasuk manusia sebagaimana yang dilukiskan Allah Swt dalam Al-quran surat Az-Zariyat ayat 49 yang artinya, “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT”.
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh- jodohan itu jenjang perkawinan yang ketentuannya di rumuskan dalam wujud aturan yang disebut hukum perkawinan islam. Hukum islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat.
Menurut Syariat Islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu Rukun dan Syarat. Rukun adalah unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum. Syarat adalah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Apabila kedua unsur tidak dipenuhi maka perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum. Demikian pula untuk sahnya suatu pernikahan harus dipenuhi rukun dan syarat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hukum Perkawinan Dalam Islam?
2. Apa saja Syarat dan Rukun Nikah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Melakukan Perkawinan Dalam Islam
Kata hukum memiliki dua makna, yang dimaksud disini adalah : Pertama,sifat syara pada sesuatu seperti wajib, haram, makruh, sunnah dan mubah. Kedua : buah atau pengaruh yan ditimbulkan sesuatu menurut syara’, seperti pernikahan berarti penghalalan masing- masing dari pasangan suami istri untuk bersenang- senag kepada yang lain, kewajiban suami terhadap mahar dannafkah terhadap istri, kewajiban istri untuk taat kepada suami dan pergaulan yang baik.
Pada pembahasan ini dimaksudkan hukum makna yang pertama, yaitu sifat syara’. Jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya Sunna, golongan Zhahiriyah bahwa nikah itu hukumnya Wajib. Menurut ulama Hanafiyah, hukum nikah itu adakalanya mubah, mandub, wajib, makruh dan haram. Sedangkan menurut. Para ulama malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian yang lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, disamping ada yang sunna, wajib, haram dan makruh.
Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi mukallaf, baik dari segi karakter kemanusiaannya maupun dari segi kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf. Masing- masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang lebih spesipik sesuai dengan kondisinya yang spesipik pula, baik persyaratan harta, fisik atuapun akhlak.
Perbedaan pendapat ini juga menurut Ibnu Rusyd disebabkan adanya penapsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadis- hadis yang berkenaan dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnah ataukah mubah?ayat tersebut adalah sebagai berikut :
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعًَ…
…maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat…
(Q.S. An Nisa : 3)
Diantara hadis yang berkenaan dengan nikah adalah:
تَنَكَهُ فَإنِّى مُكَاثِرُبِكُمُ الأَمَمُ
Kawinlah kamu karena sesungguhnya dengan kamu kawin, aku akan berlomba- lomba dengan umat yang lain….
Bagi Fuqoha yang berpendapat bahwa kawin itu wajib bagi sebagian orang, suannah untuk sebagian yang lain dan mubah untuk sebagian yang lain, maka pendapat ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Qiyas seperti inilsh ysng disebut qiyas mursal, yakni suatu qiyas yang tidak mempunyai dasar penyandaran. Kebanyakan ulama mengingkari qiyas tersebut, tetapi madhab maliki tampak jelas dipegangi.
1. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya : Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)
2. Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnah
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif. Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT. Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,\"Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Melakukan perkawinan yang hukumnya harram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah.
Pertama, tidak mampu memberi nafkah.
Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya. Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya. Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah. Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah. Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5. Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
1. Pengertian rukun, Syarat dan Sah
“Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknyya suatu pekerjaan (Ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu seperti membasuh muka ketika berwudu’ atau adanya calon pengantin laki- laki/ perempuan dalam perkawinan”.
“Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dann tidaknya suatu pekerjaan (Ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat pada sholat atau calon pengantin laki- laki/ perempuan itu harus beragama islam”.
“Sah yaitu sesuaatu pekerjaan (Ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat”.
2. Rukun perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas :
a. Ada calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b. Adanya wali dari calon pengantin wanita. Hal ini berdasarkan sabda nabi SAW :
Perempuaan mana saja yang menikah tanpa seijin walinya, maka pernikahannya batal (HR. Arba’ah kecuali Nasai)
c. Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan hadis nabi Saw :
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita an dijawab oleh calon pengantin laki- laki.
Tentnag jumlah rukun ini ulama berbeda pendapat:
Imam malik menagatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
• Wali dari pihak perempuan
• Mahar/ maskawin
• Calon pengantin laki- laki
• Calon pengantin perempuan
• Sighat akad nikah
Imam syafi’I berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
• Calon pengantin laki- laki
• Calon pengantin perempuan
• Wali
• Ddua orang saksi
• Sighat akad nikah
Menurut ulama hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan Kabul saja/ akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki.
3. Syarat sah perkawinan
Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua :
1. Calon mempelai perempauannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadiaknnya istri. Jadi, perempuannya itu bukan orang yang haram di nikahi, baik haram karena sementara maupun untuk selamanya.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Secararinci, masing- masing rukun diaatas akan di terangkan syarat- syaratnya sebagai berikut :
1. Syarat-syarat kedua mempelai
a. Syarat pengantin pria
Syariat islam menentukan beberapa syarat yang harusdipenuhi oleh calon suamiberdasarkan ijtihad ulama, yaitu:
1) Calon suami beragama islam, ketentuan ini di tetapkan, karena dalam islam suami merupakan pengayom, maka pokok huikum itu dikembalikan pada hukum pengayom. Nash keharaman wanita muslimah kawin dengan laki-laki non muslim tercantum dalam surat al-mumtahanah ayat 10:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى
الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Dalam pada itu laki-laki muslim ayng kawin dengan wanita yang beragama lain (Ahlu kitab) oleh Al-quran diperkenankan sebagaimana rtersebutdalam surat Al-maidah ayat 5:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5).
2) Terang/ jelas bahwa calon suami itu benar laki- laki, hal ini diisyaratkan agar pelaksanaan hukum isla lancer, tidak ada hambatan-hambatan.
3) Orang yang diketahui dan tertentu.
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.persyarratan inii diperlukan untuk melandasi jangan sampai perkawinan itu merupakan pelanggaran terhadap hukum.
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calion mempelai wanita serta tahu betul bahwa calon istrinya itu halal baginya.
6) Calon suami rela untuk melakukan perkawinan,perkawinan merupakan perbuatan hukum , harus dijalankan dengan kerelaan pelakunya, dalam hal ini suami.
7) Tidak sednag melakukan ihram. Orang yang sedang ihram tidak boleh melakukan perkawinan,mengawinkan bahkan melamar juga tidak boleh. Hal ini didasarkan pada hadis nabi saw :
Tidak boleh kawin orang yang sedang ihram dan tidak boleh mengawinkan serta tidak boleh melamar (HR. Muslim)
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri. Hal ini didasarkan pada firman Allah surat An-nisa ayat 23:
9) Tidak sedang mempunyai istri empat.
b. Syarat calon pengantin perempuan
1) Beragama islam, wanita yang tidak mulimah selain kitabiyah tidak boleh dikawin oleh lelaki muslim,berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-baqoroh ayat 221
2) Terang bahwa ia wanita
3) Wanita itu tentu orangnya
4) Halal bagi clon suami
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masuh dalam i’ddah.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar. Paksaan disini adalah paksaan dengan ancaman yang mengakibatkan terancamnnya keselamatan jiwa.
7) Tidak dalam keadaan ihram haji dan umrah.
2. Syarat-syarat ijab Kabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan iijab dan Kabul denggan lisan, bagi orang yang bisu sah perkainannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bias dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki- laki atau walinya.
Menurut pendapat hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai laki- laki atau wakilnya ddan Kabul oleh pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal dan boleh sebaliknya.
Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan Kabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing- masing ijab Kabul dan Kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Hanafi membolehkan ada jarak anatara ijab dan Kabul asal masih dalam satu majlis dan tidak ada hal- hal yang menunjukan salah satu pihakberpaling dari maksud itu.
Lapazd yang dipakai untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalaha nikah atau kawin.sebab kalimat tersebut ada dalam kitabullah dan sunnah.demikian meurut syafi’I dan hambali.
3. Syarat- syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaknya seorang laki-laki,muslim balig, berakal dan adil (tidak fasik), perkawinan tanpawali tidak sah, berdasarkan hadis nabi SAW:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Artinya: Tidak sah perkawinan tanpa wali
Hanafi tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri, tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi, sedangkan maliki berpendapat bahwa wali adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan, bukan untuk mengawinkan perempuan awwam.
Anak kecil, budak dan orang gila tidak mendapat wali. Bagaimana mereka menjadi wali, sedangkan untuk menjadi wali atas dirinya mereka sendiri tidak mampu.
Wali hendaknya menayai calon mempelai perempuan,berdasarkan sabda nabi saw :
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya rosulullah saw berkata: janda itu lebih berhak atas dirinya, sedangkan seorang gadis hendaknya dimintai izinnya, dan izin si gadis itu adalah diamnya. Diriwayatkan oleh jama’ah,kecuali bukhori,sedangkan dalam riwayata ahmad, abu dawud, dan nasa’I dikemukakan: dan sigadis, hendaklah ayahnya meminta izin kepadanya.
4. Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki- laki, muslim, baligh, berakal, memelihara dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.
Tetapi menurut golongan hanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang laki- laki dan dua orang perempuan. Dan menurut hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil). Orang yang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.
Ada yang berpendapat bahwa syarat saksi itu sebagai berikut :
• Berakal, bukan orang gila
• Baligh, bukan anak-anak
• Merdeka, bukan budak
• Islam
• Kedua orang saksi itu mendengar
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para ulama menyebutkan bahwa nikah diperintahkan karena dapat mewujudkan maslahat; memelihara diri, kehormatan, mendapatkan pahala dan lain-lain. Oleh karena itu, apabila pernikahan justru membawa madharat maka nikahpun dilarang. Dari sini maka hukum nikah dapat dapat dibagi menjadi lima:
Disunnahkan bagi orang yang memiliki syahwat (keinginan kepada wanita) tetapi tidak khawatir berzina atau terjatuh dalam hal yang haram jika tidak menikah, sementara dia mampu untuk menikah.
Wajib bagi yang mampu nikah dan khawatir zina atau maksiat jika tidak menikah.
Mubah bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya.
Haram nikah bagi orang yang tidak mampu menikah (nafkah lahir batin) dan ia tidak takut terjatuh dalam zina atau maksiat lainnya
Makruh menikah jika tidak mampu karena dapat menzhalimi isteri.
Rukun nikah yang disepakati oleh jumhur ulama adalah sebagai berikut Adanya calon suami dan istri, adanya wali dari pihak calon pengantin wanita,adanya dua orang saksi dan sighat akad nikah.
B. Kritik dan Saran
Tulisan ini sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena itu sudikiranya pembaca memberikan/menungkan kritik serta sarannya. Semoga tulisan ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua. Amin.
DAFTAR ISI
Abdul, Rahman, Ghazali, Prof, Dr, MA, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003
Abdurrahman, H., S.H., Kompilasi Hukum IslamDi Indonesia, Jakarta:CV. Akademika Pressindo, 1995
Hasbi, ash-shiddieqy, T. M, Hukum- Hukum Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1970
A. Latar Belakang
Dalam Al-quran dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan , hidup berjodoh- jodoh adalah naluri segala mahkluk Allah, termasuk manusia sebagaimana yang dilukiskan Allah Swt dalam Al-quran surat Az-Zariyat ayat 49 yang artinya, “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT”.
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh- jodohan itu jenjang perkawinan yang ketentuannya di rumuskan dalam wujud aturan yang disebut hukum perkawinan islam. Hukum islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat.
Menurut Syariat Islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu Rukun dan Syarat. Rukun adalah unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum. Syarat adalah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Apabila kedua unsur tidak dipenuhi maka perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum. Demikian pula untuk sahnya suatu pernikahan harus dipenuhi rukun dan syarat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hukum Perkawinan Dalam Islam?
2. Apa saja Syarat dan Rukun Nikah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Melakukan Perkawinan Dalam Islam
Kata hukum memiliki dua makna, yang dimaksud disini adalah : Pertama,sifat syara pada sesuatu seperti wajib, haram, makruh, sunnah dan mubah. Kedua : buah atau pengaruh yan ditimbulkan sesuatu menurut syara’, seperti pernikahan berarti penghalalan masing- masing dari pasangan suami istri untuk bersenang- senag kepada yang lain, kewajiban suami terhadap mahar dannafkah terhadap istri, kewajiban istri untuk taat kepada suami dan pergaulan yang baik.
Pada pembahasan ini dimaksudkan hukum makna yang pertama, yaitu sifat syara’. Jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya Sunna, golongan Zhahiriyah bahwa nikah itu hukumnya Wajib. Menurut ulama Hanafiyah, hukum nikah itu adakalanya mubah, mandub, wajib, makruh dan haram. Sedangkan menurut. Para ulama malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian yang lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, disamping ada yang sunna, wajib, haram dan makruh.
Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi mukallaf, baik dari segi karakter kemanusiaannya maupun dari segi kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf. Masing- masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang lebih spesipik sesuai dengan kondisinya yang spesipik pula, baik persyaratan harta, fisik atuapun akhlak.
Perbedaan pendapat ini juga menurut Ibnu Rusyd disebabkan adanya penapsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadis- hadis yang berkenaan dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnah ataukah mubah?ayat tersebut adalah sebagai berikut :
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعًَ…
…maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat…
(Q.S. An Nisa : 3)
Diantara hadis yang berkenaan dengan nikah adalah:
تَنَكَهُ فَإنِّى مُكَاثِرُبِكُمُ الأَمَمُ
Kawinlah kamu karena sesungguhnya dengan kamu kawin, aku akan berlomba- lomba dengan umat yang lain….
Bagi Fuqoha yang berpendapat bahwa kawin itu wajib bagi sebagian orang, suannah untuk sebagian yang lain dan mubah untuk sebagian yang lain, maka pendapat ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Qiyas seperti inilsh ysng disebut qiyas mursal, yakni suatu qiyas yang tidak mempunyai dasar penyandaran. Kebanyakan ulama mengingkari qiyas tersebut, tetapi madhab maliki tampak jelas dipegangi.
1. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya : Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)
2. Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnah
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif. Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT. Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,\"Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Melakukan perkawinan yang hukumnya harram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah.
Pertama, tidak mampu memberi nafkah.
Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya. Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya. Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah. Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah. Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5. Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
1. Pengertian rukun, Syarat dan Sah
“Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknyya suatu pekerjaan (Ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu seperti membasuh muka ketika berwudu’ atau adanya calon pengantin laki- laki/ perempuan dalam perkawinan”.
“Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dann tidaknya suatu pekerjaan (Ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat pada sholat atau calon pengantin laki- laki/ perempuan itu harus beragama islam”.
“Sah yaitu sesuaatu pekerjaan (Ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat”.
2. Rukun perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas :
a. Ada calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b. Adanya wali dari calon pengantin wanita. Hal ini berdasarkan sabda nabi SAW :
Perempuaan mana saja yang menikah tanpa seijin walinya, maka pernikahannya batal (HR. Arba’ah kecuali Nasai)
c. Adanya dua orang saksi. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan hadis nabi Saw :
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita an dijawab oleh calon pengantin laki- laki.
Tentnag jumlah rukun ini ulama berbeda pendapat:
Imam malik menagatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
• Wali dari pihak perempuan
• Mahar/ maskawin
• Calon pengantin laki- laki
• Calon pengantin perempuan
• Sighat akad nikah
Imam syafi’I berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:
• Calon pengantin laki- laki
• Calon pengantin perempuan
• Wali
• Ddua orang saksi
• Sighat akad nikah
Menurut ulama hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan Kabul saja/ akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki.
3. Syarat sah perkawinan
Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua :
1. Calon mempelai perempauannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadiaknnya istri. Jadi, perempuannya itu bukan orang yang haram di nikahi, baik haram karena sementara maupun untuk selamanya.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Secararinci, masing- masing rukun diaatas akan di terangkan syarat- syaratnya sebagai berikut :
1. Syarat-syarat kedua mempelai
a. Syarat pengantin pria
Syariat islam menentukan beberapa syarat yang harusdipenuhi oleh calon suamiberdasarkan ijtihad ulama, yaitu:
1) Calon suami beragama islam, ketentuan ini di tetapkan, karena dalam islam suami merupakan pengayom, maka pokok huikum itu dikembalikan pada hukum pengayom. Nash keharaman wanita muslimah kawin dengan laki-laki non muslim tercantum dalam surat al-mumtahanah ayat 10:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى
الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Dalam pada itu laki-laki muslim ayng kawin dengan wanita yang beragama lain (Ahlu kitab) oleh Al-quran diperkenankan sebagaimana rtersebutdalam surat Al-maidah ayat 5:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5).
2) Terang/ jelas bahwa calon suami itu benar laki- laki, hal ini diisyaratkan agar pelaksanaan hukum isla lancer, tidak ada hambatan-hambatan.
3) Orang yang diketahui dan tertentu.
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.persyarratan inii diperlukan untuk melandasi jangan sampai perkawinan itu merupakan pelanggaran terhadap hukum.
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calion mempelai wanita serta tahu betul bahwa calon istrinya itu halal baginya.
6) Calon suami rela untuk melakukan perkawinan,perkawinan merupakan perbuatan hukum , harus dijalankan dengan kerelaan pelakunya, dalam hal ini suami.
7) Tidak sednag melakukan ihram. Orang yang sedang ihram tidak boleh melakukan perkawinan,mengawinkan bahkan melamar juga tidak boleh. Hal ini didasarkan pada hadis nabi saw :
Tidak boleh kawin orang yang sedang ihram dan tidak boleh mengawinkan serta tidak boleh melamar (HR. Muslim)
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri. Hal ini didasarkan pada firman Allah surat An-nisa ayat 23:
9) Tidak sedang mempunyai istri empat.
b. Syarat calon pengantin perempuan
1) Beragama islam, wanita yang tidak mulimah selain kitabiyah tidak boleh dikawin oleh lelaki muslim,berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-baqoroh ayat 221
2) Terang bahwa ia wanita
3) Wanita itu tentu orangnya
4) Halal bagi clon suami
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masuh dalam i’ddah.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar. Paksaan disini adalah paksaan dengan ancaman yang mengakibatkan terancamnnya keselamatan jiwa.
7) Tidak dalam keadaan ihram haji dan umrah.
2. Syarat-syarat ijab Kabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan iijab dan Kabul denggan lisan, bagi orang yang bisu sah perkainannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bias dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki- laki atau walinya.
Menurut pendapat hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai laki- laki atau wakilnya ddan Kabul oleh pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal dan boleh sebaliknya.
Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan Kabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing- masing ijab Kabul dan Kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Hanafi membolehkan ada jarak anatara ijab dan Kabul asal masih dalam satu majlis dan tidak ada hal- hal yang menunjukan salah satu pihakberpaling dari maksud itu.
Lapazd yang dipakai untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalaha nikah atau kawin.sebab kalimat tersebut ada dalam kitabullah dan sunnah.demikian meurut syafi’I dan hambali.
3. Syarat- syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaknya seorang laki-laki,muslim balig, berakal dan adil (tidak fasik), perkawinan tanpawali tidak sah, berdasarkan hadis nabi SAW:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Artinya: Tidak sah perkawinan tanpa wali
Hanafi tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri, tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi, sedangkan maliki berpendapat bahwa wali adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan, bukan untuk mengawinkan perempuan awwam.
Anak kecil, budak dan orang gila tidak mendapat wali. Bagaimana mereka menjadi wali, sedangkan untuk menjadi wali atas dirinya mereka sendiri tidak mampu.
Wali hendaknya menayai calon mempelai perempuan,berdasarkan sabda nabi saw :
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya rosulullah saw berkata: janda itu lebih berhak atas dirinya, sedangkan seorang gadis hendaknya dimintai izinnya, dan izin si gadis itu adalah diamnya. Diriwayatkan oleh jama’ah,kecuali bukhori,sedangkan dalam riwayata ahmad, abu dawud, dan nasa’I dikemukakan: dan sigadis, hendaklah ayahnya meminta izin kepadanya.
4. Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki- laki, muslim, baligh, berakal, memelihara dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.
Tetapi menurut golongan hanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang laki- laki dan dua orang perempuan. Dan menurut hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil). Orang yang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.
Ada yang berpendapat bahwa syarat saksi itu sebagai berikut :
• Berakal, bukan orang gila
• Baligh, bukan anak-anak
• Merdeka, bukan budak
• Islam
• Kedua orang saksi itu mendengar
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para ulama menyebutkan bahwa nikah diperintahkan karena dapat mewujudkan maslahat; memelihara diri, kehormatan, mendapatkan pahala dan lain-lain. Oleh karena itu, apabila pernikahan justru membawa madharat maka nikahpun dilarang. Dari sini maka hukum nikah dapat dapat dibagi menjadi lima:
Disunnahkan bagi orang yang memiliki syahwat (keinginan kepada wanita) tetapi tidak khawatir berzina atau terjatuh dalam hal yang haram jika tidak menikah, sementara dia mampu untuk menikah.
Wajib bagi yang mampu nikah dan khawatir zina atau maksiat jika tidak menikah.
Mubah bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya.
Haram nikah bagi orang yang tidak mampu menikah (nafkah lahir batin) dan ia tidak takut terjatuh dalam zina atau maksiat lainnya
Makruh menikah jika tidak mampu karena dapat menzhalimi isteri.
Rukun nikah yang disepakati oleh jumhur ulama adalah sebagai berikut Adanya calon suami dan istri, adanya wali dari pihak calon pengantin wanita,adanya dua orang saksi dan sighat akad nikah.
B. Kritik dan Saran
Tulisan ini sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena itu sudikiranya pembaca memberikan/menungkan kritik serta sarannya. Semoga tulisan ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua. Amin.
DAFTAR ISI
Abdul, Rahman, Ghazali, Prof, Dr, MA, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003
Abdurrahman, H., S.H., Kompilasi Hukum IslamDi Indonesia, Jakarta:CV. Akademika Pressindo, 1995
Hasbi, ash-shiddieqy, T. M, Hukum- Hukum Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1970
Tidak ada komentar:
Posting Komentar