Poligami merupakan suatu konstruksi sosial budaya dalam institusi rumah tangga yang telah terbentuk lama. Indonesia merupakan salah satu negara yang membolehkan poligami berdasarkan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang menyebutkan bahwa seorang suami boleh melakukan perkawinan dengan wanita lain jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Di samping itu aturan PP No 45 tahun 1990 sebagai revisi dari PP no 10 tahun 1983 tentang izin perceraian dan perkawinan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Meskipun Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami, seperti yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun dalam pasal berikutnya dikatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Dalam pasal 3 ayat 2 disebutkan, Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Dengan demikian jelas bahwa asas yang dianut oleh undang-undang perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka, dimana poligami ditempatkan pada posisi hukum darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumtance).
Klausul pembolehan poligami ini sebenarnya adalah pengecualian oleh karena itu dalam pasal-pasal tersebut terdapat alasan serta syarat-syarat ketentuan. Dalam pasal 4 Undang-undang Perkawinan dikatakan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut bersifat fakultatif, artinya jika salah satu persyaratan tersebut dapat dibuktikan, Pengadilan Agama dapat memberi izin.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, suami harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 5 UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yaitu harus adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Dan alasan yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) ini bersifat kumulatif, artinya Pengadilan Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila semua persyaratan telah terpenuhi. Hal ini serupa dengan apa yang diatur dalam PP no 45 tahun 1990 amandemen dari PP no 10 tahun 1983 tentang Perkawinan dan Perceraian bagi para pegawai sipil.
Poligami bagi pegawai sipil diatur sangat ketat sebagaimana dijelaskan dalam pasal 11 bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari seorang wajib meminta izin terlebih dahulu kepada kepala pejabat yang bersangkutan. Hal ini menggambarkan sempit dan ketatnya aturan poligami di Negara kita yang kontradiksi dengan praktek yang terjadi di lapangan, poligami marak dan sepertinya mudah sekali dilakukan, dengan melihat banyaknya kasus izin poligami yang dikabulkan oleh Pengadilan.
Sebagai perbandingan dengan Negara muslim lainnya. Negara Tunisia, Turki, Uzbekistan dan Tajikistan melarang poligami secara mutlak. Tunisia melarang poligami sejak tahun 1958. Undang-undang perkawinan 1958 yang diperbarui 1964 menyatakan hukuman pelaku poligami adalah satu tahun penjara dan denda 240.000 franc (Pasal 18). Di Uzbekistan dalam Undang-undang Pidana Uzbekistan Nomor 2012-XII Tahun 1994, Pasal 126 menyatakan, "Poligami, yaitu hidup bersama dengan paling sedikit dua perempuan dalam satu rumah, dihukum denda 100 hingga 200 kali gaji minimal bulanan, atau kerja sosial sampai tiga tahun, atau dipenjara hingga tiga tahun."
Undang-undang Pidana Tajikistan dalam Pasal 170 menyatakan, "Poligami, melakukan pernikahan dengan dua perempuan atau lebih, dihukum denda 200-500 kali gaji minimal bulanan, atau kerja sosial hingga dua tahun." Negara Muslim lain, seperti Maroko, Irak, Yaman, Jordania, Mesir, Aljazair, dan Pakistan, meski tidak secara tegas melarang, tetapi menerapkan syarat ketat dan memberi sanksi berat bagi pelanggarnya, sama seperti Indonesia. UU Maroko al-Mudawwanah 1957, diperbarui 2004, Pasal 31 menyatakan, poligami dilarang jika suami dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil. Pasal itu juga memberi hak bagi perempuan mengajukan cerai jika si suami poligami.
Undang-undang Irak 1959 (sebelum invasi AS) Pasal 3 melarang poligami, kecuali ada kondisi yang membolehkannya seperti dalam Ayat 4, yaitu berkecukupan harta untuk menghidupi istri-istrinya dan ada kemaslahatan. Jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil, maka poligami dilarang seperti dinyatakan dalam Ayat 5. Pelanggarnya dihukum satu tahun penjara dan denda 100 dinar (Ayat 6).
Undang-undang Yaman 1974 Pasal 11 melarang poligami, kecuali atas izin pengadilan dengan kondisi istri mandul atau punya penyakit yang tak dapat disembuhkan. Adapun Pasal 19 UU Jordania 1976 memberi ta'lik talak bagi wanita. Mereka berhak minta janji suami tidak akan poligami. Jika dilanggar, istri dapat mengajukan cerai ke pengadilan.
Undang-undang Aljazair 1981 Pasal 4 sebenarnya melarang poligami, tetapi dibolehkan jika terpaksa. Pengecualian ini tidak berlaku bagi mereka yang tak dapat berbuat adil atau tak ada alasan syar'i dan izin istri. Istri boleh mengajukan ta'lik talak, yaitu janji suami tidak akan poligami. Jika suami poligami, istri dapat mengajukan cerai (Pasal 5). UU Pakistan tahun 1964 memberi hak bagi istri mengajukan cerai ke pengadilan jika diperlakukan tidak baik/adil.
Menilik Undang-undang negara-negara Muslim ini, tampak persyaratan poligami sangat sulit dan praktis mustahil dipenuhi. Begitu juga sanksi bagi yang melanggar cukup berat. Berkaca pada beberapa Undang-undang negara-negara Muslim diatas dan praktik poligami yang dilakukan banyak orang sekarang ini telah menimbulkan dampak buruk dan kerusakan baik secara personal maupuan sosial, maka sudah saatnya pemerintah melangkah secara progresif untuk menangani persoalan ini, dan hukum Islam yang lebih berpihak pada perempuan sudah seharusnya diterapkan di Indonesia melalui payung hukum berupa undang-undang.
Sebagaimana diterangkan dalam kaidah fikih “addharara yuzaal” kerusakan harus dihilangkan dan “dar ‘ul mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih” (mengntisipasi atau menolak terjadinya kerusakan harus lebih diutamakan daripada megambil kemashlahatan). “tasharruf al-imam ‘ala ar-rai’iyyah manuthun bi al-mashlahah.” Tindakan pemerintah terhadap rakyatnya diletakan dalam kerangka kemaslahatan masyarakat (kebaikan dan kesejahteraan sosial).
Menurut Imam Asy-Syafi’i, kaidah ini berbunyi “manzilah al-imam min ar-ra’iyyah manzilah al-waliy min al-yatim” kedudukan pemerintah terhadap rakyatnya adalah sama dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Sehingga Muhamad Abduh mengapresiasikan pendapatnya bahwa hakim (pengadilan) boleh menolak poligami atau boleh bagi orang alim untuk menolak poligami secara mutlak karena mempertimbangkan mayoritas.
Berbicara masalah poligami, yang seringkali dikaji dan dibahas selalu aspek keagamaan yang dimunculkan sebagai payung boleh tidaknya poligami. Namun jarang sekali mengkajinya dari aspek lain seperti dari aspek sosiologi, psikologi, atau dari aspek ekonomi serta pengaruhnya terhadap institusi keluarga dan sistem perundang-undangan yang berhubungan dengan sosial dan ekonomi rumah tangga berkenaan hak waris misalnya. Dengan begitu kajian mengenai poligami ini akan lebih baik jika dikaitkan dengan perencanaan kebijakan terutama kebijakan terhadap istri-istri dan anak-anak yang dihasilkan.
1. Poligami dari aspek sosial dan budaya
Jika kita melihat dari segi antropologi sosial budaya, gejala poligami dominan pada masyarakat yang menganut sistem patrilinieal. Dalam masyarakat yang lebih maju akan sosial ekonomi lebih banyak melakukan poligami atau lebih banyak terjadinya monogami serial, dimana perceraian seringkali terjadi. Namun demikian tidak berarti masyarakat tradisional tidak atau jarang akn praktek poligami ini, dalam masyarakat tradisionil kekuasaan status sosial laki-laki menentukan jumlah istri yang dmiliki. Banyak orang tua yang rela bahkan menawarkan anak perempuannya untuk diperistri oleh laki-laki yang berkuasa padahal ia telah memiliki istri untukmendapatkan status sosial yang tinggi. Hal ini nampaknya juga terjadi pada masyarakat modern meskipun dalam prakteknya berbeda yakni perkawinan dilakukan di bawah tangan.
2. Poligami dari aspek ekonomi
Faktor penyebab lain dalam poligami adalah kemapanan dalam ekonomi. Dimana laki-laki yang mapan secara ekonomi menjalani poligami juga sebagai salah satu simbol kesuksesan bagi laki-laki tersebut. Praktek poligami marak dilakukan dikalangan masyarakat yang berpenghasilan besar. Dalam prakteknya,tidak sedikit kita jumpai suami ketika telah menikah dengan istri keduanya dia melalaikan atau tidak mengindahkan aturan untuk adil dalam memenuhi kebutuhan istri-istrinya.
Tentunya dalam hal ini suami yang berpoligami harus mampu dan bersedia memenuhi kebutuhan hidup serta memberikan kesejahteraan bagi istri dan semua anggota keluarganya. Suami juga harus mampu mengelola keuangan dalam arti memiliki bekal menejemen dan pengelolaan keuangan yang baik dan investasi yang handal. Patutnya demikian yang dimaksudkan pasal 5 ayat 2 dan ayat 3.
3. Poligami dalam perspektif Demografi
Secara demografi, perkawinan poligami harus dilihat dalam konteks 3 komponen besar yaitu kematian, kelahiran dan migrasi. Dalam hal kematian peningkatan usia harapan hidup baik laki-laki maupun perempuan diduga mengakibatkan adanya banyak waktu untuk melakukan poligami. Dari sisi kelahiran, poligami akan menyebabakan keluarga besar dengan banyak istri dan banyak anak.
Dari sisi migrasi, poligami banayak terjadi ketika arus dan kecendrungan migrasi semakin besar. Terpisahnya suami istri oleh jarak tempat tinggal menjadi penyebab terjadinya poligami.dalam kaitan keterlibatan perempuan di pasar kerja, memperlihatkan perempuan yang mapan dari segi ekonomi dan mandiri lebih memilih untu tidak dipoligami. Namun demikian hal itu juga yangmenyebabkan tingginya angka perceraian ketika perempuan tidak mau untuk ipoligami.
4. Poligami dalam perspektif psikologi.
Poligami juga membawa dampak terhadap keluarga, yaitu dampak psikis pada istri pertama dan juga pada anak-anak mereka, perasaan ketidak amanan pula yang dialami istri keduanya karena nikah sirri misalnya, penelantaran anak, kekerasan psikologis, dan lainnya. Jelas pada dasarnya poligami merupakan pembunuhan karakter pada perempuan.
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan LBH APIK, 2003 lalu, merinci berbagai dampak negatif poligami yang menimpa istri pertama. Di antaranya, tidak diberi nafkah, mengalami penganiayaan fisik, diteror istri kedua, pisah ranjang, dan akhirnya diceraikan di pengadilan. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi poligami berbeda antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.
Bagi laki-laki faktor pendorong poligami diantaranya :
a) perselingkuhan dengan dalih untuk menghindari perzinahan,
b) kebutuhan seks, Dengan dalih karena istrinya tidak dapat memuaskan hubungan seksualitasnya atau istrnya tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
c) Bahwa poligami adalah sunnah oleh karena itu jika melarangnya berarti kita mengingkari sunnah rasul pula.
d) adanya pembolehan dari segi agama, Mendasarkan kebolehan kepada satu ayat bahkan sepenggal ayat saja. Pemahaman yang tidak utuh (juz’iyyah).
e) juga adanya pembolehan dari undang-undang perkawinan sendiri.
f) Karena istri mandul, cacat.
g) Kodrat pria yang memiliki gairah seks yang lebih tinggi,
h) Karena istri memiliki masa yang disebut dengan monopouse.
Sedang alasan-alasan perempuan menerima dipoligami karena faktor :
a) ketidakmampuan secara ekonomi yang menggantungkann kepada suami.
b) pemahaman agama bahwasanya poligami merupakan sunnah rasul dan bagian dari syari’at
c) ketertarikan akan ketampanan suami sehingga rela meskipun dipoligami
d) atau kekhawatiran dicap sebagai perawan tua.
Pelanggaran hukum yang dilakukan suami yang berpoligami yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini diantaranya adalah :
a) Menikah di bawah tangan. Poligami yang dilakukan secara sirri biasanya terjadi lantaran sang suami tidak mendapat ijin dari isteri pertama atau khawatir mendapat sanksi dari tempat kerja yang tidak membolehkan pegawainya beristri lebih dari satu.
b) Pemalsuan identitas di KUA.
c) Memaksa istri pertama untuk memberi ijin poligami. Pemaksaan ini bisa digolongkan sebagai tindak pidana KDRT
d) Meningkatnya angka perceraian yang disebabkan poligami. Dimana istri tidak menyetujui untuk dipoligami, karena ia merasa selama dalam rumah tangganya ia melaksanakan tugasnya dengan baik, dan merasa tujuan suami berpoligami tidak beralasan secara logis. namun suami tetap juga bersikeras untuk berpoligami. hingga akhirnya suamipun menceraikan istrinya sebagai solusinya.
Meskipun Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami, seperti yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun dalam pasal berikutnya dikatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Dalam pasal 3 ayat 2 disebutkan, Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Dengan demikian jelas bahwa asas yang dianut oleh undang-undang perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka, dimana poligami ditempatkan pada posisi hukum darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumtance).
Klausul pembolehan poligami ini sebenarnya adalah pengecualian oleh karena itu dalam pasal-pasal tersebut terdapat alasan serta syarat-syarat ketentuan. Dalam pasal 4 Undang-undang Perkawinan dikatakan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut bersifat fakultatif, artinya jika salah satu persyaratan tersebut dapat dibuktikan, Pengadilan Agama dapat memberi izin.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, suami harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 5 UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yaitu harus adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Dan alasan yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) ini bersifat kumulatif, artinya Pengadilan Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila semua persyaratan telah terpenuhi. Hal ini serupa dengan apa yang diatur dalam PP no 45 tahun 1990 amandemen dari PP no 10 tahun 1983 tentang Perkawinan dan Perceraian bagi para pegawai sipil.
Poligami bagi pegawai sipil diatur sangat ketat sebagaimana dijelaskan dalam pasal 11 bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari seorang wajib meminta izin terlebih dahulu kepada kepala pejabat yang bersangkutan. Hal ini menggambarkan sempit dan ketatnya aturan poligami di Negara kita yang kontradiksi dengan praktek yang terjadi di lapangan, poligami marak dan sepertinya mudah sekali dilakukan, dengan melihat banyaknya kasus izin poligami yang dikabulkan oleh Pengadilan.
Sebagai perbandingan dengan Negara muslim lainnya. Negara Tunisia, Turki, Uzbekistan dan Tajikistan melarang poligami secara mutlak. Tunisia melarang poligami sejak tahun 1958. Undang-undang perkawinan 1958 yang diperbarui 1964 menyatakan hukuman pelaku poligami adalah satu tahun penjara dan denda 240.000 franc (Pasal 18). Di Uzbekistan dalam Undang-undang Pidana Uzbekistan Nomor 2012-XII Tahun 1994, Pasal 126 menyatakan, "Poligami, yaitu hidup bersama dengan paling sedikit dua perempuan dalam satu rumah, dihukum denda 100 hingga 200 kali gaji minimal bulanan, atau kerja sosial sampai tiga tahun, atau dipenjara hingga tiga tahun."
Undang-undang Pidana Tajikistan dalam Pasal 170 menyatakan, "Poligami, melakukan pernikahan dengan dua perempuan atau lebih, dihukum denda 200-500 kali gaji minimal bulanan, atau kerja sosial hingga dua tahun." Negara Muslim lain, seperti Maroko, Irak, Yaman, Jordania, Mesir, Aljazair, dan Pakistan, meski tidak secara tegas melarang, tetapi menerapkan syarat ketat dan memberi sanksi berat bagi pelanggarnya, sama seperti Indonesia. UU Maroko al-Mudawwanah 1957, diperbarui 2004, Pasal 31 menyatakan, poligami dilarang jika suami dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil. Pasal itu juga memberi hak bagi perempuan mengajukan cerai jika si suami poligami.
Undang-undang Irak 1959 (sebelum invasi AS) Pasal 3 melarang poligami, kecuali ada kondisi yang membolehkannya seperti dalam Ayat 4, yaitu berkecukupan harta untuk menghidupi istri-istrinya dan ada kemaslahatan. Jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil, maka poligami dilarang seperti dinyatakan dalam Ayat 5. Pelanggarnya dihukum satu tahun penjara dan denda 100 dinar (Ayat 6).
Undang-undang Yaman 1974 Pasal 11 melarang poligami, kecuali atas izin pengadilan dengan kondisi istri mandul atau punya penyakit yang tak dapat disembuhkan. Adapun Pasal 19 UU Jordania 1976 memberi ta'lik talak bagi wanita. Mereka berhak minta janji suami tidak akan poligami. Jika dilanggar, istri dapat mengajukan cerai ke pengadilan.
Undang-undang Aljazair 1981 Pasal 4 sebenarnya melarang poligami, tetapi dibolehkan jika terpaksa. Pengecualian ini tidak berlaku bagi mereka yang tak dapat berbuat adil atau tak ada alasan syar'i dan izin istri. Istri boleh mengajukan ta'lik talak, yaitu janji suami tidak akan poligami. Jika suami poligami, istri dapat mengajukan cerai (Pasal 5). UU Pakistan tahun 1964 memberi hak bagi istri mengajukan cerai ke pengadilan jika diperlakukan tidak baik/adil.
Menilik Undang-undang negara-negara Muslim ini, tampak persyaratan poligami sangat sulit dan praktis mustahil dipenuhi. Begitu juga sanksi bagi yang melanggar cukup berat. Berkaca pada beberapa Undang-undang negara-negara Muslim diatas dan praktik poligami yang dilakukan banyak orang sekarang ini telah menimbulkan dampak buruk dan kerusakan baik secara personal maupuan sosial, maka sudah saatnya pemerintah melangkah secara progresif untuk menangani persoalan ini, dan hukum Islam yang lebih berpihak pada perempuan sudah seharusnya diterapkan di Indonesia melalui payung hukum berupa undang-undang.
Sebagaimana diterangkan dalam kaidah fikih “addharara yuzaal” kerusakan harus dihilangkan dan “dar ‘ul mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih” (mengntisipasi atau menolak terjadinya kerusakan harus lebih diutamakan daripada megambil kemashlahatan). “tasharruf al-imam ‘ala ar-rai’iyyah manuthun bi al-mashlahah.” Tindakan pemerintah terhadap rakyatnya diletakan dalam kerangka kemaslahatan masyarakat (kebaikan dan kesejahteraan sosial).
Menurut Imam Asy-Syafi’i, kaidah ini berbunyi “manzilah al-imam min ar-ra’iyyah manzilah al-waliy min al-yatim” kedudukan pemerintah terhadap rakyatnya adalah sama dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Sehingga Muhamad Abduh mengapresiasikan pendapatnya bahwa hakim (pengadilan) boleh menolak poligami atau boleh bagi orang alim untuk menolak poligami secara mutlak karena mempertimbangkan mayoritas.
Berbicara masalah poligami, yang seringkali dikaji dan dibahas selalu aspek keagamaan yang dimunculkan sebagai payung boleh tidaknya poligami. Namun jarang sekali mengkajinya dari aspek lain seperti dari aspek sosiologi, psikologi, atau dari aspek ekonomi serta pengaruhnya terhadap institusi keluarga dan sistem perundang-undangan yang berhubungan dengan sosial dan ekonomi rumah tangga berkenaan hak waris misalnya. Dengan begitu kajian mengenai poligami ini akan lebih baik jika dikaitkan dengan perencanaan kebijakan terutama kebijakan terhadap istri-istri dan anak-anak yang dihasilkan.
1. Poligami dari aspek sosial dan budaya
Jika kita melihat dari segi antropologi sosial budaya, gejala poligami dominan pada masyarakat yang menganut sistem patrilinieal. Dalam masyarakat yang lebih maju akan sosial ekonomi lebih banyak melakukan poligami atau lebih banyak terjadinya monogami serial, dimana perceraian seringkali terjadi. Namun demikian tidak berarti masyarakat tradisional tidak atau jarang akn praktek poligami ini, dalam masyarakat tradisionil kekuasaan status sosial laki-laki menentukan jumlah istri yang dmiliki. Banyak orang tua yang rela bahkan menawarkan anak perempuannya untuk diperistri oleh laki-laki yang berkuasa padahal ia telah memiliki istri untukmendapatkan status sosial yang tinggi. Hal ini nampaknya juga terjadi pada masyarakat modern meskipun dalam prakteknya berbeda yakni perkawinan dilakukan di bawah tangan.
2. Poligami dari aspek ekonomi
Faktor penyebab lain dalam poligami adalah kemapanan dalam ekonomi. Dimana laki-laki yang mapan secara ekonomi menjalani poligami juga sebagai salah satu simbol kesuksesan bagi laki-laki tersebut. Praktek poligami marak dilakukan dikalangan masyarakat yang berpenghasilan besar. Dalam prakteknya,tidak sedikit kita jumpai suami ketika telah menikah dengan istri keduanya dia melalaikan atau tidak mengindahkan aturan untuk adil dalam memenuhi kebutuhan istri-istrinya.
Tentunya dalam hal ini suami yang berpoligami harus mampu dan bersedia memenuhi kebutuhan hidup serta memberikan kesejahteraan bagi istri dan semua anggota keluarganya. Suami juga harus mampu mengelola keuangan dalam arti memiliki bekal menejemen dan pengelolaan keuangan yang baik dan investasi yang handal. Patutnya demikian yang dimaksudkan pasal 5 ayat 2 dan ayat 3.
3. Poligami dalam perspektif Demografi
Secara demografi, perkawinan poligami harus dilihat dalam konteks 3 komponen besar yaitu kematian, kelahiran dan migrasi. Dalam hal kematian peningkatan usia harapan hidup baik laki-laki maupun perempuan diduga mengakibatkan adanya banyak waktu untuk melakukan poligami. Dari sisi kelahiran, poligami akan menyebabakan keluarga besar dengan banyak istri dan banyak anak.
Dari sisi migrasi, poligami banayak terjadi ketika arus dan kecendrungan migrasi semakin besar. Terpisahnya suami istri oleh jarak tempat tinggal menjadi penyebab terjadinya poligami.dalam kaitan keterlibatan perempuan di pasar kerja, memperlihatkan perempuan yang mapan dari segi ekonomi dan mandiri lebih memilih untu tidak dipoligami. Namun demikian hal itu juga yangmenyebabkan tingginya angka perceraian ketika perempuan tidak mau untuk ipoligami.
4. Poligami dalam perspektif psikologi.
Poligami juga membawa dampak terhadap keluarga, yaitu dampak psikis pada istri pertama dan juga pada anak-anak mereka, perasaan ketidak amanan pula yang dialami istri keduanya karena nikah sirri misalnya, penelantaran anak, kekerasan psikologis, dan lainnya. Jelas pada dasarnya poligami merupakan pembunuhan karakter pada perempuan.
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan LBH APIK, 2003 lalu, merinci berbagai dampak negatif poligami yang menimpa istri pertama. Di antaranya, tidak diberi nafkah, mengalami penganiayaan fisik, diteror istri kedua, pisah ranjang, dan akhirnya diceraikan di pengadilan. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi poligami berbeda antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.
Bagi laki-laki faktor pendorong poligami diantaranya :
a) perselingkuhan dengan dalih untuk menghindari perzinahan,
b) kebutuhan seks, Dengan dalih karena istrinya tidak dapat memuaskan hubungan seksualitasnya atau istrnya tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
c) Bahwa poligami adalah sunnah oleh karena itu jika melarangnya berarti kita mengingkari sunnah rasul pula.
d) adanya pembolehan dari segi agama, Mendasarkan kebolehan kepada satu ayat bahkan sepenggal ayat saja. Pemahaman yang tidak utuh (juz’iyyah).
e) juga adanya pembolehan dari undang-undang perkawinan sendiri.
f) Karena istri mandul, cacat.
g) Kodrat pria yang memiliki gairah seks yang lebih tinggi,
h) Karena istri memiliki masa yang disebut dengan monopouse.
Sedang alasan-alasan perempuan menerima dipoligami karena faktor :
a) ketidakmampuan secara ekonomi yang menggantungkann kepada suami.
b) pemahaman agama bahwasanya poligami merupakan sunnah rasul dan bagian dari syari’at
c) ketertarikan akan ketampanan suami sehingga rela meskipun dipoligami
d) atau kekhawatiran dicap sebagai perawan tua.
Pelanggaran hukum yang dilakukan suami yang berpoligami yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini diantaranya adalah :
a) Menikah di bawah tangan. Poligami yang dilakukan secara sirri biasanya terjadi lantaran sang suami tidak mendapat ijin dari isteri pertama atau khawatir mendapat sanksi dari tempat kerja yang tidak membolehkan pegawainya beristri lebih dari satu.
b) Pemalsuan identitas di KUA.
c) Memaksa istri pertama untuk memberi ijin poligami. Pemaksaan ini bisa digolongkan sebagai tindak pidana KDRT
d) Meningkatnya angka perceraian yang disebabkan poligami. Dimana istri tidak menyetujui untuk dipoligami, karena ia merasa selama dalam rumah tangganya ia melaksanakan tugasnya dengan baik, dan merasa tujuan suami berpoligami tidak beralasan secara logis. namun suami tetap juga bersikeras untuk berpoligami. hingga akhirnya suamipun menceraikan istrinya sebagai solusinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar