Dalam buku ensiklopedi hukum Islam, terminologi poligami adalah suatu ikatan perkawinan dimana salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Walaupun dalam pengertian tersebut menggunakan kalimat “ salah satu pihak”, akan tetapi karena perempuan yang memiliki suami banyak dikenal dengan istilah poliandri. Jadi yang dimaksud salah satu pihak disini adalah pihak suami.
Dalam hukum Islam poligami biasa dikenal dengan kata تعدد الزوجا ت Yang berarti berbilangnya istri atau dengan kata lain seorang suami yang memiliki istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan. Kata poligami berasal dari bahasa yunani. Secara etimologi, kata poligami terdiri dari dua kata, “poly” atau “polus” yang berarti banyak, dan kata “gamen”, “gamos” yang artinya perkawinan. Jika dirangkaikan keduanya maka poligami berarti perkawinan yang lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan.
Terdapat tiga bentuk poligami, poligini yaitu seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus, yang kedua poliandri yakni seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus, dan pernikahan kelompok atau dikenal dengan istilah group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri. Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.
Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Jauh sebelum Islam datang, praktek poligami sudah menjadi budaya tradisi di kalangan bangsa arab jahiliyah, Ibrani, Cicilia. Tak hanya itu di Jepang, Afrika, Indiapun praktek poligami sudah merupakan hal yang lumrah. Poligami pada saat itu dilakukan tanpa adanya batas. Seorang suami dapat memiliki istri sesuai dengan kehendaknya. Bagi mereka mengawini sejumlah wanita
merupakan hal yang lumrah dan merupakan suatu kebanggaan. Mereka menganggap wanita-wanita sebagai hak milik yang bisa dibawa-bawa dan diperjualbelikan.
Jelas bahwa laki-laki pada masa itu bersifat komunisme seksual. Tidak ada eksklusivitasnya perempuan dimata laki-laki. Sebelum Islam lahir, telah dikenal berbagai macam praktek perkawinan, diantaranya :
1. Perkawinan al-Istibda’, yaitu seorang suami yang meminta istrinya apabila sudah suci dari haidhnya untuk melayani seseorang yang terkenal dengan kemuliaan, keberanian, dan kecerdasannya. Tujuannya untuk memperoleh keturunan yang memiliki sifat laki-laki tersebut.
2. Perkawinan al-Rahthun, seorang wanita yng digauli beberapa laki-laki, apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan, maka wanita itu memanggil seluruh laki-laki yang menggaulinya. Kemudian ia menunjuk salah satu dari laki-laki tersebut untuk dijadikan nasab ayah untuk anaknya dan tidak ada lagi bagi laki-laki tersebut untuk menolaknya.
3. Perkawinan maqthu’, seorang anak laki-laki mengawini ibu tirinya setelah ayahnya meninggal dunia.
4. Perkawinan badal, yaitu dua orang suami saling tukar menukar istri mereka tanpa cerai. Dengan tujuan untuk memuaskan libido seksual mereka dan untuk menghindari dari kebosenan.
5. Perkawinan shighar, seseorang yang mengawinkan anak peempuannya atau saudara perempuannya dengan tanpa mahar atau berlaku sebaliknya.
6. Perkawinan baghaya, jenis perkawinan ini hampir sama dengan perkawinan al-Rathun, yang membedakan dalam perkawinan Baghaya ini wanita (pelacur) tersebut menisbatkana aanaknya kepada laki-laki yang paling mirip wahnya dengan anaknya tersebut.
7. Perkawinan al-Irts, seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan yang tidak memiliki anak laki-laki, ia menjadi warisan kerabat suaminya.
8. Perkawinan Mut’ah, yaitu perkawinan yang bersifat sementara dengan cara menentukan kurun waktu pernikahan dan bayarannya.
9. Perkawinan akhdan, perkawianan kongsi, jika si wanita itu banyak yang menyukai, maka laki-laki yang menggemarinya itu dapat berkongsi untuk menjadikannya istri bersama.
10. Perkawinan sewa/gadai, yakni seseorang menggadaikan anak gadisnya dalam jangka waktu tertentu dengan sejumlah uang sewa.
11. Pernikahan poligami, perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa wanita dalam waktu yang bersamaan dan tanpa batasan.
Dari jenis-jenis perkawinan diatas jelas semuanya sangat merendahkan perempuan. Namun ketika Islam datang dengan membawa aturan dan syari’at nya yang adil dan bijaksana dalam mengatur rumah tangga. Islam menghapus semua jenis pernikahan diatas kecuali pernikahan poligami. Dengan hanya membatasinya empat orang istri saja disamping adanya beberapa persyaratan khusus. Karena tradisi poligami ini sudah mengakar kuat dalam masyarakat di kalangan bangsa Arab sehingga tidak mungkin dihilangkan begitu saja.
Oleh karena itu, Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW menoleransi poligami terbatas seperti tertera dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 3. Sehingga pada zaman Nabi SAW orang-orang yang masuk Islam, apabila mempunyai isteri lebih dari empat orang, maka lebihnya nabi menyuruh untuk diceraikan, sehingga tinggal empat orang isteri saja. Hal ini terjadi pada Ghilan yang memiliki sepuluh orang isteri sebelum masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia disuruh memilih empat untuk tetap menjadi isterinya dan selebihnya diceraikan.
Diterangkan dalam sebuah hadits, bahwa Nabi saw। berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafy yang telah masuk Islam, sedang dia punya sepuluh istri, "Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikan yang lainnya." (HR.Malik,an-Nasa'i, dan ad-Daruquthni)
Dalam hukum Islam poligami biasa dikenal dengan kata تعدد الزوجا ت Yang berarti berbilangnya istri atau dengan kata lain seorang suami yang memiliki istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan. Kata poligami berasal dari bahasa yunani. Secara etimologi, kata poligami terdiri dari dua kata, “poly” atau “polus” yang berarti banyak, dan kata “gamen”, “gamos” yang artinya perkawinan. Jika dirangkaikan keduanya maka poligami berarti perkawinan yang lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan.
Terdapat tiga bentuk poligami, poligini yaitu seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus, yang kedua poliandri yakni seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus, dan pernikahan kelompok atau dikenal dengan istilah group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri. Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.
Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Jauh sebelum Islam datang, praktek poligami sudah menjadi budaya tradisi di kalangan bangsa arab jahiliyah, Ibrani, Cicilia. Tak hanya itu di Jepang, Afrika, Indiapun praktek poligami sudah merupakan hal yang lumrah. Poligami pada saat itu dilakukan tanpa adanya batas. Seorang suami dapat memiliki istri sesuai dengan kehendaknya. Bagi mereka mengawini sejumlah wanita
merupakan hal yang lumrah dan merupakan suatu kebanggaan. Mereka menganggap wanita-wanita sebagai hak milik yang bisa dibawa-bawa dan diperjualbelikan.
Jelas bahwa laki-laki pada masa itu bersifat komunisme seksual. Tidak ada eksklusivitasnya perempuan dimata laki-laki. Sebelum Islam lahir, telah dikenal berbagai macam praktek perkawinan, diantaranya :
1. Perkawinan al-Istibda’, yaitu seorang suami yang meminta istrinya apabila sudah suci dari haidhnya untuk melayani seseorang yang terkenal dengan kemuliaan, keberanian, dan kecerdasannya. Tujuannya untuk memperoleh keturunan yang memiliki sifat laki-laki tersebut.
2. Perkawinan al-Rahthun, seorang wanita yng digauli beberapa laki-laki, apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan, maka wanita itu memanggil seluruh laki-laki yang menggaulinya. Kemudian ia menunjuk salah satu dari laki-laki tersebut untuk dijadikan nasab ayah untuk anaknya dan tidak ada lagi bagi laki-laki tersebut untuk menolaknya.
3. Perkawinan maqthu’, seorang anak laki-laki mengawini ibu tirinya setelah ayahnya meninggal dunia.
4. Perkawinan badal, yaitu dua orang suami saling tukar menukar istri mereka tanpa cerai. Dengan tujuan untuk memuaskan libido seksual mereka dan untuk menghindari dari kebosenan.
5. Perkawinan shighar, seseorang yang mengawinkan anak peempuannya atau saudara perempuannya dengan tanpa mahar atau berlaku sebaliknya.
6. Perkawinan baghaya, jenis perkawinan ini hampir sama dengan perkawinan al-Rathun, yang membedakan dalam perkawinan Baghaya ini wanita (pelacur) tersebut menisbatkana aanaknya kepada laki-laki yang paling mirip wahnya dengan anaknya tersebut.
7. Perkawinan al-Irts, seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan yang tidak memiliki anak laki-laki, ia menjadi warisan kerabat suaminya.
8. Perkawinan Mut’ah, yaitu perkawinan yang bersifat sementara dengan cara menentukan kurun waktu pernikahan dan bayarannya.
9. Perkawinan akhdan, perkawianan kongsi, jika si wanita itu banyak yang menyukai, maka laki-laki yang menggemarinya itu dapat berkongsi untuk menjadikannya istri bersama.
10. Perkawinan sewa/gadai, yakni seseorang menggadaikan anak gadisnya dalam jangka waktu tertentu dengan sejumlah uang sewa.
11. Pernikahan poligami, perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa wanita dalam waktu yang bersamaan dan tanpa batasan.
Dari jenis-jenis perkawinan diatas jelas semuanya sangat merendahkan perempuan. Namun ketika Islam datang dengan membawa aturan dan syari’at nya yang adil dan bijaksana dalam mengatur rumah tangga. Islam menghapus semua jenis pernikahan diatas kecuali pernikahan poligami. Dengan hanya membatasinya empat orang istri saja disamping adanya beberapa persyaratan khusus. Karena tradisi poligami ini sudah mengakar kuat dalam masyarakat di kalangan bangsa Arab sehingga tidak mungkin dihilangkan begitu saja.
Oleh karena itu, Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW menoleransi poligami terbatas seperti tertera dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 3. Sehingga pada zaman Nabi SAW orang-orang yang masuk Islam, apabila mempunyai isteri lebih dari empat orang, maka lebihnya nabi menyuruh untuk diceraikan, sehingga tinggal empat orang isteri saja. Hal ini terjadi pada Ghilan yang memiliki sepuluh orang isteri sebelum masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia disuruh memilih empat untuk tetap menjadi isterinya dan selebihnya diceraikan.
Diterangkan dalam sebuah hadits, bahwa Nabi saw। berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafy yang telah masuk Islam, sedang dia punya sepuluh istri, "Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikan yang lainnya." (HR.Malik,an-Nasa'i, dan ad-Daruquthni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar