BAB II
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nikah disyariatkan Allah SWT seumur dengan
perjalanan hidup manusia, sejak nabi Adam dan Hawa di surga adalah ajaran
pernikahan pertama dalam islam. Setelah di tentukan pilihan pasangan yang akan
di nikahi sesuai dengan kriteria yang di tentukan, Langkah selanjutnya adalah
penyampaian kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan. Penyampaian
kehendak untuk di nikahi seseorang itu di namai KHITBAH atau dalam bahasa
indonesianya di namakan “Peminangan”.
Tunangan yang kita temukan dalam masyarakat
saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah
khitbah yang disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll.
Sedangkan dalam Islam, hal seperti itu tidak ada, yang ada hanyalah khitbah itu
sendiri. Ada
satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan
itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan
melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahrom, adalah keliru.
Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya
baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang
telah ditentukan oleh syariat
B.
Rumusan Masalah
- Apa definisi khitbah dan melihat?
- Bagaiman hokum khitbah dan melihat wanita yang di khitbah?
- Apa saja yang boleh di lihat dari dari wanita yang akan di khitbah?
- Bagaimana pandangan ulama tentang melihat wanita yang akan di khitbah?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi khitbah dan
melihat.
2. Untuk mengetahui hukum khitbah dan melihat perempuan yang di khitbah.
3. Untuk mengetahui hal apa saja yang boleh dilihat dari wanita yang di
pinang.
4. Untuk mengetahui beberapa pendapat para ulama’ tentang melihat
pinangan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Khitbah dan Melihat
Sebelum kepada pembahasan mengenai persoalan
"melihat wanita yang di pinang", alangkah baiknya kita mengetahui
devinisi dari khitbah dan pengertian melihat. Kata khitbah dalam terminologi
arab memiliki dua akar kata. Yang pertama Al-khitab yang berarti pembicaraan
atau berpidato dan yang kedua Al-khatbu yang artinya persoalan, kepentingan dan
keadaan. Sedangkan menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaily
dalam kitabnya Al-Fiqhu al-Islam Wa Adillatuhu sebagai berikut :
الخطبة: هي إظهار الرغبة في الزواج بامرأة معينة، وإعلام المرأة
وليها بذلك. وقد يتم هذا الإعلام مباشرة من الخاطب، أو بواسطة أهله.[1]
Artinya :
Menunjukkan keinginan seseorang untuk menikahi seorang perempuan yang sudah jelas, kemudian memberitahukan
keinginan itu kepada wali perempuan. Terkadang pemberitahuan itu disampaikan
langsung oleh peminang atau bias juga melalui perantara keluarganya.
Menurut Iibnu Hajar Haitami, beliau
mendevinisikan Khitbah sebagiai berikut :
(فَصْلٌ)
فِي الْخِطْبَةِ بِكَسْرِ الْخَاءِ ، وَهِيَ الْتِمَاسُ النِّكَاحِ
تَصْرِيحًا وَتَعْرِيضًا (أَيْ الْتِمَاسُ الْخَاطِبِ
النِّكَاحَ مِنْ جِهَةِ الْمَخْطُوبَةِ)[2]
Artinya :
(Pasal) Khitbah dengan mengkasrah huruf Kha', yaitu permintaan menikah
baik berupa dengan sindiran atau terang-terangan, artinya permintaan untuk
menikahi wanta oleh laki-laki yang meminangnya.
Sedangkan menurut sayid sabiq, memngkhitbah
berarti kita sedang meminta seorang perempuan untuk berkeluarga, yaitu untuk
kita nikahi dengan cara-cara yang ma'ruf. Dapat ditarik kesimpulan, khitbah
bukanlah hanya mengatakan kepada seseorang perempuan "Aku Cinta Sama Kamu'
atau "Aku Suka Kamu". tetapi kata-kata kita harus memuat untuk
menjadikan perempuan itu sebagai istri, artinya mengajaknya untuk menikah.
Dalam kamus besar bahasa indonesia, khitbah yang berasal
dari bahasa arab kemudian di indonesiakan menjadi meminang atau peminangan atau
melamar, mempunyai arti meminta
seorang perempuan untuk dijadikan istri.[3]
Sedangkan melihat yang berasal dari kata
lihat, dalam kamus besar bahasa indonesia berarti, 1. menggunakan mata untuk memandang; (memperhatikan):
2. menonton: 3. mengetahui; membuktikan 4. menilik: 5. meramalkan 6. menengok (orang sakit); menjenguk.
Jadi jelas bahwa pengertian melihat wanita
yang dipinang berarti, seorang calon suami terlebih dahulu melihat, memandang, memperhatikan
dengan mata kepalanya sendiri bisa juga dengan menyuruh seseorang kepada calon
isteri yang akan ia pinang sehingga dapat diketahui kecantikannya yang bisa
menjadi satu faktor pendorong untuk mempersuntingnya atau untuk megetahui cacat
celanya yang bisa jadi penyebab kegagalan meminangnya sehingga berganti
meminang orang lain. Hal ini dikarenakan, orang yang bijaksana tidak mau
memasuki sesuatu sebelum ia tahu betul baik buruknya. Adapun tempat-tempat yang
boleh dilihat menurut jumhur ulama’ ialah muka dan telapak tangannya.
Sesungguhnya menurut para ulama, dengan melihat mukanya maka dapat diketahui
cantik jeleknya, dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui badannya
subur atau tidak.
B.
Hukum Khitbah dan Melihat Wanita
Yang Di Pinang
Mayoritas
ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat
janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga
yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal
menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu
hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan
seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai
periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai
rumah tanggapun akan lebih mantap. Hal ini berdasarkan ayat Al-Qur'an berikut:
وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ
أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ...
Artinya:
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu (yang ditinggal
mati oleh suaminya) dengan sindiran,atau kamu menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu.
(QS. Al-Baqoroh : 235)
Perempuan, dalam kedudukan Hukum pinangan ini
ada tiga macam, yaitu : pertama, perempuan yang boleh dipinang dengan terang
terangan dan dengan sindiran, yaitu perempuan yang masih single/jomblo. Kedua,
perempuan yang tidak boleh dipinang baik dengan terang-terangan maupun dengan
sindiran, yaitu perempuan yang masih mempunyai suami dan perempuan yang di talak Raj'I yang masih
dalam masa iddah. Ketiga, perempuan yang boleh dipinang dengan sindiran, tidak
boleh dengan terang-terangan yaitu, perempuan yang ditinggal mati suami yang
masih dalam masa iddah.[4]
Ulama empat madzhab dan jumhur (mayoritas)
ulama menyatakan bahwa seorang laki-laki yang akan meminang kepada seorang
wanita disunahkan untuk melihatnya atau menemuinya sebelum melakukan khitbah
atau pinangan secara resmi.
Rasulullah SAW mengizinkan hal itu dan
menyarankannya dan tidak disyaratkan untuk meminta izin kepada wanita yang
bersangkutan. Landasan hukum untuk melakukan hal itu adalah hadis sahih riwayat
Muslim dari Abu Hurairah RA berkata :
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ
إِنِّى تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً مِنَ الأَنْصَارِ.فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ صلى الله
عليه وسلم هَلْ نَظَرْتَ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِى عُيُونِ الأَنْصَارِ شَيْئًا.[5]
Artinya :
Dari Abu Hurairah berkata, Aku pernah
bersama Rasulullah SAW lalu datanglah seorang lelaki, menceritakan bahwa ia
menikahi seorang wanita dari kaum anshar, lalu Rasulullah SAW menanyakan,
"Sudahkah anda melihatnya” Karena
pada mata kaum anshar (terkadang) ada sesuatunya.(HR. Muslim)
Para Ulama sepakat bahwa melihat wanita
dengan tujuan khitbah tidak harus mendapatkan izin dari wanita tersebut,bahkan
diperbolehkan tanpa sepengetahuan wanita yang bersangkutan. bahkan
diperbolehkan berulang-ulang untuk meyakinkan diri sebelum melangkah lebih
jauh. ini karena Rasulullah Saw dalam hadis diatas memberikan izin secara
muthlaq dan tidak memberikan batasan. Selain itu, wanita juga kebanyakan malu
kalau diberi tahu bahwa dirinya akan dikhitbah oleh seseorang. begitu juga
kalau diberitahukan saebelumnya, maka dapat menyebabkan kekecewaan di pihak
wanita, apalagi bila tidak jadi menikah dengannya. maka para ulama mengatakan,
sebaiknya melihat calon istri dilakukan sebelum khitbah resmi, sehingga kalau
ada pembatalan tidak ada yang merasa dirugikan.
Boleh mengamati atau menyelidiki calon istri
tanpa sepengetahuannya, hal ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw berikut :
عن أبي حميدة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا خطب أحدكم امرأة فلا جناح
عليه ان ينظر إليها إذا كان إنما ينظر إليها لخطبته وان كانت لا تعلم[6]
Artinya :
Dari Abi Hamidah berkata, rasulullah bersabda : "Ketika kalian
melamar permepuan maka tak ada dosa bagi kalian untuk melihatnya, jikalau
melihatnya hanya untuk tujuan dilamar (dinikahi), meskipun ia (calon istri)
tidak menegetahuinya." (HR.Ahmad)
Dan boleh menyuruh utusan (wanita) untuk
melihatnya, mengamati serta mengumpulkan informasi keadaan fisik maupun psikisnya, sifat-sifat serta akhlak perilaku
dari calon istri. Sebagaimana hadis :
انه عليه الصلاة والسلام بعث أم سليم إلى امرأة وقال انظري إلى
عرقوبها وشمي معاطفها[7]
Artinya :
Sesungguhnya Nabi SAW pernah menugaskan Ummu Salamah kepada seorang
wanita, kemudian beliau bersabda:"Lihatlah urat keting (urat yang di atas
tumit) dan ciumlah dua sisi lehernya". (Dari Anas RA dalam Kitab Kifayatul
Akhyar)
Atau boleh juga calon suami meneliti dan
melihat seorang wanita yang akan ia
pinang. Sebagaimana hadis berikut :
عن
المغيرة بن شعبة رضي الله عنه قال : خطبت امرأة فذكرتها لرسول الله صلى الله عليه
و سلم قال فقال لي هل نظرت إليها قلت لا قال فانظر إليها فإنه أحرى أن يؤدم بينكما[8]
Artinya :
Dari Mughirah Ibn Syu'bah RA berkata, Saya telah mengkhitbah seorang
perempuan kemudian dia memeberi tahu hal tersebut kepada Rasulullah SAW,
kemudian Nabi berkata kepadaku,"Apakah kamu telah melihatnya?" jawab
saya "Belum", Nabi Saw lalu bersabda kepadanya, "Lihatlah
perempuan itu agar kalian berdua bisa bergaul lebih langgeng." (HR. Baihaqi,
At-Tirmidzi dan Ahmad).
persyaratan yang diperbolehkan melihat adalah
tidak dengan khalwat (berduan saja) dan tanpa persetubuhan.
C.
Hal-Hal Yang Boleh Dilihat Dari
Wanita Yang Di Pinang
Mayoritas ulama berpendapat bolehnya
laki-laki memandang wajah dan kedua telapak tangan dari wanita yang dipinang,
dan ia tidak diperkenankan memandang selain itu. Mereka beralasan pada sabda Rasulullah
Saw:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ أَسْمَاءَ
بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا
بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا
إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Artinya:
Dari Aisyah ra,……Asma’ binti
Abi Bakar masuk ke rumah Nabi saw. Sedangkan ia memakai pakaian yang sempit,
Nabi berpaling daripadanya dan berkata : “Hai Asma’ bila seorang perempuan
telah haid tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini” Nabi mengisyaratkan kepada
muka dan telapak tanganna. (HR.Abu Daud dan Baihaqi)
Alasan lain jumhur ulama adalah, karena
selain wajah dan kedua telapak tangan adalah aurat. Seperti Firman Allah Swt
berfirman :
...وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا
ظَهَرَ مِنْهَا....
Artinya :
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa
(Nampak) dari mereka. (QS. An-Nûr: 31)
Imam An-Nawawi dalam berkata, "Kemudian laki-laki hanya
diperbolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangannya saja; lantaran keduanya
bukan aurat. Dan juga karena wajah menunjukkan cantik tidaknya wanita dan kedua
telapak tangan menunjukkan subur atau tidaknya badan wanita. Ini adalah mazhab
kami dan mazhab kebanyakan para ulama.”[9]
Demikian juga dengan wanita yang dilamar, ia
sebaiknya melihat terlebih dahulu kepada calon suaminya itu yang mengkhitbahnya
sebelum memutuskan menerima atau menolaknya.. Ia berhak melihat laki-laki yang
meminangnya guna mengetahui hal-hal yang bisa menyebabkan ia tertarik
sebagaimana dengan laki-laki melihat faktor-faktor yang menyebabkan ia
tertarik. Apabila ia menyukainya, ia menerimanya dan apabila tidak, tolaklah
dengan cara yang baik dan tidak menyakitkan.
D.
Pandangan Para Ulama Tentang
Melihat Wanita Yang Dipinang
Para ulama
berbeda pendapat menegenai batasan diperbolehkannya pria melihat wanita yang
menjadi objek sebelum khitbah. Perbedaan ini disebabkan karena nash-nash yang
memerintahkan untuk melihat wanita yang dipinang tidak menentukan (mematok)
bagian-bagian mana saja yang boleh dilihat. Namun nash-nash yang ada bersifat
mutlaq (tidak terikat).
Imam Abu Hanifah memperbolehkan untuk
melihat kedua telapak kaki wanita yang dipinang.
Imam Hanbali mengatakan boleh melihat
wanita yang dipinang pada 6 anggota tubuh yaitu : muka, tangan, telapak kaki,
lutut, betis dan kepala. Dikarenakan melihat keenamnya merupakan kebutuhan yang
mendukung berlangsungnya pernikahan, hal ini juga berdasarkan hadits Nabi
“lihatlah kepada dia (wanita yang dipinang)”. Juga berdasarkan apa yang pernah
dilakukan Umar dan Jabir. Wahbah Zuhaily menganggap ini yang paling benar
tetapi ia tidak pernah memfatwakannya.
Imam Dawud Al-Dhahiri dan Ibn Hazm,
seorang ulama tekstualis punya pendapat nyentrik, bahwa boleh melihat semua anggota
badan perempuan kecuali alat kelaminnya, bahkan tanpa baju sekalipun. Alasannya hadist yang memperbolehkan melihat
calon isteri tidak membatasi sampai dimana diperbolehkan melihat. Imam Auza'i
berpendapat bahwa laki-laki boleh berupaya melihat apa yang ia kehendaki untuk
dilihat dari wanita yang dipinang kecuali aurat.. Kedua ulama ini berikut
dengan imam Al-Auza’i berhujjah dengan kemutlakan hadits Rasulullah SAW
berikut :
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ.
(رواه احمد)[10]
Artinya :
Dari Jabir Berkata : Bahwasanya Rasulullah Saw Pernah bersabda ";Jika
salah seorang dari kamu meminang seorang wanita maka bila ia bisa melihat
sesuatu daripadanya yang dapat mendorong untuk menikahinya hendaklah
ia melakukannya.” (HR. Ahmad),
Mereka
juga berpendapat dengan beralasan dengan sabda Nabi SAW berikut ini :
فانظر
إليها فإنه أحرى أن يؤدم بينكما
Artinya :
Lihatlah perempuan itu agar kalian berdua bisa bergaul lebih langgeng.
Ungkapan, "bila ia bisa melihat
sesuatu dari padanya" dan "lihatlah perempuan itu" bersifat mutlak (tidak terbatas).
E.
Analisis dan Keberpihakan Penulis
Setelah
menguraikan masalah Khitbah ini, khususnya tentang melihat wanita yang dipinang
dan segala seluk beluk yang berkaitan dengannya, kami penulis berpendapat,
ketika ada seorang yang hendak mengkhgitbah, maka sang wanita cukup menampakkan
wajah dan kedua telapak tangannya sebagaimana pendapat yang dianut oleh
mayoritas ulama. Adapun jika laki-laki tersebut melihat tanpa sepengetahuan si
perempuan (dengan cara sembunyi-sembunyi) maka ia boleh melihat sesuatu
daripadanya yang dapat mendorong untuk menikahinya. Tekhnik seperti ini (yaitu melihat secara
sembunyi-sembunyi) lebih menjaga perasaan wanita. Apalagi bahwa tahap melihat
masih belum lagi menjadi keputusan akhir sebuah ketetapan pernikahan. Sehingga
kalaulah calon suami kurang menerima kondisi pisiknya, maka wanita itu tidak
merasa telah dilepaskan. Karena itulah dianjurkan untuk melihat wanita yang
akan dikhitbah dengan tanpa sepengetahuan wanita yang bersangkutan.
UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan
peminangan. Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan
yang mengikat dengan perkawinan. Dalam KHI diatur tentang peminangan dalam
pasal 1, 11, 12, dan 13. KHI kurang jelas/mendetail dalam mengatur peminangan,
Dalam pasal 13 sendiri dibahas tentang akibat hukum suatu peminangan. “hukum”
yang dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara laki-laki
yang meminang dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak
menimbulkan akibat hukum yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat hukum
sebagaimana yang tertulis dalam pasal 12 (peraturan pinangan) ayat 3 yaitu
tidak boleh meminang wanita yang masih dalam pinangan orang lain, selama
pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita. Disi
lain, dalam pasal 12 poin 1 yang berbunyi “peminangan dapat dilakukan
terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis
masa iddahnya.” Dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya namun masih dalam masa iddah, boleh dilamar namun
harus dengan cara kinayah (sindiran) tidak boleh menggunakan cara yang shorih
(jelas). Begitu juga dengan seorang wanita yang menjalani masa iddah dari
talaq ba’in dalam bentuk fasakh atau talaq tiga boleh dipinang namun dengan
cara sindiran.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat penulis simpulkan
sebagai berikut :
Khitbah merupakan pintu gerbang menuju
pernikahan. Ia hanya merupakan mukaddimah atau pendahuluan bagi perkawinan
dan pengantar kepadanya. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan
pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki
terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Bahwa secara syar’i mubah bagi seorang
laki-laki untuk melihat perempuan calon isterinya sebelum terjadinya khitbah
dari lelaki itu kepada pihak perempuan. Namun dalam melakukannya, tidak boleh
dilakukan dengan berkhalwat (berdua-duan secara menyendiri). Tentang melihat
wanita yang dikhitbah, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan
diperbolehkannya pria melihat wanita yang menjadi objek sebelum khitbah.
Perbedaan ini disebabkan karena nash-nash yang memerintahkan untuk melihat
wanita yang dipinang tidak menentukan (mematok) bagian-bagian mana saja yang
boleh dilihat. Namun nash-nash yang ada bersifat mutlaq (tidak terikat).
B.
Saran
Akhir kata, tiada gading yang tak retak,
pepatah itulah yang pantas untuk Makalah yang ada dihadapan pembaca yang
budiman ini, kami selaku penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca untuk kesempurnaan pembuatan makalah selanjutnya dimasa
mendatang. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah wawasan muqaranah
madzahib bagi teman-teman mahasiswa dan memahami setiap perbedaan itu dengan
sikap yang bijaksana.
[1] Wahbah Zuhaili, Fiqhu
al-islam Wa Adillatuhu, Daar al-Fikr : Damaskus, hlm. 3, Juz. 9
[2] Ibnu
Hajar Haitami, Tuhfatul Muhtaj min Syarhil Minhaj, Daar Ihya Turaat al-Arabi,
hlm. 292
[3] DepDikbud, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1994, cet. Ke-3, edisi kedua
[4] Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Alih Bahasa Muammal Hamidy, LC dan Drs. Imran A.manan. Terjemahan
Tafsir Ayat Ahkam Ash-shabuni. PT. Bina Ilmu : Surabaya, 2008, Hlm.267
[5]Abu Husain Muslim Ibn al-Hujaz Ibn Muslim
al-Qusyairi an-Naisabury, Shahih Muslim, Daar al-Afaq al-Zadid: Beirut, hlm. 142, Juz 4
[6] Ahmad Ibn Hambal Abu Abdullah Asy-Syaibany, Musnad
Imam Ahmad Ibn Hambal, Muasasah Qurthabah : Kairo, hlm. 424, Juz. 5
[7] Taqiyuddin Abu Bakar Ibn Muhammad al-Husaini
al-Hushini ad-Dimasyqi al-Syafi'I, Kifayatu al-Akhyar Fii Halli Ghyatul
Ikhtishar, Daar al-Khair: Damaskus, hlm. 354,
Juz 1.
[8] Ahmad Ibn al-husain Ibn Ali Ibn Musa Abu Bkar
al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Maktabah Daar al-Baaz: Makkah
al-Mukaramah, 1994 M/1414 H, hlm. 84, Juz 7. lihat pula Muhammad Ibn Isa Abu
Isa al-Tirmidzi as-Salmi, al-Jami' al-Shahih Sunan al-Tirmidzi, Daar Ihya al-Turats
al-Arabi: Beirut,
hlm. 397, Juz 3. lihat pula Ahmad Ibn Hambal Abu Abdullah Asy-Syaibany, Musnad
Imam Ahmad Ibn Hambal, Muasasah Qurthabah : Kairo, hlm. 244, Juz. 4
[9] Abu Zakariya Yahya Ibn Syarif Ibn Mura
an-Nawawi,al-Minhaj Syarh Shahih Muslim
Ibn al-Hujaz, Daar Ihya at-Turats al-Arabi: Beirut, 1392 H, hlm. 580, juz 3.
[10] Ahmad Ibn Hambal Abu Abdullah Asy-Syaibany, Musnad
Imam Ahmad Ibn Hambal, Muasasah Qurthabah : Kairo, hlm. 334, Juz. 3
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an dan Terjemahan, Depag
RI
Abu Husain Muslim Ibn al-Hujaz Ibn Muslim al-Qusyairi an-Naisabury,
Shahih Muslim, Daar al-Afaq al-Zadid: Beirut
Abu Zakariya Yahya Ibn Syarif Ibn Mura an-Nawawi,al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hujaz, Daar Ihya
at-Turats al-Arabi: Beirut,
1392 H
Ahmad Ibn al-husain Ibn Ali Ibn Musa Abu Bkar al-Baihaqi, Sunan
al-Baihaqi al-Kubra, Maktabah Daar al-Baaz: Makkah al-Mukaramah, 1994 M/1414 H
Ahmad Ibn Hambal Abu Abdullah Asy-Syaibany, Musnad Imam Ahmad Ibn
Hambal, Muasasah Qurthabah : Kairo
DepDikbud, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1994, cet. Ke-3, edisi kedua
Ibnu Hajar Haitami,
Tuhfatul Muhtaj min Syarhil Minhaj, Daar Ihya Turaat al-Arabi
Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Alih Bahasa Muammal Hamidy, LC dan Drs. Imran A.manan. Terjemahan
Tafsir Ayat Ahkam Ash-shabuni. PT. Bina Ilmu : Surabaya, 2008
Muhammad Ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi as-Salmi, al-Jami' al-Shahih Sunan
al-Tirmidzi, Daar Ihya al-Turats al-Arabi: Beirut
Taqiyuddin Abu Bakar Ibn Muhammad al-Husaini al-Hushini ad-Dimasyqi
al-Syafi'I, Kifayatu al-Akhyar Fii Halli Ghyatul Ikhtishar, Daar al-Khair:
Damaskus
Wahbah Zuhaili, Fiqhu
al-islam Wa Adillatuhu, Daar al-Fikr : Damaskus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar