1.
Tinjauan etimologi dan terminologi
fasakh
Fasakh dalam tinjauan bahasa (etimologi) adalah
berasal dari akar kata (mashdar) الفسخ : مصدر من فسخ – فسخ العقد artinya:
membatalkan.[1] فسخ : نقض، إبطال artinya
pembatalan.[2] Kemudian
dalam perkembangannya lafadz fasakh ini diguinakan oleh para fuqoha untuk
dijadikan istilah yang menunjukan arti tertentu.
Fasakh menurut terminology adalah فسخ العقد : نقضه artinya:
menfasakh akad, yang berarti membatalkan. Apabila terjadi pada akad nikah . fasakh
berarti melepaskan ikatan hubungan
antara suami istri.[3] Dalam
definisi lain, Abdul Mujib mengartikan fasakh sebagai pembatalan perkawinan oleh
istri karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, atau si suami tidak dapat memberi belanja atau nafkah, menganiaya,
murtad dan sebagainya.[4]
Begitu pula menurut Gundur, bahwa fasakh adalah membatalkan akad dan
menghilangkan ikatan hubungan yang menjadi konsekuensi dari akad tersebut.[5]
Dari beberapa pengertian tersebut, berarti fasakh
adalah salah satu bentuk perpisahan yang dapat melepaskan atau membatalkan
ikatan perkawinan.
2.
Perbedaan fasakh dengan thalaq
Imam Syafi’i mengatakan, perpisahan di antara suami
istri memiliki beberapa macam bentuk yang semuanya bisa disebut dengan istilah al
furqah. Namun demikian, di dalam istilah furqah tersebut terdapat nama-nama
yang berbeda-beda.[6] Di
antaranya adalah thalaq, fasakh dan lain-lain.
Perbedaan fasakh dengan thalaq dapat dibedakan menjadi
tiga bentuk di antaranya adalah :[7]
a.
Dipandang dari hakikat keduanya:
fasakh adalah membatalkan akad secara seketika saat diputuskan dan
menghilangkan hubungan yang menjadi konsekuensi dari akad tersebut. Adapun
thalaq adalah berakhirnya akad pernikahan dengan menggunakan lafdz tertentu.[8]
Namun tidak sampai menghilangkan ikatan hubungan perkawinan tersebut seketika
kecuali setelah terjadinya thalaq ba’in (thalaq yang ketiga).[9]
b.
Dipandang dari faktor penyebab
keduanya : fasakh adakalanya disebabkan karena hal-hal yang datang kemudian
(setelah akad), yang keberadaanya justru bertentangan deengan keberadaan
perkawinan itu sendiri. Dan adakalanya disebabkan hal-hal yang munculnya
berbarengan dengan akad atau tidak terpenuhnya syarat akad, yang keberadaannya
menunjukkan tidak lestarinya akad secara total.[10]
Hal-hal yang datangnya setelah akad, contohnya adalah murtadnya istri atau
membangkangnya dari Islam. Kondisi demikian ini (pasangan yang salah satunya
murtad atau tidak seagama) bertolak belakang dengan hakikat pernikahan itu
sendiri yang meniscayakan keharmonisan pasangan yang seagama. Hal-hal yang
tidak memenuhi syarat akad, contohnya adalah syarat baligh (khiyar al-bulugh)
dan syarat kufu’.[11]
c.
Dipandang dari implikasi keduanya
: dasakh tidak mengurangi bilangan thalaq yang dimiliki suami. Berbeda dengan
thalaq, yang dapat mengurangi bilanganya.[12]
Selain thalaq tidak berkurang dengan fasakh, thalaq juga tidak dapat terjadi di
tengah-tengah masa iddahnya fasakh, kecuali fasakh yang disebabkan karena murtad
atau mengingkari Islam, maka thalaq dapat terjadi menurut hanafiyah dengan
pertimbangan, hal itu untuk menghukum pelaku murtad. Adapun di masa iddah
thalaq, bisa saja terjadi thalaq yang lain, dan di malam masa iddah thalaq itu
masih berlaku hukum suami istri. Fasakh yang dilakukan sebelum keduanya
melakukan hubungan intim, maka istri tidak mendapatkan mahar sama sekali.
Adapun thalaq yang terjadi sebelum keduanya melakukan hubungan intim, maka
istri mendapatkan separuh mahar. Jika tidak ada mahar maka perempuan tersebut
berhak mendapatkan mut’ah (pemberian yang dimaksudkan untuk menghibur
hatinya).[13]
Jadi, penulis menyimpulkan bahwa fasakh dan thalaq memiliki
perbedaan yang subtansi berdasarkan penjelasan di atas, walaupun keduanya dua
macam bentuk perpisahan.
3.
Sumber hukum tentang fasakh
Ada
beberapa hadits yang dijadikan dasar pijakan bagi hukum fasakh an-nikah
diantaranya adalah:
عن جميل بن زيد بن كعب أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم تزوج إمرأة من بني غفار فلما دخل عليها فوضع ثوبه وقعد على الفراش أبصر
بكشجها بياضا فنحاز عن الفراش ثم قال خذى عليك ثيابك ولم يأخذ مما أتاها شيئا.
{رواه أحمد}
Dari jamil
bin Zaid bin Ka’ab r.a bahwasannya Rosulullah SAW pernah menikahi seorang
perempuan bani gafar, maka tatkala ia akan bersetubuh dan peremouan itu telah
yang meletakkan kainnya, dan ia duduk di atas pelaminan, kelihatannya putih
(balak) dilambungnya lalu ia berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya
berkata, “ambillah kain engkau, tutpilah badan engkau, dan beliau telah
mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (HR.
Ahmad).[14]
عن يحي بن سعيد بن مسيب أنه قال : قال عمر بن
الخطاب رضي الله عنه : أيما رجل تزوج إمرأة وبها جنون أو جذام أو برص فمسها فلها
صداقها كاملا وذلك لزوجها غرم على وليها. {رواه مالك}
Dari yahya
bin sa’id bin musayyab, ia berkata: umar bin khattab r.a berkata. Bilamana
seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, lalu dari diri perempuan itu
terdapat tanda-tanda gila, kusta, atau bulak, lau disetubuhinya perempuan itu,
maka hak baginya menikahi dengan sempurna (mahar sempurna). Dan yang demikian
itu hak bagi suaminya utang atas walinya.” (Riwayat Malik).[15]
4.
Pembagian dan macam-macam fasakh
Fasakh terbagi
menjadi dua yaitu :
a.
Fasakh karena syarat-syarat yang
tidak terpenuhi ketika akad nikah : [16]
1) Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa isteri merupakan
saudara sepersusuan suami (rada’ah).
2) Pernikahan yang dilaksanakan saat suami isteri masih kecil. Yang
menikahkan keduanya adalah wali selain ayah dan kakeknya. Kemudian setelah
dewasa keduanya berhak memilih untuk meneruskan ikatan perkawinannya itu atau
mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar al-bulugh. Jika keduanya
lebih memilih untuk mengakhiri ikatan suami isteri, maka hal ini disebut fasakh
al-aqdi.
3) Fasakh, karena keduanya dinikahkan pada saat salah seorang dari
keduanya atau kedua-duanya sedang sakit.
4) Fasakh karena pasangan yang tidak se-kufu (imbang).
5) Fasakh karena mahar yang diberikan tidak sesuai dengan mahar
pada umumnya (mahar misli).[17]
b. Fasakh yang dianggap tidak membatalkan akad sejak semula, namun
timbul cacat yang tidak diduga dikemudian hari, menyebabkan keberlangsungan
akad tidak lestari :
1) Apabila salah seorang
dari suami isteri murtad atau keluar dari Islam dan tidak mau kembali sama
sekali, maka akad pernikahannya menjadi batal (Fasakh) karena kemurtadan
tersebut, yaitu murtad yang terjadi setelah sekian lama dari pernikahan.[18]
2) Jika suami yang tadinya kafir itu kemudian masuk Islam, tetapi
istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka akad
pernikahan yang dulu telah dilaksanakan,menjadi batal (Fasakh). Lain
halnya, jika istrinyaitu seorang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti
semula. Sebab perkawinan lelaki muslim dengan wanita ahli kitab adalah sah dari
sejak semula.
3) Salah seorang istri nabi melakukan hubungan intim dengan mertua
atau anak tirinya.[19]
Kemudian fasakh
yang dianggap tidak membatalkan akad sejak semula, dibagi menjadi dua macam :
a. Fasakh yang berimplikasi terhadap batal atau rusaknya akad
pernikahan secara selamanya (Muabbad).[20]
Maka tidak boleh bagi seorang laki-laki menukahi istrinya lagi setelah peristiwa
fasakh ini, dikarnakan fasakh tersebut terjadi akibat dari faktor–faktor yang
berimplikasi pada keharaman menikah diantara keduanya untuk selama-lamanya,
misalnya salah seorang suami istri melakuakn hubungan persetubuhan dengan
mertua atau anak tirinya.
b. Fasakh yang menghalang-halangi hubungan nikah dan
mengharamkannya dengan keharaman yan bersifat temporal (muaqqotan).[21]
Demikian itu dikarenakan fasakh tersebut terjadi akibat keharaman yang bersifat
temporal pula. Oleh karena itu, ketika penghalangnya sudah hilang atau
sembuh maka diperbolehkan kembali untuk menyambung hubungan pernikahan
tersebut.
[1] A.
W. Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997),
Cet. Ke-14, h. 1054
[2]
Atabik Ali, Kamus Kontenporer, (Yogyakarta; Yayasan ali Maksum
Ponpes Krapyak, 1996), h. 1392
[3]
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut; Daar Al-Fikr, 1983), Cet.
Ke-4, h. 268
[4] M.
Abdul Mujied, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta; Pustala Firdaus,
1994), Cet. Ke-1, h. 75
[5]
Ahmad Gundur, At-Thalaq, (Makkah, Daar al-Ma'arif, 1967), Cet.
Ke-1, h. 35
[6]
Muhammad bin Idris Asy-Syafi'I, Al-Umm, (tt, tpn, tth), h. 105 –
106
[7] Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa'adillatuh, (Beirut; Daar Al-Fiqh,
1989), Jilid 8, h. 348 – 349
[8]
Ahmad Gundur, Loc. Cit.
[9]
Sayyid Sabiq, Loc. Cit.
[10]
Wahbah Az-Zuhaili, Loc. Cit.
[11]
Sayyid Sabiq, Loc. Cit.
[12] Ibid.,
h. 269
[13]
Wahbah Az-Zuhaili, Loc. Cit.
[14]
Malik, Muwatha' Malik, (Beirut; Daar al-Fikr, 1974), Ket. Ke-3,
h. 298
[15] Ibid.
h. 299
[16]
Sayyid Sabiq, Loc. Cit.
[17]
Abu Ainaini Al-Badran, Al-Fiqh Al-Muqaran Li Al-Akhwal Asy Syakhsiyah,
(Beirut; Daar
An-Nuhdhah AlArabiyah, tth), Juz.1, h. 295
[18]
Muhammad Ibnu Abidin, Hasiyah Radd Al-Mukhtar, (tt, Daar Al-Fikr,
tth), h 28
[19]
Wahbah Az-Zuhaili, Loc. Cit.
[20]
Badran Abu Ainain Bahran, Op. Cit. h. 296
[21] Ibid.,
h. 297
Tidak ada komentar:
Posting Komentar