Selasa, 09 Oktober 2012

Penetapan Hak Fasakh

Hak melepaskan diri dari ikatan perkawinan tidak mutlak di tangan kaum lelaki. Memang hak thalaq diberikan kepadanya, akan tetapi di sisi lain, kaum wanita juga diberikan hak untuk menuntut cerai ketika ia mengetahui bahwa suaminya telah berbuat menyimpang dalam menunaikan kewajibannya, atau dalam kondisi-kondisi khusus yang lain.[1]
Hal ini dijelasakan bahwa thalaq itu tetap berada di tangan suami, dan istri juga diberi hak untuk melepaskan diri dari suaminya yang dibencinya, atau suami secara sengaja menyakiti istri atau mengganggunya. Dan dengan demikian berarti kita menghalang-halangi kemungkinan kesewenang-wenangan pihak suami dengan hak thalaq yang ada ditangannya yang menyalahi akhlaq Islam.[2]
Dengan adanya ungkapan ini, jelaslah bahwa si istri mempunyai hak pula dalam maslah perceraian. Dia juga dalam keadaan-keadaan tertentu berhak untuk memilih apakah dia akan tetap bersama suaminya atau tidak. Dalam hal ini Rasul sendiri pernah memberikan hak pilih kepada istrinya, apakah ingin bersamanya atau ingin cerai.[3] Sebagaimana dasar di bawah ini :
عن ابن شهاب أنه سمعه يقول إذا خير الرجل إمرأة فختارته فليس ذلك بطلاق. {رواه مالك}.

Dari Ibn Syihab, bahwa ia mendengar dari Rasulullah berkata: apabila suami memberikan hak khiyar kepada istrinya, kemudian istrinya itu melakukan khiyar, maka itu tidak disebut thalaq. (HR. Malik)[4]

Salah satu dari hak istri untuk melepaskan diri dari ikatan ikatan pernikahan ialah dengan jalan menuntut fasakh.



[1] Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet. Ke-1, h. 50-15
[2] Ibid., h. 52
[3] Ibid., h. 53
[4] Malik, Op. Cit. Juz. 10, h. 91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar