Analisis Uji Teknis, Uji Impact, Uji Legalitas dan Uji
Konstitusional
Perda Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003
Tentang Pencegahan Maksiat
Di Susun Oleh;
Widya Hidayati, Dewi Ratna Anggraini, Asep Kustia Erawandi, Ilyas
Ruhiyat, Ahmad Farhan Subhi, Uuf Rouf, Fahmi Firmansyah
1.
Tentang Uji Teknis Pembuatan Peraturan Perundang-undangan
NO
|
ASPEK
|
TERTULIS
|
YANG
SEBENARNYA
|
1.
|
Konsideran
|
Pada pokok pikiran bagian C diakhiri dengan tanda baca titik.
|
Tiap-tiap pokok pikiran diakhiri dengan tanda baca titik
koma.
|
2.
|
Dasar hukum
|
Pada dasar hukum poin 3 dan 10 tidak deiakhiri dengantanda baca.
|
Tiap dasar hukum memuat
lebih dari satu Peraturan perundang-undangan, dan tiap dasar hokum tersebut
diakhiri dengan tanda baca titik koma.
|
3.
|
Diktum
|
Sebelum kata memutuskan hanya terdapat frasa “Dengan P
ersetujuan”
|
Sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa “Dengan Persetujuan
Bersama”.
|
Sebelum kata memutuskan setelah Frasa Dengan Persetujuan tertulis
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI GORONTALO
|
Sebelum kata memutuskan setelah Frasa Dengan Persetujuan Bersama
di tulis tanpa Frasa Provinsi, contohnya seperti: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DAERAH GORONTALO.
|
||
Setelah DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH PROVINSI GORONTALO, tidak disertai dengan
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA …(nama daerah).
|
Setelah DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH GORONTALO, disertai dengan
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA… (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf
capital dan diletakkan di tengah marjin.
|
||
Setelah kata Menetapkan terdapat Frasa Provinsi.
|
Setelah kata Menetapkan tanpa diikuti Frasa Provinsi.
|
||
4.
|
Batang Tubuh
|
Bagian materi pokok yang diatur, pada bagian ketiga, pasal 6 ayat
1, awal kalimat ditulis agak menjorok kedalam.
|
Pada setiap ayat pada pasal, ditulis sejajar kebawah.
|
Penggunaan spasi Bagian materi pokok yang diatur, pada BAB IV
pasal 11 ayat 2 tidak sama dengan pasal yang lain.
|
Setiap ayat menggunakan spasi yang sama dengan ayat dan pasal
lainnya.
|
||
Bagian penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan
daerah, pada awal “Pada tanggal”
ditulis dengan huruf kapital.
|
seharusnya,
Ditetapkan di Gorontalo
pada tanggal 21 November 2003
|
||
Jarak antara penulisan tempat dan tanggal dengan nama jabatan
diberi spasi.
|
Jarak antara penulisan tempat dan tanggal dengan nama jabatan
tidak diberi spasi.
Ditetapkan di Gorontalo
pada tanggal 21 November 2003
GUBERNUR GORONTALO,
|
||
Pada akhir nama jabatan GUBERNUR GORONTALO tidak diberi tanda
koma.
|
Pada akhir nama jabatan diberi tanda koma.
Ditetapkan di Gorontalo
pada tanggal 21 November 2003
GUBERNUR GORONTALO,
|
||
Bagian penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan
daerah, penulisan ” tanda tangan” disingkat dengan “ttd”.
|
Penulisan tanda tangan ditulis dengan “tanda tangan”.
Ditetapkan di Gorontalo
pada tanggal 21 November 2003
GUBERNUR GORONTALO,
tanda tangan
FADEL MUHAMMAD
|
Penjelasan:
1.
Pada
lampiran II Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan
perundang- undangan, Bab I poin 22
disana dijelaskan bahwa, “tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad,
dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri
dengan tanda baca titik koma”. Sedangkan pada konsideran Peraturan daerah
provinsi Gorontalo nomor 10 tahun 2003 tersebut terjadi kesalahan pada penulisannya, yaitu
menggunakan tanda baca titik pada akhir kalimat.
2.
Lampiran II Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang- undangan, Bab I
poin 52 menjelaskan bahwa, “jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan
Perundang-undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka arab 1, 2, 3, dan
seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma”. Sedangkan pada
Peraturan Daerah provinsi gorontalo tersebut tidak menggunakan tanda baca
diakhir kalimatnya.
3.
Lampiran
II Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang- undangan, Bab I
poin 55 menjelaskan bahwa, “Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan
dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin.
Contoh Undang-Undang:
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: ”
Sedangkan
pada Perda tersebut hanya menggunakan Frasa “Dengan Persetujuan”.
4.
Lampiran
II Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang- undangan, Bab I
poin 56 menjelaskan bahwa, “Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan
dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH …
(nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA …(nama daerah), yang ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin.
Contoh:
Peraturan
Daerah
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAWA BARAT
dan
GUBERNUR
JAWA BARAT
MEMUTUSKAN:
Sedangkan pada perda tersebut
tertulis DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI GORONTALO, yakni menggunakan
frasa Provinsi, dan tidak disertai dengan GUBERNUR dan nama daerah maka
seharusnya:
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH GORONTALO
dan
GUBERNUR
GORONTALO
MEMUTUSKAN:
5.
Lampiran
II Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang- undangan, Bab I
poin 59 menjelaskan bahwa, “ Jenis dan nama yang tercantum dalam judul
Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Provinsi,
Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri
dengan tanda baca titik”.
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN.
Sedangkan
dalam perda tersebut menggunakan frasa Provinsi. maka seharusnya:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN MAKSIAT
6.
Lampiran
II Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang- undangan, Bab I
poin 166, menjelaskan bahwa, Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf
kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Contoh:
Ditetapkan di
Jakarta
pada tanggal 22
Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
tanda tangan
SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Sedangkan pada Perda tersebut pada
akhir nama jabatan GUBERNUR GORONTALO tidak diberi tanda koma. Maka seharusnya:
Ditetapkan di Gorontalo
pada tanggal 21 November 2003
GUBERNUR GORONTALO,
tanda tangan
FADEL MUHAMMAD
2.
Tentang Uji Impact Peraturan Perundang-undangan
Pertanyaan selanjutnya mengenai akar masalah sosial yang menjadi
latar belakang pembentukan PUU itu apa? Apakah PUU tersebut bisa mengatasi
masalah sosial yang dimaksud? Jawabannya sebagai berikut
a.
Masalah
sosial yang melatar belakangi pembentukan PERDA Provinsi Gorontalo no 10 tahun
2003 tentang pencegahan kemaksiatan adalah :
Berbagai bentuk maksiat sudah sangat meresahkan, mengganggu keamanan,
ketertiban serta sendi-sendi kehidupan masyarakat gorontalo, dan ini dianggap
sebagai masalah sosial karna 1. kemaksiatan meresahkan banyak orang, 2. Kemaksiatan
di provinsi Gorontalo terjadi berulang kali, 3. Berdampak luas pada sendi-sendi
kehidupan masyarakat gorontalo.
b.
Intervensi : pemerintah daerah membentuk PERDA Provinsi
Gorontalo no 10 tahun 2003 tentang pencegahan kemaksiatan.
c.
Dampak
:
1.
Keresahan
(kekhawatiran) dari aksi sweeping oleh milisi sipil/ kelompok keagamaan garis
keras.
2.
Ketakutan
karna razia WTS (wanita tuna susila) bagi sejumlah perempuan untuk beraktifitas
di luar rumah dalam rentang waktu jam 24.00 sampai dengan 04.00, sehingga mematikan
hak kebebasan perempuan dalam beraktifitas.
sesungguhnya dampak ini, yakni keresahan dan ketakutan telah
melanggar hak rasa aman dan bertentangan dari Undang-undang Republik Indonesia
no 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang termaktub dalam pasal 9 ayat
(2) yang berbunyi: Setiap orang berhak
hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Dan pasal 30 yang berbunyi: Setiap orang
berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.
3.
Adanya
diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana yang tercantum pada pasal 6 bagian
ketiga.
Dampak ini bertentangan
dengan pasal 4 UU no. 39 tahun 1999 yang menyatakan bahwa “setiap orang
memiliki Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun”.
d.
Alternative
Intervensi: upaya untuk mengatasi masalah sosial ini yang perlu ditekankan
adalah pada cultur hukum, sebab untuk mengubah cultur hukum masyarakat yang
cenderung melakukan maksiat itu harus diawali dengan pensisoalisasian yang
lebih mendalam dan terarah kepada mereka sehingga kesadaran masyarakat menjadi
tinggi.
Apakah Perda
ini bisa mengatasi masalah? Melihat dari dampak yang ada, maka PERDA ini tentu
tidak akan mengatasi masalah dan bahkan memungkinkan untuk tumbuhnya masalah
baru. Artinya PERDA ini tidak mengatasi masalah karna, mencegah tidaklah harus
diiringi dengan sanksi, melainkan dengan sosialisai. Dan masalah baru tersebut
misalnya rasa kekhawatiran akan timbul dari kaum perempuan yang hendak
beraktifitas di luar rumahnya dalam rentang waktu pukul 24.00-04.00, karna
takut akan terkena Razia. Hal inilah yang menyebabkan rasa ketidak adilan.
Dan kemudian
bayangkan jika seorang perempuan melanggar pasal 6 bagian ketiga, yakni keluar
rumah sendirian dalam rentang waktu pukul 24.00-04.00, dan kemudian di tengah
perjalanan diperkosa, apakah perempuan ini juga harus mendapat sanksi. lantas
dimana letak keadilan PERDA ini. Maka dari itulah kami menyatakan bahwa PERDA
ini tidak dapat mengatasi masalah sosial.
3.
Tentang Uji Legalitas Peraturan Perundang-undangan
No
|
DASAR
TERTULIS
|
JENIS
DASAR
|
KETERANGAN
|
||
DASAR
HUKUM KEWENANGAN
|
DASAR
HUKUM MEMERINTAHKAN
|
DASAR
PENDUKUNG
|
|||
1
|
Undang-undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951 tentang Daerah Adat.
|
|
√
|
|
Sesuai dengan
substansi Perda
|
2
|
Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3250).
|
|
|
√
|
Sesuai dengan sebagian
substansi Perda dan tidak sesuai dengan sebagiannya.
|
3
|
Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3250).
|
|
|
√
|
Sesuai dengan sebagian
substansi Perda dan tidak sesuai dengan sebagiannya.
|
4
|
Undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara tahun 1992 Nomor 100, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3495).
|
|
|
√
|
Sesuai dengan sebagian
substansi Perda dan tidak sesuai dengan sebagiannya.
|
5
|
Undang-undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Phisikotropika (Lembaran Negara tahun 1997, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3673).
|
|
|
√
|
Sesuai dengan sebagian
substansi Perda dan tidak sesuai dengan sebagiannya.
|
6
|
Undang-undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara tahun 1997, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3698).
|
|
|
√
|
Sesuai dengan sebagian
substansi Perda dan tidak sesuai dengan sebagiannya.
|
7
|
Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).
|
√
|
|
|
Sesuai dengan
substansi Perda
|
8
|
Undang-undang Nomor 38
Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara tahun 2000
Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4060).
|
√
|
|
|
Sesuai dengan
substansi Perda
|
9
|
Undang-undang Nomor 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Provinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara
tahun 2000 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952).
|
√
|
|
|
Sesuai dengan
substansi Perda
|
10
|
Keputusan Presiden
RI Nomor 44 Tahun 1999 tentang Tekhnik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Peraturan
Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor
70).
|
|
|
√
|
Sesuai dengan sebagian
substansi Perda dan tidak sesuai dengan sebagiannya
|
Penjelasan:
Undang-undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Daerah Adat menjadi dasar hukum yang memerintahkan
pembentukan Perda ini dan sesuai dengan substansinya, karena Provinsi Gorontalo
merupakan Daerah Adat ke-9 dari 19 Daerah Hukum Adat di Indonesia yang memiliki
budaya dengan landasan filosofi Adat bersendikan syara’ dan syara’ tersebut
bersendikan Kitabullah yang perlu dipertahankan. Berkenaan dengan substansi
syara’ yang terdapat didalam Perda ini, bahwa syara’ sudah menjadi kebiasaan
hukum ditengah-tengah masyarakat Adat Gorontalo sehingga substansi hukum dalam
Perda ini mewakili perilaku atau kebiasaan masyarakat Adat Gorontalo.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara tahun 1974 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3250) menjadi dasar pendukung Perda ini dan
bukan merupakan dasar hukum, selanjutnya tertera karena undang-undang ini
sesuai dengan sebagian substansi Perda. Undang-undang ini telah mengatur secara
keseluruhan mengenai perihal aturan perkawinan, status hukum perihal perkawinan
serta sanksi dalam perkara perihal perkawinan dan dalam Perda ini terkait
dengan BAB III bagian kedua mengenai pencegahan perkawinan yang tidak sah. Akan
tetapi mengenai sanksi dalam Perda mengenai hal ini tidak sesuai dengan sanksi
yang sudah diatur terlebih dahulu oleh Undang-undang ini.
Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3250) menjadi dasar pendukung Perda ini dan
bukan merupakan dasar hukum, selanjutnya tertera karena undang-undang ini
sesuai dengan sebagian substansi Perda. Undang-undang ini telah mengatur secara
keseluruhan mengenai perihal beracara dalam ruang lingkup pidana dan dalam
Perda ini terkait dengan BAB VI mengenai penyidikan.
Akan
tetapi untuk aturan yang tertera dalam VII mengenai sanksi pidana dalam perda
ini tidak terdapat dasar pendukungnya dan sanksi dalam Perda ini tidak sesuai
dengan aturan dalam Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan
berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
untuk seluruh wilayah RI dan mengubah kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495) menjadi dasar pendukung Perda ini dan
bukan merupakan dasar hukum, selanjutnya tertera karena undang-undang ini
sesuai dengan sebagian substansi Perda. Undang-undang ini telah mengatur secara
keseluruhan mengenai aturan perihal kesehatan dan dalam Perda ini hanya terkait
dengan bahaya alkohol dan penyalahgunaan narkoba bagi kesehatan yang aturan
pencegahannya terdapat pada BAB III bagian Keenam dan Ketujuh.
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Phisikotropika (Lembaran Negara tahun 1997, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3673) menjadi dasar pendukung Perda ini dan bukan
merupakan dasar hukum, selanjutnya tertera karena undang-undang ini sesuai
dengan sebagian substansi Perda. Undang-undang ini telah mengatur secara
keseluruhan mengenai Phisikotropika serta sanksi pidananya dan dalam Perda ini
hanya terkait dengan BAB III bagian Ketujuh mengenai pencegahan, penyebaran dan
penyalahgunaan Narkoba. Akan tetapi mengenai sanksi dalam Perda mengenai hal
ini tidak sesuai dengan sanksi yang sudah diatur terlebih dahulu oleh
Undang-undang ini.
Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara tahun 1997, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3698) menjadi dasar pendukung Perda ini dan bukan
merupakan dasar hukum, selanjutnya tertera karena undang-undang ini sesuai
dengan sebagian substansi Perda. Undang-undang ini telah mengatur secara keseluruhan
mengenai Narkotika serta sanksi pidananya dan dalam Perda ini hanya terkait
dengan BAB III bagian Ketujuh mengenai pencegahan, penyebaran dan
penyalahgunaan Narkoba. Akan tetapi mengenai sanksi dalam Perda mengenai hal
ini tidak sesuai dengan sanksi yang sudah diatur terlebih dahulu oleh
Undang-undang ini.
Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839) menjadi dasar hukum kewenangan
pembentukan Perda ini sesuai dengan Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang tentang Pembentukan
Daerah dalam hal ini Undang-undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan
Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4060).
Undang-undang
Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara
tahun 2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4060) menjadi dasar hukum
kewenangan pembentukan Perda ini sesuai dengan Pasal 18 ayat (6) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang tentang
Pembentukan Daerah.
Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Provinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara
tahun 2000 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952) menjadi dasar hukum
kewenangan pembentukan Perda ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839) dan Undang-undang tentang Pembentukan Daerah dalam
hal ini Undang-undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi
Gorontalo (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4060).
Keputusan
Presiden RI Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Tekhnik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Peraturan
Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor
70) menjadi dasar pendukung Perda ini dan bukan merupakan dasar hukum,
selanjutnya tertera karena undang-undang ini sesuai dengan sebagian substansi
Perda. Undang-undang ini telah mengatur secara keseluruhan mengenai tekhnik
penyusunan serta penulisan perundang-undangan yang diterapkan dalam Perda ini.
Akan tetapi hanya sebagian yang diterapkan karena masih terdapat beberapa
aturan yang tidak sesuai dengan aturan yang sudah diatur terlebih dahulu oleh
Undang-undang ini, seperti tekhnis penulisan yang masih kurang tepat dan
menyalahi aturan Undang-undang ini.
4.
Tentang Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-undangan
No
|
Norma Dasar
|
Mendukung
Konstitusi
|
Melanggar
Konstitusi
|
Usulan
Alternatif
|
1
|
Pasal 3 tentang pencegahan zina
ayat 1 dan ayat 2
|
Pasal 3 ini mendukung hak
konstitusional warga Negara, sesuai dengan Pasal 28 B ayat 1 yang berbunyi: “Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah”.
|
||
2
|
Pasal 4 ayat 1, ayat 2, ayat 3,
ayat 4, ayat 5, dan ayat 6
|
Pasal tersebut tidak bertentangan dengan
kontitusi.
|
|
|
3
|
Pasal 5 tentang
|
Pasal tersebut tidak bertentangan
dengan konstitusi
|
|
|
4
|
Pasal 6 Tentang Pemerkosaan ayat
1, ayat 2, dan ayat 3
|
|
Pasal 6 ini melanggar konstitusi
karena pasal tersebut bias gender
|
Lembaga legislasi provinsi
Gorontalo harusnya dalam merumuskan pasal 6 ini berangkat dari paradigama
persuatif, maka rumusan yang kami usulkan adalah “Pemerintah provinsi
menjamin keamanan setiap perempuan yang keluar rumah malam hari”
|
5
|
Pasal 7 Tentang pencegahan
pornografi dan pornoaksi ayat 1 dan ayat 2
|
Pasal tersebut tidak bertentangan
dengan konstitusi
|
|
|
6
|
Pasal 8 tentang pencegahan judi
|
Tidak bertentangan dengan
konstitusi
|
|
|
7
|
Pasal 9 pencegahan minuman
berahkohol ayat 1 dan 2
|
Tidak bertentangan dengan
konstitusi
|
|
|
8
|
Pasal 10 tentang pencegahan
pengedaran dan penyalahgunaan narkoba
|
Pasal tersebut tidak bertentangan
dengan konstitusi
|
|
Hukumannya terlalu ringan bagi
yang melanggar, karena UU yang lebih tinggi (UU Nomor 35 tahun 2009)
menghukum pelaku dengan pidana mati, seumur hidup, pidana penjara paling lama
20 tahun dan paling sedikit 6 tahun.
|
9
|
Pasal 14 tentang ketentuan pidana
|
Ketentuan pidana pasal tersebut
tidak bertentangan dengan kontitusi kalau berlaku hanya untuk pasal 3, pasal
4, pasal 5, pasal 7, pasal 8, dan pasal 9.
|
Pasal tersebut bertentangan dengan
kontitusi karena di berlakukan untuk pasal 6, karena pasal 6 tersebut sangat
bias gender dan diskriminatif bagi perempaun.
|
Pasal 6 menurut kami sangat bias
gender, diskriminatif dan merugikan kaum perempuan yang seharusnya di
lindungi oleh Negara. Maka usulan kami adalah, pasal 6 tersebut harus di
cabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
Penjelasan :
Pasal-pasal sebagaimana telah kami nyatakan
“tidak bertentangan dengan konstitusi” adalah pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal
7, pasal 8, pasal 9, dan pasal 10. Adapun norma-norma dasar yang diatur dalam
perda tersebut yang kami anggap bertentangan
dengan kontitusi adalah pasal 6 seluruhnya.
Pasal-pasal yang tidak bertentangan tersebut
menurut kami tidak ada yang dirugikan
hak-hak konstitusionalnya atas perda tersebut. Kalau kita melihat sejarah, bahwa nilai-nilai Islam seperti halnya nilai-nilai adat dan Barat
telah ratusan tahun hidup dalam pergaulan masyarakat Indonesia sehingga
nilai-nilai itu bisa diserap ke dalam peraturan perundang-undangan sepanjang untuk
kemaslahatan bersama.
Selain
alasan tersebut, pada perda bernuansa
syariah kita bisa melihat perda tersebut dengan berbagai pendekatan yaitu, (1)
demokrasi, yaitu bahwa Perda tersebut dalam hal ini perda provinsi Gorontalo
tentang pencegahan maksiat sudah disusun secara konstitusional, (2) kewenangan,
DPRD dan Pemerintah Daerah berwenang membuat Perda, dan (3) segi kemanfaatan,
yaitu bahwa Perda itu justru untuk mendidik generasi bangsa khususnya
masyarakat provinsi Gorontalo ke arah kebaikan.
Kalau
kita rujuk kembali pasal 3, pasal 4 , pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal
9 tidak melanggar undang-undang atau aturan di atasnya, jadi keberadaan pasal-pasal
tersebut tidak menjadi masalah. Karena pada prinsipnya semua hukum yang ada tak
boleh bertentangan dengan undang-undang atau aturan di atasnya.
Misalnya
pasal 3 mengatur tentang pencegahan
perzinahan dengan cara pelarangan laki-Iaki dan perempuan secara bersama-sama
atau berpasangan yang bukan suami istri berada di tempat dan atau waktu
tertentu yang tidak patut menurut norma agama,kesusilaan dan adat istiadat
sangat mendukung pasal 28 I point 4 UUD 1945, yaitu Perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah. Dalam hal ini hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan dengan perkawinan yang sah (pasal 28 B UUD 1945).
Kemudian
pasal 4 mengenai pencegahan perzinahan dengan cara preventif yaitu pelarangan
setiap orang, tempat hiburan, hotel, dan panti pijat untuk tidak menerima,
mendirikan, menyediakan, dan melakukan praktek pelacuran tidaklah bertentangan
dengan kontitusi kita yang tercantum dalam UUD 1945, yaitu pasal 28 J yang
menyatakan; Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Selanjutnya
norma pokok dalam pasal 5 yang mengatur tentang pencegahan perkawinan yang
tidak sah dengan melarang setiap orang menikahkan seorang perempuan dengan
seorang laki-laki,kecuali oleh wali yang berhak atau pejabat yang berwenang.
Pasal ini merupakan kristalisasi dari pasal 28B ayat 1 yang berbunyi “Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah”, untuk menjamin hak tersebut selain diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, merupakan hak inisiatif DPRD Provinsi Gorontalo, bukan
tanpa dasar hukum DPRD Provinsi Gorontalo membuat perda tersebut.
Faktor
yang amat perlu diperhatikan dalam pembuatan perda adalah (1) mengutamakan
keadilan, (2) jangan bertentangan dengan ketentuan hak-hak dan kewajiban asasi
manusia seperti yang tertera di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, (3) berdasarkan kedaulatan rakyat, artinya yang membuat
itu adalah DPRD bersamasama dengan Pemerintah, Gubernur, atau Bupati/ Walikota,
(4) Perda itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di
atasnya, (5) Perda itu harus bermanfaat bagi masyarakat, terutama dalam bidang
ketertiban dan keamanan.
Dalam perda tersebut yaitu pasal 6 disebutkan:
(1) Setiap perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah
tanpa ditemani muhrimnya pada selang waktu pukul 24:00 sampai dengan pukul
04:00, kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. (2) Setiap
perempuan di tempat umum wajib berbusana sopan. (3) Dilarang menyelenggarakan
kegiatan pemilihan atau lomba kecantikan yang menampilkan perempuan dengan
busana yang minim dan atau ketat.
Pasal-pasal ini bias gender karena seakan-akan
pasal tersebut hanya menyalahkan perempuan. Ada kesan bahwa pasal ini bertujuan
untuk menembak pekerja seks komersial (PSK) yang mangkal di tempat umum,
seperti tepi jalan raya, taman, dll. Akan tetapi tembakan itu salah sasaran
karena pekerja seks tidak hanya berada di tempat umum. Yang dirugikan justru
perempuan yang bukan pekerja seks yang harus ada di luar rumah pada rentang waktu
itu dengan berbagai alasan: Seperti pulang kerja, ke apotek, ke rumah teman,
dan keperluan lain-lain yang harus dan bersifat darurat misalanya. Sedangkan
pekerja seks hilir mudik, naik motor atau mobil memenuhi panggilan lelaki buaya,
bahkan komunikasi mereka sudah sangat canggih dengan tidak memalui face to
face, akan tetapi dengan menggunakan media komunikasi seperi Handphone,
Blackbary dan bahkan ada yang menggunakan media sosial seperi Facebook, twiter
dan lain-lain.
Pasal-pasal 6 inipun menempatkan perempuan
sebagai pelengkap penderita. Kalau saja aparat di Pemprov Gorontalo dan anggota
DPRD Prov. Gorontalo yang dipakai adalah paradigma perspektif gender, maka
pasal itu berbunyi: Pemerintah provinsi menjamin keamanan setiap perempuan yang
keluar rumah malam hari. Ini baru pasal yang beradab karena tidak bias gender
dan melindungi perempuan yang dianggap oleh laki-laki sebagai makhluk yang
lemah. Bahkan, ada sikap yang menempatkan perempuan sebagai subordinat dari
laki-laki.
Bias gender selain dari pasal 6 tersebut,
tercantum juga dalam pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana yaitu pasal 14, disebutkan dalam pasal 14 tersebut:
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 6 Peraturan Daerah ini diancam
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp
5.000.000 (lima juta rupiah). Jika kita kembali pada pembahasan sebelumnya, setiap
orang yang dimaksud dalam pasal 6 tersebut adalah perempuan.
Asumsinya adalah, jika seorang perempuan di wilayah
Provinsi Gorontalo yang keluar malam pada rentang waktu antara pukul 24.00 dan
pukul 04.00 diperkosa, maka berdasarkan perda ini perempuan tadi sudah
melanggar pasal 6 ayat 1. Maka, yang ditindak adalah perempuan korban perkosaan
tadi karena melanggar hukum yaitu melakukan perbuatan sesuai pasal 6 ayat 1.
Dalam perda ini tidak ada ancaman hukuman untuk laki-laki yang mempekosa.
Sebaliknya, perempuan korban perkosaan menderita sepanjang hidupnya.
Padahal menurut falsafah Pancasila manusia
adalah ciptaan Tuhan dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa
Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan musyawarah dan
mufakat.
Dalam Pembukaan UUD tahun 1945 pun diakui bahwa
setiap individu dan warganegara adalah manusia merdeka dan tidak boleh mendapat
diskriminasi berdasarkan apapun termasuk berdasarkan pembedaan jenis
kelamin.
Selanjutnya dalam pasal-pasal UUD tahun 1945
terdapat ketentuan mengenai HAM pasal 28I yang menyatakan bahwa perempuan
dan laki-laki berhak atas kehidupan dan kemerdekaan dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif dan berhak mendapat perlindungan terhadap
perlakuan diskriminatif tersebut.
Indonesia adalah negara hukum. Prinsip
negara hukum mendudukan adanya supremasi hukum yang berarti hukum
melandasi setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka
negara hukum terdapat persamaan substantive yaitu setiap kebijakan, sikap dan
tindakan dalam semua aspek kehidupan harus bertujuan memenuhi hukum
dan HAM bagi laki-dan perempuan.
Instrumen hukum yang melandasi kesetaraan dan
keadilan bagi perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara anatara
lain: UUD Tahun 1945, UU.NO. 68 tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi
internasional mengenai Hak-hak politik perempuan, UU.NO. 7 tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi internasional CEDAW, UU.NO. 39 Tahun 1999 tentang
HAM, UU.NO. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan konvensi internasional
mengenai hak-hak ekosoc, dan UU.NO. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan
konvensi internasional mengenai hak-hak politik dan sipil
Secara sosiologis banyak masalah ketidakadilan
yang dialami perempuan dan ditemukan berbagai
diskriminasi berbasis gender. Budaya patriarchi masih menguat dalam masyarakat
sehingga ketidakadilan gender dan kebijakan bias gender sering terjadi.
Banyak masalah ketidakadilan gender yang bisa diidentifikasi dalam
berbagai aspek kehidupan, seperti dalam kehidupan politik dan
publik, dalam pekerjaan dan kehidupan yang layak, dalam pendidikan,
kesehatan, dalam hukum dan perlindungan dan pemenuhan HAM
perempuan.
Atas pertimbangan yang telah kami paparkan
diatas, pasal 6 itu bersifat bias gender, diskriminatif dan merugikan
perempuan. Dan pasal 6 tersebut dinyatakan inkonstitusional (bertentangan
dengan UUD 1945).
Norma
dasar dalam pasal 7 mengatur tentang pencegahan pornografi dan pornoaksi dengan
pelarangan setiap orang di tempat umum dengan sengaja mempertontonkan bagian
tubuh dan atau bertingkah laku tidak senonoh sehingga dapat merangsang nafsu
birahi, dan pelarangan pemilik dan atau pengelola warung internet (warnet)
member kesempatan kepada setiap orang untuk mengakses situs-situs porno di
internet. Melihat realita dalam masyarakat terjadinya berbagai kasus pornografi
dan pornoaksi, setidaknya perda ini merupakan kontrol pemerintah terhadap
masyarakatnya, dengan maksud untuk melindungi dan mencegah bahaya yang lebih
besar akibat dari penyebarluasan konten pornografi dan pornoaksi. Mengenai
konten pornografi dan pornoaksi diatur juga di dalam UU No. 11 tahun 2008
tentang Informasi dan transaksi Elektronik pasal 27, pelarangan setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Sehingga pasal ini tidak melanggar
UUD 1945 malah mendukung UUD 1945 sebagai kontitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 8 tentang pencegahan perjudian, pasal 9
tentang pencegahan minuman beralkohol dan pasal 10 tentang pencegahan
pengedaran dan penyalahgunaan narkoba tidak bertentangan dengan konstitusi,
apalagi Maraknya narkotika dan obat-obatan terlarang telah banyak
mempengaruhi mental dan sekaligus pendidikan bagi para pelajar saat ini. Masa
depan bangsa yang besar ini bergantung sepenuhnya pada upaya pembebasan kaum
muda dari bahaya narkoba. Narkoba telah menyentuh lingkaran yang semakin dekat
dengan kita semua. Teman dan saudara kita mulai terjerat oleh narkoba yang
sering kali dapat mematikan. Upaya pemerintah Provinsi Gorontalo denga Perda
tersebut merupakan upaya yang mulia, karena menyangkut penyelamatan generasi
pemuda-pemuda Gorontalo akan bahaya laten Narkoba. Karena kita ketahui bahwa
dampak dari Minuman Beralkohol, dan Penyalah gunaan Narkoba sangat menalkutkan,
merusak moral, fifsik dan fsikis generasi muda kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar