HUKUM KELUARGA ISLAM
(FAMILY OF LAW)
DI SAUDI ARABIA
Oleh
UUF ROUF
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saudi
Arabia merupakan Negara yang menggunakan sistem kerajaan atau monarki. Hukum yang
digunakan adalah hukum syariat Islam dengan berdasarkan pada pengamalan ajaran
Islam yang juga didasari oleh pemahaman sahabat nabi terhadap Al-Quran dan
Hadits.
Di
samping sistem hukum syariat, hukum yang dilaksanakan pemerintah Saudi juga
menerapkan regulasi-regulasi dan juga membangun lembaga-lembaga untuk menangani
kasus-kasus yang tidak dicakup oleh syariat. Ini dirancang supaya sesuai dengan
prinsip-prinsip syariat dan melengkapinya, bukan malah menggantinya. Hasilnya
adalah sebuah system hukum ganda, yang keseluruhannya berdasarkan syariat dan
bersifat otonomi yang tidak terlepas dari syariat.
Saudi
Arabia termasuk Negara Islam yang hukum keluarganya bersifat uncodified law,
itu berarti hukum keluarga Islam di Negara tersebut belum diatur dalam bentuk
tertulis.
Saudi
Arabia dikenal sebagai salah satu Negara muslim terbesar dan dikenal pula
sebagai tempat awal mula Islam masuk. Kemudian Negara ini juga dikenal sebagai
Negara yang menjadikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar konstitusinya dengan
Madzhab Hambali sebagai madzhab Negara. Hal-hal di atas berimplikasi pada
penerapan hukum publik maupun hukum privat di Negara tersebut khususnya hukum keluarga.
Tahir Mahmood membagi penerapan hukum keluarga pada
negara-negara (berpenduduk) muslim menjadi tiga bentuk : Pertama negara yang
menerapkan hukum keluarga secara tradisional yang banyak di jazirah Arab dan
beberapa negara Afrika yaitu Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali,
Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia, dan lain-lain. Kedua Negara yang
menerapkan hukum keluarga sekuler, dalam kategori ini adalah Turki, Albania,
Tanzania, minoritas muslim Philiphina dan Uni Sovyet. Bagi negara berpenduduk
mayoritas muslim, mengganti hukum keluarga dengan hukum yang bersumber dari
Eropa (Turki dari Swiss), atau negara dengan penduduk minoritas muslim tapi
harus tunduk pada aturan hukum negaranya. Ketiga adalah Negara yang menerapkan
hukum keluarga yang diperbarui seperti Indonesia, Jordania, Malaysia, Brunei,
Singapore dll.[1][1]
Setidaknya ada tiga belas permasalahan hukum keluarga
dalam proses transformasi hukum keluarga yaitu Pembatasan umur perkawinan,
Kedudukan wali nikah, Pencatatan nikah, Aspek biaya dalam pernikahan, s eperti
mahar dan biaya nafkah, Poligami dan hak istri, Pemeliharaan terhadap istri dan
keluarga selama pernikahan, Perceraian, Nafkah istri setelah cerai, Masa iddah,
Hak kedua orang tua terhadap pemeliharaan anak, Hak waris, Wasiat wajibah dan
wakaf Dari permasalahan hukum keluarga di atas, masing-masing negara mempunyai
pandangan yang berbeda dalam menetapkan hukumnya. Kondisi adat istiadat serta
dominasi mazhab tertentu seringkali menjadi latar belakang untuk menentukan
suatu peraturan hukum. Berkenaan dengan permasalahan di atas, makalah ini akan
membahas mengenai hukum keluarga di Saudi Arabia berikut sistem hukum yang
diterapkan di sana.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat
penulis rumuskan permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi dan sejarah asal muasal Negara Saudi
Arabia?
2. Berdasarkan latar belakang sejarah Saudi Arabia, apa
dampaknya terhadap hukum keluarga di Saudi Arabia itu?
3. Bagaimana Konstitusi dan Sistem Peradilan Saudi Arabia
itu?
4. Bagaimana penerapan hukum keluarga di Saudi Arabia itu?
C. Tujuan
Penulisan
1. Sebagai tugas
mata kuliah “Hukum Keluarga di Dunia Muslim”.
2. Mengetahui
kondisi dan sejarah Saudi Arabia.
3. Mengetahui
dampak latar belakang sejarah Saudi Arabia terhadap Hukum Keluarga.
4. Mengetahui
konstitusi dan sistem peradilan Saudi
Arabia
5. Mengetahui
penerapan hukum keluarga di Saudi Arabia.
BAB II
PEBAHASAN
HUKUM KELUARGA DI SAUDI ARABIA
A.
Sekilas tentang Saudi Arabia
Saudi Arabia terletak di bagian
Barat Daya benua Asia, dan menempati bagian terbesar dari semenanjung Jazirah
Arab (2.000.000 km2). Letak yang istimewa ini menjadikannya memiliki hubungan
dengan kebudayaan-kebudayaan kuno yang telah terbentuk di Timur Tengah.
Berbatasan di sebelah utara dan timur laut dengan Yordania, Kuwait dan Irak. Di
sebelah selatan berbatasan dengan Republik Yaman. Di sebelah Timur Teluk Arab,
Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab dan Kesultanan Oman. Di sebelah barat laut Merah.[2][2]
Pada masa dahulu, daerah Saudi
Arabia dikenal menjadi dua bagian, yakni daerah Hijjaz yakni daerah pesisir
Barat Semenanjung Arab yang didalamnya terdapat kota-kota diantaranya adalah
Mekkah, Madinah dan Jeddah serta daerah gurun sampai pesisir Timur Semenanjung
Arabia yang umumnya dihuni oleh suku suku lokal arab (Baddui) dan kabilah
kabilah arab lainnya.
Saudi Arabia bermula sejak abad ke
dua belas Hijriyah atau abad ke delapan belas Masehi. Ketika itu, di jantung
Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis sangat terkenal,
lahirlah Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud
di "Ad-Dir'iyah", terletak di sebelah Barat Laut kota Riyadh pada
tahun 1175 H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah
Arabia. Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818
M.[3][3]
Periode kedua dimulai ketika Imam
Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi kedua pada tahun 1240 H./1824 M.
Periode ini berlangsung hingga tahun 1309 H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M,
Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan kejayaan kerajaan para pendahulunya,
kembali kota Riyadh yang merupakan ibu kota bersejarah kerajaan ini. Penyatuan
dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan
dimulainya fase baru sejarah Arab modern dan berakhir pada tahun 1953).
Raja Abdul Aziz Al-Saud pada saat
itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja dinasti Saud,
untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam. Di atas
prinsip inilah, para putra sesudahnya mengikuti jejak-langkahnya dalam memimpin
Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah : Raja Saud, putra Raja Abdul Aziz
(1953-1964), Raja Faisal, putra Raja
Abdul Aziz (1964-1975), Raja Khalid, putra Raja Abdul Aziz (1975-1982), Raja Fahd,
putra Raja Abdul Aziz (1982-2005), dan Raja Abdullah, putra Raja Abdul Aziz
(2005- sekarang)
Ditinjau dari segi daerah tempat tinggal, bangsa Arab itu
dapat dibedakan menjadi penduduk pedalaman dan penduduk perkotaan. Penduduk
pedalaman tidak mempunyai tempat tinggal permanen atau perkampungan tetap.
Mereka adalah kaum nomad yang hidup berpindah-pindah dengan membawa binatang
ternak untuk mencari sumber mata air dan padang rumput. Adapun penduduk
perkotaan sudah mempunyai tempat kediaman permanen di kota-kota. Mata
pencaharian mereka adalah berdagang dan bertani. Bangsa Arab terbagi kedalam
dua kelompok yaitu Arab al-Baidat dan Arab al-Baqiyat. Kelompok al-Baidat
adalah orang-orang yang telah lenyap. Seperti kaum 'Ad dan kaum Tsamud.
Sedangkan kelompok al-Baqiyat adalah orang bangsa arab yang masih ada sampai
sekarang.
Kerajaan Saudi terdiri dari sejumlah provinsi yang
dipimpin oleh seorang Gubernur. Setiap Gubernur dibantu oleh Dewan Daerah yang
anggotanya antara lain kepala suku. Disamping sebagai Dewan Daerah kepala suku
juga merangkap sebagai Wali Kota. Untuk menjalankan kekuasaan kehakiman,
diangkat seorang Qadhi mengepalai badan pengadilan yang kekuasaannya hanya
terbatas hanya persoalan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh Syari'ah.
Penduduk Saudi Arabia adalah mayoritas berasal dari kalangan bangsa Arab
sekalipun juga terdapat keturunan dari bangsa-bangsa lain serta mayoritas
beragama Islam.
Hukum yang berlaku di Saudi Arabia adalah hukum yang
berdasarkan Syariat Islam dalam segala sendi kehidupan. Madhab resmi Saudi
Arabia adalah Madhab Hambali dan sebagian kecil ada kelompok Syiah yang
mengikuti madhab Ja'fari.
Di Saudi Arabia, terdapat sebuah badan yang berwenang
membuat segala peraturan demi ketertiban masyarakat. Beberapa peraturan tertentu
dibuat dengan Dekrit Raja yang bertindak tidak saja sebagai pelaksana Eksekutif
tetapi sekaligus juga pembuat Undang-undang. Karena itu, selain berkedudukan
sebagai Kepala Negara dan Pemerintah, Raja juga berperan sebagai Imam atau
Pemimpin Agama.
Sistem pemerintahan di Saudi Arabia
adalah Kerajaan (Monarki). Kabinet bersama Raja merupakan kekuasaan eksekutif
dan regulatif dalam Negara. Perdana Menteri adalah Khadim al-Haramain
asy-Syarifain (Pelayan Dua Kota Suci) Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud,
dan Putra Mahkota adalah Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Al-Saud, Wakil Perdana
Menteri dan Menteri Pertahanan, Penerbangan dan Inspektur Jenderal. Sistem
Judikatif bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah.
Sejarah panjang kerajaan Saudi
sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari peran seseorang bernama Muhammad bin
Abdul Wahab yang bermazhab Hambali dan berusaha keras memurnikan ajaran
ketauhidan. Ia berasal dari dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab
Hambali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia,
tahun 1111 H (1700 M) masehi, dan meninggal di Dar’iyyah pada tahun 1206 H
(1792 M). Pada sekitar tahun 1744 Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung
oleh sang Amir Dar’iyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya
Amir Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab saling membaiat dan saling
memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik dan mazhab Muhammad bin
Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud.
Muhammad bin Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah
kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil
mengawini salah seorang putri Muhammad bin Abdul Wahab.
Tahir Mahmood mengkatagorikan Saudi Arabia
pada negara-negara yang menerapkan hukum Islam secara tradisional, di mana
hukum Islam tidak beranjak menjadi sebuah peraturan perundang-undangan. Dengan
melihat latar belakang sejarah hukum Islam, wilayah jazirah Arab awalnya
menganut mazhab Maliki.[4][4] Namun sejak
perjanjian Amir Muhammad bin Saud dengan Muhammad bin Abdul Wahhab menyebabkan
mazhab Hambali menjadi mazhab resmi di wilayah Saudi Arabia. Oleh karena tidak
adanya peraturan perundang-undangan mengenai hukum Islam di Saudi Arabia, maka
untuk melacak hukum keluarga haruslah melihat pada referensi fiqh Imam Ahmad
bin Hambal.
Ini tidak dimaknai bahwa Saudi Arabia anti kepada
Undang-undang yang bersifat tertulis. Sebab seperti yang diutarakan oleh Edwar
Mortimer, sekalipun dalam teori hukum di Saudi Arabia bersifat abadi, yakni
syariat Tuhan, namun tidak berarti bahwa suatu perundang-undangan dalam
memenuhi suatu kebutuhan baru tidak dibenarkan. Sejak tahun 1950-an, memulai
dekrit, kerajaan telah mengesahkan sejumlah peraturan yang meliputi berbagai
segi kehidupan. Misalnya perdagangan, kebangsaan, pemalsuan, penyuapan,
pertambangan, perubahan dan tenaga kerja, jaminan sosial dan pertahanan sipil.[5][5]
Di Negara-negara yang hukum perkawinannya masih
Uncodified Law, maka hukum perkawinannya didasarkan pada kitab kitab fiqh
madhab yang dianutnya. Pelaksanaan pernikahan serta hal hal lain yang terkait
dengannya seperti talak dan rujuk pada umumnya ditangani oleh para ulama atau
institusi keagamaan setempat yang dianggap berwenang mengenai masalah keagamaan
umat Islam.
B.
Konstitusi dan Sistem Peradilan Saudi Arabia
1. Konstitusi
Saudi
Arabia tidak memiliki konstitusi formal. Kebanyakan dasar-dasar konstitusional Kerajaan
terhimpun dalam Nizham Majlis al-Wuzara’ (Undang-Undang Dewan Menteri).
Undang-Undang Dewan Menteri ini telah direvisi beberapa kali untuk menyesuaikan
dengan perkembangan zaman. Raja Faisal dari tahun 1959 sampai 1960 berusaha
serius untuk menciptakan sebuah konstitusi baru Saudi Arabia, tetapi belum
berhasil. Dalam masa pemerintahannya (1964-1975), Faisal banyak melakukan
perubahan, antara lain mendirikan Kementerian Kehakiman (Wizarah al-‘Adl)
pada tahun 1970 sebagai induk kekuasaan yudikatif. Dalam masa pemerintahan Raja
Khalid ibn ‘Abd al-‘Aziz (1975-1982), pengganti Faisal, juga ada upaya untuk
membuat sebuah konstitusi baru.
Melalui berbagai musyawarah, Raja Fahd ibn ‘Abd
al-Aziz (1982-2005) melanjutkan
upaya pembaharuan konstitusi. Fahd pada tanggal 27 Sya’ban 1412 H menerbitkan al-Marsum
al-Malaki (Titah Raja) No. A/90 Tentang Basic Law of Government
yang terdiri dari sembilan bab dan 83 pasal. Kedelapan Bab tersebut adalah
mengenai (1) Prinsip-Prinsip Umum, (2) Sistem Pemerintahan, (3) Nilai-Nilai
Masyarakat Saudi, (4) Prinsip-Prinsip Ekonomi, (5) Hak dan Kewajiban, (6)
Kekuasaan Negara, (7) Urusan Keuangan, (8) Lembaga Audit, dan (9) Penutup.
Basic
Law of Government tak ubahnya sebuah konstitusi. Pasal 1 Bab I
menyatakan: “Kerajaan Saudi Arabia adalah sebuah Negara Islam berdaulat.
Agamanya Islam. Konstitusinya adalah Kitab Allah, al-Qur’an al-Karim, dan
Sunnah Nabi Muhammad Saw Bahasa Arab adalah bahasa Kerajaan. Kota Riyadh menjadi ibu kota negara.”
2. Sistem
Peradilan
Sebelum berdirinya Kerajaan Saudi Arabia, di wilayah
ini terdapat tiga jenis peradilan. Pertama di wilayah Hijaz yang mempunyai
sistem yang lebih baik dibanding dengan wilayah-wilayah lain. Ini antara lain
karena pembaharuan yang pernah dilakukan oleh Kerajaan Turki Usmani pada tahun
1830, 1856 dan 1876, tetapi sayang sekali penguasa Hijaz Syarif Husain
membatalkan pembaharuan ini pada awal abad keduapuluh.[6][6]
Kedua, di wilayah Nejed (sekitar Riyadh) mengikuti sistem tradisional turun
temurun berdasarkan tradisi yang berlaku dan hukum agama. Sistem ini tidak
pernah mengalami pembaharuan. Penyelesaian sengketa dilakukan oleh hakim dan
amir (raja atau keturunannya yang menjadi penguasa) untuk kepentingan
pihak-pihak yang bersengketa. Biasanya eksekusi putusan hakim dimintakan kepada
amir. Ketiga, di luar dua wilayah di atas, penyelesaian sengketa dilakukan
berdasarkan kebiasan di kabilah-kabilah tertentu yang lebih bersifat arbitrase (tahkm).
Setelah Kerajaan Saudi Arabia berdiri, ketiga sistem
di atas dihapuskan. Berdasarkan Titah Raja (al-Marsum al-Malaki) tanggal
4 Shafar 1346H/1927M maka semua peradilan dirombak menjadi satu sistem. Pasal
24 titah ini menyatakan bahwa peradilan di Saudi Arabia terbagi kepada tiga
tingkatan, yaitu Peradilan Segera (al-mahakim al-musta’jilah), Peradilan
Syar’iyah (al-mahakim asy-syar’iyyah) dan Badan Pengawas Peradilan (Hay’ah
al-Muraqabah al-Qadha’iyyah). Sesuai dengan peraturan baru ini, maka
dibentuk tiga peradilan di Jeddah, Makkah dan Madinah. Sedangkan kota-kota yang
lain mempunyai sistem tersendiri yang juga diatur dengan peraturan tersendiri.
Peradilan Segera mempunyai kewenangan dalam bidang
perdata dan pidana. Kewenangan pidana menyangkut kejahatan yang menimbulkan
luka, qishash, pelanggaran ta’zir tertentu dan hudud.
Kewenangan perdata menyangkut masalah keuangan yang tidak lebih dari 300 riyal
dan putusannya tidak bisa dibanding kecuali putusan yang menyalahi nushush (teks
agama) dan ijma’ (kensensus ahli hukum Islam).
Sedangkan Pengadilan Syar’iyyah menangani selain
wewenang Peradilan Segera dalam berbagai bidang sesuai kompetensinya. Putusan
diberikan berdasarkan ijma’ atau suara terbanyak. Perkara pidana berat
hukuman potong dan mati mengharuskan sidang pleno peradilan.
Sementara itu Badan Pengawas Peradilan berpusat di
Makkah dan juga dinamakan Peradilan Syari’at Agung (al-mahkamah
asy-syari’iyyah al-kubra) yang terdiri dari tiga hakim. Ini merupakan
peradilan banding untuk peradilan yang ada di bawahnya dan sekaligus
mengendalikan administrasi dan pengawasan peradilan. Selain itu, Peradilan
Syari’at Agung juga menerbitkan fatwa-fatwa yang dimintakan kepadanya,
mengawasi pendidikan dan kurikulum pendidikan serta supervisi terhadap
lembaga-lembaga Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.
Pada masa awal berdirinya Kerajaan Saudi Arabia,
peradilan berhubungan langsung dengan Raja. Rajalah yang mensupervisi peradilan
dan putusan-putusan penting diserahkan kepadanya, tetapi kemudian ia
mendelegasikan kewenangan ini secara bertahap kepada hakim-hakim khusus serta
membentuk badan-badan yang dibutuhkan di bawah supervisi Raja. Pengaturan
peradilan menjadi semakin rapih, khususnya ketika Raja Faisal mendirikan
Kementerian Kehakiman pada tahun 1962 dan mengangkat Menteri Kehakiman pada
tahun 1970. Sebelum ini, urusan peradilan berada di bawah kantor Mufti Agung
atau Dewan Mufti, tetapi setelah berdirinya Kementerian Kehakiman, peradilan
langsung berada di bawah kementerian ini, dan jabatan Mufti digabungkan ke
dalam Dewan Tertinggi Peradilan (al-Majlis al-A’la li al-Qadha’) atau
Mahkamah Agung Saudi, yang berdiri kemudian.[7][7]
Dari sini, maka peradilan terbagi kepada dua bagian besar. Pertama adalah
beberapa lembaga peradilan berdiri sendiri yang bersifat peradilan
administratif. Kedua adalah peradilan syar’i atau syar’iyyah (Peradilan
Syari’at Islam) yang langsung berada di bawah Kementerian Kehakiman
Peradilan Berdiri Sendiri antaranya adalah; Diwan al-Mazhalim (literal: Dewan Ketidakadilan), Hai’ah
Muhakamah al-Wuzara’ (Lembaga Peradilan Kabinet), Al-Hai’at
al-Mukhtashshah bi Ta’dib al-Muwazhzhafin (Lembaga Khusus Pendisiplinan
Pegawai), Lajnah Qadhaya at-Tazwir (Komite Perkara-Perkara Pemalsuan), Hai’ah
Hasm an-Niza’at at-Tijariyyah (Lembaga Penyelesaian Sengketa Dagang), Al-Lujan
al-Markaziyyah liqadhaya al-Ghisy at-Tijari (Komite Pusat Perkara-Perkara
Penipuan Dagang), Al-Ghuraf at-Tijariyyah wa ash-Shina’iyyah (Kamar
Dagang dan Industri), Al-Mahkamah at-Tijariyyah (Peradilan Perdagangan),
Lajnah Taswiyah Qadhaya al-‘Ummal (Komite Penyelesaian Perkara Buruh), Al-Majalis
at-Ta’dibiyyah al-‘Askariyyah (Majelis Pendisiplinan Militer), Al-Majalis
at-Ta’dibiyyah li al-Amn ad-Dakhili (Majelis Pendisiplinan Keamanan Dalam
Negeri).
Lembaga peradilan berdiri sendiri yang disebut di atas
adalah semacam peradilan ad.hoc yang tidak berketerusan. Ia ada bila
diperlukan yang mengadili perkara-perkara tertentu dan tidak mempunyai hakim
dan aparat peradilan yang tetap. Bagaimanapun jenis pertama, yaitu Peradilan
Syar’iyah, atau kedua, yaitu Peradilan Berdiri Sendiri masih termasuk dalam
empat jenis peradilan yang disebutkan oleh para fuqaha’ yaitu Peradilan Biasa (al-Qadha’
al-‘Adiyah), Peradilan Diwan al-Mazhalim (Qadha’ al-Mazhalim),
Peradilan Perhitungan (Qadha’ al-Hisbiyyah), dan Peradilan Militer (al-Qadha’
al-‘Askari). Kecuali Peradilan Syar’iyah, maka semua Peradilan Berdiri
Sendiri, termasuk jenis kedua, ketiga dan keempat. Dalam perkembangan
selanjutnya, maka peradilan utama adalah Peradilan Syar’iyyah sebagai peradilan
umum yang berada di bawah Kementerain Kehakiman dan Peradilan Diwan al-Mazhalim
sebagai peradilan administrasi yang berada di bawah Raja.
Diwan al-Mazhalim, Pengadilan Mazhalim pada mulanya di zaman Raja Abd
al-Aziz merupakan tanggapan terhadap keluhan masyarakat tentang ketidakadilan
yang diterima rakyat. Raja menyediakan waktu tertentu dalam sebulan untuk
mendengarkan keluhan masyarakat, lalu ia mencarikan jalan keluarnya. Ketika
keluhan masyarakat semakin banyak dan jenisnya juga semakin beragam, akhirnya
pada tanggal 12.6.1373H/1954M dibentuk sebuah badan resmi negara dengan nama Diwan
al-Mazhalim langsung di bawah Kantor Perdana Menteri. Badan inilah yang
menangani keluhan masyarakat secara profesional. Keluhan yang ditangani
termasuk kesalahan yang dilakukan oleh para hakim, pejabat pemerintah dan
kontrak-kontrak yang dilakukan warga negara yang melibatkan pihak asing atau
lembaga pemerintah. Lembaga ini juga menangani keluhan masalah distribusi
barang-barang, perwakilan-perwakilan perdagangan, sengketa maritim dan semua
sengketa perdagangan selain bank.
Peradilan Syar’iyyah Sesuai Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 1975,
maka peradilan negara tertinggi adalah al-Majlis al-A’la li al-Qadha’
(Majelis Tertinggi Peradilan/MA). Di bawahnya terdapat dua
peradilan banding di Makkah dan peradilan banding di Riyadh. Di bawah peradilan banding adalah beberapa peradilan
tingkat pertama yang terdiri dari peradilan biasa atau umum dan peradilan
segera.
Raja ‘Abdullah bin ‘Abd al-‘Aziz pada tanggal 1
Oktober 2007 menerbitkan Royal Order (Titah Raja) tentang pembaharuan peradilan.
Pelaksanaannya diperkirakan berjalan dalam dua sampai tiga tahun. Untuk
pembaharuan ini, Pemerintah menyiapkan dana sebesar tujuh miliar riyal atau
sekitar 1,8 milyar dolar AS yang digunakan untuk pembangunan sarana, prasarana,
termasuk pelatihan hakim dan aparat peradilan yang baru, dan lain-lain. Intinya
adalah pembaharuan Peradilan Syari’at yang telah berjalan lebih kurang 30 tahun
dan Peradilan Diwan al-Mazhalim.yang telah berjalan lebih kurang 25 tahun.
Berdasarkan Undang-Undang Peradilan 2007 ini, maka
Majelis Tertinggi Peradilan tidak lagi berperan sebagai Mahkamah Agung, tetapi
sebagai pusat administrasi peradilan. Di antara tugasnya adalah: Menerbitkan
regulasi berhubungan dengan tugas-tugas para hakim dengan persetujuan Raja,
Menerbitkan regulasi-regulasi pengawasan peradilan, pendirian peradilan baru,
penggabungan dan penghapusan peradilan, Menetapkan wilayah
yurisdiksi dan pembentukan tim majlis, Menetapkan ketua-ketua peradilan
banding, Menerbitkan
aturan-aturan tentang fungsi dan kekuasan ketua-ketua pengadilan dan
wakil-wakilnya, Menerbitkan aturan-aturan tentang metode
pemilihan hakim, dan Mengatur
tugas para pembantu hakim, dan lain-lain.
Berdasarkan aturan baru ini, maka hirarki Pengadilan
Syari’at menjadi tiga tingkat. Pertama adalah Pengadilan Tinggi sebagai
Mahkamah Agung. Kedua adalah Pengadilan Tingkat Bandlng yang terdiri dari 1.
Pengadilan Perdata, 2. Pengadilan Pidana, 3. Pengadilan Hukum Keluarga, 4.
Pengadilan Perdagangan, dan 5. Pengadilan Perburuhan. Ketiga adalah Pengadilan
Tingkat Pertama yang terdiri dari 1. Pengadilan Umum, 2. Pengadilan Pidana, 3.
Pengadilan Hukum Keluarga, 4. Pengadilan Perdagangan, dan 5. Pengadilan
Perburuhan.
Sementara
itu, sesuai aturan baru Pengadilan Diwan al-Mazhalim berubah menjadi Badan Peradilan
Administratif (Board of Administrative Court) yang mempunyai hirarki mirip
dengan hirarki Pengadilan Syari’at yang terdiri dari Pengadilan Tinggi
Administratif, Pengadilan Bamding Administrasi, dan Pengadilan Tingkat Pertama
Administratif. Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding Administratif terdiri
dari 1. Bidang Pendisiplinan, 2. Bidang Administratif, 3. Bidang Subsider, dan
4. Bidang Spesialisasi yang lain.[8][8]
C.
Kitab Fiqh Madhab Hambali
Diantara sekian banyak kitab fiqh bermadhab hambali,
dapat penulis ringkas sebagai berikut sebagai bahan rujukan awal untuk
mengetahui masalah fiqh khususnya dalam perkara hukum keluarga menyangkut
perkawinan, waris dan lain sebagainya menurut madhab tersebut, berikut kitab
rujukannya :[9][9]
1. Akhsor al-Mukhtasharat Fi al-Fiqh Ala Mazdhab al-Imam
Ahmad Ibn Hambal (Karya Muhamma Ibn Badruddin Ibn Balban Ad-Dimasykiy
2. Ibthal al-Hail (Karya Abu Abdullah Ubaidillah Ibn
Muhammad Ibn Muhammad Ibn Hamdan al-Akbariy)
3. Al-Asyrabah (Karya Ibnu Hambal)
4. Al-Iqna' Fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hambal (Karya
Syarifuddin Musa Ibn Ahmad Ibn Musa Abu Naja' al-Hajawiy)
5. Al-Inshaf Fi Ma'rifati al-Rajah Minal Khala 'Ala Mazdhab
al-Imam Ahmad Ibn Hambal (Karya Alauddin Abul Hasan Ali Ibn Sulaiman Al-Mardawi
ad-Dimasyki)
6. Al-Ikhtiyarot al-Fiqhiyyah (Karya Taqiyuddin Abul Abbas
Ahmad Ibn Abdul Halim Ibn Taimiyyah al-Haraniy)
7. Syarh al-Kubra Li Ibn Qudamah
8. Al-Umdah Fiqh (Ibnu Qudamah)
9. Al-Kafiy Fi Fiqh Al-Imam Ahmad Ibn Hambal (Abdullah Ibn
Qudamah al-Maqdisi)
10. Al- Mughni Fi
Fiqh Al-Imam Ahmad Ibn Hambal Asy-Syaibani (Abdullah Ibn Ahmad Ibnu Qudamah
al-maqdisi)
11. Syarh
az-Zarkasiy Ala Mukhtashar al-Kharaqiy (Syamsuddin Abi Abdullah Muhammad bn
Abdullah Az-Zarkasyi)
12. Syarh Al-Umdah
(Taqiyudin Abul Abbas Ahmad Ibn Abdul Halim Ibn Taimiyyah al-Harani)
13. Al-Hidayah Ala
Mazdhab al-Imam Abi AAbdullah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani (Karya
Mahfud Ibn Ahmad Ibn Hasan)
14. Bidayah
al-Abid Wa Kifayah Al-Jahid ( Abdurrahma Ibn Abdullah Ibn Ahmad Al-Ba'liy
al-Khulwatiy al-Hambali)
D.
Hukum Perkawian di Saudi Arabia
Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, seorang Qodhi
mengepalai badan Pengadilan. Kekuasaan seorang Qadhi hanya terbatas pada
persoalan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh Syariah. Kalau kasusnya
menyangkut pada peraturan yang diundangkan dengan dekrit Raja, maka yang berhak
mengadili bukan Qadhi, melainkan Gubernur atau kepala daerah setempat. [10][10]
Di Negara-negara yang hukum perkawinannya masih
Uncodified Law, sebagaimana telah disinggung di muka, maka hukum perkawinannya
didasarkan pada kitab kitab fiqh madhab yang dianutnya. Dalam hal ini Saudi
Arabia hukum perkawinannya sesuai dengan madhab Hambali, yaitu pelaksanaan
pernikahan serta hal-hal lain yang terkait dengannya seperti halnya talak dan
Rujuk pada umumnya ditangani oleh para Ulama atau institusi keagamaan setempat
yang dianggap berwenang dalam menangani masalah keagamaan umat Islam.
1. Perwalian Pernikahan
Mengenai perwalian dalam pernikahan, kalau kita merujuk
kepada Madhab Hambali, maka Wali dalam mazhab Hambali hukumnya wajiib, bahkan pernikahan dianggap tidak
sah tanpa adanya wali. Seorang perempuan tidak dapat
menikahkan dirinya sendiri baik atas izin walinya ataupun tidak, demikian pula
seorang perempuan tidak dapat menikahkan untuk perempuan yang lainnya baik atas
izin walinya ataupun tidak. Pernikahan tersebut hukumnya fasid, kalaupun
terlanjur pernikahan yang akadnya dilakukan oleh pengantin perempuan sendiri,
pernikahannya harus dipisahkan. Namun dalam hal hukuman, mengingat pernikahan
tersebut menjadi wacana perdebatan sehingga tidak ada hukuman bagi pelaku
pernikahan tersebut. Wali berurutan dari ayah, kakek kemudian saudara. Pernikahan
oleh wali yang lebih jauh, sedangkan wali yang lebih dekat masih ada,
menyebabkan pernikahannya batal.[11][11]
2. Usia
Pernikahan
Saudi
Arabia tidak memiliki hukum khusus untuk mengatasi masalah ini. Karena di
Negara ini tidak di tetapkannya Undang-Undang mengenai batasan minimal usia
pernikahan, yang diterapkan hanyaah hukum fikih yang sebenarnya yaitu
sseseorang dapat menikah kapanpun asalkan telah cukup memenuhi syarat dalam
madzhab yang dianutnya, dimana mayaoritas mereka bermdzhab Imam Hambali.
3. Poligami
Begitu
pula dengan masalah poigami, Saudi Arabia tidak memiliki hukum khusus untuk
mengatasi masalah ini. Tidak ada batasan atapun tata cara yang khusus mengenai
prosedur yang harusnya dilakukan bagi para suami yang ingin berpoligami.
Poligami diperbolehkan untuk pria tetapi terbatas pada empat istri pada satu
waktu. Bahwa praktek poligami telah
meningkat, khususnya di kalangan yang berpendidikan, sebagai akibat dari
kekayaan minyak. Pemerintah telah dipromosikan poligami sebagai bagian dari
kembali ke program "Islam nilai-nilai". Pada tahun 2001, Grand Mufti
(otoritas agama tertinggi) mengeluarkan fatwa , atau pendapat, menyerukan
kepada wanita Saudi untuk menerima poligami sebagai bagian dari paket Islam dan
menyatakan bahwa poligami itu diperlukan "untuk melawan ... pertumbuhan
epidemi perawan tua". Tidak ada usia minimum untuk menikah di Arab Saudi
dan Grand Mufti dilaporkan mengatakan pada tahun 2009 bahwa anak perempuan dari
usia 10 atau 12 yang menikah.
4. Perceraian
Pria
memiliki hak unlilateral untuk menceraikan istri mereka tanpa perlu dasar
hukum. Perceraian adalah efektif dengan segera. Istri bercerai dapat mengklaim
dukungan keuangan untuk jangka waktu empat bulan dan sepuluh hari sesudahnya.
Seorang wanita hanya dapat memperoleh perceraian dengan persetujuan dari
suaminya atau secara hukum jika suaminya telah merugikan dirinya. Dalam
praktek, sangat sulit bagi seorang wanita Saudi untuk mendapatkan perceraian
pengadilan. Tingkat perceraian tinggi,
sampai 50%. Dalam hal perceraian, ayah memiliki hak asuh anak otomatis
dari usia 7 dan putri dari usia 9. Hak bagi pria untuk menikah hingga empat
istri, dikombinasikan dengan kemampuan mereka untuk menceraikan istri kapan
saja tanpa sebab, bisa menerjemahkan dengan poligami terbatas. Raja Abdul Aziz
, pendiri negara, dilaporkan mengaku menikah lebih dari dua ratus perempuan.
Namun, poligami nya dianggap luar biasa bahkan oleh standar Arab Saudi.
5. Hak
asuh anak dan perwalian
Pihak
ayah adalah pihak yang memegang hak utama dalam kasus perceraian. Meskipun
begitu, hakim dapat mempertimbangkan kebugaran orang tua dalam pemberian
perwalian, apabila seorang ayah yang ditunjuk untuk menjadi orang tua yang
mendapatkan perwalian anak sedang dalam kondisi yang tidak sehat, maka kakek
dan nenek dari pihak ayah adalah yang diserahi tanggung jawab atas anak
tersebut.
6. Perjanjian Perkawinan
Dalam Islam, seorang wanita diperbolehkan untuk
mengajukan syarat/perjanjian pernikahannnya selama tidak melanggar ajaran
islam. Dia kemudian berhak atas suatu "perceraian bersyarat" jika
salah satu dari persyaratan tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya. Hasil dari
perceraian tersebut dianggap final dan seorang suami tidak boleh kembali kepada istrinya selama tiga bulan
masa 'iddah. Selama waktu ini pasangan dapat merevisi keputusan mereka dan
dapat menghidupkan kembali perkawinan mereka jika mereka telah menyelesaikan
perbedaan atau perselisihan diantara mereka.
Semua Ulama sepakat bahwa semua perjanjian dalam
perkawinan adalah sah, dan pelanggaran terhadap perjanjian tersebut berarti
membatalkan kesepakatan. Syekh Abdullah al-Manii, anggota Dewan Ulama Senior
Saudi, mengatakan bahwa seorang wanita sah menceraikan suaminya setelah sang
seuami melanggar syarat dalam perjanjian perkawinan mereka yang salah satu
poinnya adalah bahwa suaminya itu tidak akan menikah dengan wanita lain selama
mereka masih bersama.
E.
Hukum Kewarisan dan Perwakafan di Saudi Arabia
Menurut catatan para ahli sejarah hukum islam, wakaf
tidak dikenal pada masyarakat Arab Jahiliyah pra-islam. Wakaf menurut Imam
Syafi'I benar-benar tipikal islam. Sama halnya di bidang hukum keluarga
lainnya, hukum wakaf juga merupakan hukum yang hidup di seluruh dunia Islam,
apakah itu Negara yang berpenduduk muslim minoritas, maupun yang berpenduduk
muslim mayoritas, dan lebih lagi di Negara muslim konstitusional. Begitu
penting dan strategisnya kedudukan wakaf ini bagi jaminan social umat dan
kesejahteraan umum. Dalam hal ini, Saudi Arabia mengangkat Menteri Perwakafan.
Saudi Arabia sebagai Negara Islam konstitusional dan
Negara yang menguasai tempat dimana Islam telah diturunkan dengan perkembangan
zaman yang berubah dan kebutuhan umat yang beragam pula, kelembagaan perwakafan
beserta manajemennya pun mengalami berbagai perubahan dan perbaikan di segala
bidang. Termasuk Saudi Arabia yang pada tahun 1966 M membentuk Departemen
Wakaf. Departemen ini memiliki tugas utama untuk menangani berbagai hal yang
berhubungan dengan wakaf. Seperti membuat perencanaan, pengembangan dengan
wakaf, dan memelihara serta mengawasi kelanggengan aset-aset wakaf disamping
menyusun laporan lengkap dan rinci kepada pihak Kerajaan Saudi.[12][12]
Diantara pengelolaan wakaf yang paling menonjol di Saudi
Arabia adalah pengelolaan khusus bagi dua kota yang paling dihormati oleh umat
islam, yaitu al-Haramain : Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah.
Diatas tanah yang terletak di sekitar Masjidil Haram di Makkah dan diatas tanah
yang terletak di sekeliling masjid Nabawi di Madinah, dibangun sejumlah
pertokoan dan perhotelan atau rumah-rumah penginapan yang kemudian dikelola
secara professional guna menghasilkan dana yang kemudian untuk membiayai
perawatan berbagai aset yang dimiliki kedua kota tersebut.
Secara umum, hukum kewarisan islam pada dasarnya tetap
berlaku dihampir atau bahkan diseluruh dunia islam. Baik dunia islam yang
mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk undang-undang, maupun yang belum
mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk undang-undang. Negara islam atau Negara
berpenduduk muslim yang telah mengundangkan hukum kewarisan islam itu, ada yang
menggabungkan hukum kewarisannya dengan undang-undang perkawinan, dan adapula
yang memisahkannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan tersendiri.
Adapun
mengenai masalah kewarisan secara umum , hukum kewarisan Islam pada dasarnya
tetap berlakku di hamper atau bahkan di seluruh dunia Islam. Baik dunia islam
yang mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk undang-undang maupun yang tidak
atau belum mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk undang-undang. Saudi Arabia
termasuk ke dalam Negara yang tidak menjadikan hukum kewarisannya ke dalam
undang-undang akan tetapi mereka mengatasi masalah waris mengacu kepada
Al-Quran dan As-Sunnah.[13][13]
Mengenai warisan orang-orang beragama lain, dikalangan
Saudi Arabia tidak memperbolehkan bagi para penganut agama-agama non-islam
tidak boleh mewarisi satu sama lain. Dengan demikian, seorang Yahudi tidak bisa
mewarisi orang Nasrani, dan sebaliknya. Demikian pula halnya dengan
pemeluk-pemeluk agama lainnya satu sama lain. Adapun mengenai tentang
mendahulukan penyelenggaraan pemakaman atas hak yang berkaitan dengan Tirkah,
seperti barang yang digadaikan pemiliknya sebelum dia meninggal dunia. Di Saudi
Arabia penyelenggaraan pemakaman didahulukan atas seluruh hak dan utang-utang,
sekalipun dalam bentuk gadaian ganti rugi pidana.
F.
Penerapan
Hukum Keluarga Saudi Arabia
Penggunaan
Al-Quran dan sunnah sebagai hukum yang dipakai untuk mengatur hukum keluarga oleh
Saudi Arabia menyebabkan para hakim, ulama dan mufti harus lebih banyak
mengeluarkan ijtihadnya dikarenakan umumnya sumber hukum yang mereka miliki.
Tidak jarang para ulama tersebut mengalami perbedaan pendapat mengenai masalah
yang sama. Hal ini membuat pihak PBB menyarankan kepada Saudi Arabia untuk
merevisi hukum keluarga yang dipakai oleh Negara tersebut.di samping perbedaan
pendapat yang acap kali terjadi oleh para ulama yang ada di Saudi Arabia, PPB
juga menilai hukum keluarga yang dipakai Saudi Arabia saat ini membuka
kemungkinan terjadinya diskriminasi khususnya terhadap perempuan. Sehingga PBB
merasa perlu untuk menyarankan adanya revisi terhadap hukum keluarga di Negara
ini.
Adapun
aplikasi hukum keluarga di masyarakat Saudi Arabia sendiri banyak menghadapi
masalah-masalah yang perlu diperhatikan karena dianggap melanggar nilai-nilai
sosial oleh sebagian masyarakat dunia. Seperti praktek nikah di bawah
umur dan nikah misyar. Namun hal tersebut dianggap boleh
oleh pemerintah Saudi Arabia karena tidak dilarang oleh sumber hukum mereka.
Dengan demikian, pemerintah kerajaan Saudi Arabia
perlu membuat suatu peraturan (UU) untuk menangani permasalahan
tersebut.
1. Nikah Dibawah Umur
Menteri Kehakiman Saudi Arabia Mohamed Al-Issa
mengatakan, pemerintah akan membuat regulasi tentang perkawinan di bawah umur
setelah kasus perkawinan seorang pria berusia 47 tahun dengan seorang anak
perempuan berusia 8 tahun.
Kasus ini sempat ramai di pengadilan Saudi, bahkan sampai
ke tingkat pengadilan banding. Namun hakim yang menangani perkara, hakim Syaikh
Habib al-Habib, lagi-lagi menolak membatalkan pernikahan tersebut, meski
mempelai perempuan masih di bawah umur. Hakim al-Habib beralasan, begitu
seorang anak perempuan sudah mengalami pubertas (menstruasi) dia bisa
memutuskan sendiri apakah akan melanjutkan pernikahan atau akan mengurus proses
perceraian. Dalam putusannya, hakim memerintahkan pengantin pria untuk tidak
melakukan hubungan seksual sebelum mempelai perempuan memberikan keputusan.
Seorang kerabat dari pihak ibu mempelai perempuan
mengungkapkan, sang ibu ingin tetap melanjutkan kasus ini ke tingkat pengadilan
yang lebih tinggi.
Meski perkawinan di bawah umur di Saudi merupakan hal
yang lumrah, kasus yang mencuat sejak bulan Desember 2008 ini mengundang
perhatian media lokal dan internasional, karena hakim menolak membatalkan
pernikahan di bawah umur itu.
Menurut kuasa hukum keluarga perempuan, Abdullah
Al-Jutaili, hakim menyatakan bahwa ibu mempelai perempuan yang sudah bercerai
dari suaminya, bukan wali mempelai yang sah sehingga tidak bisa mengajukan
permohonan perceraian puterinya.
Isu pernikahan di bawah umur kembali memanas di Saudi
setelah Mufti Saudi Syaikh Abdul Aziz Al-Syaikh pada bulan Januari lalu
mengatakan bahwa menikahkan anak perempuan yang masih berusia 15 tahun atau
kurang tidak melanggar syariah Islam, bahkan menurutnya syariah Islam
memberikan keadilan bagi kaum perempuan.
Praktisi hukum di Saudi, Abdul Rahman Al-Lahem
mengungkapkan, kasus-kasus pernikahan di bawah umur anak-anak perempuan Saudi
dengan lelaki yang jauh lebih tua, biasanya terjadi karena pertimbangan masalah
finansial.
Sementara itu, Menteri Kehakiman Saudi mengatakan,
regulasi tentang usia perkawinan yang akan dibuat bertujuan untuk mengakhiri
sikap orang tua atau wali yang sembarangan menikahkan anak perempuannya yang
masih di bawah umur.
Rencana Menteri Kehakiman didukung oleh Komisi HAM
kerajaan Saudi Arabia yang menentang perkawinan anak-anak perempuan dibawah
umur. Dengan alasan bahwa, menurut Zuhair al-Harithy juru bicara HRC Saudi,
melanggar kesepakatan internasional dimana Saudi Arabia juga ikut
menandatanganinya.[14][14]
2. Nikah Misyar (Nikah Sirri) dan Pencatatan Nikah
Nikah misyar di wilayah timur Saudi Arabia meningkat
karena sejumlah Fatwa Ulama membolehkan jenis pernikahan itu selama memenuhi
syarat sah. Syarat sah pernikahan, menurut sebagian Ulama adalah Ijab dan Qabul
(persetujuan kedua mempelai) dan Saksi. Sebagian lainnnya adalah mewajibkan
Wali sebagai syarat sah apalagi yang menikah adalah gadis. Sebagaiman telah
dijelaskan dimuka, bahwa perwalian dalam madhab Hambali dikemukakan tidak sah
menikah tanpa adanya wali dan dua orang saksi muslim. Seorang wanita tidak sah
menikahkan dirinya sendiri, nikah tidak dianggap sah apabila tidak menghadirkan
dua orang saksi muslim. Sementara bagi para janda tidak disyaratkan wali.
Lewat pernikahan yang tidak diakui Negara, atau dikenal
dalam bahasa arab sebagai al-Zawajul Urfi. Jumlah orang asing di Madinah secara
legal atau illegal jauh melebihi orang orang Saudi Arabia, adanya orang asing
yang mencoba mendapatkan uang dengan menikahi perempuan-perempuan orang Saudi. Ini semakin meningkatkan jumlah
nikah seperti ini. Kantor pencatatan nikah "mazun" tidak memberi izin
kepada calon suami istri untuk melakukan pernikahan antara saudi dan non-Saudi,
tanpa surat izin. Orang Saudi yang ingin menikahi non-Saudi harus meminta surat
izin dari Mendagri, yang bisa memakan waktu berbulan bulan atau bertahun tahun.
Kalau lewat pernikahan biasa, seorang pemuda selain harus
membayar maskawin mahal, juga menyediakan rumah dan menanggung biaya pesta yang
tergolong besar untuk ukuran kebanyakan. Karena itu, banyak pria lebih memilih
menikah dengan cara diam-diam yang penting halal. Salah satu penyebab utamanya
adalah factor ekonomi, karena tidak mampu mengangung biaya pesta, menyiapkan
rumah milik dan harta gono gini.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Saudi Arabia bermula sejak abad ke dua
belas Hijriyah atau abad ke delapan belas Masehi. Lahirlah Negara Saudi yang
pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di "Ad-Dir'iyah".
Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818 M.
Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi
kedua pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309
H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan
kejayaan kerajaan para pendahulunya, kembali kota Riyadh yang merupakan ibu
kota bersejarah kerajaan ini. Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan
pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern.
Sejarah panjang kerajaan Saudi
sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari peran seseorang bernama Muhammad bin
Abdul Wahab yang bermazhab Hambali dan berusaha keras memurnikan ajaran
ketauhidan. Dan Madhab Hambali pun menjadi madhab resmi negara Saudi Arabia.
Hierarki Pengadilan Syari’at menjadi tiga tingkat;
Pertama adalah Pengadilan Tinggi sebagai Mahkamah Agung. Kedua adalah
Pengadilan Tingkat Banding, dan Ketiga adalah Pengadilan Tingkat Pertama.
Sedangkan Pengadilan Diwan al-Mazhalim yang menjadi Badan Peradilan
Administratif (Board of Administrative Court) yang mempunyai tiga hierarki;
Pengadilan Tinggi Administratif, Pengadilan Banding Administratif, dan
Pengadilan Tingkat Pertama Administratif.
Di Saudi Arabia yang hukum
perkawinannya masih Uncodified Law, maka hukum perkawinannya didasarkan pada
kitab kitab fiqh madhab yang dianutnya, dalam hal ini Saudi Arabia hukum
perkawinannya sesuai dengan madhab Hambali sebagai madhab Negara, seperti
perwalian, usia pernikahan, poligami, perceraian, hak asuh anak, perjanjian
perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Adapun aplikasi hukum keluarga di masyarakat Saudi Arabia
sendiri banyak menghadapi masalah-masalah yang perlu diperhatikan karena
dianggap melanggar nilai-nilai sosial oleh sebagian masyarakat dunia. Seperti
praktek nikah di bawah umur dan nikah misyar.
B. Kritik dan
Saran
Semoga makalah yang ada di tangan kawan-kawan sekalian,
walaupun banyak kekurangan disana sini memberikan manfaat bagi kita semua.
Kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari kawan-kawan semua.
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997).
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997)
http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82597,
diakses pada tanggal 3 November 2012
http://www.perisai.net/agama/saudi_bakal_larang_pernikahan_dibawah_umur/kirim#axzz2BALJ5L7I, Diakses pada tanggal
3 November 2012
http://www.saudiembassy.net/Publications/MagFall00/Judicial.htm, Diakses pada tanggal 4 November 2012
http://islamic-law-in-indonesia.blogspot.com/2010/02/sistem-peradilan-saudi-arabia.html, Diakses pada tanggal 4 November 2012
Ibn
Qudamah, Al Kafi
fiqh Ahmad ibn Hambal, kitab
nikah, (Maktabah Syamilah,Vol. 2 ).
Maktabah Syamilah,
Versi 2. Kategori “Fiqh Hambali”
Muhammad az-Zuhaili, at-Tanzhim al-Qadha’I fi al-Fiqh al-Islami
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1423H/2002).
Muhammad Amin
Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada,
2005), Hlm. 166.
Tahir Mahmood,
Family law Reform in the Muslim World (Bombay:N.M. TRIPATHI, PVT. LTD,
1972).
[1][1] Tahir Mahmood, Family law Reform in the
Muslim World (Bombay:N.M. TRIPATHI, PVT. LTD, 1972), Hlm. 3-8
[2][2]
http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82597,
diakses pada tanggal 3 November 2012
[3][3]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm.154.
[4][4]
lahir di Madinah pada tahun 93H-179H, dengan
nama Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin
Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah.
[5][5]
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di
Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 2005), Hlm. 166.
[6][6]
Muhammad az-Zuhaili, at-Tanzhim al-Qadha’I fi al-Fiqh al-Islami
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1423H/2002), Hlm. 218.
[7][7]http://www.saudiembassy.net/Publications/MagFall00/Judicial.htm, Diakses pada tanggal 4 November 2012
[8][8]
http://islamic-law-in-indonesia.blogspot.com/2010/02/sistem-peradilan-saudi-arabia.html, Diakses pada tanggal 4 November 2012
[10][10]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), hlm. 162.
[11][11]
Ibn Qudamah,
Al Kafi fiqh
Ahmad ibn Hanbal, kitab nikah, (Maktabah Syamilah,Vol. 2 ), Juz. 3,
Hlm. 9
[12][12]
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di
Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 2005) Hlm 194.
[13][13]
Muhammad Amin Suma, “Hukum Keluarga Islam
di Dunia Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2005), Hlm 195.
[14][14]http://www.perisai.net/agama/saudi_bakal_larang_pernikahan_dibawah_umur/kirim#axzz2BALJ5L7I, Diakses pada tanggal 3 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar