Senin, 25 Maret 2013

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI PERSPEKTI HUKUM ISLAM

A.    Pengertian Hukum Islam
            Secara khusus dalam bahasa Arab tidak terdapat peristilahan “hukum Islam” secara teknik, oleh karena itu sulit ditemukan artinya secara definif.[1] Melainkan istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syariah al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic Law. Dalam Al-Quran maupun Al-Sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak dijumpai. Yang digunakan adalah kata syari’at yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian syariah dan fiqh.[2]
            Untuk menyebut hukum Islam, kata yang biasa digunakan adalah fikih dan syariat, kedua kata ini tidak sama artinya, namun keduanya berkaitan maksudnya. Syariat atau hukum Syara’ secara sederhana diartikan; ”Seperangkat aturan dasar tentang tingkah laku manusia, yang ditetapkan secara umum dan dinyatakan secara langsung oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.” Sedangkan fikih biasa diartikan dengan hasil penalaran pakar hukum (mujtahid) atas dasar hukum syara’ dan dirumuskan dalam bentuk aturan yang terinci.[3]
            Secara bahasa syariah berasal dari kata شرع – يشرع – شرعا  yang berarti membuat syariat/undan-undang.[4] Penggunaannya dalam Al-Quran diartikan sebagai jalan yang jelas yang membawa kemenangan. Dalam terminologi ulama Ushul al-Fiqh, syariah adalah titah (khitab) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim, baligh, dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pilihan, atau perantara (sebab, syarat, penghalang. Jadi konteksnya, adalah hukum-hukum yang bersifat praktis (a’maliyah).[5]
            Berkenaan dengan istilah fikih menurut bahasa adalah faham. Kata fikih berasal dari kata faqiha-yafqahu atau yang berati ‘alima-ya’lamu artinya pemahaman.[6] Adapun fikih dalam pengertian terminologi, fikih adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaliyah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci.[7]
            Penjelasan di atas menunjukkan bahwa antara syariah dan fikih memiliki hubungan yang sangat erat. Karena fikih adalah formula yang dipahami dari syariah. Syariah tidak bisa dijalankan dengan baik, tanpa dipahami melalui fikih atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku. Fikih sebagai hasil usaha memahami, sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang melingkupi Faqih ( jamak fuqaha) yang memformulasikannya. Karena itulah, sangat wajar jika kemudian terdapat perbedaan-perbedaan dalam rumusan mereka.[8]
B.     Pengertian Hak dan Kewajiban
            Pengertian “hak” menurut bahasa yaitu kebenaran.[9] Atau yang memiliki arti kekuasaaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, atau dalam arti lain wewenang menuntut hukum. Menurut istilah yaitu menurut para pendapat ulama fiqh yang sebagian ulama mutaakhirin ”hak adalah sesuatu hukum yang telah ditetapkan secara syara” atau dengan kata lain hak adalah kepentingan  yang ada pada perorangan atau masyarakat atau pada keduanya, yang diakui oleh syara’.[10]
            Adapun pengertian kewajiban yaitu yang berasal dari kata “wajib”, dan menurut bahasa kata “wajib” bermakna “fardhu” atau sesuatu yang harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan.[11] Dan adapun secara istilah yaitu “suatu pekerjaan yang apabila dilakukan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan mendapatkan dosa.[12]
            Hak dan kewajiban adalah dua sisi yang paling bertimbal balik dalam suatu transaksi. Hak salah satu pihak merupakan kewajiban bagi pihak lain, begitu pun sebaliknya kewajiban salah satu pihak menjadi hak bagi pihak yang lain. Keduanya saling berhadapan dan diakui dalam hukum Islam.[13]
            Hak dan kewajiban suami isteri muncul sejak mereka terikat dalam suatu ikatan yang sah melalui akad (ijab-qabul). Pada saat itu pula, suami isteri memikul tanggung jawab untuk memenuhi seluruh hak dan kewajibannya sebagai suami isteri. Hak dan kewajiban suami isteri terdiri atas hak dan kewajiban yang bersifat materiil dan hak kewajiban yang bersifat immaterial. Hak dan kewajiban materiil berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan lahiriyah seperti suami berkewajiban menyediakan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan kepada isteri dan anak-anaknya. Sedangkan hak dan kewajiban immateriil berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan batiniyah seperti hubungan seksual, kasih sayang, perlindungan dan jaminan keamanan yang harus diberikan suami kepada isterinya.[14]  
            Pada hubungan suami isteri dalam rumah tangga, suami mempunyai hak dan begitu pula isteri mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula isteri memiliki beberapa kewajiban. Adanya hak dan kewajiban antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Quran dan hadits Nabi SAW.[15]
 Dalam Al-Quran pada surat al-Baqarah ayat 228:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ. البقرة:228   
                ِArtinya :“…..Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf, akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Baqarah:228)

Dan dalam hadis Nabi salah satunya hadits dari Amru bin al-Ahwash:
عن عمرو بن الأحوص, أَنهَّ ُشَهِدَ حُجَّةُ  الْوَدَاعِ....إِنَّ لَكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ حَقًّا (رواه إبن ماجة     و الترمذي و صححه)[16]    
            Artinya: Dari A’mru ibnu Akhwas, bahwasanya ia telah menyaksikan haji wada’….. “Ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak yang harus dipikul oleh isterimu dan isterimu juga mempunyai hak yang harus kamu pikul”. (H.R. Ibnu Majah dan At-Tirmizi).

            Pemenuhan hak dan kewajiban suami isteri dilakukan secara adil dan makruf. Adil bermakna kewajiban dan tanggung jawab dilakukan secara berimbang oleh suami isteri, dimana mereka sama-sama berusaha untuk menjalankannya, tanpa menganggap yang satu lebih superior dan yang lain adalah inferior. Suami isteri dalam menjalankan kewajibannya memiliki kedudukan yang sama (equal) sesuai dengan peran, kapasitas dan tanggung jawabnya. Makruf bermakna pemenuhan kewajiban suami isteri dilakukan berdasarkan kemampuan dari masing-masing pihak, dan tidak ada pemaksaan kehendak satu pihak terhadap pihak yang lain dalam memenuhi hak dan kewajibannya. Perwujudan hak dan kewajiban suami isteri dalam rumah tangga didasarkan pada kepatutan dan nilai ukur yang ada dalam masyarakat.[17]

B.   Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Kompilasi Hukum Islam
            Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam pasal 77-84. Adapun isi dalam pasal-pasal tersebut, secara garis besar mempertegas kembali dalam pasal 30-34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal-pasal tersebut dikemukakan bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberikan bantuan batin yang satu kepada yang lain. Selain itu suami isteri juga harus memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka. Suami isteri harus mempunyai tempat yang ditentukan bersama. Dalam rumah tangga itu kedudukan suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.[18]
            Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Kewajiban suami dalam rumah tangga adalah;
(1)   Membimbing isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai urusan dalam rumah tangga yang penting diputuskan bersama-sama oleh suami isteri.
(2)   Melindungi isteri dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3)   Memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan member kesempatan belajar pengetahuan yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
(4)   Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung nafkah, pakaian, tempat dan kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak serta membiayai pendidikan anak.[19]
            Kewajiban suami sebagaimana telah dikemukakan di atas, khususnya kewajiban suami yang berkaitan nafkah, pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, perawatan, pengobatan gugur apabila isteri nusyuz. Isteri dianggap nusyuz jika ia tidak berbakti lahir batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam kecuali dengan alasan yang sah. Apabila isteri tidak nusyuz lagi, maka suami wajib memberikan ketentuan yang yang telah ditetapkan sebagaimana tersebut diatas seperti kewajibannya sebelum isteri nusyuz. Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.[20]
            Suami wajib pula menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas`isteri yang dalam masa iddah. Tempat kediaman yang berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan sebagai tempat menata dan mengatur alat rumah tangga.[21] Ketentuan ini berlaku juga kepada seorang suami yang beristri lebih dari satu orang kecuali ada perjanjian kawin.[22] Jika para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.
C.    Pelanggaran Hak dan Kewajiban Suami Isteri
            Pelanggaran adalah sebuah perilaku yang kurang baik karena tidak mematuhi, mengikuti serta melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan dan juga dapat merugikan seseorang. Dalam sebuah pernikahan, salah satu pelanggaran yang dilakukan yaitu tidak terpenuhinya hak dan kewajiban bersama antara suami dan isteri atau sebaliknya salah satu diantara kedua belah pihak tidak memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing.
            Pernikahan adalah sebuah ikatan yang suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, mawaddah, dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT seperti dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu, keutuhan dalam rumah tangga harus dijaga sejak pernikahan dilaksanakan, dengan melakukan serta memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing.
            Apabila hak dan kewajiban masing-masing tidak terlaksana maka keduanya yaitu suami isteri telah melanggar aturan yang telah ditentukan dalam hukum pernikahan. Karena hak dan kewajiban suami isteri telah diatur secara baik dan pasti dalam Al-Quran, Hadis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ,serta dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[23]
            Syahrizal Abbas dalam bukunya mengutip sebuah tulisan dari M. Hoballah yang berjudul “Marriage, Divorce, and Inheritance in Islamic Law” yang di dalamnya menerangkan, bahwasanya Hoballah menyebutkan dari beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa penyebab utama ketidaknyamanan rumah tangga dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami isteri secara adil dan makruf, baik hak dan kewajiban yang bersifat materiil maupun hak dan kewajiban yang bersifat immateriil.[24]
            Selain karena tidak terpenuhinya hak dan kewajiban di antara masing-masing pihak merupakan sebuah bentuk pelanggaran dalam hak dan kewajiban suami isteri. Adapun bentuk lain dari pelanggaran hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga yaitu adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga baik itu dilakukan oleh suami kepada isteri atau sebaliknya, namun biasanya perempuan lebih banyak menjadi korban kekerasan daripada pelaku karena dianggap kaum lemah dan tidak dapat bertindak sesuatu apapun.
             Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap/segala perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam kehidupan rumah tangga.[25]Berdasarkan data-data yang direkam dari berbagai lembaga pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga dan kasus yang ditangani oleh kepolisian, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi adalah;
1.      Kekerasan Fisik
2.      Kekerasan Seksual
3.      Kekerasan Psikis
4.      Kekerasan Ekonomi/ Penelantaran Ekonomi[26]
            Islam menghendaki seseorang tidak boleh melakukan kekerasan kepada siapapun (menjadi pelaku), dan memerintahkan untuk tidak menjadi korban. Karena itu pelaku kekerasan harus ditindak tegas, demikian pula perlindungan terhadap korban kekerasan untuk pulih dan bisa hidup normal.
            Dalam sebuah hadits yang dikutip oleh Mufidah Ch dari hadits yang diriwayatkan Imam al Turmudzi:
عَنْ سُلَيْمَانَ عَمْرُو بْنُ اْلأَحْوَصِ. حَدَّثنَِيْ أَبِيْ أَنـَّهُ شَهِدَ حُجَّةُ الْوَدَاعِ  مَعَ رَسُوْلِ للهِ ص.م....  أَلاَّ وَاسْتـَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنمَّاَ هُوَ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ ذَلِكَ. ( رواه الترمذي)[27]
            Artinya: Dari Sulaeman A’mru ibnu Akhwas, bahwasnya ayahku telah mengatakan kepadaku bahwa ia telah menyaksikan haji wada’ bersama Rasulullah SAW…. “Ingatlah aku berpesan agar kalian berbuat baik terhadap perempuan  karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan diantara kalian, padahal sedikitpun kalian tidak berhak memperlakukan mereka, kecuali untuk kebaikan itu”.(H.R. Imam Turmudzi)

            Dengan adanya tindak kekerasan dalam keluarga, maka kebahagiaan dalam rumah tangga tidak tercipta dan jauh dari tujuan pertama perkawinan yaitu mebentuk keluarga yang sakinah. Karena kebahagiaan dalam keluarga serta membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah merupakan harapan bagi semua orang.

D.    Pengertian dan Pengaruh Keegoisan Isteri Menurut Fiqh
            Kata “Keegoisan” dalam istilah kamus istilah psikologi adalah berasal dari kata”ego” yang berarti suatu unsur ke-pribadian yang dikuasai oleh prinsip kenyataan.[28]Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia “egois” yang berarti mementingkan diri sendiri. Dan arti kata “egoisme” bermakna suatu sikap yang menujukkan ketamakan, sehingga tindakannya hanya untuk kepentingan diri sendiri, seseorang yang belum mengerti hubungan kausal, dan belum dapat menyadarkan differensiasi, serta juga belum mengerti pandangan yang berbeda.[29]                             Bahwa manusia pada dasarnya hanya termotivasi oleh kepentingan sendiri atau pribadi tanpa peduli dampak yang akan terjadi setelah itu. Karena semua orang mempunyai keegoisan masing-masing dan keegoisannya sama, yang membedakan adalah bagaimana kita setiap individu mengontrol keegoisan tersebut.[30]       
            Sikap keegoisan yang dimiliki setiap individu akan terlihat lebih besar, jika dia tidak bisa mengontrol dengan baik keegoisan yang dia miliki. Contohnya, yaitu ketika seseorang dihadapkan dengan masalah kehidupan yang beraneka ragam, maka akan terlihat pada dirinya sikap keegoisan yang dia miliki, apakah dia akan dapat mengontrol dengan baik atau tidak dalam mengatasi masalah tersebut. Karena pada dasarnya jika seseorang dalam suatu masalah, dia lebih mementingkan dirinya sendiri.
            Contoh lain yang sering terjadi dalam realita kehidupan yaitu, ketika seseorang berbeda pendapat atau pandangan akan suatu hal, maka masing-masing akan lebih mempertahankan pendapat pribadi dan merasa bahwa pendapatnya paling benar, padahal alangkah lebih baik dan indah jika perbedaan bisa disatukan dan tidak saling menguntungkan diri sendiri tanpa mendahulukan ego nya masing-masing. Itulah sikap keegoisan yang dimiliki setiap insan.[31]
            Sikap egois adalah fitrah yang yang dimiliki setiap yang bernyawa baik manusia atau hewan dan makhluk lainnya. Tetapi Tuhan memberikan kelebihan bagi manusia yaitu berupa akal yang berguna untuk membedakan mana yang baik dan buruk, mana kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Jika manusia tidak bisa membedakan hal-hal tersebut, apa bedanya manusia dengan hewan.[32]
            Sikap keegoisan dalam rumah tangga merupakan sebuah problem relasi (hubungan) antara suami isteri. Karena dalam proses pencapaian keluarga sakinah pastinya mengalami kendala-kendala dengan berbagai masalah kehidupan yang ada. Dimana setiap masalah menjadi tanggung jawab bersama dalam mencari solusi tanpa mengabaikan satu sama lainnya. Namun demikian, seringkali suami isteri enggan memecahkan masalah dengan fikiran jernih, dikarenakan beberapa faktor yaitu:[33]
1.        Faktor emosi
Dalam menghadapi masalah suami isteri dihadapkan mampu mengendalikan emosi karena emosi dan mudah marah merupakan bagian dari perbuatan setan. Jika suami isteri masih dalam emosi dan masing-masing mempertahankan egonya maka tidak akan menyelesaikan masalah. Rasulullah SAW menegaskan dalam hadisnya :
عَنَْ أَبِيْ هَرَ يْرَةَ أَنَّ رَ سُوْ لُ لله ص. م. قاَ لَ لَيِِْسَ ا لشَّدِ ْيدُ باِ الصُّرَ عَةِ إِ نَّمَا الشَّدِ يْدُ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ اْلغَضَبِ.  )ر واه البخا ر ي([34]
       Artinya: Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “ Orang-orang yang kuat bukannya orang yang kuat secara fisik, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya ketika ia sedang marah”. (HR. Bukhairi)

2.        Faktor kurang pengertia/pemahaman
Seringkali keterbatasan pemahaman dan pengertian suami isteri terhadap masalah yang dihadapi menyebabkan kesalah pahaman sehingga masalahnya menjadi semakin rumit. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya suami isteri saling mengkomunikasikan apa yang dipahami oleh masing-masing tentang masalah yang sedang dihadapi, menjelaskan duduk persoalannya agar masing-masing menemukan satu pemahaman untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Imron ayat 159 :
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
 ال عمران:159    
ِِArtinya : “… Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.(QS. Al-Imran: 159)

3.      Faktor gender stereotype (pelabelan negatif)
Perbedaan cara pandang seringkali mengarah pada perasan su’udzan/buruk sangka, saling menuduh dan melempar tanggung jawab. Gender stereotype atau memberikan label negatif atas dasar perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu penyebab buruk sangka pada pasangannya. Untuk menghilangkan gender stereotype suami isteri merupakan langkah positif agar dapat menumbuhkan rasa saling menghargai, saling percaya dan memandang positif pasangannya.  Dalam QS. Al-Baqarah 216 Allah menegaskan :
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ  البقرة:216  
                 Artinya : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.(QS.Al-Baqarah: 216)

4.      Faktor dominasi pihak yang kuat.
Posisi suami dalam pandangan masyarakat sebagai kepala keluarga adalah positif ketika menjalankan fungsi melindungi, mengayomi dan memberdayakan. Tetapi posisi sebagai pemimpin tidak selamanya diiringi dengan fungsi-fungsi yang semestinya, sehingga memicu lahirnya hubungan suami isteri yang timpang. Pihak yang merasa kuat, kuasa dengan dalih meluruskan isteri, biasanya suami yang sering muncul sebagai pihak yang dominan. Demikian pula pihak yang merasa lemah, kendatipun mempunyai ide yang cemerlang tidak akan mengambil peran dan memberikan kontribusinya terhadap penyelesaian masalah. QS. Al-Baqarah 228 menyebutkan:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ. البقرة:228
            Artinya : “… Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.”(Q.S: Al-Baqarah: 228)

            Sikap keegoisan yang merupakan salah satu dari problem relasi (hubungan) suami isteri dalam keluarga bisa timbul dari berbagai pihak, yaitu sikap egois yang datang dari suami terhadap isteri atau sebaliknya sikap egois isteri terhadap suaminya.[35]
            Penyebab dari sikap keegoisan ini adalah karena adanya perbedaan pendapat, cara pandang, dan kecendrungan antara suami isteri dan anggota keluarga lainnya. Padahal perbedaan merupakan keniscayaan dan juga dapat dipandang sebagai rahmah yang dapat digunakan sebagai modal untuk saling melengkapi satu sama lain. Yang penting diperhatikan adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengakomodir seluruh perbedaan yang ada secara adil, tanpa diskriminasi melalui proses demokrasi yang ditandai dengan keterbukaan, komunikasi efektif dan saling menghargai satu sama lain. Seringkali yang terjadi di dalam sebuah keluarga masing-masing anggota keluarga memandang perbedaan yang ada sebagai ancaman dan problem yang menghambat keharmonisan hubungan antar anggota keluarga.[36]
            Sikap keegoisan isteri dalam persfektif hukum Islam adalah apabila dampak dari keegoisan ini ia melalaikan dan meninggalkan kewajibannya sebagi isteri, maka hal tersebut adalah merupakan tindakan nusyuz seorang isteri terhadap suaminya. Karena dampak dari sikap egois isteri adalah salah satu bentuk nusyuz isteri. Oleh karena itu, selanjutnya akan dibahas lebih khusus mengenai masalah nusyuz tersebut.[37] 
            Adapun pengertian nusyuz yaitu yang berasal dari bahasa Arab ialah nasyaza, yansyuzu, nusyuzan, (نشز – ينشز – نشوزا ) yang memberi beberapa pengertian. Antaranya nusyuz memberi arti bangkit dari tempatnya atau bangun.[38]  Dan menurut istilah nusyuz adalah meninggalkan kewajiban suami isteri. Nusyuz tidak hanya terjadi dari pihak isteri, tetapi juga dari pihak suami.
             Nusyuz dari pihak suami bersikap keras terhadap isterinya, tidak mau menggaulinya, dan tidak bersedia memberi nafkah. Nusyuz dari pihak isteri dapat berupa tidak patuh dan taat kepada suaminya salah satunya sikap egois isteri, dan juga tidak mau mengurus kepentingan rumah tangga serta meninggalkan rumah tanpa izin suami.[39] Berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2) : 259 dan dalam QS. Al-Mujadalah (58) : 11:
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا. البقرة:259
            Artinya : “Dan lihatlah kepada tulang-tulang (keledai) itu, bagaimana kami  menyusunnya kembali kemudian kami menyalutnya dengan daging”.(Q.S.Al-Baqarah:259)  
…. وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا المجادلة:11
            Artinya : “Apabila diminta kepada kamu untuk bangun, maka bangunlah.”(Q.S. Al-Mujadalah: 11)
            Selain itu juga nusyuz mempunyai arti tempat yang tinggi. Dari segi istilah para ulama memberikan beberapa pengertian atau definisi mengenai nusyuz.
            Terdapat beberapa nash-nash Al-uran dan Sunah mengenai nusyuz. Yaitu firman Allah SWT QS. An- nisa (4) : 34 :
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا.  النساء:34
            Artinya: “Perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan pendurhakaan (nusyuz), hendaklah kamu menasehati mereka (sekiranya mereka…) pulangkanlah mereka ditempat tidur dan (sekiranya mereka tetap ingkar) pukullah mereka (dengan pukulan yang ringan dengan tujuan untuk mendidik). Jika mereka kembali taat kepada kamu, janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar ”.(QS. An-Nisaa: 34)

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا .  النساء:128
            Artinya : “ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz  atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. An-Nisaa: 128)

Adapun sabda Rasulallah SAW mengenai nusyuz yaitu :
 عَنْ حَكِيْمِ بْنُ مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيُّ ص.م... تَطْعَمُهَا إِذَا أَكَلْتَ وَ تَكْسُوْهَا إِذَا إِكْتَسَيْتَ وَ لاَ تَضْرِبَ الْوَجْهَ وَ لاَ تُقَبِّحْ وَ لاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِيّ بَيْتِكَ.(رواه أبو  داود,و أحمد و أبن ماجه)[40]

Artinya : Dari Hakim ibnu Mua’wiyah dari ayahnya, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Muhammad SAW “..Suami harus memberi makan kepadanya (isteri) jika ia makan dan kamu berikan kepadanya pakaian jika ia membutuhkan pakaian dan janganlah sekali memukul di muka serta kamu tidak boleh memperolok-oloknya dan juga kamu tidak meninggalkannya kecuali di rumah sendiri.” (H.R. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).

            Berdasarkan kepada nash-nash Al-Quran dan Sunnah, jelas menunjukkan bahwa nusyuz berkemungkinan kepada pihak antar suami atau isteri atau kedua-duanya secara sekaligus. Sebagai mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT, Dia Maha Mengetahui setiap kelebihan dan kelemahan yang ada pada manusia. Allah SWT telah menggariskan panduan yang perlu diikuti oleh setiap insan bagi menghadapi pasangan nusyuz supaya tindakan yang diambil adalah tindakan yang bijaksana dan tidak melampaui batasan-batasan yang ditetapkan oleh syara’.[41]
            Menurut al-Farra’, nusyuz terbagi kepada tiga kategori yaitu nusyuz isteri terhadap suaminya, nusyuz suami tehadap isterinya, dan kedua-duanya baik suami maupun isteri. Di bawah ini penjelasannya mengenai nusyuz tersebut:[42]
1.      Nusyuz Isteri
Nusyuz dipihak isteri ialah seorang yang durhaka terhadap suaminya, angkuh, sombong, dan ingkar tehadap suami serta tidak melaksanakan tanggung jawab seorang isteri seperti yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Seseorang isteri bisa dikategorikan nusyuz, apabila isteri menolak ajakan suaminya untuk melakukan hubungan badan seperti halnya suami isteri, keluar tanpa dengan izin suami, tidak membenarkan tamu memasuki rumah tanpa izin suami, serta meminta cerai kepada suami tanpa alasan yang tidak pasti. Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ للهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ ص.م...  إِذَا دَعَارَجُلُ إِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غُضْبَانُ عَلَيْهَا لَعَنَتُهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَصْبَحُ.(رواه  مسلم)[43] 
Artinya: dari Abu Huraiarah R.A dari Nabi SAW …“Apabila suami mengajak isterinya ke tempat tidur, namun isterinya menolak ajakan tersebut dan tidakan tersebut membuat suaminya marah, maka para malaikat akam melaknatinya (isteri) sampai waktu pagi”.(H.R.Muslim)

            Hadis ini menegaskan haram bagi isteri menolak ajakan suami untuk bersetubuh tanpa ada alasan atau udzur syari’ seperti dalam masa haid atau seumpamanya. Selain itu juga berpuasa sunat atau membolehkan tamu masuk (tamu laki-laki) tanpa izin suami terlebih lagi apabila tamu tersebut tidak disukai suaminya maka hal tersebut dianggap nusyuz. Sabda Rasulullah SAW:
عن أبي هريرة رضي لله عنه أنّ رسول لله ص.م... لاَ  يَحِلُّ  ِلإِمْرَأَةِ  عَنْ  تَصُوْمُ  وَ زَوْجُهَا شَاهِدَ إِلاَّ  بِإِذْنِهِ  وَ لاَ تُأذِنُ  فِيِ  بَيْتِهِ  إِلاَّ  بِإِذْنِهِ. (رواه  البخارى)[44]    
Artinya: dari Abu Hurairah R.A bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “Tidak halal bagi seorang perempuan berpuasa sedangkan suaminya ada bersama kecuali sudah mendapatkan izin dari suaminya dan tidak harus bagi isteri membenarkan orang lain masuk ke rumahnya dengan izinya (suami)”.(H.R. Bukhari)

            Isteri merupakan amanah Allah SWT yang wajib dijaga dan dipelihara dengan sebaik mungkin oleh suami. Suami perlu mendidik isteri dengan pengetahuan agama terlebih lagi apabila suami mendapati isterinya nusyuz.
            Seorang suami diberi kuasa oleh Allah SWT untuk mengajar serta mendidik isteri, namun mereka tidak boleh bertindak sesuka hati. Sebaliknya, mereka hendaklah bertindak menurut panduan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
            Apabila suami bertindak di luar batasan yang telah ditetapkan oleh syara’, ketika mendidik isteri yang nusyuz bukannya menyelesaikan masalah tetapi lebih memperburuk keadaan.[45]Sabda Rasulullah SAW:
عن سليمان بن عمرو بن الأحوص. حدثني أبي أنه شهد حجة الوداع مع رسول لله ص.م...  إِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خَلَقْنَا مِنْ ضَلْعِ  وَ إِنْ أَعْوَجَ شَيْءَ فِى الْضَلْعِ أَعْلاَهُ فَإِنْ ذَهَبَتْ تَقِيْمَهُ كَسْرَتَهُ وَ إِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَذَلْ أَعْوَجَ فَالسْتَوْصُوْا بِالنَّسَاءِ خَيْرًا. (رواه أبو  داود,و أحمد و أبن ماجه)[46]
Artinya: Dari Sulaeman A’mru ibnu Akhwas, ayahku telah berkata padaku bahwasanya ia telah menyaksikan haji wada’ bersama rasulullah SAW… “Nasehati isteri dengan cara baik, sesungguhnya mereka dijadikan dari tulang rusuk yang bengkok dan antara tulang rusuk yang paling sekali ialah tulang yang paling atas. Jika hendak diperbetulkan dengan cara kasar niscaya ia akan patah dan sekiranya dibiarkan maka akan berterusanlah ia dalam keadaan bengkok. Maka nasehatilah isterimu dengan baik.” (H.R. Abu dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).

            Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 34, terdapat tiga kaidah yang patut digunakan oleh suami dalam menangani isteri nusyuz.
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا.  النساء:34   
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya. Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.(Q.S.An-Nisaa: 34)

            Al-Quran menawarkan tiga langkah dalam menyelesaikan sengketa keluarga yang muncul karena nusyuz, yaitu memberikan nasihat, memisahkan tempat tidur, dan memukul. Ketiga langkah ini harus ditempuh secara berurut dan tidak boleh menerapkan langkah memukul sebagai langkah awal dalam kasus nusyuz, akan tetapi harus bertahap seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran.[47]
                Tujuan dari ketiga langkah dalam menyelesaiakan masalah nusyuz yaitu untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.[48]
            Sikap keegoisan yang berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup rumah tangga yang ditunjukkan seorang isteri  dalam  perspektif hukum Islam disebut dengan nusyuz, bukanlah semata-mata tanpa alasan bersikap demikian. Karena banyak alasan bagi para isteri, khususnya pada zaman sekarang yaitu zaman modern banyak motivasi yang mendorong perempuan untuk melakukan sesuatu yang positif dan juga membantu suami dalam melangsungkan kesejahteraan kehidupan keluarga. Tetapi terkadang suami tidak mengerti dengan hal yang dilakukan isteri, mereka menganggap isteri bersikap egois dan ingin menang sendiri tanpa mempedulikan perintah suami serta keluarga.[49]
            Pada kehidupan modern ini tidak memberi peluang untuk membatasi gerak kaum perempuan, kini sudah banyak perempuan yang terjun dalam dunia karier. Motivasi yang mendorong perempuan terjun ke dunia karier, antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan perempuan karier dalam berbagai lapangan kerja.
  2. Terpaksa oleh keadaan dan kebutuhan yang mendesak. Karena keadaan keuangan tidak menentu atau pendapat suami tidak memadai/mencukupi kebutuhan, atau karena suami telah meninggal dan tidak meninggalkan harta untuk kebutuhan anak-anak dan rumah tangganya yang harus ia tanggung sendirian, sementara  kebutuhan makin membutuhkan pemenuhan sehingga dengan sendirinya ia harus bekerja di luar rumah.
  3.  Untuk alasan ekonomis agar tidak tergantung pada suami, walaupun suami mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, karena sifat perempuan adalah selagi ada kemampuan sendiri, tidak ingin selalu meminta kepada suami.
  4. Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Ini biasanya dilakukan perempuan yang menganggap bahwa uang di atas segala segalanya, dimana yang paling penting dalam hidupnya adalah menumpuk kekayaan.
  5. Untuk mengisi waktu yang lowong. Di antara perempuan ada yang merasa bosan diam di rumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan urusan rumah tangganya. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan rasa bosan tersebut, ia ingin mencari kegiatan di bidang usaha, dan sebagainya.
  6. Untuk mencari ketenangan dan hiburan. Seorang perempuan mungkin mempunyai kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang susah diatasi, oleh sebab itu ia mencari jalan keluar dengan menyibukkan diri di luar rumah.
  7. Untuk mengembangkan bakat. Bakat dapat melahirkan perempuan karier. Seorang yang bukan sarjana, namun berbakat dalam bidang tertentu, akan lebih berhasil dalam kariernya dibanding seorang sarjana dari fakultas tertentu yang tidak berbakat. Dengan munculnya faktor-faktor tersebut, maka semakin terbuka bagi perempuan untuk terjun ke dunia karier.[50]
            Terjunnya perempuan dalam dunia karier, banyak membawa pengaruh terhadap segala aspek kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan masyarakat sekitarnya.[51]
            Hal demikian di atas dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Jika wanita atau isteri yang terjun ke dunia karier lebih menimbulkan dampak negatif, maka dapat dikatakan sebagai sifat egoisme yang ditunjukkan seorang wanita atau isteri dan hal wanita atau isteri seperti ini disebut sebagai tindakan nusyuz seorang isteri terhadap suami sesuai dengan perspektif hukum Islam.



[1]Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam Dalam Politik Hukum Islam Pemerintahan Orde Baru Dan Era Reformasi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen RI, 2008), hal. 67

[2]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 3
[3]Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam Dalam Politik Hukum Islam Pemerintahan Orde Baru Dan Era Reformasi., hal. 67

[4] Ahmad Syafi’i, Kamus Annur, (Surabaya: Halim Jaya Surabaya, t.t), hal. 109

[5]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal.3-4

[6]Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam Dalam Politik Hukum Islam Pemerintahan Orde Baru Dan Era Reformasi., hal. 69

[7]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal. 5
[8]Ibid., hal. 5

[9]Ahmad Syafi’i, Kamus Arab Annur, (Surabaya: Halim Jaya Surabaya, t.t), hal.57

[10]Gemala Dewi,dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hal. 64-65

[11]ImamMuhammad Abu Zahra, Ushuulul al- Fiqhi, (Daarul al-Fikri Al-A’rabi, t.t), hal. 28

[12]Abdul Hamid Hakim, Mabadiul al- Awaliyah Fi~ Ushulu al-Fiqh Wa Qawai’dul al- Fiqhiyah, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, t.t), hal. 7

[13] Gemala Dewi,dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, hal. 75

[14]Syahrijal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, ( Jakarta: Kencana, 2009), hal. 179

[15]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,( Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 159

[16]Imam Muhammad Ali ibn Muhammad As-Syaukani, Subulus as-Salam jilid V, (Maktabah Al-Aiman, Tt,), hal. 232. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Juz I, (Daarul al-Ihya Turosul al-Arobiy), hal 595.   At-Tirmizi, Sunan At-Tirmizi Juz IV, (Darul Kutub Al-Alamiyah, 1994), hal. 310

[17]Syahrijal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 180

[18]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2006), hal. 33-34

[19]Kompilasi Hukum Islam pasal. 83

[20]Ibid,.  pasal. 84.

[21]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 34

[22]Kompilasi Hukum Islam Pasal. 81

[23]Syahrijal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional ,hal.179

[24]Ibid.,hal.180

[25]Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang Press, 2008 ), hal. 268

[26]Ibid., 269

[27]. Sunan At-Turmudzi Juz IV, (Darul Kutub Al-Ilamiyah, 1994), hal. 310

[28]M. Noor HS, Himpunan Istilah Psikologi, (Jakarta: CV. Pedoman llmu jaya, 1997), hal. 60

[29]Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 67
 
[30]Istilah Keegoisan, artikel diakses pada 20 Juli 2010 dari http//www.situscreatetic.org

[31]Lonely Pasangan, artikel diakses pada 20 Juli 2010 dari http//www.happiestwives.org

[32]Istilah Keegoisan, artikel diakses pada 20 Juli 2010 dari http//www.situscreatetic.org

[33]Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, hal. 189-194
 

[34] Al-Bukhari, Sahih Bukhari Juz V, (Darul Ihya Turosul al-Arobiy, t.t), hal.2267
[35]Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, hal. 189-194

[36]Ibid., hal. 296

[37]Ibid., hal. 297

[38]Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan Hakam Menurut Al-Quran, Sunah dan Undang-Undang Keluarga Islam, ( Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Malaysia, 2007), h. 1

[39]Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, ( Jakarta: Kencana, 2009), hal. 189
[40]Abu Dawud As-Sihastani, Sunan Abi Dawud Juz I (Darul Ihya Turosul Arobiy), hal.651.   Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid, Sunan Ibnu Majah Juz I, hal. 581. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad Juz IV, (Darul Ihya Turosul Arobiy). hal. 446.     

[41]Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan Hakam menurut Al-quran, Sunah dan Undang-Undang Keluarga Islam, hal. 5.   

[42]Ibid, hal.6

[43] Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Bukhori, Matan Bukhari Masykul Bihasyiyati Sanadi,   (T.t: Daarun Nahru an-Naylu, t.th), juz.3, hal. 260. Muslim Bin Hijaj, Sahih Muslim Juz II, (Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1992), hal 1059.

[44]Ibid., hal. 260. Bukhari, Sahih Bukhari Juz V, (Darul Ihya Turosul al-Arobiy, t.t), hal. 1993. 

[45]Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan Hakam menurut Al-quran, Sunah dan Undang-Undang Keluarga Islam, hal. 7

[46]Ahmad ibnu Hanbal, Musnad Ahmad Juz III, ((Darul Ihya Turosul al-Arobiy, tth), hal. 498
[47]Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 191

[48]Ibid., hal. 191

[49]Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, hal 296

[50]Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 63
[51]Ibid., hal. 63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar