A.
Pengertian
Hukum Islam
Secara khusus dalam bahasa Arab
tidak terdapat peristilahan “hukum Islam” secara teknik, oleh karena itu sulit
ditemukan artinya secara definif.[1]
Melainkan istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai
terjemahan al-fiqh al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syariah
al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic
Law. Dalam Al-Quran maupun Al-Sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak
dijumpai. Yang digunakan adalah kata syari’at yang dalam penjabarannya
kemudian lahir istilah fiqh. Untuk memperoleh gambaran yang jelas
mengenai pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian
syariah dan fiqh.[2]
Untuk menyebut hukum Islam, kata
yang biasa digunakan adalah fikih dan syariat, kedua kata ini tidak sama
artinya, namun keduanya berkaitan maksudnya. Syariat atau hukum Syara’ secara
sederhana diartikan; ”Seperangkat aturan dasar tentang tingkah laku manusia,
yang ditetapkan secara umum dan dinyatakan secara langsung oleh Allah SWT dan
Rasul-Nya.” Sedangkan fikih biasa diartikan dengan hasil penalaran pakar hukum
(mujtahid) atas dasar hukum syara’ dan dirumuskan dalam bentuk aturan
yang terinci.[3]
Secara bahasa syariah berasal dari
kata شرع – يشرع – شرعا yang berarti membuat syariat/undan-undang.[4] Penggunaannya
dalam Al-Quran diartikan sebagai jalan yang jelas yang membawa kemenangan.
Dalam terminologi ulama Ushul al-Fiqh, syariah adalah titah (khitab) Allah SWT
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim, baligh, dan berakal sehat),
baik berupa tuntutan, pilihan, atau perantara (sebab, syarat, penghalang. Jadi
konteksnya, adalah hukum-hukum yang bersifat praktis (a’maliyah).[5]
Berkenaan dengan istilah fikih
menurut bahasa adalah faham. Kata fikih berasal dari kata faqiha-yafqahu
atau yang berati ‘alima-ya’lamu artinya pemahaman.[6] Adapun
fikih dalam pengertian terminologi, fikih adalah hukum-hukum syara’ yang
bersifat praktis (‘amaliyah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci.[7]
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
antara syariah dan fikih memiliki hubungan yang sangat erat. Karena fikih
adalah formula yang dipahami dari syariah. Syariah tidak bisa dijalankan dengan
baik, tanpa dipahami melalui fikih atau pemahaman yang memadai, dan
diformulasikan secara baku. Fikih sebagai hasil usaha memahami, sangat
dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang melingkupi Faqih ( jamak fuqaha)
yang memformulasikannya. Karena itulah, sangat wajar jika kemudian terdapat
perbedaan-perbedaan dalam rumusan mereka.[8]
B.
Pengertian
Hak dan Kewajiban
Pengertian
“hak” menurut bahasa yaitu kebenaran.[9]
Atau yang memiliki arti kekuasaaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut
sesuatu, atau dalam arti lain wewenang menuntut hukum. Menurut istilah yaitu
menurut para pendapat ulama fiqh yang sebagian ulama mutaakhirin ”hak adalah
sesuatu hukum yang telah ditetapkan secara syara” atau dengan kata lain hak
adalah kepentingan yang ada pada
perorangan atau masyarakat atau pada keduanya, yang diakui oleh syara’.[10]
Adapun pengertian kewajiban yaitu yang berasal dari kata
“wajib”, dan menurut bahasa kata “wajib” bermakna “fardhu” atau sesuatu yang
harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan.[11] Dan
adapun secara istilah yaitu “suatu pekerjaan yang apabila dilakukan mendapatkan
pahala dan jika ditinggalkan mendapatkan dosa.[12]
Hak
dan kewajiban adalah dua sisi yang paling bertimbal balik dalam suatu
transaksi. Hak salah satu pihak merupakan kewajiban bagi pihak lain, begitu pun
sebaliknya kewajiban salah satu pihak menjadi hak bagi pihak yang lain.
Keduanya saling berhadapan dan diakui dalam hukum Islam.[13]
Hak dan kewajiban suami isteri muncul sejak mereka
terikat dalam suatu ikatan yang sah melalui akad (ijab-qabul). Pada saat itu
pula, suami isteri memikul tanggung jawab untuk memenuhi seluruh hak dan
kewajibannya sebagai suami isteri. Hak dan kewajiban suami isteri terdiri atas
hak dan kewajiban yang bersifat materiil dan hak kewajiban yang bersifat
immaterial. Hak dan kewajiban materiil berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
lahiriyah seperti suami berkewajiban menyediakan sandang, pangan, papan,
kesehatan, pendidikan kepada isteri dan anak-anaknya. Sedangkan hak dan
kewajiban immateriil berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan batiniyah seperti
hubungan seksual, kasih sayang, perlindungan dan jaminan keamanan yang harus diberikan
suami kepada isterinya.[14]
Pada
hubungan suami isteri dalam rumah tangga, suami mempunyai hak dan begitu pula
isteri mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan
begitu pula isteri memiliki beberapa kewajiban. Adanya hak dan kewajiban antara
suami isteri dalam kehidupan rumah tangga dapat dilihat dalam beberapa ayat
Al-Quran dan hadits Nabi SAW.[15]
Dalam Al-Quran pada surat al-Baqarah ayat 228:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ. البقرة:228
ِArtinya :“…..Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf, akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Baqarah:228)
Dan dalam hadis Nabi salah satunya hadits dari Amru
bin al-Ahwash:
عن
عمرو بن الأحوص, أَنهَّ ُشَهِدَ حُجَّةُ الْوَدَاعِ....إِنَّ
لَكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ حَقًّا (رواه إبن ماجة و
الترمذي و صححه)[16]
Artinya: Dari A’mru ibnu Akhwas, bahwasanya ia telah
menyaksikan haji wada’….. “Ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak yang harus
dipikul oleh isterimu dan isterimu juga mempunyai hak yang harus kamu pikul”. (H.R.
Ibnu Majah dan At-Tirmizi).
Pemenuhan
hak dan kewajiban suami isteri dilakukan secara adil dan makruf. Adil bermakna
kewajiban dan tanggung jawab dilakukan secara berimbang oleh suami isteri,
dimana mereka sama-sama berusaha untuk menjalankannya, tanpa menganggap yang
satu lebih superior dan yang lain adalah inferior. Suami isteri
dalam menjalankan kewajibannya memiliki kedudukan yang sama (equal) sesuai
dengan peran, kapasitas dan tanggung jawabnya. Makruf bermakna pemenuhan
kewajiban suami isteri dilakukan berdasarkan kemampuan dari masing-masing
pihak, dan tidak ada pemaksaan kehendak satu pihak terhadap pihak yang lain
dalam memenuhi hak dan kewajibannya. Perwujudan hak dan kewajiban suami isteri
dalam rumah tangga didasarkan pada kepatutan dan nilai ukur yang ada dalam
masyarakat.[17]
B. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut
Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah hak dan kewajiban
suami isteri diatur dalam pasal 77-84. Adapun isi dalam pasal-pasal tersebut,
secara garis besar mempertegas kembali dalam pasal 30-34 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal-pasal tersebut dikemukakan bahwa
suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, wa rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Suami
isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberikan bantuan batin
yang satu kepada yang lain. Selain itu suami isteri juga harus memikul
kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka. Suami isteri harus
mempunyai tempat yang ditentukan bersama. Dalam rumah tangga itu kedudukan
suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.[18]
Hak
dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Kewajiban suami
dalam rumah tangga adalah;
(1)
Membimbing
isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai urusan dalam rumah tangga yang
penting diputuskan bersama-sama oleh suami isteri.
(2)
Melindungi
isteri dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3)
Memberikan
pendidikan agama kepada isterinya dan member kesempatan belajar pengetahuan
yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
(4)
Sesuai dengan
penghasilannya, suami menanggung nafkah, pakaian, tempat dan kediaman bagi
isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak serta membiayai pendidikan anak.[19]
Kewajiban suami sebagaimana telah dikemukakan
di atas, khususnya kewajiban suami yang berkaitan nafkah, pakaian, tempat
tinggal, biaya rumah tangga, perawatan, pengobatan gugur apabila isteri nusyuz.
Isteri dianggap nusyuz jika ia tidak berbakti lahir batin kepada suami dalam
batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam kecuali dengan alasan yang sah.
Apabila isteri tidak nusyuz lagi, maka suami wajib memberikan ketentuan
yang yang telah ditetapkan sebagaimana tersebut diatas seperti kewajibannya sebelum
isteri nusyuz. Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri
harus didasarkan atas bukti yang sah.[20]
Suami wajib pula menyediakan tempat
kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas`isteri yang dalam masa iddah.
Tempat kediaman yang berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan
sebagai tempat menata dan mengatur alat rumah tangga.[21] Ketentuan
ini berlaku juga kepada seorang suami yang beristri lebih dari satu orang
kecuali ada perjanjian kawin.[22] Jika
para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu
tempat kediaman.
C.
Pelanggaran
Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Pelanggaran
adalah sebuah perilaku yang kurang baik karena tidak mematuhi, mengikuti serta
melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan dan juga dapat merugikan
seseorang. Dalam sebuah pernikahan, salah satu pelanggaran yang dilakukan yaitu
tidak terpenuhinya hak dan kewajiban bersama antara suami dan isteri atau
sebaliknya salah satu diantara kedua belah pihak tidak memenuhi hak dan
kewajibannya masing-masing.
Pernikahan
adalah sebuah ikatan yang suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia, mawaddah, dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT seperti
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu,
keutuhan dalam rumah tangga harus dijaga sejak pernikahan dilaksanakan, dengan
melakukan serta memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing.
Apabila hak dan kewajiban masing-masing tidak terlaksana
maka keduanya yaitu suami isteri telah melanggar aturan yang telah ditentukan
dalam hukum pernikahan. Karena hak dan kewajiban suami isteri telah diatur
secara baik dan pasti dalam Al-Quran, Hadis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ,serta dalam Inpres Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[23]
Syahrizal Abbas dalam bukunya mengutip sebuah tulisan
dari M. Hoballah yang berjudul “Marriage, Divorce, and Inheritance in Islamic
Law” yang di dalamnya menerangkan, bahwasanya Hoballah menyebutkan dari
beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa penyebab utama ketidaknyamanan rumah
tangga dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami isteri secara adil
dan makruf, baik hak dan kewajiban yang bersifat materiil maupun hak dan
kewajiban yang bersifat immateriil.[24]
Selain
karena tidak terpenuhinya hak dan kewajiban di antara masing-masing pihak merupakan
sebuah bentuk pelanggaran dalam hak dan kewajiban suami isteri. Adapun bentuk
lain dari pelanggaran hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga yaitu
adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga baik itu dilakukan oleh suami kepada
isteri atau sebaliknya, namun biasanya perempuan lebih banyak menjadi korban
kekerasan daripada pelaku karena dianggap kaum lemah dan tidak dapat bertindak
sesuatu apapun.
Adapun pengertian
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap/segala perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam kehidupan rumah tangga.[25]Berdasarkan
data-data yang direkam dari berbagai lembaga pendampingan korban kekerasan
dalam rumah tangga dan kasus yang ditangani oleh kepolisian, bentuk-bentuk
kekerasan yang terjadi adalah;
1.
Kekerasan Fisik
2.
Kekerasan
Seksual
3.
Kekerasan Psikis
4.
Kekerasan
Ekonomi/ Penelantaran Ekonomi[26]
Islam menghendaki seseorang tidak boleh melakukan kekerasan kepada siapapun
(menjadi pelaku), dan memerintahkan untuk tidak menjadi korban. Karena itu
pelaku kekerasan harus ditindak tegas, demikian pula perlindungan terhadap
korban kekerasan untuk pulih dan bisa hidup normal.
Dalam sebuah hadits yang dikutip
oleh Mufidah Ch dari hadits yang diriwayatkan Imam al Turmudzi:
عَنْ
سُلَيْمَانَ عَمْرُو بْنُ اْلأَحْوَصِ. حَدَّثنَِيْ أَبِيْ أَنـَّهُ شَهِدَ حُجَّةُ
الْوَدَاعِ مَعَ رَسُوْلِ للهِ
ص.م.... أَلاَّ وَاسْتـَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ
خَيْرًا فَإِنمَّاَ هُوَ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ ذَلِكَ.
( رواه الترمذي)[27]
Artinya: Dari Sulaeman A’mru ibnu
Akhwas, bahwasnya ayahku telah mengatakan kepadaku bahwa ia telah menyaksikan
haji wada’ bersama Rasulullah SAW…. “Ingatlah aku berpesan agar kalian
berbuat baik terhadap perempuan karena
mereka sering menjadi sasaran pelecehan diantara kalian, padahal sedikitpun
kalian tidak berhak memperlakukan mereka, kecuali untuk kebaikan itu”.(H.R.
Imam Turmudzi)
Dengan adanya tindak kekerasan dalam
keluarga, maka kebahagiaan dalam rumah tangga tidak tercipta dan jauh dari
tujuan pertama perkawinan yaitu mebentuk keluarga yang sakinah. Karena
kebahagiaan dalam keluarga serta membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah
merupakan harapan bagi semua orang.
D.
Pengertian dan Pengaruh Keegoisan Isteri Menurut Fiqh
Kata “Keegoisan” dalam
istilah kamus istilah psikologi adalah berasal dari kata”ego” yang berarti
suatu unsur ke-pribadian yang dikuasai oleh prinsip kenyataan.[28]Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia “egois” yang
berarti mementingkan diri sendiri. Dan arti kata “egoisme” bermakna suatu sikap
yang menujukkan ketamakan, sehingga tindakannya hanya untuk kepentingan diri
sendiri, seseorang yang belum mengerti hubungan kausal, dan belum dapat
menyadarkan differensiasi, serta juga belum mengerti pandangan yang
berbeda.[29] Bahwa manusia pada dasarnya hanya termotivasi oleh
kepentingan sendiri atau pribadi tanpa peduli dampak yang akan terjadi setelah
itu. Karena semua orang mempunyai keegoisan masing-masing dan keegoisannya
sama, yang membedakan adalah bagaimana kita setiap individu mengontrol
keegoisan tersebut.[30]
Sikap keegoisan yang
dimiliki setiap individu akan terlihat lebih besar, jika dia tidak bisa
mengontrol dengan baik keegoisan yang dia miliki. Contohnya, yaitu ketika
seseorang dihadapkan dengan masalah kehidupan yang beraneka ragam, maka akan
terlihat pada dirinya sikap keegoisan yang dia miliki, apakah dia akan dapat
mengontrol dengan baik atau tidak dalam mengatasi masalah tersebut. Karena pada
dasarnya jika seseorang dalam suatu masalah, dia lebih mementingkan dirinya
sendiri.
Contoh lain yang sering
terjadi dalam realita kehidupan yaitu, ketika seseorang berbeda pendapat atau
pandangan akan suatu hal, maka masing-masing akan lebih mempertahankan pendapat
pribadi dan merasa bahwa pendapatnya paling benar, padahal alangkah lebih baik
dan indah jika perbedaan bisa disatukan dan tidak saling menguntungkan diri
sendiri tanpa mendahulukan ego nya masing-masing. Itulah sikap keegoisan yang
dimiliki setiap insan.[31]
Sikap egois adalah fitrah yang yang
dimiliki setiap yang bernyawa baik manusia atau hewan dan makhluk lainnya.
Tetapi Tuhan memberikan kelebihan bagi manusia yaitu berupa akal yang berguna
untuk membedakan mana yang baik dan buruk, mana kepentingan pribadi dan kepentingan
umum. Jika manusia tidak bisa membedakan hal-hal tersebut, apa bedanya manusia
dengan hewan.[32]
Sikap keegoisan dalam rumah tangga
merupakan sebuah problem relasi (hubungan) antara suami isteri. Karena dalam
proses pencapaian keluarga sakinah pastinya mengalami kendala-kendala dengan
berbagai masalah kehidupan yang ada. Dimana setiap masalah menjadi tanggung
jawab bersama dalam mencari solusi tanpa mengabaikan satu sama lainnya. Namun
demikian, seringkali suami isteri enggan memecahkan masalah dengan fikiran
jernih, dikarenakan beberapa faktor yaitu:[33]
1.
Faktor
emosi
Dalam menghadapi masalah suami isteri dihadapkan mampu mengendalikan
emosi karena emosi dan mudah marah merupakan bagian dari perbuatan setan. Jika
suami isteri masih dalam emosi dan masing-masing mempertahankan egonya maka
tidak akan menyelesaikan masalah. Rasulullah SAW menegaskan dalam hadisnya :
عَنَْ أَبِيْ هَرَ يْرَةَ أَنَّ رَ سُوْ
لُ لله ص. م. قاَ لَ لَيِِْسَ ا لشَّدِ ْيدُ باِ الصُّرَ عَةِ إِ نَّمَا الشَّدِ يْدُ
يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ اْلغَضَبِ. )ر واه البخا ر ي([34]
Artinya:
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “ Orang-orang yang kuat
bukannya orang yang kuat secara fisik, tetapi orang yang
kuat adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya ketika ia sedang marah”.
(HR. Bukhairi)
2.
Faktor kurang
pengertia/pemahaman
Seringkali keterbatasan pemahaman dan
pengertian suami isteri terhadap masalah yang dihadapi menyebabkan kesalah
pahaman sehingga masalahnya menjadi semakin rumit. Dalam kondisi seperti ini,
sebaiknya suami isteri saling mengkomunikasikan apa yang dipahami oleh
masing-masing tentang masalah yang sedang dihadapi, menjelaskan duduk
persoalannya agar masing-masing menemukan satu pemahaman untuk mencari jalan
keluar yang terbaik. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Imron ayat 159 :
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
ال عمران:159
ِِArtinya
: “… Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.(QS.
Al-Imran: 159)
3.
Faktor gender
stereotype (pelabelan negatif)
Perbedaan cara pandang seringkali
mengarah pada perasan su’udzan/buruk sangka, saling menuduh dan melempar
tanggung jawab. Gender stereotype atau memberikan label negatif atas dasar
perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu penyebab buruk sangka pada
pasangannya. Untuk menghilangkan gender stereotype suami isteri merupakan
langkah positif agar dapat menumbuhkan rasa saling menghargai, saling percaya
dan memandang positif pasangannya. Dalam
QS. Al-Baqarah 216 Allah menegaskan :
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ البقرة:216
Artinya
: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui”.(QS.Al-Baqarah: 216)
4.
Faktor dominasi
pihak yang kuat.
Posisi suami dalam pandangan masyarakat
sebagai kepala keluarga adalah positif ketika menjalankan fungsi melindungi,
mengayomi dan memberdayakan. Tetapi posisi sebagai pemimpin tidak selamanya
diiringi dengan fungsi-fungsi yang semestinya, sehingga memicu lahirnya hubungan
suami isteri yang timpang. Pihak yang merasa kuat, kuasa dengan dalih
meluruskan isteri, biasanya suami yang sering muncul sebagai pihak yang
dominan. Demikian pula pihak yang merasa lemah, kendatipun mempunyai ide yang
cemerlang tidak akan mengambil peran dan memberikan kontribusinya terhadap
penyelesaian masalah. QS. Al-Baqarah 228 menyebutkan:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ. البقرة:228
Artinya
: “… Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf.”(Q.S: Al-Baqarah: 228)
Sikap keegoisan yang merupakan salah
satu dari problem relasi (hubungan) suami isteri dalam keluarga bisa timbul
dari berbagai pihak, yaitu sikap egois yang datang dari suami terhadap isteri
atau sebaliknya sikap egois isteri terhadap suaminya.[35]
Penyebab dari sikap keegoisan ini
adalah karena adanya perbedaan pendapat, cara pandang, dan kecendrungan antara
suami isteri dan anggota keluarga lainnya. Padahal perbedaan merupakan
keniscayaan dan juga dapat dipandang sebagai rahmah yang dapat digunakan
sebagai modal untuk saling melengkapi satu sama lain. Yang penting diperhatikan
adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengakomodir seluruh
perbedaan yang ada secara adil, tanpa diskriminasi melalui proses demokrasi
yang ditandai dengan keterbukaan, komunikasi efektif dan saling menghargai satu
sama lain. Seringkali yang terjadi di dalam sebuah keluarga masing-masing
anggota keluarga memandang perbedaan yang ada sebagai ancaman dan problem yang
menghambat keharmonisan hubungan antar anggota keluarga.[36]
Sikap keegoisan isteri dalam
persfektif hukum Islam adalah apabila dampak dari keegoisan ini ia melalaikan
dan meninggalkan kewajibannya sebagi isteri, maka hal tersebut adalah merupakan
tindakan nusyuz seorang isteri terhadap suaminya. Karena dampak dari
sikap egois isteri adalah salah satu bentuk nusyuz isteri. Oleh
karena itu, selanjutnya akan dibahas lebih khusus mengenai masalah nusyuz tersebut.[37]
Adapun
pengertian nusyuz yaitu yang berasal dari bahasa Arab ialah nasyaza,
yansyuzu, nusyuzan, (نشز – ينشز – نشوزا ) yang memberi beberapa pengertian. Antaranya nusyuz
memberi arti bangkit dari tempatnya atau bangun.[38] Dan menurut istilah nusyuz adalah
meninggalkan kewajiban suami isteri. Nusyuz tidak hanya terjadi dari
pihak isteri, tetapi juga dari pihak suami.
Nusyuz dari pihak suami bersikap keras
terhadap isterinya, tidak mau menggaulinya, dan tidak bersedia memberi nafkah. Nusyuz
dari pihak isteri dapat berupa tidak patuh dan taat kepada suaminya salah
satunya sikap egois isteri, dan juga tidak mau mengurus kepentingan rumah
tangga serta meninggalkan rumah tanpa izin suami.[39] Berdasarkan
firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2) : 259 dan dalam QS. Al-Mujadalah (58)
: 11:
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا. البقرة:259
Artinya
: “Dan lihatlah kepada tulang-tulang (keledai) itu, bagaimana kami menyusunnya kembali kemudian kami menyalutnya
dengan daging”.(Q.S.Al-Baqarah:259)
…. وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا المجادلة:11
Artinya : “Apabila diminta kepada
kamu untuk bangun, maka bangunlah.”(Q.S. Al-Mujadalah: 11)
Selain itu juga nusyuz
mempunyai arti tempat yang tinggi. Dari segi istilah para ulama memberikan
beberapa pengertian atau definisi mengenai nusyuz.
Terdapat beberapa nash-nash Al-uran
dan Sunah mengenai nusyuz. Yaitu firman Allah SWT QS. An- nisa (4) : 34
:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا. النساء:34
Artinya: “Perempuan-perempuan yang
kamu bimbang melakukan pendurhakaan (nusyuz), hendaklah kamu menasehati mereka
(sekiranya mereka…) pulangkanlah mereka ditempat tidur dan (sekiranya mereka
tetap ingkar) pukullah mereka (dengan pukulan yang ringan dengan tujuan untuk
mendidik). Jika mereka kembali taat kepada kamu, janganlah kamu mencari jalan
untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar ”.(QS. An-Nisaa:
34)
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا . النساء:128
Artinya
: “ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.
Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”(QS.
An-Nisaa: 128)
Adapun sabda Rasulallah SAW mengenai nusyuz
yaitu :
عَنْ
حَكِيْمِ بْنُ مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيُّ ص.م... تَطْعَمُهَا
إِذَا أَكَلْتَ وَ تَكْسُوْهَا إِذَا إِكْتَسَيْتَ وَ لاَ تَضْرِبَ الْوَجْهَ وَ
لاَ تُقَبِّحْ وَ لاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِيّ بَيْتِكَ.(رواه أبو داود,و أحمد و أبن ماجه)[40]
Artinya : Dari Hakim ibnu
Mua’wiyah dari ayahnya, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi
Muhammad SAW “..Suami harus memberi makan kepadanya (isteri) jika ia makan dan
kamu berikan kepadanya pakaian jika ia membutuhkan pakaian dan janganlah sekali
memukul di muka serta kamu tidak boleh memperolok-oloknya dan juga kamu tidak
meninggalkannya kecuali di rumah sendiri.”
(H.R. Abu Dawud,
Ahmad dan Ibnu Majah).
Berdasarkan kepada nash-nash
Al-Quran dan Sunnah, jelas menunjukkan bahwa nusyuz berkemungkinan
kepada pihak antar suami atau isteri atau kedua-duanya secara sekaligus.
Sebagai mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT, Dia Maha Mengetahui setiap
kelebihan dan kelemahan yang ada pada manusia. Allah SWT telah menggariskan
panduan yang perlu diikuti oleh setiap insan bagi menghadapi pasangan nusyuz
supaya tindakan yang diambil adalah tindakan yang bijaksana dan tidak melampaui
batasan-batasan yang ditetapkan oleh syara’.[41]
Menurut
al-Farra’, nusyuz terbagi kepada tiga kategori yaitu nusyuz
isteri terhadap suaminya, nusyuz suami tehadap isterinya, dan
kedua-duanya baik suami maupun isteri. Di bawah ini penjelasannya mengenai nusyuz
tersebut:[42]
1.
Nusyuz Isteri
Nusyuz dipihak isteri ialah seorang yang durhaka terhadap
suaminya, angkuh, sombong, dan ingkar tehadap suami serta tidak melaksanakan
tanggung jawab seorang isteri seperti yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.
Seseorang isteri bisa dikategorikan nusyuz, apabila isteri menolak
ajakan suaminya untuk melakukan hubungan badan seperti halnya suami isteri,
keluar tanpa dengan izin suami, tidak membenarkan tamu memasuki rumah tanpa
izin suami, serta meminta cerai kepada suami tanpa alasan yang tidak pasti.
Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ للهُ عَنْهُ
عَنِ النَّبِيِّ ص.م... إِذَا دَعَارَجُلُ
إِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غُضْبَانُ عَلَيْهَا لَعَنَتُهَا
الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَصْبَحُ.(رواه
مسلم)[43]
Artinya: dari Abu Huraiarah R.A
dari Nabi SAW …“Apabila suami mengajak isterinya ke tempat tidur, namun
isterinya menolak ajakan tersebut dan tidakan tersebut membuat suaminya marah,
maka para malaikat akam melaknatinya (isteri) sampai waktu pagi”.(H.R.Muslim)
Hadis
ini menegaskan haram bagi isteri menolak ajakan suami untuk bersetubuh tanpa
ada alasan atau udzur syari’ seperti dalam masa haid atau seumpamanya. Selain
itu juga berpuasa sunat atau membolehkan tamu masuk (tamu laki-laki) tanpa izin
suami terlebih lagi apabila tamu tersebut tidak disukai suaminya maka hal
tersebut dianggap nusyuz. Sabda Rasulullah SAW:
عن
أبي هريرة رضي لله عنه أنّ رسول لله ص.م... لاَ
يَحِلُّ ِلإِمْرَأَةِ عَنْ تَصُوْمُ وَ زَوْجُهَا شَاهِدَ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
وَ لاَ تُأذِنُ فِيِ بَيْتِهِ
إِلاَّ بِإِذْنِهِ. (رواه البخارى)[44]
Artinya: dari Abu Hurairah R.A
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “Tidak halal bagi seorang perempuan berpuasa
sedangkan suaminya ada bersama kecuali sudah mendapatkan izin dari suaminya dan
tidak harus bagi isteri membenarkan orang lain masuk ke rumahnya dengan izinya (suami)”.(H.R. Bukhari)
Isteri merupakan amanah Allah SWT
yang wajib dijaga dan dipelihara dengan sebaik mungkin oleh suami. Suami perlu
mendidik isteri dengan pengetahuan agama terlebih lagi apabila suami mendapati
isterinya nusyuz.
Seorang suami diberi kuasa oleh
Allah SWT untuk mengajar serta mendidik isteri, namun mereka tidak boleh
bertindak sesuka hati. Sebaliknya, mereka hendaklah bertindak menurut panduan
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Apabila suami bertindak di luar batasan
yang telah ditetapkan oleh syara’, ketika mendidik isteri yang nusyuz bukannya
menyelesaikan masalah tetapi lebih memperburuk keadaan.[45]Sabda Rasulullah SAW:
عن
سليمان بن عمرو بن الأحوص. حدثني أبي أنه شهد حجة الوداع مع رسول لله ص.م... إِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ
خَلَقْنَا مِنْ ضَلْعِ وَ إِنْ أَعْوَجَ شَيْءَ
فِى الْضَلْعِ أَعْلاَهُ فَإِنْ ذَهَبَتْ تَقِيْمَهُ كَسْرَتَهُ وَ إِنْ تَرَكْتَهُ
لَمْ يَذَلْ أَعْوَجَ فَالسْتَوْصُوْا بِالنَّسَاءِ خَيْرًا. (رواه أبو داود,و أحمد و أبن ماجه)[46]
Artinya: Dari Sulaeman A’mru ibnu Akhwas, ayahku
telah berkata padaku bahwasanya ia telah menyaksikan haji wada’ bersama
rasulullah SAW… “Nasehati isteri dengan cara baik, sesungguhnya mereka
dijadikan dari tulang rusuk yang bengkok dan antara tulang rusuk yang paling
sekali ialah tulang yang paling atas. Jika hendak diperbetulkan dengan cara
kasar niscaya ia akan patah dan sekiranya dibiarkan maka akan berterusanlah ia
dalam keadaan bengkok. Maka nasehatilah isterimu dengan baik.” (H.R. Abu dawud,
Ahmad dan Ibnu Majah).
Berdasarkan firman Allah SWT dalam
surat an-Nisa ayat 34, terdapat tiga kaidah yang patut digunakan oleh suami
dalam menangani isteri nusyuz.
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا. النساء:34
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya. Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar”.(Q.S.An-Nisaa: 34)
Al-Quran menawarkan tiga langkah dalam menyelesaikan
sengketa keluarga yang muncul karena nusyuz, yaitu memberikan nasihat,
memisahkan tempat tidur, dan memukul. Ketiga langkah ini harus ditempuh secara
berurut dan tidak boleh menerapkan langkah memukul sebagai langkah awal dalam
kasus nusyuz, akan tetapi harus bertahap seperti yang dijelaskan dalam
Al-Quran.[47]
Tujuan dari ketiga
langkah dalam menyelesaiakan masalah nusyuz yaitu untuk memberi pelajaran
kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi
nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur
mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan
pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya
janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.[48]
Sikap keegoisan yang berdampak buruk
terhadap kelangsungan hidup rumah tangga yang ditunjukkan seorang isteri dalam
perspektif hukum Islam disebut dengan nusyuz, bukanlah
semata-mata tanpa alasan bersikap demikian. Karena banyak alasan bagi para
isteri, khususnya pada zaman sekarang yaitu zaman modern banyak motivasi yang
mendorong perempuan untuk melakukan sesuatu yang positif dan juga membantu
suami dalam melangsungkan kesejahteraan kehidupan keluarga. Tetapi terkadang
suami tidak mengerti dengan hal yang dilakukan isteri, mereka menganggap isteri
bersikap egois dan ingin menang sendiri tanpa mempedulikan perintah suami serta
keluarga.[49]
Pada kehidupan modern ini tidak
memberi peluang untuk membatasi gerak kaum perempuan, kini sudah banyak
perempuan yang terjun dalam dunia karier. Motivasi yang mendorong perempuan terjun
ke dunia karier, antara lain adalah sebagai berikut:
- Pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan perempuan karier dalam berbagai lapangan kerja.
- Terpaksa oleh keadaan dan kebutuhan yang mendesak. Karena keadaan keuangan tidak menentu atau pendapat suami tidak memadai/mencukupi kebutuhan, atau karena suami telah meninggal dan tidak meninggalkan harta untuk kebutuhan anak-anak dan rumah tangganya yang harus ia tanggung sendirian, sementara kebutuhan makin membutuhkan pemenuhan sehingga dengan sendirinya ia harus bekerja di luar rumah.
- Untuk alasan ekonomis agar tidak tergantung pada suami, walaupun suami mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, karena sifat perempuan adalah selagi ada kemampuan sendiri, tidak ingin selalu meminta kepada suami.
- Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Ini biasanya dilakukan perempuan yang menganggap bahwa uang di atas segala segalanya, dimana yang paling penting dalam hidupnya adalah menumpuk kekayaan.
- Untuk mengisi waktu yang lowong. Di antara perempuan ada yang merasa bosan diam di rumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan urusan rumah tangganya. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan rasa bosan tersebut, ia ingin mencari kegiatan di bidang usaha, dan sebagainya.
- Untuk mencari ketenangan dan hiburan. Seorang perempuan mungkin mempunyai kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang susah diatasi, oleh sebab itu ia mencari jalan keluar dengan menyibukkan diri di luar rumah.
- Untuk mengembangkan bakat. Bakat dapat melahirkan perempuan karier. Seorang yang bukan sarjana, namun berbakat dalam bidang tertentu, akan lebih berhasil dalam kariernya dibanding seorang sarjana dari fakultas tertentu yang tidak berbakat. Dengan munculnya faktor-faktor tersebut, maka semakin terbuka bagi perempuan untuk terjun ke dunia karier.[50]
Terjunnya perempuan dalam dunia
karier, banyak membawa pengaruh terhadap segala aspek kehidupan, baik kehidupan
pribadi, keluarga maupun kehidupan masyarakat sekitarnya.[51]
Hal demikian di atas dapat
menimbulkan dampak positif dan negatif. Jika wanita atau isteri yang terjun ke
dunia karier lebih menimbulkan dampak negatif, maka dapat dikatakan sebagai
sifat egoisme yang ditunjukkan seorang wanita atau isteri dan hal wanita atau
isteri seperti ini disebut sebagai tindakan nusyuz seorang isteri
terhadap suami sesuai dengan perspektif hukum Islam.
[1]Abdul Halim, Politik Hukum Islam di
Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam Dalam Politik Hukum Islam Pemerintahan Orde
Baru Dan Era Reformasi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen RI,
2008), hal. 67
[2]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 3
[3]Abdul Halim, Politik Hukum Islam di
Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam Dalam Politik Hukum Islam Pemerintahan Orde
Baru Dan Era Reformasi., hal. 67
[4]
Ahmad Syafi’i, Kamus Annur, (Surabaya:
Halim Jaya Surabaya, t.t), hal. 109
[5]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,
hal.3-4
[6]Abdul Halim, Politik Hukum Islam di
Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam Dalam Politik Hukum Islam Pemerintahan Orde
Baru Dan Era Reformasi., hal. 69
[7]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal.
5
[8]Ibid., hal. 5
[9]Ahmad Syafi’i, Kamus Arab Annur,
(Surabaya: Halim Jaya Surabaya, t.t), hal.57
[10]Gemala Dewi,dkk. Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hal. 64-65
[11]ImamMuhammad Abu Zahra, Ushuulul al- Fiqhi,
(Daarul al-Fikri Al-A’rabi, t.t), hal. 28
[12]Abdul Hamid Hakim, Mabadiul al- Awaliyah Fi~
Ushulu al-Fiqh Wa Qawai’dul al- Fiqhiyah, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, t.t),
hal. 7
[13] Gemala Dewi,dkk. Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, hal. 75
[14]Syahrijal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif
Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, ( Jakarta: Kencana, 2009),
hal. 179
[15]Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia,( Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 159
[16]Imam Muhammad Ali
ibn Muhammad As-Syaukani, Subulus as-Salam jilid V, (Maktabah Al-Aiman,
Tt,), hal. 232. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Juz I, (Daarul al-Ihya
Turosul al-Arobiy), hal 595.
At-Tirmizi, Sunan At-Tirmizi Juz IV, (Darul Kutub Al-Alamiyah,
1994), hal. 310
[17]Syahrijal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif
Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009),
hal. 180
[18]Abdul Manan, Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2006), hal. 33-34
[19]Kompilasi Hukum Islam pasal. 83
[20]Ibid,. pasal. 84.
[21]Abdul Manan, Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 34
[22]Kompilasi Hukum Islam Pasal. 81
[23]Syahrijal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif
Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional ,hal.179
[24]Ibid.,hal.180
[25]Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam
Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang Press, 2008 ), hal. 268
[26]Ibid., 269
[27]. Sunan
At-Turmudzi Juz IV, (Darul Kutub Al-Ilamiyah, 1994), hal. 310
[28]M. Noor HS, Himpunan Istilah Psikologi,
(Jakarta: CV. Pedoman llmu jaya, 1997), hal. 60
[29]Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, (
Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 67
[30]Istilah Keegoisan, artikel diakses pada 20
Juli 2010 dari http//www.situscreatetic.org
[31]Lonely Pasangan, artikel diakses pada 20 Juli
2010 dari http//www.happiestwives.org
[32]Istilah Keegoisan, artikel diakses pada 20
Juli 2010 dari http//www.situscreatetic.org
[35]Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam
Berwawasan Gender, hal. 189-194
[36]Ibid., hal. 296
[37]Ibid., hal. 297
[38]Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan
Hakam Menurut Al-Quran, Sunah dan Undang-Undang Keluarga Islam, ( Kuala
Lumpur: Kolej Universiti Islam Malaysia, 2007), h. 1
[39]Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif
Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, ( Jakarta: Kencana, 2009),
hal. 189
[40]Abu Dawud As-Sihastani, Sunan Abi Dawud Juz
I (Darul
Ihya Turosul Arobiy), hal.651. Abi
Abdillah Muhammad Ibn Yazid, Sunan Ibnu Majah Juz I, hal. 581. Ahmad bin
Hanbal, Musnad Ahmad Juz IV, (Darul Ihya Turosul Arobiy). hal. 446.
[41]Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan
Hakam menurut Al-quran, Sunah dan Undang-Undang Keluarga Islam, hal. 5.
[42]Ibid, hal.6
[43] Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Bukhori, Matan
Bukhari Masykul Bihasyiyati Sanadi,
(T.t: Daarun Nahru an-Naylu, t.th), juz.3, hal. 260. Muslim Bin Hijaj, Sahih
Muslim Juz II, (Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1992), hal 1059.
[45]Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz,
Syiqaq dan Hakam menurut Al-quran, Sunah dan Undang-Undang Keluarga Islam, hal.
7
[47]Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif
Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. (Jakarta: Kencana, 2009),
hal. 191
[48]Ibid., hal. 191
[49]Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam
Berwawasan Gender, hal 296
[50]Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan
Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 63
[51]Ibid., hal. 63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar