Full width home advertisement

Perjalanan Umroh & Haji

Explore Nusantara

Jelajah Dunia

Post Page Advertisement [Top]

Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam pasal 77-84. Adapun isi dalam pasal-pasal tersebut, secara garis besar mempertegas kembali dalam pasal 30-34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal-pasal tersebut dikemukakan bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberikan bantuan batin yang satu kepada yang lain. Selain itu suami isteri juga harus memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka. Suami isteri harus mempunyai tempat yang ditentukan bersama. Dalam rumah tangga itu kedudukan suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Kewajiban suami dalam rumah tangga adalah;
(1) Membimbing isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai urusan dalam rumah tangga yang penting diputuskan bersama-sama oleh suami isteri.
(2) Melindungi isteri dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan member kesempatan belajar pengetahuan yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung nafkah, pakaian, tempat dan kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak serta membiayai pendidikan anak.

Kewajiban suami sebagaimana telah dikemukakan di atas, khususnya kewajiban suami yang berkaitan nafkah, pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, perawatan, pengobatan gugur apabila isteri nusyuz. Isteri dianggap nusyuz jika ia tidak berbakti lahir batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam kecuali dengan alasan yang sah. Apabila isteri tidak nusyuz lagi, maka suami wajib memberikan ketentuan yang yang telah ditetapkan sebagaimana tersebut diatas seperti kewajibannya sebelum isteri nusyuz. Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Suami wajib pula menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas`isteri yang dalam masa iddah. Tempat kediaman yang berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan sebagai tempat menata dan mengatur alat rumah tangga. Ketentuan ini berlaku juga kepada seorang suami yang beristri lebih dari satu orang kecuali ada perjanjian kawin. Jika para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.
C. Pelanggaran Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Pelanggaran adalah sebuah perilaku yang kurang baik karena tidak mematuhi, mengikuti serta melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan dan juga dapat merugikan seseorang. Dalam sebuah pernikahan, salah satu pelanggaran yang dilakukan yaitu tidak terpenuhinya hak dan kewajiban bersama antara suami dan isteri atau sebaliknya salah satu diantara kedua belah pihak tidak memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing.
Pernikahan adalah sebuah ikatan yang suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, mawaddah, dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT seperti dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu, keutuhan dalam rumah tangga harus dijaga sejak pernikahan dilaksanakan, dengan melakukan serta memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing.
Apabila hak dan kewajiban masing-masing tidak terlaksana maka keduanya yaitu suami isteri telah melanggar aturan yang telah ditentukan dalam hukum pernikahan. Karena hak dan kewajiban suami isteri telah diatur secara baik dan pasti dalam Al-Quran, Hadis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ,serta dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Syahrizal Abbas dalam bukunya mengutip sebuah tulisan dari M. Hoballah yang berjudul “Marriage, Divorce, and Inheritance in Islamic Law” yang di dalamnya menerangkan, bahwasanya Hoballah menyebutkan dari beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa penyebab utama ketidaknyamanan rumah tangga dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami isteri secara adil dan makruf, baik hak dan kewajiban yang bersifat materiil maupun hak dan kewajiban yang bersifat immateriil.
Selain karena tidak terpenuhinya hak dan kewajiban di antara masing-masing pihak merupakan sebuah bentuk pelanggaran dalam hak dan kewajiban suami isteri. Adapun bentuk lain dari pelanggaran hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga yaitu adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga baik itu dilakukan oleh suami kepada isteri atau sebaliknya, namun biasanya perempuan lebih banyak menjadi korban kekerasan daripada pelaku karena dianggap kaum lemah dan tidak dapat bertindak sesuatu apapun.
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap/segala perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam kehidupan rumah tangga. Berdasarkan data-data yang direkam dari berbagai lembaga pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga dan kasus yang ditangani oleh kepolisian, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi adalah;
1. Kekerasan Fisik
2. Kekerasan Seksual
3. Kekerasan Psikis
4. Kekerasan Ekonomi/ Penelantaran Ekonomi
Islam menghendaki seseorang tidak boleh melakukan kekerasan kepada siapapun (menjadi pelaku), dan memerintahkan untuk tidak menjadi korban. Karena itu pelaku kekerasan harus ditindak tegas, demikian pula perlindungan terhadap korban kekerasan untuk pulih dan bisa hidup normal.
Dalam sebuah hadits yang dikutip oleh Mufidah Ch dari hadits yang diriwayatkan Imam al Turmudzi:
عَنْ سُلَيْمَانَ عَمْرُو بْنُ اْلأَحْوَصِ. حَدَّثنَِيْ أَبِيْ أَنـَّهُ شَهِدَ حُجَّةُ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُوْلِ للهِ ص.م.... أَلاَّ وَاسْتـَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنمَّاَ هُوَ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ ذَلِكَ. ( رواه الترمذي)
Artinya: Dari Sulaeman A’mru ibnu Akhwas, bahwasnya ayahku telah mengatakan kepadaku bahwa ia telah menyaksikan haji wada’ bersama Rasulullah SAW…. “Ingatlah aku berpesan agar kalian berbuat baik terhadap perempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan diantara kalian, padahal sedikitpun kalian tidak berhak memperlakukan mereka, kecuali untuk kebaikan itu”.(H.R. Imam Turmudzi)

Dengan adanya tindak kekerasan dalam keluarga, maka kebahagiaan dalam rumah tangga tidak tercipta dan jauh dari tujuan pertama perkawinan yaitu mebentuk keluarga yang sakinah. Karena kebahagiaan dalam keluarga serta membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah merupakan harapan bagi semua orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| All Rights Reserved - Designed by Colorlib