Senin, 16 Mei 2011

Pengantar Hukum Agraria dan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria

Hukum agraria adalah kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara orang dengan bumi , air, ruang udara , dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. tujuan hokum agraria (UUPA) yakni untuk membawa kemamuran , kebahagian , dan keadilan bagi Negara-negara dan rakyat, untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hokum pertanahan, untuk memberi kepastian hokum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat Indonesia
Sebelum Undang-Undang Pokok Agraria berlaku pada tahun 1960, hukum agraria yang berlaku adalah hukum agraria kolonial dan ini berlaku sampai dengan tahun 1960, namun dengan beberapa perubahan (sejak tahun 1945) ,yang menyangkut hal-hal yang tidak sesuai dengan jiwa kemerdekaan bangsa Indonesia, pada masa berlakunya hokum agraria kolonial di berlakukan suatu asas yang disebut asas domain verklaring . Asas ini memberi wewenang kepada Negara untuk memiliki BARA , untuk tanah yang tidak dapat di buktikan secara tertulis pada saat itu juga dikenal hak-hak atas tanah yang bersumber dari hokum barat ,seperti hak eigendom (hak milik), hak postal( hak mendirikan bangunan ), hak effacht (hak untuk mengusahakan tanah)
Landasan yuridis hokum agraria nasional diatur dalam UU no. 5 thn. 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria (UUPA), undang-undang ini lahir pada tanggal 24 september 1960 . bumi, air, ruang, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan karunia tuhan kepada bangsa Indonesia
menurut pasal 33(3) UUD1945 , bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemamuran rakyat . hak demikian disebut hak menguasai Negara
asas hokum agrarian antara lain sebagai berikut : Asas hak menguasai Negara, yakni asas ini mengatakan bahwa sebagai organisasi kekuasaan tertinggi Negara di beri wewenang untuk mengatur peruntukan tanah atau berkewajiban untuk mengatur tanah serta pemberian tanah . dalam hal ini Negara bukan sebagai pemilik tanah. Kemudian asas nasionalitas, adalah asas yang menghendakai bahwa hanya bangsa Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan hokum sepenuhnya dengan bumi, air , ruang angkasa , dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Kselanjutnya asas hak atas tanah mempunyai fungsi social, fungsi social hak atas tanah adalah fungsi – fungsi kepentingan orang banyak atau kepentingan nasioanl . sehingga sebidang tanah dapat dicabut dari kepemilikan seseorang bila kepentingan orang banyak atau nasioanl memerlukannya , dengan kompensasi berupa suatu ganti rugi. Kemudian asas persamaan, yakni persamaan dalam penguasaan atas barang yang tidak membeda-bedakan jenis kelamin , golongan , bahkan tidak membedakan suku bangsa. Kemudian juga ada asas mengerjakan sendiri tanah pertaniannya secara aktif, artinya asas ini menuntut pemiliknya harus tinggal tidak jauh dari letak tanah pertaniannya agar efektif mengerjakannya
macam – macam hak atas tanah (menurut pasal 16 UUPA) antara lain sebgai berikut : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak memungut hasil, hak tanggungan
Salah satu problematik yang di hadapi pemerintah dewasa ini muncul "kembali " persoalan pertanahan/ agraria dalam wujud sengketa pertanahan yang terakumulasi dalam tindakan anarkis, seperti penjarahan dan pendudukan tanah – tanah perkebunan, perhutani, Hak Usaha Pertambangan dan Hak Pengelolaan Hutan yang terjadi di Jawa, Sumatera, kalimantan, sulawesi dan Papua yang dalam tataran hukum sangat bertentangan. Sebaliknya dalam wacana sosiologis-empiris perilaku rakyat ini dicermati sebagai manifestasi dari sikap protes ketidak adilan yang melampaui batas kesadaran mereka ( Gunawan Wiradi, 2000: hal 89) tujuannya menuntut kembalikan hak-hak yang dirampas karena saluran hukum tersumbat. Dan tampaknya sengketa / konflik pertanahan kedepan justru mungkin akan meningkat intensitasnya, ditambah upaya penanganan penyelesaiannya memberikan kesan tidak komprehensif, tidak tuntas dan sifatnya partial atau sektoral.
Fenomena diatas untuk menjawab bahwa persoalan permasalahan keagraria / pertanahan dalam tataran politik hukum agraria di Indonesia adalah masalah yang bersifat multi dimensional, yang merupakan masalah nasional yang krusial ( Sediono MP. Tjondronegoro, 1999:3 ). Didalamnya terkait berbagai aspek juridis, sosial, ekonomi, dan keamanan. klaim dari warga setempat baik di jawa diluar Jawa atas tanah perkebunan, kehutanan, Hak Pengelolaan Hutan dan usaha pertambangan yang mengatas namakan tanah leluhur ( hak adat/ ulayat) menunjukkan keruwetan permasalahan yang ada ( Maria Rita Ruwiati, 2000)
Tanah adalah elemen terpenting dan modal negara yang dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat, sebab dalam konteks negara Indonesia yang agraris, tanah merupakan faktor utama sumber penghidupan dan penghidupannya mayoritas rakyat " Petani" untuk itu harus diperdayakan agar tujuan kemakmuran rakyat tercapai. Petani merupakan Tolok ukur keberhasilan dan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemberdayaan Rakyat dalam konsepsi politik hukum agraria ini tampak dengan jelas dalam Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ). Program-program Landreform adalah salah satu aktualisasi dari perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah ( Budi Harsono, 1996 : hal 287-288). Dengan kata lain UUPA merupakan instrumen hukum untuk mewujudkan struktur sosial yang lebih adil yang menghasilkan kemakmuran dan keadilan sosial ( Nur Fauzi dkk, 2000 : hal XIX ).
Sebuah hipotesa Perubahan atau pergeseran politik berpengaruh pada perubahan hukum, karena politik hukum pada hakekatnya merupakan artikulasi perkembangan aspirasi masyarakat. Aspirasi dan tuntutannya merupakan basis materiil dari politik hukum ( Margarito Kamis, 2000 : 5 ) akan tetapi bisa juga disebabkan oleh karena kebutuhan dari suatu kekuasaan. Perubahan / Pergeseran politik hukum agraria menjadi siginifikan terlihat dari pranata-pranata yang dikeluarkan dan konflik yang muncul. Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ) sebagai perwujudan dari Ideologi kerakyatan yang bersifat ( neo) populistis (Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim, 1996: hal 17) bila dicermati maka konflik yang ada / timbul mempunyai sifat horisontal, antara rakyat dengan rakyat. Dalam wacana paradigma baru bersifat kapitalistis maka konflik yang timbul bersifat vertikal, terjadi antara rakyat " petani" berhadapan dengan pemilik modal dalam negeri atau asing yang beraliansi strategis dan taktis dengan penguasa atau rakyat berhadapan langsung dengan pemerintah.
Distorsi ketidak kesepamahaman yang komprehensip dalam interpretasi konsepsi politik hukum agraria dan tujuannya dapat dilihat dari Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang penanaman Modal asing, Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang pengusahaan pertambangan dan Undang- Undang No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan. Kondisi semacam ini terimplikasi pada penanganan permasalahan yang muncul tidak tertangani secara komprehensip hanya bersifat parsial atau sektoral. Bagaimana penyelesaian tanah diperkotaan, persoalan tanah terlantar yang dikuasai pengembang ( Developer), disisi lain bagaimana dengan hutan yang belum dieksploitasi oleh pengusaha hutan dan tanah yang diklaim masyarakat adat dan ulayat.
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 merupakan produk politik hukum Agraria nasional yang lahir sarat dengan wacana historikal dan penempati posisi yang trategis dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam bingkai negara kesatuan Indonesia. Pasal- pasal dalam UUPA tampak jelas merupakan aktualisasi konsepsi filsafat – religius dari pasal 33 ayat 3 UUD'45 dimana Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia, yang dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. dalam konteks inilah UUPA merupakan payung bagi seluruh perundangan yang terkait dengan pengaturan di bidang keagraria Nasional. Memang UUPA dimaksudkan sebagai landasan seluruh program-program baru perundangan Agraria dan untuk menyelaraskan situasi Agraria dan falsafah Indonesia modern ( Karl J. Pelzer, 1991:62).
Wacana yang menarik saat ini terjadinya polemik konsep menguasai Negara sentralistik dan pendelegasian wewenang dalam pengaturan keagrariaan dalam rangka Otonomi Daerah. Akibat adanya perbedaan pentafsiran, pemahaman dan kepentingan memunculkan arogansi sektoral, diperparah adanya benturan kontruksi hukum antara kedua produk hukum tersebut. Tanah identik dengan komoditi ekonomi yang menjanjikan sebagai sumber pemasukan keuangan daerah sekaligus merupakan ancaman konflik horisontal dan vertikal bahkan mengakibatkan disintegrasi bangsa jika tidak dikelola secara hati-hati. Dan sekarang sudah terjadi. Sebagai ilustrasi menarik bagaimana jadinya seandainya kabupaten Kerawang mengubah tanah pertanian menjadi Industri, maka dapat dibayangkan Indonesia akan menjadi negara pengimport beras terbesar didunia ( Lutfi I. Nasution, Wakil Kepala BPN dalam seminar di Batu Malang tanggal 21 mei 2001).
Berbagai persoalan itulah memunculkan pertanyaan tentang eksistensi UUPA. Ada sementara yang berpendapat UUPA perlu diamandir / revisi atau reformulasi ulang, karena sudah tidak bisa perespon perkembangan saat ini. Sebaliknya ada pula yang berpendapat masih responsif, justru persoalannya terletak pada kebijakan politik hukum yang dikeluarkan sebagai pelaksana UUPA yang menimbulkan masalah.


Update Maktabah Syamilah Ke Versi Terakhir

Maktabah Syamilah dikalangan akademisi dan cendekiawan muslim bahkan kaum awam sekalipun sudah mengenalnya, kecuali yang belum kenal sampai saat ini. karena software ini merupakan kompilasi dari berbagai ragam kitab, yang terkumpul dari beberapa disiplin ilmu keislaman. seperti kitab tafsir, kitab hadits, kitab aqidah, kitab fiqih, kitab adab, kitab tentang matan hadis, masalah-masalah fikih, sejumlah kamus dan lain-lain. Tentu saja kehadiran software ini sangat mempermudah para pecinta ilmu yang haus akan ilmu untuk pencarian referensi, karena software ini disadur dari pengarangnya langsung dapat dan mudah ditemukan hanya dengan menggerakkan mouse dan keyboard saja. Mudah, cepat dan sangat ekonomis, jika dibandingkan dengan biaya untuk membeli ratusan kitab-kitab klasik.

dan keuntungan lainya juga, kita tidak perlu repot-repot untuk membawa kitab yang begitu banyaknya, hanya cukup kita letakan dalam Laptop kita, dan diamana saja kita dapat membukanya dengan tapa kendala dan permasalahan.
Maktabah syamilah gratis untuk digunakan oleh siapapun, cukup mengunjungi halaman websitenya dan ambil softwarenya, kitab dengan berbagai macam dan cabang ilmu keislaman ada di genggaman kita.
Dalam kesempatan kali ini saya tidak akan membahas bagaimana cara meninstal Maktabah Syamilah ini dan bagaimana mendapatnkanya. Bukan karena sulit, akan tetapi waktu dan tempat yang tidak memungkinkan membahas masalah ini. mungkin dialin waktu akan saya terangkan dan kasih tipsnya. Selanjutnya, saya akan berbagi pengalaman kepada pembaca dan para pecinta ilmu Allah yang budiman, untuk mendapatkan maktabah syamilah terbaru, dengan cara mengupgrade mela lui ringkasan tutorial singkat berikut iniberikut ini:
1. Pastikan maktabah syamilah versi sebelumnya sudah terinstal dengan baik dan dapat dioperasikan.
2. Tutuplah jendela maktabah syamilah yang sedang anda buka dan akti.
3. Sedotlah file upgrade software versi terakhir dari maktabah syamilah di http://www.shamela.ws, kemudian pilih menu Upgrade.
4. Ekstraklah file yang telah Anda download dengan cara mengklik fie yang telah anda sedot tadi, yakni file Upgrade versi terakhir.
5. Setelah itu, selanjutnya akan muncul hasil dari file yang telah anda ekstrak tadi. Antara lain sebagai berikut : bin, files, pdf, autorun dan shamela.
6. Klik file yang bertuliskan shamela.exe.
7. Tunggu beberapa saat dan lihat hasilnya. jrennggggg.
8. seduhlah secangkir kopi untuk mencairkan suasana.
8. Jika Anda belum berhasil, maka ulangi kembali mengklik file shamela.exe. Kemudian cari dimana tempat instal (destination) maktabah syamilah versi sebelumnya. Disini Anda mencari patch dari syamilah library dari folder Maktabah Syamilah versi sebelumnya.
9. BERHASIL dan semoga bermanfaat. Amin


Kamis, 05 Mei 2011

Hujan Membawa Tenang

Yaa Rabb, ku ucapkan rasa syukur yang tiada tara, engkau telah memberikan ketenangan dalam diri hamba yang dhoif ini, sore yang awalnya membuat hamba senang, kemudian karena ada sesuatu yang datang dan membuat hati hamba merasa tidak nyaman, otomatis perasaan yang awalnya senang berubah drastis menjadi tidak nyaman, namun terdengar perlahan-lahan bunyi petir dari kejauhan dan langitpun berubah menjadi hitam, tandanya sebentar lagi hujan akan turun di bumi pondok cabe!
Ternyata tidak lama kemudian, airpun mulai turun dan bumipun mulai basah, terasa segar dan fresh udaranya, seakan terasa di puncak nan tinggi, seperti di kampung halamanku tercinta, Jabal Karang.

Suasana hati yang murung, karena terbawa suasana air hujan yang turun, dan terdengar bunyi alunan bunyi air hujan yang terdengar berirama di tambah dengan alunan bunyi petir sesekali terdengar dengan kilatan cahayanya yang begitu khas, membuat hamba merasa dhoif yaa Rabb, hamba bersyukur bisa merasakan ketenangan di hati hamba, engkau maha suci ya rabb, engkau maha kasih ya rabb, engkau maha segalanya ya rabb, tiada tuhan selain engkau.
Persoalan yang terjadi itu memang kita tahu akan kemana arahnya, rencana kita A, kalau lah Allah SWT tidak menghendaki, pastilah tidak mungkin terjadi, akan tetapi kalau lah Allah menghendakinya, sangatlah mudah bagimu..


Alamat Website Resmi Pengadilan Tinggi Agama di Indonesia

Pada kesempatan kali ini, iseng-iseng nih membuat postingan tentang Alamat Website Pengadilan Tinggi Agama yang ada di seluruh indonesia, mohon masukannya dari pembaca jika kiranya ada kekurangan dan ada yang belum tercantum Alamat PTA, mohon memberikan masukannya.
Berikut Ini Adalah Alamat Website PTA Se Indonesia :

NO.

PENGADILAN TINGGI AGAMA

ALAMAT WEBSITE

1.

Mahkamah Syaria’h Prop. NAD

http://www.mahkamahsyariahaceh.go.id/

2.

Pengadilan Tinggi Agama Medan

http://www.pta-medan.go.id/

3.

Pengadilan Tinggi Agama Padang

http://www.pta-padang.go.id/

4.

Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru

http://www.ptapekanbaru.net/

5.

Pengadilan Tinggi Agama Jambi

http://www.pta-jambi.net/

6.

Pengadilan Tinggi Agama Palembang

http://www.pta-palembang.net/

7.

Pengadilan Tinggi Agama Bangka Belitung

http://www.pta-babel.net/

8.

Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu

http://www.pta-bengkulu.net/

9.

Pengadilan Tinggi Agama Bandar Lampung

http://www.pta-bandarlampung.go.id/

10.

Pengadilan Tinggi Agama Banten

http://www.pta-banten.net/

11.

Pengadilan Tinggi Agama Jakarta

http://www.pta-jakarta.net/

12.

Pengadilan Tinggi Agama Bandung

http://www.pta-bandung.go.id/

13.

Pengadilan Tinggi Agama Semarang

http://www.pta-semarang.go.id/

14.

Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta

http://www.pta-yogyakarta.go.id/

15.

Pengadilan Tinggi Agama Surabaya

http://www.pta-surabaya.go.id/

16.

Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin

http://www.pta-banjarmasin.go.id/

17.

Pengadilan Tinggi Agama Palangkaraya

http://www.pta-palangkaraya.net/

18.

Pengadilan Tinggi Agama Pontianak

http://www.pta-pontianak.go.id/

19.

Pengadilan Tinggi Agama Samarinda

http://www.pta-samarinda.net/

20.

Pengadilan Tinggi Agama Makassar

http://www.pta-makassarkota.go.id/

21.

Pengadilan Tinggi Agama Palu

http://www.pta-palu.net/

22.

Pengadilan Tinggi Agama Kendari

http://www.ptakendari.net/

23.

Pengadilan Tinggi Agama Manado

http://www.pta-manado.net/

24.

Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo

http://www.pta-gorontalo.go.id/

25.

Pengadilan Tinggi Agama Mataram

http://www.pta-mataram.go.id/

26.

Pengadilan Tinggi Agama Kupang

http://www.pta-kupang.go.id/

27.

Pengadilan Tinggi Agama Ambon

http://www.pta-ambon.go.id/

28.

Pengadilan Tinggi Agama Maluku Utara

http://www.ptamalut.net/

29.

Pengadilan Tinggi Agama Jayapura

http://www.pta-jayapura.go.id/


Perkawinan Menurut Agama Budha

Agama Budha lahir dan berkembang pada abad ke-6 Sebelum Masehi. Agama ini beroleh namanya dari panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang mula-mula, Sidharta Gautama (563 - 483 SM), yang dipanggil dengan Budha.
Gautama Buddha nama aslinya Pangeran Siddhartha putra Raja Kapilavastu. Beliau dilahirkan pada awal masa Magadha (546–324 SM) di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini, yang secara geografis terletak di Nepal bagian selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (orang bijak dari kaum Sakya). Ayahnya adalah Raja Suddodana dari kerajaan Sakya.
Agama Budha mengajarkan agar umatnya hidup dengan menjauhi kotoran-kotoran duniawi, bahkan lebih jauh lagi Budha melegitimasi bahwa hidup ini adalah penderitaan. Siklus yang berputar-putar antara dilahirkan, tua, mati dan dilahirkan kembali merupakan penderitaan.
Adapun yang menjadi faktor penyebab orang dilahirkan kembali adalah karena keinginannya kepada hidup yang disertai dengan nafsu mencari kepuasan yang disebabkan karena ketidak tahuan (avidya). Agar manusia terlepas dari penderitaan, harus ditempuh dengan menghapus keinginan atau nafsu secara sempurna dengan menggunakan delapan jalan (maga) kelepasan, yakni: percaya yang benar, maksud yang benar, kata-kata yang benar, perbuatan yang benar, hidup yang benar, ingatan yang benar dan samadhi yang benar.

Agama Budha mengajarkan kepada umatnya untuk memprioritaskan apa yang disebut dengan kebahagiaan tertinggi (nirwana). Maka sebuah perkawinan tidak akan mencapai kebahagian apabila yang menjadi prioritas bagi suami dan isteri hanyalah hal-hal yang bersifat keduniaan. Perkawinan sebagai salah satu aspek hidup akan selalu dicengkeram oleh dukha, dan dalam satu perkawinan kebahagiaan yang diperoleh adalah kebahagiaan yang bersifat duniawi (lokiya) sedangkan kebahagiaan yang tertinggi adalah nirwana (nibbana), yang untuk mencapainya diperlukan pemadaman semua kotoran bathin, termasuk nafsu seks.
Mengenai persoalan perkawinan ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Pandita Sasanadhaja Dokter R. Surya Widya dalam artikel di situs resmi Samanggi Phala (Buddhist Information Network), menyatakan bahwa dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur perkawinan, akan tetapi dari berbagai Sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia. Sedikitnya uraian (hukum) yang mengatur persoalan perkawinan, berdasar atas azas kebebasan bahwa seorang laki-laki yang beragama Buddha di dalam hidupnya dapat memilih antara hidup berkeluarga dan tidak berkeluarga.
Sebelum dilangsungkannya perkawinan, bagi umat Budha diharuskan untuk saling memantau antara calon pasangan, sehingga masing-masing mendapatkan informasi mendalam tentang kondisi pribadi pasangannya. Hal ini didasarkan atas konsep kesetaraan yang dipandang sangat penting dalam kelangsungan hidup berumah tangga. Sebagaimana yang ditulis oleh Pandita Sasana Dhaja R. Surya Widya: Apabila sepasang suami isteri ingin bersama-sama (berjodoh) dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang akan datang maka ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu keduanya harus setara dalam keyakinan (saddha), setara dalam etika atau moral (sila), setara dalam kemurahan hati (caga) dan setara dalam kebijaksanaan/pengertian (panna). (Angutara N. II, 62).
Yang dimaksud dengan saddha adalah keyakinan yang mendalam terhadap sang Tiratna (Triratna) yaitu Budha, Dhamma dan Sangha dalam keadaan yang bagaimanapun juga umat Budha hanyalah berlindung kepada sang Triratna.
Sila mempunyai pengertian bahwa bagi setiap umat Budha yang hidup berkeluarga terdapat lima sila yang wajib ditaati. Kelima sila tersebut adalah:
1) Tekad melatih diri untuk tidak menghilangkan nyawa makhluk lain yang bernafas,
2) Tidak mengambil barang orang yang diberikan,
3) Tidak melakukan perbuatan asusila,
4) Tidak mengucapkan kata-kata yang tidak benar, tidak berguna, tidak beralasan dan tidak tepat waktu,
5) Tidak menggunakan segala zat yang dapat melemahkan kesadaran.
Caga adalah kemurahan hati, suka memberi atau berdarma, suka membantu mereka yang perlu dibantu, merasa gembira dan bahagia melihat orang lain berbahagia dan damai.
Panna adalah kebijaksanaan yang merupakan landasan segala hal yang baik, yang dilakukan oleh seorang yang memahami ajaran sang Budha.
Di dalam agama Budha tidak banyak ditemukan hukum yang mengatur tata cara perkawinan itu sendiri secara langsung seperti dikemukakan oleh Pandita Sasanadhaja Dokter R. Surya Widya diatas, namun demikian dapat ditelusuri berbagai macam aturan yang harus dijadikan pedoman kehidupan suami dan istri agar hidup mereka bahagia.

Perkawinan Menurut Agama Kristen Katolik dan Protestan

Pembawa ajaran agama Kristen adalah Isa Al-Masih atau Yesus Kristus. Isa Al-Masih lahir pada tahun. 6 SM, dari ibu bernama Maryam (Maria) di kota Betlehem, daerah Yerusalem di Palestina (sekarang Republik Israil).
Beberapa sumber diantaranya mengatakan bahwa Yesus Kristus lahir pada tahun ke-4 sebelum tahun pertama Masehi, yakni tepatnya tanggal 25 Desember tahun 4 SM, di sebuah desa yang bernama Betlehem (Baitu Lahmin).
Ajaran Kristen tertuang dalam Holy Bible, yang terdiri dari dua bagian yaitu Old Testamen (Perjanjian Lama) dan New Testamen (Perjanjian Baru). Perjanjian Lama adalah "Biblia yang merupakan kitab suci dalam agama Yahudi", yang terbagi atas tiga bagian yaitu Torah, Nebiim dan Kethubiim. Sedangkan Perjanjian Baru merupakan kitab suci yang paling mendasar dalam agama Kristen, yang terdiri dari empat bagian yaitu Gospels (himpunan Injil), Acts of Apostles (kisah para Rasul), Epistles (himpunan surat) dan Apocalypse (wahyu).
Pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara Kristen Protestan dan Katolik terutama mengenai masalah ketuhanan dan kitab suci. Hanya saja dalam beberapa masalah keagaman terdapat perbedaan antara mereka, sebagai berikut:

1. "Kaum Protestan tidak mengorganisasi klerus (pejabat-pejabat gereja yang takluk pada satu imam tertinggi seperti gereja Katolik).
2. Kaum Protestan tidak melarang imam-imamnya kawin, sedangkan gereja Katolik melarangnya.
3. Kaum Protestan menolak ajaran Katolik yang menganggap bahwa dalam perjamuan suci, roti dan anggur itu benar-benar terjadi dari tubuh dan darah Kristus.
4. Hak antara orang biasa dengan imam dalam perjamuan suci, bagi kaum Protestan sama, tetapi gereja Katolik membedakan menurut tingkatannya.
5. Tentang jumlah sakramen (peribadatan), menurut kaum Protestan hanya dua macam sedang menurut gereja Katolik Roma ada tujuh macam."

Larangan menikah dan penetapan keputusan tentang kemestian membujang (celibacy) bagi setiap pendeta (pastor) dan rahib (monk), seperti yang disebutkan pada point no.2 di atas, adalah merupakan sebuah keputusan yang sudah ditetapkan sejak Paus Gregory I, tahun 590 – 604 M.
Perbedaan pendapat diantara kaum Protestan dan Katolik bukanlah suatu hal yang mengherankan. Dalam untaian panjang sejarah agama Kristen, sejak abad ke-16 M telah terjadi konflik dan silang pendapat yang didasarkan kepada beberapa prinsip keagamaan. Beberapa hal penting yang melandasi konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Wewenang spiritual tertinggi di tangan para Paus di Vatikan lambat laun telah disalah gunakan dan menindas perkembangan alam pikiran, sehingga timbul gerakan perlawanan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi tersebut. Kelompok perlawanan ini disebut sebagai kaum reformis.
2. Terbukanya alam fikiran di dunia barat pada abad ke-14, dengan digalinya kembali filsafat Grik dan penyalinan manuskrip-manuskrip Arab ke dalam bahasa Latin. Hal ini memicu budaya baru, yakni membuat semakin bergairahnya alam fikiran barat terutama dalam bidang kebudayaan, filsafat serta agama. Zaman ini disebut sebagai zaman Renaissance atau zaman kebangkitan.
3. Persoalan tentang hubungan antara gereja dengan Alkitab. Dalam Traditio declarativa (Tradisi Gereja), sebagaimana ajaran Paulus dalam Rum, 12:4-5;1 Korintus, 3:16-17;1 Korintus, 12;12, 27;1 Korintus, 6;16, bahwa gereja (dijelmakan oleh sidang para uskup) itu merupakan tubuh Jesus dalam bimbinga Ruhul Kudus, sehingga hanya gereja yang berhak menafsirkan Alkitab tanpa kesalahan. Selain itu, Traditio constitutiva yang menyatakan bahwa Alkitab merupakan buah dari gereja, bukan sebaliknya. Lalu Konsili Vatikan I pada tahun 1869 – 1870 M, bahwa hanya Gereja Rum Katolik saja yang berhak menafsirkan Alkitab, dan setiap pernyataannya tidak dapat ditinjau kembali (bersifat mutlak). Kondisi inilah yang memicu kaum Protestan mengadakan perlawanan, yang tertuang dalam Thesis modernitas yang secara mendasar mengandung empat fikiran penting, sebagai berikut:
a. Gereja dianggap mengadakan penyamaran dan ketidak pastian atas ajaran Kristus
b. Pandangan-pandangan ke-Tuhanan atas diri Jesus Kristus tidak terbukti dalam Alkitab. Hal itu hanya merupakan dogma yang ditafsirkan sendiri.
c. Ajaran mengenai Kristus yang diajarkan Paulus, Yahya, Konsili Nicae, Konsili Ephesus, dan Konsili Chalcedon bukanlah doktrin yang diajarkan Jesus tapi merupakan konsep nurani pihak Kristen.
d. Perkembangan ilmiah menuntut agar konsep agama Kristen mengenai Allah, Kejadian, Wahyu, Tubuh dari Inkarnasi Kalam, dan Penebusan Dosa, harus ditinjau kembali.

1. Perkawinan Menurut Agama Kristen Katolik
Perkawinan dalam hukum Gereja Katolik dirumuskan sebagai sebuah perjanjian antara seorang pria dan wanita untuk membentuk kehidupan bersama, yang terarah kepada kesejahteraan keluarganya serta mengutamakan kelahiran dan pendidikan anak. Status perkawinan itu sendiri sangat dimuliakan, sebagaimana disebutkan bahwa: oleh Kristus Tuhan, perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen (Kan 1055:1).
Lebih lanjut dalam surat Paulus kepada para jemaatnya di Efesus, Paulus mengumpamakan bahwa perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita itu sebagai hubungan antara Kristus dengan jema'atnya. Gereja Katolik Roma menafsirkan ayat-ayat (surat Paulus) tersebut sedemikian rupa, sehingga rangkaian tata cara nikah yang sah dan dikukuhkan oleh gereja bukanlah perbuatan biasa melainkan sebuah perbuatan sakral yang diangkat menjadi suatu lambang perhubungan antara Kristus dengan gereja atau Kristus dengan jemaat. “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (Efesus 5:32).
Dengan demikian, maka nikah yang diteguhkan oleh gereja "termasuk perbuatan-perbuatan gerejani, dengan perbuatan-perbuatan itu kita memperoleh anugerah Kristus yang menyelamatkan". Ikatan cinta kasih suami isteri seperti itu akan diangkat ke tingkat yang lebih tinggi yaitu ke dalam cinta kasih Ilahi. Artinya Kristus sendiri membuat perkawinan itu menjadi sarana bagi penyaluran cinta kasih Ilahi.
Selain itu, perkawinan dalam ajaran Katolik bersifat monogam, ini yang kemudian disebut sebagai Sifat Hakiki Perkawinan yang Khas dalam ajaran Katolik.
Sifat hakiki itu ada dua hal, sebagai berikut:
1. Monogami yang didasarkan atas kesamaan martabat pribadi yang sama antara pria dan wanita yang di anugerahkan cinta kasih yang total dan bersifat ekslusif. Dalam ajaran Katolik, ikatan perkawinan hanya mungkin dilakukan dengan satu jodoh, sehingga terhalang untuk mengadakan perkawinan dengan orang lain pada waktu yang sama. Perceraian tidak diakui oleh gereja Katolik, sehingga orang yang telah terikat perkawinan akan kekal walaupun mengadakan perceraian di Catatan Sipil, mereka masih dipandang terikat dalam perkawinan dengan jodohnya yang pertama.
2. Mempunyai sifat yang tidak terputuskan, sebab pernikahan yang termasuk dalam kategori Ratum et consummatum (antara dua orang yang telah dibaptis dan sudah terjadi konsumasi dengan senggama suami istri secara manusiawi) adalah bersifat mutlak tak dapat diputuskan, tanpa peduli apapun akibatnya.
Dalam agama Katolik, pernikahan dipandang sah apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Bebas dari halangan-halangan kanonik. Yakni 12 point jenis halangan sebagai mana yang sudah dirumuskan dalam KHK 1983, sebagai berikut yakni:
a) Belum mencapai umur kanonik (Kan. 1083). Yaitu usia calon pengantin pria belum berumur genap 16 tahun dan wanita sebelum berumur genap 14 tahun, alasan batas usia tersebut didasarkan atas kematangan intelektual dan psikoseksual (Kan 1095).
b) Impotensi (Kan. 1084), yakni ketidak mampuan untuk melakukan hubungan seksual suami-istri, baik calon mempelai pria maupun wanita. Menurut Kan. 1095, halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber dari hukum Ilahi kodrati, sehingga tidak bisa didispensasi.
c) Ligamen/ikatan perkawinan terdahulu (Kan. 1085). Kesatuan (unitas) dan sifat monogam perkawinan merupakan salah satu sifat hakiki perkawinan, yang berlawanan dengan perkawinan poligami atau poliandri.
d) Perkawinan beda agama/Disparitas cultus (Kan. 1086)
e) Tahbisan suci (Kan. 1087). Orang-orang tertentu yang memperoleh tahbisan suci akan mempunyai status kanonik yang khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka pelayan-pelayan rohani dalam gereja.
f) Kaul kemurnian publik yang kekal (Kan. 1088). Seperti juga tahbisan suci, orang religius yang terikat dengan kaul kemurnian tidak bisa melangsungkan perkawinan dengan alasan bahwa hidup religius tidak bisa dihayati bersama-sama dengan hidup perkawinan.
g) Penculikan (Kan. 1089). Kemauan untuk menikah harus atas dasar suka rela dan tanpa paksaan apapun, kebebasan adalah syarat mutlak demi keabsahan kesepakatan nikah.
h) Pembunuhan teman perkawinan (Kan. 1090). Ini disebut halangan kriminal conjungicide, yakni orang yang sebelumnya telah membunuh pasangannya, “One who, with a view to entering marriage with a particular person, has killed that person’s spouse, or his or her own spouse, invalidly attempts this marriage.” (kanon 1090 point ke-1)
i) Konsanguinitas/hubungan darah (Kan. 1091), artinya orang-orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, dan garis keturunan menyamping sampai dengan tingkat ke-4.
j) Hubungan semenda atau affinitas (Kan. 1092).
k) Kelayakan publik (Kan. 1093). Menurut Kan. 1093 halangan nikah yang timbul dari kelayakan publik dibatasi pada garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak wanita, begitu juga sebaliknya.
l) Hubungan adopsi (Kan. 1094), ini karena anak yang diadopsi secara legal memiliki status yuridis yang sama dengan status yuridis anak kandung.
2. Adanya konsensus atau kesepakatan nikah, yaitu kemauan pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Konsensus bisa cacat oleh faktor-faktor berikut:
a. Ketidak mampuan psikologis (Kan. 1095)
b. Tak ada pengetahuan yang cukup mengenai hakekat perkawinan (Kan. 1096)
c. Kekeliruan mengenai pribadi (Kan. 1097)
d. Penipuan (Kan. 1098)
e. Kekeliruan mengenai sifat perkawinan dan martabat sakramental perkawinan (Kan. 1099)
f. Simulasi (Kan. 1101): simulasi total; simulasi parsial (bonum prolis, bonum fidei, bonum sakramenti, bonum coniugum).
g. Konsensus bersyarat (Kan. 1102)
h. Paksaan dan ketakutan (Kan. 1103)
3. Dirayakan dalam forma canonika (Kan. 1108-1123), artinya perkawinan harus dirayakan dihadapan tiga orang, yakni petugas resmi gereja sebagai peneguh, dan dua orang saksi.
Pernikahan antara seorang pria dan wanita yang dilakukan secara sah kemudian ditingkatkan menjadi satu sakramen. Sakramen tersebut diberikan oleh suami isteri itu sendiri, yaitu dengan mengucapkan janji saling mencintai dan setia satu sama lain dihadapkan imam dan para saksi. Janji pernikahan tersebut diucapkan dalam bentuk sumpah yang berbunyi: "saya berjanji setia kepadanya dalam untung dan malang, dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini." Dengan selesainya pengucapan janji kedua mempelai kemudian diteguhkan oleh imam dan diberkatinya, maka sahlah perkawinan kedua mempelai dari sudut hukum agama Katolik.

Poligami Menurut Hukum Positif

Poligami merupakan suatu konstruksi sosial budaya dalam institusi rumah tangga yang telah terbentuk lama. Indonesia merupakan salah satu negara yang membolehkan poligami berdasarkan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang menyebutkan bahwa seorang suami boleh melakukan perkawinan dengan wanita lain jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Di samping itu aturan PP No 45 tahun 1990 sebagai revisi dari PP no 10 tahun 1983 tentang izin perceraian dan perkawinan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Meskipun Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami, seperti yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun dalam pasal berikutnya dikatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Dalam pasal 3 ayat 2 disebutkan, Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Dengan demikian jelas bahwa asas yang dianut oleh undang-undang perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka, dimana poligami ditempatkan pada posisi hukum darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumtance).

Klausul pembolehan poligami ini sebenarnya adalah pengecualian oleh karena itu dalam pasal-pasal tersebut terdapat alasan serta syarat-syarat ketentuan. Dalam pasal 4 Undang-undang Perkawinan dikatakan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut bersifat fakultatif, artinya jika salah satu persyaratan tersebut dapat dibuktikan, Pengadilan Agama dapat memberi izin.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, suami harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 5 UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yaitu harus adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Dan alasan yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) ini bersifat kumulatif, artinya Pengadilan Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila semua persyaratan telah terpenuhi. Hal ini serupa dengan apa yang diatur dalam PP no 45 tahun 1990 amandemen dari PP no 10 tahun 1983 tentang Perkawinan dan Perceraian bagi para pegawai sipil.
Poligami bagi pegawai sipil diatur sangat ketat sebagaimana dijelaskan dalam pasal 11 bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari seorang wajib meminta izin terlebih dahulu kepada kepala pejabat yang bersangkutan. Hal ini menggambarkan sempit dan ketatnya aturan poligami di Negara kita yang kontradiksi dengan praktek yang terjadi di lapangan, poligami marak dan sepertinya mudah sekali dilakukan, dengan melihat banyaknya kasus izin poligami yang dikabulkan oleh Pengadilan.
Sebagai perbandingan dengan Negara muslim lainnya. Negara Tunisia, Turki, Uzbekistan dan Tajikistan melarang poligami secara mutlak. Tunisia melarang poligami sejak tahun 1958. Undang-undang perkawinan 1958 yang diperbarui 1964 menyatakan hukuman pelaku poligami adalah satu tahun penjara dan denda 240.000 franc (Pasal 18). Di Uzbekistan dalam Undang-undang Pidana Uzbekistan Nomor 2012-XII Tahun 1994, Pasal 126 menyatakan, "Poligami, yaitu hidup bersama dengan paling sedikit dua perempuan dalam satu rumah, dihukum denda 100 hingga 200 kali gaji minimal bulanan, atau kerja sosial sampai tiga tahun, atau dipenjara hingga tiga tahun."
Undang-undang Pidana Tajikistan dalam Pasal 170 menyatakan, "Poligami, melakukan pernikahan dengan dua perempuan atau lebih, dihukum denda 200-500 kali gaji minimal bulanan, atau kerja sosial hingga dua tahun." Negara Muslim lain, seperti Maroko, Irak, Yaman, Jordania, Mesir, Aljazair, dan Pakistan, meski tidak secara tegas melarang, tetapi menerapkan syarat ketat dan memberi sanksi berat bagi pelanggarnya, sama seperti Indonesia. UU Maroko al-Mudawwanah 1957, diperbarui 2004, Pasal 31 menyatakan, poligami dilarang jika suami dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil. Pasal itu juga memberi hak bagi perempuan mengajukan cerai jika si suami poligami.
Undang-undang Irak 1959 (sebelum invasi AS) Pasal 3 melarang poligami, kecuali ada kondisi yang membolehkannya seperti dalam Ayat 4, yaitu berkecukupan harta untuk menghidupi istri-istrinya dan ada kemaslahatan. Jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil, maka poligami dilarang seperti dinyatakan dalam Ayat 5. Pelanggarnya dihukum satu tahun penjara dan denda 100 dinar (Ayat 6).
Undang-undang Yaman 1974 Pasal 11 melarang poligami, kecuali atas izin pengadilan dengan kondisi istri mandul atau punya penyakit yang tak dapat disembuhkan. Adapun Pasal 19 UU Jordania 1976 memberi ta'lik talak bagi wanita. Mereka berhak minta janji suami tidak akan poligami. Jika dilanggar, istri dapat mengajukan cerai ke pengadilan.
Undang-undang Aljazair 1981 Pasal 4 sebenarnya melarang poligami, tetapi dibolehkan jika terpaksa. Pengecualian ini tidak berlaku bagi mereka yang tak dapat berbuat adil atau tak ada alasan syar'i dan izin istri. Istri boleh mengajukan ta'lik talak, yaitu janji suami tidak akan poligami. Jika suami poligami, istri dapat mengajukan cerai (Pasal 5). UU Pakistan tahun 1964 memberi hak bagi istri mengajukan cerai ke pengadilan jika diperlakukan tidak baik/adil.
Menilik Undang-undang negara-negara Muslim ini, tampak persyaratan poligami sangat sulit dan praktis mustahil dipenuhi. Begitu juga sanksi bagi yang melanggar cukup berat. Berkaca pada beberapa Undang-undang negara-negara Muslim diatas dan praktik poligami yang dilakukan banyak orang sekarang ini telah menimbulkan dampak buruk dan kerusakan baik secara personal maupuan sosial, maka sudah saatnya pemerintah melangkah secara progresif untuk menangani persoalan ini, dan hukum Islam yang lebih berpihak pada perempuan sudah seharusnya diterapkan di Indonesia melalui payung hukum berupa undang-undang.
Sebagaimana diterangkan dalam kaidah fikih “addharara yuzaal” kerusakan harus dihilangkan dan “dar ‘ul mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih” (mengntisipasi atau menolak terjadinya kerusakan harus lebih diutamakan daripada megambil kemashlahatan). “tasharruf al-imam ‘ala ar-rai’iyyah manuthun bi al-mashlahah.” Tindakan pemerintah terhadap rakyatnya diletakan dalam kerangka kemaslahatan masyarakat (kebaikan dan kesejahteraan sosial).
Menurut Imam Asy-Syafi’i, kaidah ini berbunyi “manzilah al-imam min ar-ra’iyyah manzilah al-waliy min al-yatim” kedudukan pemerintah terhadap rakyatnya adalah sama dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Sehingga Muhamad Abduh mengapresiasikan pendapatnya bahwa hakim (pengadilan) boleh menolak poligami atau boleh bagi orang alim untuk menolak poligami secara mutlak karena mempertimbangkan mayoritas.
Berbicara masalah poligami, yang seringkali dikaji dan dibahas selalu aspek keagamaan yang dimunculkan sebagai payung boleh tidaknya poligami. Namun jarang sekali mengkajinya dari aspek lain seperti dari aspek sosiologi, psikologi, atau dari aspek ekonomi serta pengaruhnya terhadap institusi keluarga dan sistem perundang-undangan yang berhubungan dengan sosial dan ekonomi rumah tangga berkenaan hak waris misalnya. Dengan begitu kajian mengenai poligami ini akan lebih baik jika dikaitkan dengan perencanaan kebijakan terutama kebijakan terhadap istri-istri dan anak-anak yang dihasilkan.
1. Poligami dari aspek sosial dan budaya
Jika kita melihat dari segi antropologi sosial budaya, gejala poligami dominan pada masyarakat yang menganut sistem patrilinieal. Dalam masyarakat yang lebih maju akan sosial ekonomi lebih banyak melakukan poligami atau lebih banyak terjadinya monogami serial, dimana perceraian seringkali terjadi. Namun demikian tidak berarti masyarakat tradisional tidak atau jarang akn praktek poligami ini, dalam masyarakat tradisionil kekuasaan status sosial laki-laki menentukan jumlah istri yang dmiliki. Banyak orang tua yang rela bahkan menawarkan anak perempuannya untuk diperistri oleh laki-laki yang berkuasa padahal ia telah memiliki istri untukmendapatkan status sosial yang tinggi. Hal ini nampaknya juga terjadi pada masyarakat modern meskipun dalam prakteknya berbeda yakni perkawinan dilakukan di bawah tangan.
2. Poligami dari aspek ekonomi
Faktor penyebab lain dalam poligami adalah kemapanan dalam ekonomi. Dimana laki-laki yang mapan secara ekonomi menjalani poligami juga sebagai salah satu simbol kesuksesan bagi laki-laki tersebut. Praktek poligami marak dilakukan dikalangan masyarakat yang berpenghasilan besar. Dalam prakteknya,tidak sedikit kita jumpai suami ketika telah menikah dengan istri keduanya dia melalaikan atau tidak mengindahkan aturan untuk adil dalam memenuhi kebutuhan istri-istrinya.
Tentunya dalam hal ini suami yang berpoligami harus mampu dan bersedia memenuhi kebutuhan hidup serta memberikan kesejahteraan bagi istri dan semua anggota keluarganya. Suami juga harus mampu mengelola keuangan dalam arti memiliki bekal menejemen dan pengelolaan keuangan yang baik dan investasi yang handal. Patutnya demikian yang dimaksudkan pasal 5 ayat 2 dan ayat 3.
3. Poligami dalam perspektif Demografi
Secara demografi, perkawinan poligami harus dilihat dalam konteks 3 komponen besar yaitu kematian, kelahiran dan migrasi. Dalam hal kematian peningkatan usia harapan hidup baik laki-laki maupun perempuan diduga mengakibatkan adanya banyak waktu untuk melakukan poligami. Dari sisi kelahiran, poligami akan menyebabakan keluarga besar dengan banyak istri dan banyak anak.
Dari sisi migrasi, poligami banayak terjadi ketika arus dan kecendrungan migrasi semakin besar. Terpisahnya suami istri oleh jarak tempat tinggal menjadi penyebab terjadinya poligami.dalam kaitan keterlibatan perempuan di pasar kerja, memperlihatkan perempuan yang mapan dari segi ekonomi dan mandiri lebih memilih untu tidak dipoligami. Namun demikian hal itu juga yangmenyebabkan tingginya angka perceraian ketika perempuan tidak mau untuk ipoligami.
4. Poligami dalam perspektif psikologi.
Poligami juga membawa dampak terhadap keluarga, yaitu dampak psikis pada istri pertama dan juga pada anak-anak mereka, perasaan ketidak amanan pula yang dialami istri keduanya karena nikah sirri misalnya, penelantaran anak, kekerasan psikologis, dan lainnya. Jelas pada dasarnya poligami merupakan pembunuhan karakter pada perempuan.
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan LBH APIK, 2003 lalu, merinci berbagai dampak negatif poligami yang menimpa istri pertama. Di antaranya, tidak diberi nafkah, mengalami penganiayaan fisik, diteror istri kedua, pisah ranjang, dan akhirnya diceraikan di pengadilan. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi poligami berbeda antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.
Bagi laki-laki faktor pendorong poligami diantaranya :
a) perselingkuhan dengan dalih untuk menghindari perzinahan,
b) kebutuhan seks, Dengan dalih karena istrinya tidak dapat memuaskan hubungan seksualitasnya atau istrnya tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
c) Bahwa poligami adalah sunnah oleh karena itu jika melarangnya berarti kita mengingkari sunnah rasul pula.
d) adanya pembolehan dari segi agama, Mendasarkan kebolehan kepada satu ayat bahkan sepenggal ayat saja. Pemahaman yang tidak utuh (juz’iyyah).
e) juga adanya pembolehan dari undang-undang perkawinan sendiri.
f) Karena istri mandul, cacat.
g) Kodrat pria yang memiliki gairah seks yang lebih tinggi,
h) Karena istri memiliki masa yang disebut dengan monopouse.
Sedang alasan-alasan perempuan menerima dipoligami karena faktor :
a) ketidakmampuan secara ekonomi yang menggantungkann kepada suami.
b) pemahaman agama bahwasanya poligami merupakan sunnah rasul dan bagian dari syari’at
c) ketertarikan akan ketampanan suami sehingga rela meskipun dipoligami
d) atau kekhawatiran dicap sebagai perawan tua.
Pelanggaran hukum yang dilakukan suami yang berpoligami yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini diantaranya adalah :
a) Menikah di bawah tangan. Poligami yang dilakukan secara sirri biasanya terjadi lantaran sang suami tidak mendapat ijin dari isteri pertama atau khawatir mendapat sanksi dari tempat kerja yang tidak membolehkan pegawainya beristri lebih dari satu.
b) Pemalsuan identitas di KUA.
c) Memaksa istri pertama untuk memberi ijin poligami. Pemaksaan ini bisa digolongkan sebagai tindak pidana KDRT
d) Meningkatnya angka perceraian yang disebabkan poligami. Dimana istri tidak menyetujui untuk dipoligami, karena ia merasa selama dalam rumah tangganya ia melaksanakan tugasnya dengan baik, dan merasa tujuan suami berpoligami tidak beralasan secara logis. namun suami tetap juga bersikeras untuk berpoligami. hingga akhirnya suamipun menceraikan istrinya sebagai solusinya.

Poligami merupakan suatu konstruksi sosial budaya dalam institusi rumah tangga yang telah terbentuk lama. Indonesia merupakan salah satu negara yang membolehkan poligami berdasarkan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang menyebutkan bahwa seorang suami boleh melakukan perkawinan dengan wanita lain jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Di samping itu aturan PP No 45 tahun 1990 sebagai revisi dari PP no 10 tahun 1983 tentang izin perceraian dan perkawinan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Meskipun Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami, seperti yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun dalam pasal berikutnya dikatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Dalam pasal 3 ayat 2 disebutkan, Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Dengan demikian jelas bahwa asas yang dianut oleh undang-undang perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka, dimana poligami ditempatkan pada posisi hukum darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumtance).

Klausul pembolehan poligami ini sebenarnya adalah pengecualian oleh karena itu dalam pasal-pasal tersebut terdapat alasan serta syarat-syarat ketentuan. Dalam pasal 4 Undang-undang Perkawinan dikatakan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut bersifat fakultatif, artinya jika salah satu persyaratan tersebut dapat dibuktikan, Pengadilan Agama dapat memberi izin.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, suami harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 5 UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yaitu harus adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Dan alasan yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) ini bersifat kumulatif, artinya Pengadilan Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila semua persyaratan telah terpenuhi. Hal ini serupa dengan apa yang diatur dalam PP no 45 tahun 1990 amandemen dari PP no 10 tahun 1983 tentang Perkawinan dan Perceraian bagi para pegawai sipil.
Poligami bagi pegawai sipil diatur sangat ketat sebagaimana dijelaskan dalam pasal 11 bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari seorang wajib meminta izin terlebih dahulu kepada kepala pejabat yang bersangkutan. Hal ini menggambarkan sempit dan ketatnya aturan poligami di Negara kita yang kontradiksi dengan praktek yang terjadi di lapangan, poligami marak dan sepertinya mudah sekali dilakukan, dengan melihat banyaknya kasus izin poligami yang dikabulkan oleh Pengadilan.
Sebagai perbandingan dengan Negara muslim lainnya. Negara Tunisia, Turki, Uzbekistan dan Tajikistan melarang poligami secara mutlak. Tunisia melarang poligami sejak tahun 1958. Undang-undang perkawinan 1958 yang diperbarui 1964 menyatakan hukuman pelaku poligami adalah satu tahun penjara dan denda 240.000 franc (Pasal 18). Di Uzbekistan dalam Undang-undang Pidana Uzbekistan Nomor 2012-XII Tahun 1994, Pasal 126 menyatakan, "Poligami, yaitu hidup bersama dengan paling sedikit dua perempuan dalam satu rumah, dihukum denda 100 hingga 200 kali gaji minimal bulanan, atau kerja sosial sampai tiga tahun, atau dipenjara hingga tiga tahun."
Undang-undang Pidana Tajikistan dalam Pasal 170 menyatakan, "Poligami, melakukan pernikahan dengan dua perempuan atau lebih, dihukum denda 200-500 kali gaji minimal bulanan, atau kerja sosial hingga dua tahun." Negara Muslim lain, seperti Maroko, Irak, Yaman, Jordania, Mesir, Aljazair, dan Pakistan, meski tidak secara tegas melarang, tetapi menerapkan syarat ketat dan memberi sanksi berat bagi pelanggarnya, sama seperti Indonesia. UU Maroko al-Mudawwanah 1957, diperbarui 2004, Pasal 31 menyatakan, poligami dilarang jika suami dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil. Pasal itu juga memberi hak bagi perempuan mengajukan cerai jika si suami poligami.
Undang-undang Irak 1959 (sebelum invasi AS) Pasal 3 melarang poligami, kecuali ada kondisi yang membolehkannya seperti dalam Ayat 4, yaitu berkecukupan harta untuk menghidupi istri-istrinya dan ada kemaslahatan. Jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil, maka poligami dilarang seperti dinyatakan dalam Ayat 5. Pelanggarnya dihukum satu tahun penjara dan denda 100 dinar (Ayat 6).
Undang-undang Yaman 1974 Pasal 11 melarang poligami, kecuali atas izin pengadilan dengan kondisi istri mandul atau punya penyakit yang tak dapat disembuhkan. Adapun Pasal 19 UU Jordania 1976 memberi ta'lik talak bagi wanita. Mereka berhak minta janji suami tidak akan poligami. Jika dilanggar, istri dapat mengajukan cerai ke pengadilan.
Undang-undang Aljazair 1981 Pasal 4 sebenarnya melarang poligami, tetapi dibolehkan jika terpaksa. Pengecualian ini tidak berlaku bagi mereka yang tak dapat berbuat adil atau tak ada alasan syar'i dan izin istri. Istri boleh mengajukan ta'lik talak, yaitu janji suami tidak akan poligami. Jika suami poligami, istri dapat mengajukan cerai (Pasal 5). UU Pakistan tahun 1964 memberi hak bagi istri mengajukan cerai ke pengadilan jika diperlakukan tidak baik/adil.
Menilik Undang-undang negara-negara Muslim ini, tampak persyaratan poligami sangat sulit dan praktis mustahil dipenuhi. Begitu juga sanksi bagi yang melanggar cukup berat. Berkaca pada beberapa Undang-undang negara-negara Muslim diatas dan praktik poligami yang dilakukan banyak orang sekarang ini telah menimbulkan dampak buruk dan kerusakan baik secara personal maupuan sosial, maka sudah saatnya pemerintah melangkah secara progresif untuk menangani persoalan ini, dan hukum Islam yang lebih berpihak pada perempuan sudah seharusnya diterapkan di Indonesia melalui payung hukum berupa undang-undang.
Sebagaimana diterangkan dalam kaidah fikih “addharara yuzaal” kerusakan harus dihilangkan dan “dar ‘ul mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih” (mengntisipasi atau menolak terjadinya kerusakan harus lebih diutamakan daripada megambil kemashlahatan). “tasharruf al-imam ‘ala ar-rai’iyyah manuthun bi al-mashlahah.” Tindakan pemerintah terhadap rakyatnya diletakan dalam kerangka kemaslahatan masyarakat (kebaikan dan kesejahteraan sosial).
Menurut Imam Asy-Syafi’i, kaidah ini berbunyi “manzilah al-imam min ar-ra’iyyah manzilah al-waliy min al-yatim” kedudukan pemerintah terhadap rakyatnya adalah sama dengan kedudukan wali terhadap anak yatim. Sehingga Muhamad Abduh mengapresiasikan pendapatnya bahwa hakim (pengadilan) boleh menolak poligami atau boleh bagi orang alim untuk menolak poligami secara mutlak karena mempertimbangkan mayoritas.
Berbicara masalah poligami, yang seringkali dikaji dan dibahas selalu aspek keagamaan yang dimunculkan sebagai payung boleh tidaknya poligami. Namun jarang sekali mengkajinya dari aspek lain seperti dari aspek sosiologi, psikologi, atau dari aspek ekonomi serta pengaruhnya terhadap institusi keluarga dan sistem perundang-undangan yang berhubungan dengan sosial dan ekonomi rumah tangga berkenaan hak waris misalnya. Dengan begitu kajian mengenai poligami ini akan lebih baik jika dikaitkan dengan perencanaan kebijakan terutama kebijakan terhadap istri-istri dan anak-anak yang dihasilkan.
1. Poligami dari aspek sosial dan budaya
Jika kita melihat dari segi antropologi sosial budaya, gejala poligami dominan pada masyarakat yang menganut sistem patrilinieal. Dalam masyarakat yang lebih maju akan sosial ekonomi lebih banyak melakukan poligami atau lebih banyak terjadinya monogami serial, dimana perceraian seringkali terjadi. Namun demikian tidak berarti masyarakat tradisional tidak atau jarang akn praktek poligami ini, dalam masyarakat tradisionil kekuasaan status sosial laki-laki menentukan jumlah istri yang dmiliki. Banyak orang tua yang rela bahkan menawarkan anak perempuannya untuk diperistri oleh laki-laki yang berkuasa padahal ia telah memiliki istri untukmendapatkan status sosial yang tinggi. Hal ini nampaknya juga terjadi pada masyarakat modern meskipun dalam prakteknya berbeda yakni perkawinan dilakukan di bawah tangan.
2. Poligami dari aspek ekonomi
Faktor penyebab lain dalam poligami adalah kemapanan dalam ekonomi. Dimana laki-laki yang mapan secara ekonomi menjalani poligami juga sebagai salah satu simbol kesuksesan bagi laki-laki tersebut. Praktek poligami marak dilakukan dikalangan masyarakat yang berpenghasilan besar. Dalam prakteknya,tidak sedikit kita jumpai suami ketika telah menikah dengan istri keduanya dia melalaikan atau tidak mengindahkan aturan untuk adil dalam memenuhi kebutuhan istri-istrinya.
Tentunya dalam hal ini suami yang berpoligami harus mampu dan bersedia memenuhi kebutuhan hidup serta memberikan kesejahteraan bagi istri dan semua anggota keluarganya. Suami juga harus mampu mengelola keuangan dalam arti memiliki bekal menejemen dan pengelolaan keuangan yang baik dan investasi yang handal. Patutnya demikian yang dimaksudkan pasal 5 ayat 2 dan ayat 3.
3. Poligami dalam perspektif Demografi
Secara demografi, perkawinan poligami harus dilihat dalam konteks 3 komponen besar yaitu kematian, kelahiran dan migrasi. Dalam hal kematian peningkatan usia harapan hidup baik laki-laki maupun perempuan diduga mengakibatkan adanya banyak waktu untuk melakukan poligami. Dari sisi kelahiran, poligami akan menyebabakan keluarga besar dengan banyak istri dan banyak anak.
Dari sisi migrasi, poligami banayak terjadi ketika arus dan kecendrungan migrasi semakin besar. Terpisahnya suami istri oleh jarak tempat tinggal menjadi penyebab terjadinya poligami.dalam kaitan keterlibatan perempuan di pasar kerja, memperlihatkan perempuan yang mapan dari segi ekonomi dan mandiri lebih memilih untu tidak dipoligami. Namun demikian hal itu juga yangmenyebabkan tingginya angka perceraian ketika perempuan tidak mau untuk ipoligami.
4. Poligami dalam perspektif psikologi.
Poligami juga membawa dampak terhadap keluarga, yaitu dampak psikis pada istri pertama dan juga pada anak-anak mereka, perasaan ketidak amanan pula yang dialami istri keduanya karena nikah sirri misalnya, penelantaran anak, kekerasan psikologis, dan lainnya. Jelas pada dasarnya poligami merupakan pembunuhan karakter pada perempuan.
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan LBH APIK, 2003 lalu, merinci berbagai dampak negatif poligami yang menimpa istri pertama. Di antaranya, tidak diberi nafkah, mengalami penganiayaan fisik, diteror istri kedua, pisah ranjang, dan akhirnya diceraikan di pengadilan. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi poligami berbeda antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.
Bagi laki-laki faktor pendorong poligami diantaranya :
a) perselingkuhan dengan dalih untuk menghindari perzinahan,
b) kebutuhan seks, Dengan dalih karena istrinya tidak dapat memuaskan hubungan seksualitasnya atau istrnya tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
c) Bahwa poligami adalah sunnah oleh karena itu jika melarangnya berarti kita mengingkari sunnah rasul pula.
d) adanya pembolehan dari segi agama, Mendasarkan kebolehan kepada satu ayat bahkan sepenggal ayat saja. Pemahaman yang tidak utuh (juz’iyyah).
e) juga adanya pembolehan dari undang-undang perkawinan sendiri.
f) Karena istri mandul, cacat.
g) Kodrat pria yang memiliki gairah seks yang lebih tinggi,
h) Karena istri memiliki masa yang disebut dengan monopouse.
Sedang alasan-alasan perempuan menerima dipoligami karena faktor :
a) ketidakmampuan secara ekonomi yang menggantungkann kepada suami.
b) pemahaman agama bahwasanya poligami merupakan sunnah rasul dan bagian dari syari’at
c) ketertarikan akan ketampanan suami sehingga rela meskipun dipoligami
d) atau kekhawatiran dicap sebagai perawan tua.
Pelanggaran hukum yang dilakukan suami yang berpoligami yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini diantaranya adalah :
a) Menikah di bawah tangan. Poligami yang dilakukan secara sirri biasanya terjadi lantaran sang suami tidak mendapat ijin dari isteri pertama atau khawatir mendapat sanksi dari tempat kerja yang tidak membolehkan pegawainya beristri lebih dari satu.
b) Pemalsuan identitas di KUA.
c) Memaksa istri pertama untuk memberi ijin poligami. Pemaksaan ini bisa digolongkan sebagai tindak pidana KDRT
d) Meningkatnya angka perceraian yang disebabkan poligami. Dimana istri tidak menyetujui untuk dipoligami, karena ia merasa selama dalam rumah tangganya ia melaksanakan tugasnya dengan baik, dan merasa tujuan suami berpoligami tidak beralasan secara logis. namun suami tetap juga bersikeras untuk berpoligami. hingga akhirnya suamipun menceraikan istrinya sebagai solusinya.

Sejarah Singkat Poligami

Poligami atau dalam ilmu hukum dikenal dengan istilah Dubble Huwelijk yang berarti suatu ikatan dimana salah satu pihak mempunyai atau menikah dengan beberapa lawan jenis dalam waktu yang bersamaan atau yang tidak berbeda.
Dalam buku ensiklopedi hukum Islam, terminologi poligami adalah suatu ikatan perkawinan dimana salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Walaupun dalam pengertian tersebut menggunakan kalimat “ salah satu pihak”, akan tetapi karena perempuan yang memiliki suami banyak dikenal dengan istilah poliandri. Jadi yang dimaksud salah satu pihak disini adalah pihak suami.

Dalam hukum Islam poligami biasa dikenal dengan kata تعدد الزوجا ت Yang berarti berbilangnya istri atau dengan kata lain seorang suami yang memiliki istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan. Kata poligami berasal dari bahasa yunani. Secara etimologi, kata poligami terdiri dari dua kata, “poly” atau “polus” yang berarti banyak, dan kata “gamen”, “gamos” yang artinya perkawinan. Jika dirangkaikan keduanya maka poligami berarti perkawinan yang lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan.
Terdapat tiga bentuk poligami, poligini yaitu seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus, yang kedua poliandri yakni seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus, dan pernikahan kelompok atau dikenal dengan istilah group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri. Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.
Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Jauh sebelum Islam datang, praktek poligami sudah menjadi budaya tradisi di kalangan bangsa arab jahiliyah, Ibrani, Cicilia. Tak hanya itu di Jepang, Afrika, Indiapun praktek poligami sudah merupakan hal yang lumrah. Poligami pada saat itu dilakukan tanpa adanya batas. Seorang suami dapat memiliki istri sesuai dengan kehendaknya. Bagi mereka mengawini sejumlah wanita
merupakan hal yang lumrah dan merupakan suatu kebanggaan. Mereka menganggap wanita-wanita sebagai hak milik yang bisa dibawa-bawa dan diperjualbelikan.
Jelas bahwa laki-laki pada masa itu bersifat komunisme seksual. Tidak ada eksklusivitasnya perempuan dimata laki-laki. Sebelum Islam lahir, telah dikenal berbagai macam praktek perkawinan, diantaranya :
1. Perkawinan al-Istibda’, yaitu seorang suami yang meminta istrinya apabila sudah suci dari haidhnya untuk melayani seseorang yang terkenal dengan kemuliaan, keberanian, dan kecerdasannya. Tujuannya untuk memperoleh keturunan yang memiliki sifat laki-laki tersebut.
2. Perkawinan al-Rahthun, seorang wanita yng digauli beberapa laki-laki, apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan, maka wanita itu memanggil seluruh laki-laki yang menggaulinya. Kemudian ia menunjuk salah satu dari laki-laki tersebut untuk dijadikan nasab ayah untuk anaknya dan tidak ada lagi bagi laki-laki tersebut untuk menolaknya.
3. Perkawinan maqthu’, seorang anak laki-laki mengawini ibu tirinya setelah ayahnya meninggal dunia.
4. Perkawinan badal, yaitu dua orang suami saling tukar menukar istri mereka tanpa cerai. Dengan tujuan untuk memuaskan libido seksual mereka dan untuk menghindari dari kebosenan.
5. Perkawinan shighar, seseorang yang mengawinkan anak peempuannya atau saudara perempuannya dengan tanpa mahar atau berlaku sebaliknya.
6. Perkawinan baghaya, jenis perkawinan ini hampir sama dengan perkawinan al-Rathun, yang membedakan dalam perkawinan Baghaya ini wanita (pelacur) tersebut menisbatkana aanaknya kepada laki-laki yang paling mirip wahnya dengan anaknya tersebut.
7. Perkawinan al-Irts, seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan yang tidak memiliki anak laki-laki, ia menjadi warisan kerabat suaminya.
8. Perkawinan Mut’ah, yaitu perkawinan yang bersifat sementara dengan cara menentukan kurun waktu pernikahan dan bayarannya.
9. Perkawinan akhdan, perkawianan kongsi, jika si wanita itu banyak yang menyukai, maka laki-laki yang menggemarinya itu dapat berkongsi untuk menjadikannya istri bersama.
10. Perkawinan sewa/gadai, yakni seseorang menggadaikan anak gadisnya dalam jangka waktu tertentu dengan sejumlah uang sewa.
11. Pernikahan poligami, perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa wanita dalam waktu yang bersamaan dan tanpa batasan.
Dari jenis-jenis perkawinan diatas jelas semuanya sangat merendahkan perempuan. Namun ketika Islam datang dengan membawa aturan dan syari’at nya yang adil dan bijaksana dalam mengatur rumah tangga. Islam menghapus semua jenis pernikahan diatas kecuali pernikahan poligami. Dengan hanya membatasinya empat orang istri saja disamping adanya beberapa persyaratan khusus. Karena tradisi poligami ini sudah mengakar kuat dalam masyarakat di kalangan bangsa Arab sehingga tidak mungkin dihilangkan begitu saja.
Oleh karena itu, Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW menoleransi poligami terbatas seperti tertera dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 3. Sehingga pada zaman Nabi SAW orang-orang yang masuk Islam, apabila mempunyai isteri lebih dari empat orang, maka lebihnya nabi menyuruh untuk diceraikan, sehingga tinggal empat orang isteri saja. Hal ini terjadi pada Ghilan yang memiliki sepuluh orang isteri sebelum masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia disuruh memilih empat untuk tetap menjadi isterinya dan selebihnya diceraikan.
Diterangkan dalam sebuah hadits, bahwa Nabi saw। berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafy yang telah masuk Islam, sedang dia punya sepuluh istri, "Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikan yang lainnya." (HR.Malik,an-Nasa'i, dan ad-Daruquthni)