Selasa, 09 Oktober 2012

Surat Warisan Umar bin Khattab Tentang Peradilan

أما بعد فإن القضاء فريضة محكمة وسنة متبعة فافهم إذا أدلى إليك وانفذ اذا تبيّن لك فإنه لا ينفع تكلم بحق لا نفاذ له. وآس بين الناس فى وجهك ومجلسك وقضائك حتى لا يطمع شريف فى حيفك ولا ييأس ضعيف من عدلك. البيّنة على من ادعى واليمين على من أنكر ،والصلح جائز بين المسلمين إلاصلحا أحلّ حراما أو حرّم حلالا ، ومن ادعى حقا غائبا أو بيّنة فاضرب له أمدا ينتهى إليه ، فإن جاء ببيّنة أعطيته بحقه ، فإن أعجزه ذلك استحللت عليه القضيّة فإن ذلك هو ابلغ فى العذر وأجلى للعمى ولا يمنعك  قضاء قضيته اليوم فراجعت فيه لرأيك وهديت فيه لرشدك أن تراجع الحق لأن الحق قديم لا يبطل الحق شىء ومراجعة الحق خير من التمادى فى الباطل ، والمسلمون عدول بعضهم على بعض فى الشهادة إلا مجلودا فى حد أو مجربا عليه شهادة الزور أو ظنينا فى ولاء أو قرابة فإن الله تولى من العباد السرائر وستر عليهم الحدود إلا بالبينات والأيمان ، ثم الفهم الفهم فيما أدلى إليك مما ليس فى قرآن ولا سنة ، ثم قايس الأمور عند ذلك واعرف الأمثال والأشباه ، ثم اعمد إلى أحبها إلى الله فيما ترى وأشبهها بالحق ، وإياك والغضب والقلق والضجر والتأذى بالناس والتنكر عند الخصومة أو الخصوم, فإن القضاء فى مواطن الحق يوجب الله له الأجر ويحسن له الذكر فمن خلصت نيّته فى الحق ولو كان على نفسه كفاه الله ما بينه وبين الناس ، ومن تزين بما ليس فى قلبه شانه الله فإن الله لا يقبل من العباد إلا ما كان له خالصا والسلام عليكم و رحمة الله

Artinya :
Amma ba’du. Bahwa sesungguhnya perdilan itu adalah sesuatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT dan suatu Sunnah Rasul yang wajib diikuti. Maka pahamlah benar-benar jika ada sesuatu perkara yang dikemukakan kepadamu dan laksanakanlah jika jelas kebenarannya, karena sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan tentang kebenaran yang tidak ada pengaruhnya (tidak dapat dijalankan). Dan persamakanlah kedudukan manusia itu dalam pandanganmu, majelismu dan keputusanmu sehingga orang bangsawan tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemahpun tidak berputus asa dari keadilan. Keterangan berupa buktib atau saksi hendaklah dikemukakan oleh orang yang mendakwa dan sumpah hendaklah dilakukan oleh orang yang mungkir (terdakwa). Perdamaian diizinkan hanya antara orang-orang yang bersengketa dari kalangan muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan barang yang haramn atau mengharamkan baranh yang halal. Barang siapa mengaku sesuatu hak yang ghaib atau sesuatu yang jelas yang mana bukti-bukti yang akan dikemukakannya itu masih belum terkumpul ditangannya, maka berikanlah kepada orang itu waktu yang ditentukan. Maka jika ia dapat mengemukakan bukti-bukti tersebut, berikanlah haknya, dan jika ia tidak sanggup, maka selesailah persoalannya. Sebab cara memberikan waktu yang ditentukan itu adalah sebaik-baiknya penangguhan dan lebih menjelaskan keadaan yang samar dan tidaklah akan menghalangimu suatu keputusan yang engkau ambil pada suatu hari kemudian engkau meninjaunya kembali, lalu engkau mendapat petunjuk (hidayah), tidak lah hal itu menghalangimu kembali kepada kebenaran karena kebenaran itu adalah qodim yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada kebenaran itu adalah lebih baik daripada terus menerus didalam kesesatan. Kaum muslimin itu adalah orang-orang yang adil terhadap sesama mereka, kecuali orang yang pernah bersumpah palsunatau orang yang pernah dikenakan hukuman jilid (dera) atau orang yang tertuduh dalam kesaksiannya berhubung karena kerabat, hanyalah Allah SWT yang menguasai rahasia hati hamba-hamba-Nya dan melindungi mereka dari hukuman-Nya kecuali ternyata dengan bukti-bukti yang sah atau sumpah. Kemudian fahamilah, fahamilah benar-benar persoalan yang dipaparkan kepadamu tentang suatu perkara yang tidak terdapat didalam Al Qur’an atau didalam Sunnah Rasul. Kemudian pada waktu itu pergunakanlah qiyas terhadap perkara-perkara itu dan carilah pula contoh-contohnya, kemudian berpeganglah menurut pandanganmu kepada hal yang terbaik pada sisi Allah SWT dan yang terbanyak miripnya kepada yang benar. Jauhilah sifat membenci, mengacau, membosankan, menyakiti hati manusia dan jauhilah berbuat curang pada waktu ada terjadi persengketaan atau permusuhan, karena sesungguhnya peradilan itu berada di tempat yang hak dimana Allah SWT telah mewajibkan pahala didalamnya dan juga merupakan peringatan yang baik, barang siapa yang ikhlas niatnya untuk menegakkan yang hak walaupun atas dirinya sendiri, Allah SWT akan mencakupkan antara dirinya dan antara manusia dan barang siapa yang berhias diri dengan apa yang tidak ada pada dirinya, maka Allah SWT akan memberika aib kepadanya. Sesungguhnya Allah SWT tidak akan menerima dari hamba-hamba-Nya kecuali yang ikhlas, Wassalamu ‘Alaikum Wr. Wb.

Pertanggungjawaban Pidana Atas Perbuatan Pidana Yang Dilakukan Anak

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Tidak ada yang dapat menafikan bahwa anak adalah aset bangsa. Sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis, yakni sebagai pewaris (successor) bangsa; penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus potensi sumber daya manusia bagi pembangunan nasional (national development). Oleh karenanya, dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, kelangsungan hidup, pengembangan fisik dan mental serta perlindungan dari bahaya-bahaya yang dapat mengancam integritas dan masa depan mereka, amat diperlukan upaya pembinaan, pengayoman dan perlindungan yang serius, berkesinambungan dan terpadu.
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan lebih memahami pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh anak- anak menurut hukum pidana Islam; pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh anak anak menurut hukum pidana positif; persamaan dan perbedaaan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oIeh anak-anak. yakni bagaimana pengaturan tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan anak-anak, baik dalam perspektif hukum pidana positifmaupun hukum pidana Islam.
  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah perlidungan hukum bagi anak ?
  2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi anak ?
  3. Bagaimanakah wewenang peradilan anak ?
  4. Berapakah batas maksimal hukuman pidana bagi anak?



BAB II
PEMBAHASAN

  1. Perlindungan Hukum Bagi Anak
Ajaran agama menyatakan stiap anak terlahir ke dunia dalam fitrah atau suci, bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan sang anak, menjadi baik ataukah jahat.
Dalam undang-undang no. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, secara tegas dinyatakan bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak dalam kandungan ibunya. Selain itu anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat bagi pertumbuhannya dengan wajar.
Menurut Arif Gosita SH., perlindungan anak merupakan upaya-upaya yang mendukung terlaksananya hak-hak dan kewajiban. Seorang anak yang memperoleh dan mempertahankan hak untuk tumbuh dan berkembang dalam hidup secara berimbang dan positif, berarti mendapat perlakuan secara adil dan terhindar dari ancaman yang merugikan.
Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi, yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif, yang merupakan pula perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat.[1]

  1. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Anak
Diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana dalam perspektif hukum pidana positif dikenal dengan istilah criminal responsibility berlaku kepada anak-anak sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja tindak pidana tersebut digolongkan kepada perilaku nakal dan anak tersebut dikategorikan sebagai anak nakal. UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur tentang mekanisme peradilan anak, baik dalam konteks hukum meteril maupun hukum formil.
Dalam UU No 3 Tahun 1997 pada Bab 1 Pasal 1 butir 2 di jelaskan bahwasanya anak nakal itu adalah:
  1. Anak yang melakukan tindak pidana; atau
  2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainyang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.[2]

Pertanggungjawaban pidana dalam perspektif hukum pidana Islam dikenal dengan istilah al-mas 'uliyah al-jinaiyah berlaku kepada anak sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja terdapat pembatasan keberlakuannya yang disesuaikan dengan umur anak dan kematangan pola pikir anak. Dua kategori penting yang harus diperhatikan adalah adanya unsur iradah (keinginan/maksud) dan ikhtiyar (kompetensi).
Persamaan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif Indonesia adalah bahwa kondisi masa kanak-kanak merupakan alasan pembenar untuk mengurangi dan menghapuskan hukuman. Kedua sistem hukum juga sarna dalam memandang adanya batasan tentang usia yang termasuk kategori kanak-kanak.
Akan tetapi ditemukan perbedaan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif Indonesia bahwa hukurn pidana Islam memandang batas usia tidak serta merta menjadi alasan penjatuhan hukuman. Selain usia, dalam perspektif hukum pidana Islam, hal kematangan pola pikir dan mental rohani turut menjadi faktor penting dalam mengkualifikasi status sebagai anak. Sedangkan dalam perspektif hukum pidana positif, khususnya dalam UU No 3 Tahun 1997 Bab 1 Pasal 1 butir 1 tentang Pengadilan Anak telah menggariskan batas usia seorang dalam kategori anak nakal, yakni:
“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.[3]
Jadi, dengan katalain batas usianya adalah minimal 8 (delapan) tahun dan rnaksimal 18 (delapan belas) tahun.
Perubahan positif semakin kelihatan pada RUU KUHPidana yang secara tegas mencantumkan pertimbangan psikologis anak, termasuk kematangan emosional, intelektual, dan mental.
Pertimbangan-pertimbangan ini patut diberikan dalam menyelesaikan perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Hal yang lebih menarik adalah pencantuman batas usia pertanggungjawaban anak yang telah meneapai usia 12 (dua belas) tahun sampai usia 18 (delapan belas) tahun. Batas usia ini muncul sebagai konsekuensi pembatasan usia dengan melihat kecenderungan perkembangan psikologis anak. Dalam kerangka penguatan sistem hukum pidana nasional, maka penelitian terhadap khazanah sistem hukum pidana Islam harus terus dilakukan.
Telah menjadi keyakinan dan konsensus nasional bahwa sistem hukum Islam merupakan elemen dan sumber hukum nasional terpenting bersama dengan sistem hukum adat ( Al-‘Urf ) dan hukum Barat dalam kerangka penguatan dan pembinaan sistem hukum nasional. Penguatan dan pembinaan hukum nasional diharapkan mampu melahirkan regulasi yang jelas dan memberikan kepastian hukum, khususnya terhadap tindak pidana yang dilakukan anak-anak.

  1. Wewenang Peradilan Anak
Pasal 2 Undang-undang Peradilan Anak menegaskan bahwa sidang peradilan untuk anak, yang selanjutnya disebut sidang anak, adalah persidangan dilingkungan Peradilan Umum untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata mengenai anak. Selanjutnya ketentuan tersebut dijabarkan secara lebih tegas dan limitative dalam pasal 21 yang menentukan bahwa siding anak berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyeleaikan perkara pidana dan perdata dalam hal :
  1. Perkara Anak Nakal.
  2. Perkara Anak Terlantar.
  3. Perkara Perwalian.
  4. Perkara Pengangkatan Anak.
  5. Perkara Anak Sipil.

  1. Batas Maksimal Hukuman Pidana Bagi Anak [4]
  1. Batas Maksimal Pidana Penjara
Dalam ilmu hukum pidana, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman pidana penjara yang melebihi batas maksimal yang ditetapkan oleh suatu ketentuan undang-undang. Hakim hanya dapat memutus hukuman paling berat sama dengan besarnya ancaman pidana penjara sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan bersangkutan. Yang berarti hakim dapat menjatuhkan hukuman dibawah ancaman maksimal tersebut, sesuai dengan pertimbangan hukum, kebenaran dan keadilan.
Untuk perkara anak, ternyata di dalam undang-undang No 3 Tahun 1997 telah mengatur lain, bahwa batas maksimal ancaman pidana penjara dibedakan dengan orang dewasa. Batas maksimal ancaman pidana penjara untuk anak diatur lebih rendah dari pada ancaman pidana terhadap orang dewasa, karena memang situasi dan kondisinya memang tidak sama.

  1. Batas Maksimal Pidana Kurungan
Sejalan dengan ketentuan batas maksimum pidana penjara yang telah diterangkan diatas, tampak bahwa untuk pidana kurungan terhadap terdakwa anak dibatasi maksimalnya juga setengah dari ancaman yang berlaku bagi orang dewasa.
Pasal 27 Undang-undang Pengadilan Anak menyebutkan, pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagai mana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.

  1. Batas Maksimal Pidana Denda
Pada pokoknya ketentuan batas maksimal pidana denda sama dengan ketentuan batas maksimal pidana penjara dan pidana kurungan,terdakwa anak hanya dapat dijatuhi maksimal setengah dari yang berlaku bagi orang dewasa.
Ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Pengadilan Anak menyebutkan, pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling banyak ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.

  1. Batas Maksimal Pidana Bersyarat
Dalam hukum dikenal adanya hukuman pidana bersyarat, bahwa seseorang yang dijatuhi hukuman pidana penjara, hakim dapat memerintahkan supaya terdakwa tidak perlu menjalani, kecuali dalam waktu yang ditentukan ternyata melakukan tindak pidana lagi ( Pasal 14 f KUHP ). Dalam masa percobaan ternyata terpidana melakukan tindak pidana, baik perbuatan yang sejenis maupun tidak sejenis, maka terpidana wajib menjalani hukuman pidan dan pelaksanaannya dilakukan atas perintah hakim. Jadi kejaksaan selaku eksekutor tidak dapat langsung mengeksekusi terpidana, sebelum ada perintah dari hakim.
Untuk perkara anak hukuman pidana bersyarat telah diatur tersendiri pada Pasal 29 Undang-undang Pengadilan Anak. Hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat, apabila pidana penjara yang dijatuhkan itu paling lama 2 (dua) tahun. Maksimal dua tahun tersebut bukan besarnya ancaman pidana dari suatu ketentuan undang-undang yang berlaku bagi anak, akan tetapi hukuman maksimal yang dijatuhkan hakim khusus untuk pidana bersyarat.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ajaran agama menyatakan stiap anak terlahir ke dunia dalam fitrah atau suci, bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan sang anak, menjadi baik ataukah jahat.
Diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana dalam perspektif hukum pidana positif dikenal dengan istilah criminal responsibility berlaku kepada anak-anak sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja tindak pidana tersebut digolongkan kepada perilaku nakal dan anak tersebut dikategorikan sebagai anak nakal. UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur tentang mekanisme peradilan anak, baik dalam konteks hukum meteril maupun hukum formil.
Pertanggungjawaban pidana dalam perspektif hukum pidana Islam dikenal dengan istilah al-mas 'uliyah al-jinaiyah berlaku kepada anak sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja terdapat pembatasan keberlakuannya yang disesuaikan dengan umur anak dan kematangan pola pikir anak. Dua kategori penting yang harus diperhatikan adalah adanya unsur iradah (keinginan/maksud) dan ikhtiyar (kompetensi).
Hal yang lebih menarik adalah pencantuman batas usia pertanggungjawaban anak yang telah meneapai usia 12 (dua belas) tahun sampai usia 18 (delapan belas) tahun. Batas usia ini muncul sebagai konsekuensi pembatasan usia dengan melihat kecenderungan perkembangan psikologis anak. Dalam kerangka penguatan sistem hukum pidana nasional, maka penelitian terhadap khazanah sistem hukum pidana Islam harus terus dilakukan.





Daftar Pustaka

Gatot Suparmono, S.H., M.Hum., Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2007.
Moch. Faisal Salam, SH., MH., Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung , 2005.
__, UU RI NO. 3 TH. 1997 Undang-Undang Peradilan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 1997.
//http:Wikipedia.com/


[1] Moch. Faisal Salam, SH., MH., Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung , 2005, hal 1-2.
[2] __, UU RI NO. 3 TH. 1997 Undang-Undang Peradilan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hal 3.
[3] Ibid, hal 2-3.
[4] Gatot Suparmono, S.H., M.Hum., Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2007, hal 87-94.

'UYUB AL-NIKAH (CACAT-CACAT DALAM PERKAWINAN)

A.    Pengertian 'Uyub Al-Nikah
Lafat 'uyub merupakan bentuk jama' dan mufrod 'aib. Sedangkan lafat 'aib sendiri menurut etimologi merupakan bentuk akar kata (masdar) dari fi'il عاب - يعيب, yang memiliki arti bahasa cacat atau cela.[1] Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata cacat memiliki arti kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin, atau akhlak).[2] Sebagaimana dengan lafat fasakh, lafat 'aib pun kemudian oleh para fuqara dijadikan sebuah istilah yang menunjukan arti tertentu.
'Aib menurut terminologi, Musthafa Syilbi menyatakan, yang dimaksud 'aib adalah kekurangan pada badan atau pada akalnya salah satu dari suami isteri yang menyebabkan kehidupan rumah tangga tidak berkembang (tidak memiliki keturunan) atau kerisauan yang tidak pernah ada ketenangan.[3]
Sedangkan menurut Ali Hasbillah, 'aib adalah kekurangan pada fisik atau akal pada salah seorang suami isteri yang menjadi penghalang tercapainya tujuan pernikahan dan tidak tercapainya kebahagian hidup suami isteri.[4]
Dari beberapa pengertian tersebut, berarti lafat "uyub (bentuk jama' dari 'aib) memiliki arti beberapa kekurangan (cacat) pada fisik atau akal pada salah seorang suami isteri yang menjadi penghalang tercapainya tujuan pernikahan. Dengan demikian, apabila lafat 'uyub disandarkan pada lafat al-nikah, maka artinya dapat diringkas menjadi beberapa kekurangan (cacat) dalam perkawinan. Dan yang dimaksud penulis dengan 'uyub al-nikah adalah mencakup di dalam pembahasannya mengenai kekurangan atau cacat yang ada pada calon pasangan yang akan menikah maupun yang sedang membina mahligai rumah tangga kemudian muncul cacat pada pasangan tersebut.


B.     Macam – Macam 'Uyub
Jenis penyakit yang terjadi pada pasangan suami isteri menurut kategorinya ditetapkan sebagai berikut :[5]
  1. Tipe cacat dilihat dari segi pengaruhnya terhadap fungsi suami isteri, ada dua macam :
a.       Cacat penghalang fungsi suami isteri (alat reproduksi)
Jenis penyakit yang menyebabkan terhalangnya fungsi suami isteri diantaranya adalah al-jabb yaitu cacat berupa terputusnya kelamin (anggota reproduksi).[6] Al-'unnah yaitu kelemahan pada penis yang menghalang-halangi kemampuannya untuk bersetubuh (impotent), kata impotent berasal dari bahasa Inggris yang berarti tidak berdaya, tak bertenaga, mati pucuk (lamah zakar). Di dalam bahasa Arab disebut 'unnah dan juga bisa disebut 'inniin yang berarti عنة Lemah syahwat, عنين Yang tak mampu bersetubuh dengan perempuan.[7]
Menurut terminology, Abdul Al-Rahman Al-Jaziri memperinci 'unnah ini bahwa seseorang yang dikatakan impotent adalah orang yang tidak sanggup bersenggama dengan isterinya (tepat pada qubulnya), meskipun kemaluannya itu sudah intisyar (bangun tegak) ketika ia belum mendekati isterinya. Seseorang yang hanya sanggup bersetubuh dengan wanita lain, atau hanya sanggup bersenggama dengan perempuan janda, tidak sanggup dengan perempuan perawan, atau sanggup bersetubuh dengan isterinya, namun hanya pada duburnya dan tidak sanggup pada kemaluannya, maka orang yang memiliki salah satu dari beberapa kecenderungan tersebut itulah yang disebut impotent terhadap isterinya.[8]
Al-Khisha' yaitu cacat yang berupa kehilangan atau pecahnya buah dzakar.[9] Rataq (vulva impervia coeunti) yaitu tersembatnya lubang vagina yang menyebabkan terjadinya kesulitan dalam bersenggama, dalam tinjauan etimologi bahasa Arab artinya adalah "tersumbat".[10]
Menurut terminologi Al-Mawardi mengatakan daging yang tumbuh pada kelamin wanita dan menghalangi masuk (penetrasi) nya penis.[11] Qarn (vulva anteriore panie ana, soens).[12] Menurut bahasa adalah "tanduk", menurut terminologi adalah tulang yang menghalangi rahim, serta menghalangi penetrasinya penis, berupa benjolan tulang atau daging yang tumbuh pada kelamin wanita dan mirip tanduk domba.[13]

b.      Cacat yang bukan penghalang fungsi suami isteri (alat reproduksi)
Jenis penyakit ini tidak menyebabkan terhalangnya fungsi reproduksi namun sangat menjijikan. Karena salah satu dari suami isteri tidak mungkin dapat mengumpuli pasangannya kecuali ia sendiri akan mendapatkan bahaya atau kerugian yang lebih besar. Di antaranya adalah kusta (leprosy) atau menurut etimologi bahasa Arab disebut juzam, artinya adalah kelemahan yang ada pada anggota tubuh dan hidung yang bisa menjalar keanggota yang lain, sehingga dapat terjadi kerontokkan, bahkan terkadang menular pada keturunan dan pada orang yang mencampurinya.[14]
Sopak (a piebald skin diseace) atau (barash), artinya munculnya keputih-putihan di kulit yang disertai hilangnya darah kulit dan berikut dagingnya.[15] Penyakit ini pun dapat menular pada keturunan dan orang yang mencampurinya. Oleh sebab itu dapat menyebabkan keengganan dan perasaan jijik bagi orang lain (pasangan), sehingga tidak dapat memenuhi hasrat hubungan intim.
TBC, gila (al-Junuun), menurut etimologi bahasa Arab, lafat al-junuun memiliki arti الجنون : زوال العقل kegilaan.[16] Menurut terminologi artinya hilangnya akal yang menyebabkan tidak dapat melaksanakan hak.[17] Baik gila yang ringan maupun gila yang parah, karena gila yang ringan, meskipun hanya sedikit (sebentar), tetap saja dampaknya dapat menghalang-halangi penderitanya untuk memenuhi hak pada saat itu. Selain itu gila yang sedikit, jika dibiarkan bias jadi akan menjadi parah, dan penyakit sypihilis.

  1. Tipe cacat dilihat dari munculnya penyakit pada pasangan suami siteri terdapat tiga macam :
a.       Jenis penyakit yang secara khusus terdapat pada jenis kelamin suami, di antaranya adalah penyakit terpotongnya zakar (al-jahh), impotent ('unnah),[18] kehilangan atau pecahnya dua biji namun batang penisnya masih ada (al-khusha'),[19]  al-I'tiradh (lemah syahwat baik karena sakit atau karena sudah tua).[20]
b.      Jenis penyakit yang secara khusus terdapat pada jenis kelamin isteri, di antaranya adalah rataq (vulva impervia coeunti), tersumbatnya lubang vagina yang menyebabkan terjadinya kesulitan dalam bersenggama dan qarn (vulva anteriore pante ana soens), benjolan daging atau tulang yang tumbuh pada kelamin wanita dan mirip tanduk domba.[21] Bukhur (bau busuk atau semisal bau yang tidak sedap pada kelamin wanita.[22] Afal yaitu daging yang tumbuh pada kemaluan wanita yang selalu mengeluarkan cairan.[23] Ada tiga penafsiran mengenai pengertian al-'afal yaitu 1) menurut Ibn Umar dan Al-Syaibani al-'afal adalah daging yang melingkar, tumbuh dalam rahim setelah hilangnya keperawanan. 2) al-'afal adalah bengkaknya daging yang terdapat dalam farji, dan menyebabkan penyempitan sehingga tidak bisa dilewati penis. 3) Al-'afal merupakan permulaan rataq (daging yang menyumbat). Pada penyakit ini mungkin saja suami isteri dapat melakukan hubungan intim dan mungkin juga tidak sama sekali. Al-Ifdha artinya terbelahnya pembatas antara tempat masuknya penis dan tempat keluarnya kencing, sehingga menjadi pecah, namun suami masih dapat melakukan penetrasi.[24] Al-'aftq (menyatukan jalan keluar mani dan kencing).[25]
c.       Jenis penyakit yang dapat diderita oleh suami atau oleh isteri, yaitu penyakit kusta (leprosy), sopak (a piebald skin disease), beser air seni, beser kotoran dari dubur, penyakit bawasir (bentuk tonjolan seperti bisul), naasur (luka yang membengkak, tumbuh pada dubur dan mengalir nanah),[26] dan al-'adzithah (keluarnya hajat dari dubur ketika melakukan persetubuhan). Yang terjadi pada isteri disebut 'iz-yutah, sedangkan pada suami disebut 'iz-yut.[27]

Maka dari keterangan tersebut jelas bahwa macam-macam penyakit yang dimaksud adalah 'uyub yang berpengaruh pada alat reproduksi dan yang mengakibatkan perasaan jijik pada cacat tersebut mengakibatkan enggan pula pada pasangan yang menderita penyakit tersebut.




[1] A. W. Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997), Cet. Ke-14, h. 989
[2]  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 143
[3] M. Musthafa Syilbi, Ahkam Al-Usrah fi Al-Islam, (Beirut; Daar Al-Nuhdhah Al-Arabiyah, 1977), h. 567
[4] Ali Hasbillah, Al-Furqon Baina Al-Zawjaini, (ttp, Daar Al-Fikr, 1968), Cet. Ke-1, h. 120
[5] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa'adillatuh, (Beirut; Daar Al-Fiqh, 1989), Jilid 8, h. 514
[6]  Ali Hasbillah, Loc. Cit.
[7] Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet. Ke-1, h. 89
[8] Abdurrahman Al-Jaziri, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 169
[9] Habib Al-Mawardi, Hawi Al-Kabir, (tt, Daar Al-Fikr, tth), h, 464
[10] Munawir, Op. Cit, h. 471
[11] Ibid., h. 463
[12] Ibid., h. 1113
[13] Habib Al-Mawardi, Op. Cit., h. 463
[14] Ibid., h. 468
[15] Ibid., h. 469
[16] Munawir, Op. Cit, h. 216
[17] Habib Al-Mawardi, Loc. Cit.
[18] Syamsuddin Al-Maqdisy, As-Syarh Al-Kabir, (tt, Daar Al-Fikr, tth), jilid 4, h. 256
[19] Habib Al-Mawardi, Op. Cit., h. 466  
[20] Wahbah Az-Zuhaili, Loc. Cit.
[21] Abdurrahman Al-Jaziri, Op. Cit., h. 171
[22] Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit.. h. 518  
[23] Habib Al-Mawardi, Op. Cit., h. 467
[24] Ibid.,  h. 468
[25] Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit. h. 519
[26] Ibid., h. 514
[27] Ibid. h. 518