Selasa, 09 Oktober 2012

Pertanggungjawaban Pidana Atas Perbuatan Pidana Yang Dilakukan Anak

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Tidak ada yang dapat menafikan bahwa anak adalah aset bangsa. Sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis, yakni sebagai pewaris (successor) bangsa; penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus potensi sumber daya manusia bagi pembangunan nasional (national development). Oleh karenanya, dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, kelangsungan hidup, pengembangan fisik dan mental serta perlindungan dari bahaya-bahaya yang dapat mengancam integritas dan masa depan mereka, amat diperlukan upaya pembinaan, pengayoman dan perlindungan yang serius, berkesinambungan dan terpadu.
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan lebih memahami pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh anak- anak menurut hukum pidana Islam; pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh anak anak menurut hukum pidana positif; persamaan dan perbedaaan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oIeh anak-anak. yakni bagaimana pengaturan tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan anak-anak, baik dalam perspektif hukum pidana positifmaupun hukum pidana Islam.
  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah perlidungan hukum bagi anak ?
  2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi anak ?
  3. Bagaimanakah wewenang peradilan anak ?
  4. Berapakah batas maksimal hukuman pidana bagi anak?



BAB II
PEMBAHASAN

  1. Perlindungan Hukum Bagi Anak
Ajaran agama menyatakan stiap anak terlahir ke dunia dalam fitrah atau suci, bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan sang anak, menjadi baik ataukah jahat.
Dalam undang-undang no. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, secara tegas dinyatakan bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak dalam kandungan ibunya. Selain itu anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat bagi pertumbuhannya dengan wajar.
Menurut Arif Gosita SH., perlindungan anak merupakan upaya-upaya yang mendukung terlaksananya hak-hak dan kewajiban. Seorang anak yang memperoleh dan mempertahankan hak untuk tumbuh dan berkembang dalam hidup secara berimbang dan positif, berarti mendapat perlakuan secara adil dan terhindar dari ancaman yang merugikan.
Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi, yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif, yang merupakan pula perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat.[1]

  1. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Anak
Diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana dalam perspektif hukum pidana positif dikenal dengan istilah criminal responsibility berlaku kepada anak-anak sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja tindak pidana tersebut digolongkan kepada perilaku nakal dan anak tersebut dikategorikan sebagai anak nakal. UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur tentang mekanisme peradilan anak, baik dalam konteks hukum meteril maupun hukum formil.
Dalam UU No 3 Tahun 1997 pada Bab 1 Pasal 1 butir 2 di jelaskan bahwasanya anak nakal itu adalah:
  1. Anak yang melakukan tindak pidana; atau
  2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainyang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.[2]

Pertanggungjawaban pidana dalam perspektif hukum pidana Islam dikenal dengan istilah al-mas 'uliyah al-jinaiyah berlaku kepada anak sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja terdapat pembatasan keberlakuannya yang disesuaikan dengan umur anak dan kematangan pola pikir anak. Dua kategori penting yang harus diperhatikan adalah adanya unsur iradah (keinginan/maksud) dan ikhtiyar (kompetensi).
Persamaan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif Indonesia adalah bahwa kondisi masa kanak-kanak merupakan alasan pembenar untuk mengurangi dan menghapuskan hukuman. Kedua sistem hukum juga sarna dalam memandang adanya batasan tentang usia yang termasuk kategori kanak-kanak.
Akan tetapi ditemukan perbedaan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif Indonesia bahwa hukurn pidana Islam memandang batas usia tidak serta merta menjadi alasan penjatuhan hukuman. Selain usia, dalam perspektif hukum pidana Islam, hal kematangan pola pikir dan mental rohani turut menjadi faktor penting dalam mengkualifikasi status sebagai anak. Sedangkan dalam perspektif hukum pidana positif, khususnya dalam UU No 3 Tahun 1997 Bab 1 Pasal 1 butir 1 tentang Pengadilan Anak telah menggariskan batas usia seorang dalam kategori anak nakal, yakni:
“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.[3]
Jadi, dengan katalain batas usianya adalah minimal 8 (delapan) tahun dan rnaksimal 18 (delapan belas) tahun.
Perubahan positif semakin kelihatan pada RUU KUHPidana yang secara tegas mencantumkan pertimbangan psikologis anak, termasuk kematangan emosional, intelektual, dan mental.
Pertimbangan-pertimbangan ini patut diberikan dalam menyelesaikan perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Hal yang lebih menarik adalah pencantuman batas usia pertanggungjawaban anak yang telah meneapai usia 12 (dua belas) tahun sampai usia 18 (delapan belas) tahun. Batas usia ini muncul sebagai konsekuensi pembatasan usia dengan melihat kecenderungan perkembangan psikologis anak. Dalam kerangka penguatan sistem hukum pidana nasional, maka penelitian terhadap khazanah sistem hukum pidana Islam harus terus dilakukan.
Telah menjadi keyakinan dan konsensus nasional bahwa sistem hukum Islam merupakan elemen dan sumber hukum nasional terpenting bersama dengan sistem hukum adat ( Al-‘Urf ) dan hukum Barat dalam kerangka penguatan dan pembinaan sistem hukum nasional. Penguatan dan pembinaan hukum nasional diharapkan mampu melahirkan regulasi yang jelas dan memberikan kepastian hukum, khususnya terhadap tindak pidana yang dilakukan anak-anak.

  1. Wewenang Peradilan Anak
Pasal 2 Undang-undang Peradilan Anak menegaskan bahwa sidang peradilan untuk anak, yang selanjutnya disebut sidang anak, adalah persidangan dilingkungan Peradilan Umum untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata mengenai anak. Selanjutnya ketentuan tersebut dijabarkan secara lebih tegas dan limitative dalam pasal 21 yang menentukan bahwa siding anak berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyeleaikan perkara pidana dan perdata dalam hal :
  1. Perkara Anak Nakal.
  2. Perkara Anak Terlantar.
  3. Perkara Perwalian.
  4. Perkara Pengangkatan Anak.
  5. Perkara Anak Sipil.

  1. Batas Maksimal Hukuman Pidana Bagi Anak [4]
  1. Batas Maksimal Pidana Penjara
Dalam ilmu hukum pidana, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman pidana penjara yang melebihi batas maksimal yang ditetapkan oleh suatu ketentuan undang-undang. Hakim hanya dapat memutus hukuman paling berat sama dengan besarnya ancaman pidana penjara sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan bersangkutan. Yang berarti hakim dapat menjatuhkan hukuman dibawah ancaman maksimal tersebut, sesuai dengan pertimbangan hukum, kebenaran dan keadilan.
Untuk perkara anak, ternyata di dalam undang-undang No 3 Tahun 1997 telah mengatur lain, bahwa batas maksimal ancaman pidana penjara dibedakan dengan orang dewasa. Batas maksimal ancaman pidana penjara untuk anak diatur lebih rendah dari pada ancaman pidana terhadap orang dewasa, karena memang situasi dan kondisinya memang tidak sama.

  1. Batas Maksimal Pidana Kurungan
Sejalan dengan ketentuan batas maksimum pidana penjara yang telah diterangkan diatas, tampak bahwa untuk pidana kurungan terhadap terdakwa anak dibatasi maksimalnya juga setengah dari ancaman yang berlaku bagi orang dewasa.
Pasal 27 Undang-undang Pengadilan Anak menyebutkan, pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagai mana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.

  1. Batas Maksimal Pidana Denda
Pada pokoknya ketentuan batas maksimal pidana denda sama dengan ketentuan batas maksimal pidana penjara dan pidana kurungan,terdakwa anak hanya dapat dijatuhi maksimal setengah dari yang berlaku bagi orang dewasa.
Ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Pengadilan Anak menyebutkan, pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling banyak ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.

  1. Batas Maksimal Pidana Bersyarat
Dalam hukum dikenal adanya hukuman pidana bersyarat, bahwa seseorang yang dijatuhi hukuman pidana penjara, hakim dapat memerintahkan supaya terdakwa tidak perlu menjalani, kecuali dalam waktu yang ditentukan ternyata melakukan tindak pidana lagi ( Pasal 14 f KUHP ). Dalam masa percobaan ternyata terpidana melakukan tindak pidana, baik perbuatan yang sejenis maupun tidak sejenis, maka terpidana wajib menjalani hukuman pidan dan pelaksanaannya dilakukan atas perintah hakim. Jadi kejaksaan selaku eksekutor tidak dapat langsung mengeksekusi terpidana, sebelum ada perintah dari hakim.
Untuk perkara anak hukuman pidana bersyarat telah diatur tersendiri pada Pasal 29 Undang-undang Pengadilan Anak. Hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat, apabila pidana penjara yang dijatuhkan itu paling lama 2 (dua) tahun. Maksimal dua tahun tersebut bukan besarnya ancaman pidana dari suatu ketentuan undang-undang yang berlaku bagi anak, akan tetapi hukuman maksimal yang dijatuhkan hakim khusus untuk pidana bersyarat.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ajaran agama menyatakan stiap anak terlahir ke dunia dalam fitrah atau suci, bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan sang anak, menjadi baik ataukah jahat.
Diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana dalam perspektif hukum pidana positif dikenal dengan istilah criminal responsibility berlaku kepada anak-anak sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja tindak pidana tersebut digolongkan kepada perilaku nakal dan anak tersebut dikategorikan sebagai anak nakal. UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur tentang mekanisme peradilan anak, baik dalam konteks hukum meteril maupun hukum formil.
Pertanggungjawaban pidana dalam perspektif hukum pidana Islam dikenal dengan istilah al-mas 'uliyah al-jinaiyah berlaku kepada anak sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja terdapat pembatasan keberlakuannya yang disesuaikan dengan umur anak dan kematangan pola pikir anak. Dua kategori penting yang harus diperhatikan adalah adanya unsur iradah (keinginan/maksud) dan ikhtiyar (kompetensi).
Hal yang lebih menarik adalah pencantuman batas usia pertanggungjawaban anak yang telah meneapai usia 12 (dua belas) tahun sampai usia 18 (delapan belas) tahun. Batas usia ini muncul sebagai konsekuensi pembatasan usia dengan melihat kecenderungan perkembangan psikologis anak. Dalam kerangka penguatan sistem hukum pidana nasional, maka penelitian terhadap khazanah sistem hukum pidana Islam harus terus dilakukan.





Daftar Pustaka

Gatot Suparmono, S.H., M.Hum., Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2007.
Moch. Faisal Salam, SH., MH., Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung , 2005.
__, UU RI NO. 3 TH. 1997 Undang-Undang Peradilan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 1997.
//http:Wikipedia.com/


[1] Moch. Faisal Salam, SH., MH., Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung , 2005, hal 1-2.
[2] __, UU RI NO. 3 TH. 1997 Undang-Undang Peradilan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hal 3.
[3] Ibid, hal 2-3.
[4] Gatot Suparmono, S.H., M.Hum., Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2007, hal 87-94.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar