BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Tidak ada yang dapat menafikan bahwa anak adalah aset
bangsa. Sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis,
yakni sebagai pewaris (successor) bangsa; penerus cita-cita perjuangan bangsa
sekaligus potensi sumber daya manusia bagi pembangunan nasional (national
development). Oleh karenanya, dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas, kelangsungan hidup, pengembangan fisik dan mental serta
perlindungan dari bahaya-bahaya yang dapat mengancam integritas dan masa depan
mereka, amat diperlukan upaya pembinaan, pengayoman dan perlindungan yang
serius, berkesinambungan dan terpadu.
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan lebih memahami
pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh anak- anak
menurut hukum pidana Islam; pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang
dilakukan oleh anak anak menurut hukum pidana positif; persamaan dan perbedaaan
antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang pertanggungjawaban
pidana atas tindak pidana yang dilakukan oIeh anak-anak. yakni bagaimana
pengaturan tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan anak-anak, baik
dalam perspektif hukum pidana positifmaupun hukum pidana Islam.
- Rumusan Masalah
- Bagaimanakah perlidungan hukum bagi anak ?
- Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi anak ?
- Bagaimanakah wewenang peradilan anak ?
- Berapakah batas maksimal hukuman pidana bagi anak?
BAB II
PEMBAHASAN
- Perlindungan Hukum Bagi Anak
Ajaran agama menyatakan stiap anak terlahir ke dunia dalam
fitrah atau suci, bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan sang
anak, menjadi baik ataukah jahat.
Dalam undang-undang no. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan
anak, secara tegas dinyatakan bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan
sejak dalam kandungan ibunya. Selain itu anak berhak atas perlindungan terhadap
lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat bagi pertumbuhannya dengan
wajar.
Menurut Arif Gosita SH., perlindungan anak merupakan
upaya-upaya yang mendukung terlaksananya hak-hak dan kewajiban. Seorang anak
yang memperoleh dan mempertahankan hak untuk tumbuh dan berkembang dalam hidup
secara berimbang dan positif, berarti mendapat perlakuan secara adil dan
terhindar dari ancaman yang merugikan.
Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan
situasi, yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi
positif, yang merupakan pula perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat.[1]
- Pertanggungjawaban Pidana Bagi Anak
Diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana
dalam perspektif hukum pidana positif dikenal dengan istilah criminal
responsibility berlaku kepada anak-anak sebagaimana lazimnya pada orang
dewasa. Hanya saja tindak pidana tersebut digolongkan kepada perilaku nakal dan
anak tersebut dikategorikan sebagai anak nakal. UU No 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak mengatur tentang mekanisme peradilan anak, baik dalam konteks
hukum meteril maupun hukum formil.
Dalam UU No 3 Tahun 1997 pada Bab 1 Pasal 1 butir 2 di
jelaskan bahwasanya anak nakal itu adalah:
- Anak yang melakukan tindak pidana; atau
- Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainyang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.[2]
Pertanggungjawaban pidana dalam perspektif hukum pidana
Islam dikenal dengan istilah al-mas 'uliyah al-jinaiyah berlaku kepada
anak sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja terdapat pembatasan
keberlakuannya yang disesuaikan dengan umur anak dan kematangan pola pikir
anak. Dua kategori penting yang harus diperhatikan adalah adanya unsur iradah
(keinginan/maksud) dan ikhtiyar (kompetensi).
Persamaan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana
positif Indonesia adalah bahwa kondisi masa kanak-kanak merupakan alasan
pembenar untuk mengurangi dan menghapuskan hukuman. Kedua sistem hukum juga
sarna dalam memandang adanya batasan tentang usia yang termasuk kategori
kanak-kanak.
Akan tetapi ditemukan perbedaan antara hukum pidana Islam
dan hukum pidana positif Indonesia bahwa hukurn pidana Islam memandang batas
usia tidak serta merta menjadi alasan penjatuhan hukuman. Selain usia, dalam
perspektif hukum pidana Islam, hal kematangan pola pikir dan mental rohani
turut menjadi faktor penting dalam mengkualifikasi status sebagai anak.
Sedangkan dalam perspektif hukum pidana positif, khususnya dalam UU No 3 Tahun
1997 Bab 1 Pasal 1 butir 1 tentang Pengadilan Anak telah menggariskan batas
usia seorang dalam kategori anak nakal, yakni:
“Anak
adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin”.[3]
Jadi, dengan katalain batas usianya adalah minimal 8
(delapan) tahun dan rnaksimal 18 (delapan belas) tahun.
Perubahan positif semakin kelihatan pada RUU KUHPidana yang
secara tegas mencantumkan pertimbangan psikologis anak, termasuk kematangan
emosional, intelektual, dan mental.
Pertimbangan-pertimbangan ini patut diberikan dalam menyelesaikan
perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Hal yang lebih menarik adalah
pencantuman batas usia pertanggungjawaban anak yang telah meneapai usia 12 (dua
belas) tahun sampai usia 18 (delapan belas) tahun. Batas usia ini muncul
sebagai konsekuensi pembatasan usia dengan melihat kecenderungan perkembangan
psikologis anak. Dalam kerangka penguatan sistem hukum pidana nasional, maka
penelitian terhadap khazanah sistem hukum pidana Islam harus terus dilakukan.
Telah menjadi keyakinan dan konsensus nasional bahwa sistem
hukum Islam merupakan elemen dan sumber hukum nasional terpenting bersama
dengan sistem hukum adat ( Al-‘Urf ) dan hukum Barat dalam kerangka
penguatan dan pembinaan sistem hukum nasional. Penguatan dan pembinaan hukum
nasional diharapkan mampu melahirkan regulasi yang jelas dan memberikan
kepastian hukum, khususnya terhadap tindak pidana yang dilakukan anak-anak.
- Wewenang Peradilan Anak
Pasal 2 Undang-undang Peradilan Anak menegaskan bahwa sidang
peradilan untuk anak, yang selanjutnya disebut sidang anak, adalah persidangan
dilingkungan Peradilan Umum untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
pidana dan perkara perdata mengenai anak. Selanjutnya ketentuan tersebut
dijabarkan secara lebih tegas dan limitative dalam pasal 21 yang menentukan
bahwa siding anak berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyeleaikan perkara
pidana dan perdata dalam hal :
- Perkara Anak Nakal.
- Perkara Anak Terlantar.
- Perkara Perwalian.
- Perkara Pengangkatan Anak.
- Perkara Anak Sipil.
- Batas Maksimal Hukuman Pidana Bagi Anak [4]
- Batas Maksimal Pidana Penjara
Dalam ilmu hukum pidana, seorang hakim tidak boleh
menjatuhkan hukuman pidana penjara yang melebihi batas maksimal yang ditetapkan
oleh suatu ketentuan undang-undang. Hakim hanya dapat memutus hukuman paling
berat sama dengan besarnya ancaman pidana penjara sebagaimana yang ditetapkan
dalam peraturan bersangkutan. Yang berarti hakim dapat menjatuhkan hukuman
dibawah ancaman maksimal tersebut, sesuai dengan pertimbangan hukum, kebenaran
dan keadilan.
Untuk perkara anak, ternyata di dalam undang-undang No 3
Tahun 1997 telah mengatur lain, bahwa batas maksimal ancaman pidana penjara
dibedakan dengan orang dewasa. Batas maksimal ancaman pidana penjara untuk anak
diatur lebih rendah dari pada ancaman pidana terhadap orang dewasa, karena
memang situasi dan kondisinya memang tidak sama.
- Batas Maksimal Pidana Kurungan
Sejalan dengan ketentuan batas maksimum pidana penjara yang
telah diterangkan diatas, tampak bahwa untuk pidana kurungan terhadap terdakwa
anak dibatasi maksimalnya juga setengah dari ancaman yang berlaku bagi orang
dewasa.
Pasal 27 Undang-undang Pengadilan Anak menyebutkan, pidana
kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagai mana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum
ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
- Batas Maksimal Pidana Denda
Pada pokoknya ketentuan batas maksimal pidana denda sama
dengan ketentuan batas maksimal pidana penjara dan pidana kurungan,terdakwa
anak hanya dapat dijatuhi maksimal setengah dari yang berlaku bagi orang
dewasa.
Ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Pengadilan Anak
menyebutkan, pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling banyak
½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
- Batas Maksimal Pidana Bersyarat
Dalam hukum dikenal adanya hukuman pidana bersyarat, bahwa
seseorang yang dijatuhi hukuman pidana penjara, hakim dapat memerintahkan
supaya terdakwa tidak perlu menjalani, kecuali dalam waktu yang ditentukan
ternyata melakukan tindak pidana lagi ( Pasal 14 f KUHP ). Dalam masa
percobaan ternyata terpidana melakukan tindak pidana, baik perbuatan yang
sejenis maupun tidak sejenis, maka terpidana wajib menjalani hukuman pidan dan
pelaksanaannya dilakukan atas perintah hakim. Jadi kejaksaan selaku eksekutor
tidak dapat langsung mengeksekusi terpidana, sebelum ada perintah dari hakim.
Untuk perkara anak hukuman pidana bersyarat telah diatur
tersendiri pada Pasal 29 Undang-undang Pengadilan Anak. Hakim dapat menjatuhkan
pidana bersyarat, apabila pidana penjara yang dijatuhkan itu paling lama 2
(dua) tahun. Maksimal dua tahun tersebut bukan besarnya ancaman pidana dari
suatu ketentuan undang-undang yang berlaku bagi anak, akan tetapi hukuman
maksimal yang dijatuhkan hakim khusus untuk pidana bersyarat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ajaran agama menyatakan stiap anak terlahir ke dunia dalam
fitrah atau suci, bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan sang
anak, menjadi baik ataukah jahat.
Diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana
dalam perspektif hukum pidana positif dikenal dengan istilah criminal
responsibility berlaku kepada anak-anak sebagaimana lazimnya pada orang
dewasa. Hanya saja tindak pidana tersebut digolongkan kepada perilaku nakal dan
anak tersebut dikategorikan sebagai anak nakal. UU No 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak mengatur tentang mekanisme peradilan anak, baik dalam konteks
hukum meteril maupun hukum formil.
Pertanggungjawaban pidana dalam perspektif hukum pidana
Islam dikenal dengan istilah al-mas 'uliyah al-jinaiyah berlaku kepada
anak sebagaimana lazimnya pada orang dewasa. Hanya saja terdapat pembatasan
keberlakuannya yang disesuaikan dengan umur anak dan kematangan pola pikir
anak. Dua kategori penting yang harus diperhatikan adalah adanya unsur iradah
(keinginan/maksud) dan ikhtiyar (kompetensi).
Hal yang lebih menarik adalah pencantuman batas usia
pertanggungjawaban anak yang telah meneapai usia 12 (dua belas) tahun sampai
usia 18 (delapan belas) tahun. Batas usia ini muncul sebagai konsekuensi
pembatasan usia dengan melihat kecenderungan perkembangan psikologis anak.
Dalam kerangka penguatan sistem hukum pidana nasional, maka penelitian terhadap
khazanah sistem hukum pidana Islam harus terus dilakukan.
Daftar Pustaka
Gatot Suparmono, S.H., M.Hum., Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2007.
Moch. Faisal Salam, SH., MH., Hukum Acara
Peradilan Anak Di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung , 2005.
__, UU
RI NO. 3 TH. 1997 Undang-Undang Peradilan Anak, Sinar Grafika, Jakarta,
1997.
//http:Wikipedia.com/
[1] Moch. Faisal Salam, SH., MH., Hukum
Acara Peradilan Anak Di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung , 2005, hal
1-2.
[2] __, UU RI NO. 3 TH. 1997
Undang-Undang Peradilan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hal 3.
[3] Ibid, hal 2-3.
[4] Gatot Suparmono, S.H., M.Hum., Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta,
2007, hal 87-94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar