Selasa, 09 Oktober 2012

'UYUB AL-NIKAH (CACAT-CACAT DALAM PERKAWINAN)

A.    Pengertian 'Uyub Al-Nikah
Lafat 'uyub merupakan bentuk jama' dan mufrod 'aib. Sedangkan lafat 'aib sendiri menurut etimologi merupakan bentuk akar kata (masdar) dari fi'il عاب - يعيب, yang memiliki arti bahasa cacat atau cela.[1] Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata cacat memiliki arti kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin, atau akhlak).[2] Sebagaimana dengan lafat fasakh, lafat 'aib pun kemudian oleh para fuqara dijadikan sebuah istilah yang menunjukan arti tertentu.
'Aib menurut terminologi, Musthafa Syilbi menyatakan, yang dimaksud 'aib adalah kekurangan pada badan atau pada akalnya salah satu dari suami isteri yang menyebabkan kehidupan rumah tangga tidak berkembang (tidak memiliki keturunan) atau kerisauan yang tidak pernah ada ketenangan.[3]
Sedangkan menurut Ali Hasbillah, 'aib adalah kekurangan pada fisik atau akal pada salah seorang suami isteri yang menjadi penghalang tercapainya tujuan pernikahan dan tidak tercapainya kebahagian hidup suami isteri.[4]
Dari beberapa pengertian tersebut, berarti lafat "uyub (bentuk jama' dari 'aib) memiliki arti beberapa kekurangan (cacat) pada fisik atau akal pada salah seorang suami isteri yang menjadi penghalang tercapainya tujuan pernikahan. Dengan demikian, apabila lafat 'uyub disandarkan pada lafat al-nikah, maka artinya dapat diringkas menjadi beberapa kekurangan (cacat) dalam perkawinan. Dan yang dimaksud penulis dengan 'uyub al-nikah adalah mencakup di dalam pembahasannya mengenai kekurangan atau cacat yang ada pada calon pasangan yang akan menikah maupun yang sedang membina mahligai rumah tangga kemudian muncul cacat pada pasangan tersebut.


B.     Macam – Macam 'Uyub
Jenis penyakit yang terjadi pada pasangan suami isteri menurut kategorinya ditetapkan sebagai berikut :[5]
  1. Tipe cacat dilihat dari segi pengaruhnya terhadap fungsi suami isteri, ada dua macam :
a.       Cacat penghalang fungsi suami isteri (alat reproduksi)
Jenis penyakit yang menyebabkan terhalangnya fungsi suami isteri diantaranya adalah al-jabb yaitu cacat berupa terputusnya kelamin (anggota reproduksi).[6] Al-'unnah yaitu kelemahan pada penis yang menghalang-halangi kemampuannya untuk bersetubuh (impotent), kata impotent berasal dari bahasa Inggris yang berarti tidak berdaya, tak bertenaga, mati pucuk (lamah zakar). Di dalam bahasa Arab disebut 'unnah dan juga bisa disebut 'inniin yang berarti عنة Lemah syahwat, عنين Yang tak mampu bersetubuh dengan perempuan.[7]
Menurut terminology, Abdul Al-Rahman Al-Jaziri memperinci 'unnah ini bahwa seseorang yang dikatakan impotent adalah orang yang tidak sanggup bersenggama dengan isterinya (tepat pada qubulnya), meskipun kemaluannya itu sudah intisyar (bangun tegak) ketika ia belum mendekati isterinya. Seseorang yang hanya sanggup bersetubuh dengan wanita lain, atau hanya sanggup bersenggama dengan perempuan janda, tidak sanggup dengan perempuan perawan, atau sanggup bersetubuh dengan isterinya, namun hanya pada duburnya dan tidak sanggup pada kemaluannya, maka orang yang memiliki salah satu dari beberapa kecenderungan tersebut itulah yang disebut impotent terhadap isterinya.[8]
Al-Khisha' yaitu cacat yang berupa kehilangan atau pecahnya buah dzakar.[9] Rataq (vulva impervia coeunti) yaitu tersembatnya lubang vagina yang menyebabkan terjadinya kesulitan dalam bersenggama, dalam tinjauan etimologi bahasa Arab artinya adalah "tersumbat".[10]
Menurut terminologi Al-Mawardi mengatakan daging yang tumbuh pada kelamin wanita dan menghalangi masuk (penetrasi) nya penis.[11] Qarn (vulva anteriore panie ana, soens).[12] Menurut bahasa adalah "tanduk", menurut terminologi adalah tulang yang menghalangi rahim, serta menghalangi penetrasinya penis, berupa benjolan tulang atau daging yang tumbuh pada kelamin wanita dan mirip tanduk domba.[13]

b.      Cacat yang bukan penghalang fungsi suami isteri (alat reproduksi)
Jenis penyakit ini tidak menyebabkan terhalangnya fungsi reproduksi namun sangat menjijikan. Karena salah satu dari suami isteri tidak mungkin dapat mengumpuli pasangannya kecuali ia sendiri akan mendapatkan bahaya atau kerugian yang lebih besar. Di antaranya adalah kusta (leprosy) atau menurut etimologi bahasa Arab disebut juzam, artinya adalah kelemahan yang ada pada anggota tubuh dan hidung yang bisa menjalar keanggota yang lain, sehingga dapat terjadi kerontokkan, bahkan terkadang menular pada keturunan dan pada orang yang mencampurinya.[14]
Sopak (a piebald skin diseace) atau (barash), artinya munculnya keputih-putihan di kulit yang disertai hilangnya darah kulit dan berikut dagingnya.[15] Penyakit ini pun dapat menular pada keturunan dan orang yang mencampurinya. Oleh sebab itu dapat menyebabkan keengganan dan perasaan jijik bagi orang lain (pasangan), sehingga tidak dapat memenuhi hasrat hubungan intim.
TBC, gila (al-Junuun), menurut etimologi bahasa Arab, lafat al-junuun memiliki arti الجنون : زوال العقل kegilaan.[16] Menurut terminologi artinya hilangnya akal yang menyebabkan tidak dapat melaksanakan hak.[17] Baik gila yang ringan maupun gila yang parah, karena gila yang ringan, meskipun hanya sedikit (sebentar), tetap saja dampaknya dapat menghalang-halangi penderitanya untuk memenuhi hak pada saat itu. Selain itu gila yang sedikit, jika dibiarkan bias jadi akan menjadi parah, dan penyakit sypihilis.

  1. Tipe cacat dilihat dari munculnya penyakit pada pasangan suami siteri terdapat tiga macam :
a.       Jenis penyakit yang secara khusus terdapat pada jenis kelamin suami, di antaranya adalah penyakit terpotongnya zakar (al-jahh), impotent ('unnah),[18] kehilangan atau pecahnya dua biji namun batang penisnya masih ada (al-khusha'),[19]  al-I'tiradh (lemah syahwat baik karena sakit atau karena sudah tua).[20]
b.      Jenis penyakit yang secara khusus terdapat pada jenis kelamin isteri, di antaranya adalah rataq (vulva impervia coeunti), tersumbatnya lubang vagina yang menyebabkan terjadinya kesulitan dalam bersenggama dan qarn (vulva anteriore pante ana soens), benjolan daging atau tulang yang tumbuh pada kelamin wanita dan mirip tanduk domba.[21] Bukhur (bau busuk atau semisal bau yang tidak sedap pada kelamin wanita.[22] Afal yaitu daging yang tumbuh pada kemaluan wanita yang selalu mengeluarkan cairan.[23] Ada tiga penafsiran mengenai pengertian al-'afal yaitu 1) menurut Ibn Umar dan Al-Syaibani al-'afal adalah daging yang melingkar, tumbuh dalam rahim setelah hilangnya keperawanan. 2) al-'afal adalah bengkaknya daging yang terdapat dalam farji, dan menyebabkan penyempitan sehingga tidak bisa dilewati penis. 3) Al-'afal merupakan permulaan rataq (daging yang menyumbat). Pada penyakit ini mungkin saja suami isteri dapat melakukan hubungan intim dan mungkin juga tidak sama sekali. Al-Ifdha artinya terbelahnya pembatas antara tempat masuknya penis dan tempat keluarnya kencing, sehingga menjadi pecah, namun suami masih dapat melakukan penetrasi.[24] Al-'aftq (menyatukan jalan keluar mani dan kencing).[25]
c.       Jenis penyakit yang dapat diderita oleh suami atau oleh isteri, yaitu penyakit kusta (leprosy), sopak (a piebald skin disease), beser air seni, beser kotoran dari dubur, penyakit bawasir (bentuk tonjolan seperti bisul), naasur (luka yang membengkak, tumbuh pada dubur dan mengalir nanah),[26] dan al-'adzithah (keluarnya hajat dari dubur ketika melakukan persetubuhan). Yang terjadi pada isteri disebut 'iz-yutah, sedangkan pada suami disebut 'iz-yut.[27]

Maka dari keterangan tersebut jelas bahwa macam-macam penyakit yang dimaksud adalah 'uyub yang berpengaruh pada alat reproduksi dan yang mengakibatkan perasaan jijik pada cacat tersebut mengakibatkan enggan pula pada pasangan yang menderita penyakit tersebut.




[1] A. W. Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997), Cet. Ke-14, h. 989
[2]  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 143
[3] M. Musthafa Syilbi, Ahkam Al-Usrah fi Al-Islam, (Beirut; Daar Al-Nuhdhah Al-Arabiyah, 1977), h. 567
[4] Ali Hasbillah, Al-Furqon Baina Al-Zawjaini, (ttp, Daar Al-Fikr, 1968), Cet. Ke-1, h. 120
[5] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa'adillatuh, (Beirut; Daar Al-Fiqh, 1989), Jilid 8, h. 514
[6]  Ali Hasbillah, Loc. Cit.
[7] Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet. Ke-1, h. 89
[8] Abdurrahman Al-Jaziri, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 169
[9] Habib Al-Mawardi, Hawi Al-Kabir, (tt, Daar Al-Fikr, tth), h, 464
[10] Munawir, Op. Cit, h. 471
[11] Ibid., h. 463
[12] Ibid., h. 1113
[13] Habib Al-Mawardi, Op. Cit., h. 463
[14] Ibid., h. 468
[15] Ibid., h. 469
[16] Munawir, Op. Cit, h. 216
[17] Habib Al-Mawardi, Loc. Cit.
[18] Syamsuddin Al-Maqdisy, As-Syarh Al-Kabir, (tt, Daar Al-Fikr, tth), jilid 4, h. 256
[19] Habib Al-Mawardi, Op. Cit., h. 466  
[20] Wahbah Az-Zuhaili, Loc. Cit.
[21] Abdurrahman Al-Jaziri, Op. Cit., h. 171
[22] Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit.. h. 518  
[23] Habib Al-Mawardi, Op. Cit., h. 467
[24] Ibid.,  h. 468
[25] Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit. h. 519
[26] Ibid., h. 514
[27] Ibid. h. 518

Tidak ada komentar:

Posting Komentar