Hak melepaskan diri dari ikatan
perkawinan tidak mutlak di tangan kaum lelaki. Memang hak thalaq diberikan
kepadanya, akan tetapi di sisi lain, kaum wanita juga diberikan hak untuk
menuntut cerai ketika ia mengetahui bahwa suaminya telah berbuat menyimpang
dalam menunaikan kewajibannya, atau dalam kondisi-kondisi khusus yang lain.[1]
Hal ini dijelasakan bahwa thalaq itu
tetap berada di tangan suami, dan istri juga diberi hak untuk melepaskan diri
dari suaminya yang dibencinya, atau suami secara sengaja menyakiti istri atau
mengganggunya. Dan dengan demikian berarti kita menghalang-halangi kemungkinan
kesewenang-wenangan pihak suami dengan hak thalaq yang ada ditangannya yang
menyalahi akhlaq Islam.[2]
Dengan adanya ungkapan ini, jelaslah
bahwa si istri mempunyai hak pula dalam maslah perceraian. Dia juga dalam
keadaan-keadaan tertentu berhak untuk memilih apakah dia akan tetap bersama
suaminya atau tidak. Dalam hal ini Rasul sendiri pernah memberikan hak pilih
kepada istrinya, apakah ingin bersamanya atau ingin cerai.[3]
Sebagaimana dasar di bawah ini :
عن ابن شهاب
أنه سمعه يقول إذا خير الرجل إمرأة فختارته فليس ذلك بطلاق. {رواه مالك}.
Dari Ibn Syihab, bahwa ia mendengar dari
Rasulullah berkata: apabila suami memberikan hak khiyar kepada istrinya,
kemudian istrinya itu melakukan khiyar, maka itu tidak disebut thalaq. (HR.
Malik)[4]
Salah satu dari hak istri untuk
melepaskan diri dari ikatan ikatan pernikahan ialah dengan jalan menuntut
fasakh.
[1]
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta;
Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet. Ke-1, h. 50-15
[2] Ibid.,
h. 52
[3] Ibid.,
h. 53
[4]
Malik, Op. Cit. Juz. 10, h. 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar