Full width home advertisement

Perjalanan Umroh & Haji

Explore Nusantara

Jelajah Dunia

Post Page Advertisement [Top]

Analisis Uji Teknis, Uji Impact, Uji Legalitas dan Uji Konstitusional
Perda Provinsi Gorontalo Nomor 10 Tahun 2003
Tentang Pencegahan Maksiat

Di Susun Oleh;
Widya Hidayati, Dewi Ratna Anggraini, Asep Kustia Erawandi, Ilyas Ruhiyat, Ahmad Farhan Subhi, Uuf Rouf, Fahmi Firmansyah


1.      Tentang Uji Teknis Pembuatan Peraturan Perundang-undangan
NO
ASPEK
TERTULIS
YANG SEBENARNYA
1.
Konsideran
Pada pokok pikiran bagian C diakhiri dengan tanda baca titik.
Tiap-tiap pokok pikiran diakhiri dengan tanda baca titik koma. 
2.
Dasar hukum
Pada dasar hukum poin 3 dan 10 tidak deiakhiri dengantanda baca.
Tiap dasar hukum  memuat lebih dari satu Peraturan perundang-undangan, dan tiap dasar hokum tersebut diakhiri dengan tanda baca titik koma.
3.

Diktum

Sebelum kata memutuskan hanya terdapat frasa “Dengan P ersetujuan”
Sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa “Dengan Persetujuan Bersama”.
Sebelum kata memutuskan setelah Frasa Dengan Persetujuan tertulis DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI GORONTALO
Sebelum kata memutuskan setelah Frasa Dengan Persetujuan Bersama di tulis tanpa Frasa Provinsi, contohnya seperti: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH GORONTALO.
 Setelah DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI GORONTALO, tidak disertai dengan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA …(nama daerah).
Setelah DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH GORONTALO, disertai dengan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA… (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf capital dan diletakkan di tengah marjin.
Setelah kata Menetapkan terdapat Frasa Provinsi.
Setelah kata Menetapkan tanpa diikuti Frasa Provinsi.
4.

Batang Tubuh

Bagian materi pokok yang diatur, pada bagian ketiga, pasal 6 ayat 1, awal kalimat ditulis agak menjorok kedalam.
Pada setiap ayat pada pasal, ditulis sejajar kebawah.
Penggunaan spasi Bagian materi pokok yang diatur, pada BAB IV pasal 11 ayat 2 tidak sama dengan pasal yang lain.
Setiap ayat menggunakan spasi yang sama dengan ayat dan pasal lainnya.
Bagian penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan daerah, pada awal “Pada tanggal”  ditulis dengan huruf kapital.
seharusnya,
Ditetapkan di Gorontalo
pada tanggal 21 November 2003
Jarak antara penulisan tempat dan tanggal dengan nama jabatan diberi spasi.
Jarak antara penulisan tempat dan tanggal dengan nama jabatan tidak diberi spasi.
Ditetapkan di Gorontalo
pada tanggal 21 November 2003
GUBERNUR GORONTALO,
Pada akhir nama jabatan GUBERNUR GORONTALO tidak diberi tanda koma.
Pada akhir nama jabatan diberi tanda koma.
Ditetapkan di Gorontalo
pada tanggal 21 November 2003
GUBERNUR GORONTALO,
Bagian penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan daerah, penulisan ” tanda tangan” disingkat dengan “ttd”.
Penulisan tanda tangan ditulis dengan “tanda tangan”.
Ditetapkan di Gorontalo
pada tanggal 21 November 2003
GUBERNUR GORONTALO,
            tanda tangan
    FADEL MUHAMMAD

Penjelasan:
1.      Pada lampiran II Undang-Undang Republik Indonesia nomor  12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang- undangan,  Bab I poin 22 disana dijelaskan bahwa, “tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma”. Sedangkan pada konsideran Peraturan daerah provinsi Gorontalo nomor 10 tahun 2003 tersebut terjadi  kesalahan pada penulisannya, yaitu menggunakan tanda baca titik pada akhir kalimat.
2.       Lampiran II Undang-Undang Republik Indonesia nomor  12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang- undangan,  Bab I poin 52 menjelaskan bahwa, “jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma”. Sedangkan pada Peraturan Daerah provinsi gorontalo tersebut tidak menggunakan tanda baca diakhir kalimatnya.
3.      Lampiran II Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang- undangan,  Bab I poin 55 menjelaskan bahwa, “Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin.
Contoh Undang-Undang:
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN: ”
Sedangkan pada Perda tersebut hanya menggunakan Frasa “Dengan Persetujuan”.
4.      Lampiran II Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang- undangan,  Bab I poin 56 menjelaskan bahwa, “Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH … (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA …(nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin.
Contoh:
Peraturan Daerah
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAWA BARAT
dan
GUBERNUR JAWA BARAT
MEMUTUSKAN:
Sedangkan pada perda tersebut tertulis DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI GORONTALO, yakni menggunakan frasa Provinsi, dan tidak disertai dengan GUBERNUR dan nama daerah maka seharusnya:


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH GORONTALO
dan
GUBERNUR GORONTALO
MEMUTUSKAN:
5.      Lampiran II Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang- undangan,  Bab I poin 59 menjelaskan bahwa, “ Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Provinsi, Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik”.
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN.
Sedangkan dalam perda tersebut menggunakan frasa Provinsi. maka seharusnya:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN MAKSIAT
6.      Lampiran II Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang- undangan,  Bab I poin 166, menjelaskan bahwa, Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Contoh:
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tanda tangan
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Sedangkan pada Perda tersebut pada akhir nama jabatan GUBERNUR GORONTALO tidak diberi tanda koma. Maka seharusnya:
Ditetapkan di Gorontalo
pada tanggal 21 November 2003
GUBERNUR GORONTALO,
            tanda tangan
  FADEL MUHAMMAD

2.      Tentang Uji Impact Peraturan Perundang-undangan
Pertanyaan selanjutnya mengenai akar masalah sosial yang menjadi latar belakang pembentukan PUU itu apa? Apakah PUU tersebut bisa mengatasi masalah sosial yang dimaksud? Jawabannya sebagai berikut
a.       Masalah sosial yang melatar belakangi pembentukan PERDA Provinsi Gorontalo no 10 tahun 2003 tentang pencegahan kemaksiatan adalah :  Berbagai bentuk maksiat sudah sangat meresahkan, mengganggu keamanan, ketertiban serta sendi-sendi kehidupan masyarakat gorontalo, dan ini dianggap sebagai masalah sosial karna 1. kemaksiatan meresahkan banyak orang, 2. Kemaksiatan di provinsi Gorontalo terjadi berulang kali, 3. Berdampak luas pada sendi-sendi kehidupan masyarakat gorontalo.
b.      Intervensi : pemerintah daerah membentuk PERDA Provinsi Gorontalo no 10 tahun 2003 tentang pencegahan kemaksiatan.
c.       Dampak    :
1.      Keresahan (kekhawatiran) dari aksi sweeping oleh milisi sipil/ kelompok keagamaan garis keras.
2.      Ketakutan karna razia WTS (wanita tuna susila) bagi sejumlah perempuan untuk beraktifitas di luar rumah dalam rentang waktu jam 24.00 sampai dengan 04.00, sehingga mematikan hak kebebasan perempuan dalam beraktifitas.
sesungguhnya dampak ini, yakni keresahan dan ketakutan telah melanggar hak rasa aman dan bertentangan dari Undang-undang Republik Indonesia no 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang termaktub dalam pasal 9 ayat (2) yang berbunyi: Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.  Dan pasal 30 yang berbunyi: Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3.      Adanya diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana yang tercantum pada pasal 6 bagian ketiga.
 Dampak ini bertentangan dengan pasal 4 UU no. 39 tahun 1999 yang menyatakan bahwa “setiap orang memiliki Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

d.      Alternative Intervensi: upaya untuk mengatasi masalah sosial ini yang perlu ditekankan adalah pada cultur hukum, sebab untuk mengubah cultur hukum masyarakat yang cenderung melakukan maksiat itu harus diawali dengan pensisoalisasian yang lebih mendalam dan terarah kepada mereka sehingga kesadaran masyarakat menjadi tinggi.
Apakah Perda ini bisa mengatasi masalah? Melihat dari dampak yang ada, maka PERDA ini tentu tidak akan mengatasi masalah dan bahkan memungkinkan untuk tumbuhnya masalah baru. Artinya PERDA ini tidak mengatasi masalah karna, mencegah tidaklah harus diiringi dengan sanksi, melainkan dengan sosialisai. Dan masalah baru tersebut misalnya rasa kekhawatiran akan timbul dari kaum perempuan yang hendak beraktifitas di luar rumahnya dalam rentang waktu pukul 24.00-04.00, karna takut akan terkena Razia. Hal inilah yang menyebabkan rasa ketidak adilan.
Dan kemudian bayangkan jika seorang perempuan melanggar pasal 6 bagian ketiga, yakni keluar rumah sendirian dalam rentang waktu pukul 24.00-04.00, dan kemudian di tengah perjalanan diperkosa, apakah perempuan ini juga harus mendapat sanksi. lantas dimana letak keadilan PERDA ini. Maka dari itulah kami menyatakan bahwa PERDA ini tidak dapat mengatasi masalah sosial.

3.      Tentang Uji Legalitas Peraturan Perundang-undangan
No
DASAR TERTULIS
JENIS DASAR
KETERANGAN
DASAR HUKUM KEWENANGAN
DASAR HUKUM MEMERINTAHKAN
DASAR PENDUKUNG
1
Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Daerah Adat.


Sesuai dengan substansi Perda
2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3250).


Sesuai dengan sebagian substansi Perda dan tidak sesuai dengan sebagiannya.
3
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3250).


Sesuai dengan sebagian substansi Perda dan tidak sesuai dengan sebagiannya.
4
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495).


Sesuai dengan sebagian substansi Perda dan tidak sesuai dengan sebagiannya.
5
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Phisikotropika (Lembaran Negara tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3673).


Sesuai dengan sebagian substansi Perda dan tidak sesuai dengan sebagiannya.
6
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3698).


Sesuai dengan sebagian substansi Perda dan tidak sesuai dengan sebagiannya.
7
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).


Sesuai dengan substansi Perda
8
Undang-undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4060).


Sesuai dengan substansi Perda
9
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom  (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952).


Sesuai dengan substansi Perda
10
Keputusan Presiden RI  Nomor 44 Tahun 1999 tentang Tekhnik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor 70).


Sesuai dengan sebagian substansi Perda dan tidak sesuai dengan sebagiannya

Penjelasan:
            Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Daerah Adat menjadi dasar hukum yang memerintahkan pembentukan Perda ini dan sesuai dengan substansinya, karena Provinsi Gorontalo merupakan Daerah Adat ke-9 dari 19 Daerah Hukum Adat di Indonesia yang memiliki budaya dengan landasan filosofi Adat bersendikan syara’ dan syara’ tersebut bersendikan Kitabullah yang perlu dipertahankan. Berkenaan dengan substansi syara’ yang terdapat didalam Perda ini, bahwa syara’ sudah menjadi kebiasaan hukum ditengah-tengah masyarakat Adat Gorontalo sehingga substansi hukum dalam Perda ini mewakili perilaku atau kebiasaan masyarakat Adat Gorontalo.
            Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3250) menjadi dasar pendukung Perda ini dan bukan merupakan dasar hukum, selanjutnya tertera karena undang-undang ini sesuai dengan sebagian substansi Perda. Undang-undang ini telah mengatur secara keseluruhan mengenai perihal aturan perkawinan, status hukum perihal perkawinan serta sanksi dalam perkara perihal perkawinan dan dalam Perda ini terkait dengan BAB III bagian kedua mengenai pencegahan perkawinan yang tidak sah. Akan tetapi mengenai sanksi dalam Perda mengenai hal ini tidak sesuai dengan sanksi yang sudah diatur terlebih dahulu oleh Undang-undang ini.
            Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3250) menjadi dasar pendukung Perda ini dan bukan merupakan dasar hukum, selanjutnya tertera karena undang-undang ini sesuai dengan sebagian substansi Perda. Undang-undang ini telah mengatur secara keseluruhan mengenai perihal beracara dalam ruang lingkup pidana dan dalam Perda ini terkait dengan BAB VI mengenai penyidikan.
            Akan tetapi untuk aturan yang tertera dalam VII mengenai sanksi pidana dalam perda ini tidak terdapat dasar pendukungnya dan sanksi dalam Perda ini tidak sesuai dengan aturan dalam Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah RI dan mengubah kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
            Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495) menjadi dasar pendukung Perda ini dan bukan merupakan dasar hukum, selanjutnya tertera karena undang-undang ini sesuai dengan sebagian substansi Perda. Undang-undang ini telah mengatur secara keseluruhan mengenai aturan perihal kesehatan dan dalam Perda ini hanya terkait dengan bahaya alkohol dan penyalahgunaan narkoba bagi kesehatan yang aturan pencegahannya terdapat pada BAB III bagian Keenam dan Ketujuh.
            Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Phisikotropika (Lembaran Negara tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3673) menjadi dasar pendukung Perda ini dan bukan merupakan dasar hukum, selanjutnya tertera karena undang-undang ini sesuai dengan sebagian substansi Perda. Undang-undang ini telah mengatur secara keseluruhan mengenai Phisikotropika serta sanksi pidananya dan dalam Perda ini hanya terkait dengan BAB III bagian Ketujuh mengenai pencegahan, penyebaran dan penyalahgunaan Narkoba. Akan tetapi mengenai sanksi dalam Perda mengenai hal ini tidak sesuai dengan sanksi yang sudah diatur terlebih dahulu oleh Undang-undang ini.
            Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3698) menjadi dasar pendukung Perda ini dan bukan merupakan dasar hukum, selanjutnya tertera karena undang-undang ini sesuai dengan sebagian substansi Perda. Undang-undang ini telah mengatur secara keseluruhan mengenai Narkotika serta sanksi pidananya dan dalam Perda ini hanya terkait dengan BAB III bagian Ketujuh mengenai pencegahan, penyebaran dan penyalahgunaan Narkoba. Akan tetapi mengenai sanksi dalam Perda mengenai hal ini tidak sesuai dengan sanksi yang sudah diatur terlebih dahulu oleh Undang-undang ini.
            Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839) menjadi dasar hukum kewenangan pembentukan Perda ini sesuai dengan Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang tentang Pembentukan Daerah dalam hal ini Undang-undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4060).
            Undang-undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4060) menjadi dasar hukum kewenangan pembentukan Perda ini sesuai dengan Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang tentang Pembentukan Daerah.
            Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom  (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952) menjadi dasar hukum kewenangan pembentukan Perda ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839) dan Undang-undang tentang Pembentukan Daerah dalam hal ini Undang-undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara tahun 2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4060).
            Keputusan Presiden RI  Nomor 44 Tahun 1999 tentang Tekhnik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor 70) menjadi dasar pendukung Perda ini dan bukan merupakan dasar hukum, selanjutnya tertera karena undang-undang ini sesuai dengan sebagian substansi Perda. Undang-undang ini telah mengatur secara keseluruhan mengenai tekhnik penyusunan serta penulisan perundang-undangan yang diterapkan dalam Perda ini. Akan tetapi hanya sebagian yang diterapkan karena masih terdapat beberapa aturan yang tidak sesuai dengan aturan yang sudah diatur terlebih dahulu oleh Undang-undang ini, seperti tekhnis penulisan yang masih kurang tepat dan menyalahi aturan Undang-undang ini.
4.      Tentang Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-undangan

No
Norma Dasar
Mendukung Konstitusi
Melanggar Konstitusi
Usulan Alternatif
1
Pasal 3 tentang pencegahan zina ayat 1 dan ayat 2
Pasal 3 ini mendukung hak konstitusional warga Negara, sesuai dengan Pasal 28 B ayat 1 yang berbunyi: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah”.


2
Pasal 4 ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4,  ayat 5, dan  ayat 6
Pasal tersebut tidak bertentangan dengan kontitusi.






3
Pasal 5 tentang
Pasal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi


4
Pasal 6 Tentang Pemerkosaan ayat 1, ayat 2, dan ayat 3

Pasal 6 ini melanggar konstitusi karena pasal tersebut bias gender
Lembaga legislasi provinsi Gorontalo harusnya dalam merumuskan pasal 6 ini berangkat dari paradigama persuatif, maka rumusan yang kami usulkan adalah “Pemerintah provinsi menjamin keamanan setiap perempuan yang keluar rumah malam hari”
5
Pasal 7 Tentang pencegahan pornografi dan pornoaksi ayat 1 dan ayat 2
Pasal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi


6
Pasal 8 tentang pencegahan judi
Tidak bertentangan dengan konstitusi


7
 Pasal 9 pencegahan minuman berahkohol ayat 1 dan 2
Tidak bertentangan dengan konstitusi


8
Pasal 10 tentang pencegahan pengedaran dan penyalahgunaan narkoba
Pasal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi

Hukumannya terlalu ringan bagi yang melanggar, karena UU yang lebih tinggi (UU Nomor 35 tahun 2009) menghukum pelaku dengan pidana mati, seumur hidup, pidana penjara paling lama 20 tahun dan paling sedikit 6 tahun.
9
Pasal 14 tentang ketentuan pidana
Ketentuan pidana pasal tersebut tidak bertentangan dengan kontitusi kalau berlaku hanya untuk pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 7, pasal 8, dan pasal 9.
Pasal tersebut bertentangan dengan kontitusi karena di berlakukan untuk pasal 6, karena pasal 6 tersebut sangat bias gender dan diskriminatif bagi perempaun.
Pasal 6 menurut kami sangat bias gender, diskriminatif dan merugikan kaum perempuan yang seharusnya di lindungi oleh Negara. Maka usulan kami adalah, pasal 6 tersebut harus di cabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Penjelasan :
Pasal-pasal sebagaimana telah kami nyatakan “tidak bertentangan dengan konstitusi” adalah pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 7, pasal 8, pasal 9, dan pasal 10. Adapun norma-norma dasar yang diatur dalam perda  tersebut yang kami anggap bertentangan dengan kontitusi adalah pasal 6 seluruhnya.
Pasal-pasal yang tidak bertentangan tersebut menurut kami tidak ada  yang dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas perda tersebut. Kalau kita melihat sejarah, bahwa nilai-nilai Islam seperti halnya nilai-nilai adat dan Barat telah ratusan tahun hidup dalam pergaulan masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai itu bisa diserap ke dalam peraturan perundang-undangan sepanjang untuk kemaslahatan bersama.
Selain alasan tersebut,  pada perda bernuansa syariah kita bisa melihat perda tersebut dengan berbagai pendekatan yaitu, (1) demokrasi, yaitu bahwa Perda tersebut dalam hal ini perda provinsi Gorontalo tentang pencegahan maksiat sudah disusun secara konstitusional, (2) kewenangan, DPRD dan Pemerintah Daerah berwenang membuat Perda, dan (3) segi kemanfaatan, yaitu bahwa Perda itu justru untuk mendidik generasi bangsa khususnya masyarakat provinsi Gorontalo ke arah kebaikan.
Kalau kita rujuk kembali pasal 3, pasal 4 , pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9 tidak melanggar undang-undang atau aturan di atasnya, jadi keberadaan pasal-pasal tersebut tidak menjadi masalah. Karena pada prinsipnya semua hukum yang ada tak boleh bertentangan dengan undang-undang atau aturan di atasnya.
Misalnya pasal 3 mengatur tentang  pencegahan perzinahan dengan cara pelarangan laki-Iaki dan perempuan secara bersama-sama atau berpasangan yang bukan suami istri berada di tempat dan atau waktu tertentu yang tidak patut menurut norma agama,kesusilaan dan adat istiadat sangat mendukung pasal 28 I point 4 UUD 1945, yaitu Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Dalam hal ini hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan dengan perkawinan yang sah (pasal 28 B UUD 1945).
Kemudian pasal 4 mengenai pencegahan perzinahan dengan cara preventif yaitu pelarangan setiap orang, tempat hiburan, hotel, dan panti pijat untuk tidak menerima, mendirikan, menyediakan, dan melakukan praktek pelacuran tidaklah bertentangan dengan kontitusi kita yang tercantum dalam UUD 1945, yaitu pasal 28 J yang menyatakan; Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Selanjutnya norma pokok dalam pasal 5 yang mengatur tentang pencegahan perkawinan yang tidak sah dengan melarang setiap orang menikahkan seorang perempuan dengan seorang laki-laki,kecuali oleh wali yang berhak atau pejabat yang berwenang. Pasal ini merupakan kristalisasi dari pasal 28B ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, untuk menjamin hak tersebut selain diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, merupakan hak inisiatif DPRD Provinsi Gorontalo, bukan tanpa dasar hukum DPRD Provinsi Gorontalo membuat perda tersebut.
Faktor yang amat perlu diperhatikan dalam pembuatan perda adalah (1) mengutamakan keadilan, (2) jangan bertentangan dengan ketentuan hak-hak dan kewajiban asasi manusia seperti yang tertera di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (3) berdasarkan kedaulatan rakyat, artinya yang membuat itu adalah DPRD bersamasama dengan Pemerintah, Gubernur, atau Bupati/ Walikota, (4) Perda itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, (5) Perda itu harus bermanfaat bagi masyarakat, terutama dalam bidang ketertiban dan keamanan.
Dalam perda tersebut yaitu pasal 6 disebutkan: (1) Setiap perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya pada selang waktu pukul 24:00 sampai dengan pukul 04:00, kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. (2) Setiap perempuan di tempat umum wajib berbusana sopan. (3) Dilarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan atau lomba kecantikan yang menampilkan perempuan dengan busana yang minim dan atau ketat.
Pasal-pasal ini bias gender karena seakan-akan pasal tersebut hanya menyalahkan perempuan. Ada kesan bahwa pasal ini bertujuan untuk menembak pekerja seks komersial (PSK) yang mangkal di tempat umum, seperti tepi jalan raya, taman, dll. Akan tetapi tembakan itu salah sasaran karena pekerja seks tidak hanya berada di tempat umum. Yang dirugikan justru perempuan yang bukan pekerja seks yang harus ada di luar rumah pada rentang waktu itu dengan berbagai alasan: Seperti pulang kerja, ke apotek, ke rumah teman, dan keperluan lain-lain yang harus dan bersifat darurat misalanya. Sedangkan pekerja seks hilir mudik, naik motor atau mobil memenuhi panggilan lelaki buaya, bahkan komunikasi mereka sudah sangat canggih dengan tidak memalui face to face, akan tetapi dengan menggunakan media komunikasi seperi Handphone, Blackbary dan bahkan ada yang menggunakan media sosial seperi Facebook, twiter dan lain-lain.
Pasal-pasal 6 inipun menempatkan perempuan sebagai pelengkap penderita. Kalau saja aparat di Pemprov Gorontalo dan anggota DPRD Prov. Gorontalo yang dipakai adalah paradigma perspektif gender, maka pasal itu berbunyi: Pemerintah provinsi menjamin keamanan setiap perempuan yang keluar rumah malam hari. Ini baru pasal yang beradab karena tidak bias gender dan melindungi perempuan yang dianggap oleh laki-laki sebagai makhluk yang lemah. Bahkan, ada sikap yang menempatkan perempuan sebagai subordinat dari laki-laki.
Bias gender selain dari pasal 6 tersebut, tercantum juga dalam pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana yaitu  pasal 14, disebutkan dalam pasal 14 tersebut: 1) Setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 6 Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000 (lima juta rupiah). Jika kita kembali pada pembahasan sebelumnya, setiap orang yang dimaksud dalam pasal 6 tersebut adalah perempuan.
Asumsinya adalah, jika seorang perempuan di wilayah Provinsi Gorontalo yang keluar malam pada rentang waktu antara pukul 24.00 dan pukul 04.00 diperkosa, maka berdasarkan perda ini perempuan tadi sudah melanggar pasal 6 ayat 1. Maka, yang ditindak adalah perempuan korban perkosaan tadi karena melanggar hukum yaitu melakukan perbuatan sesuai pasal 6 ayat 1. Dalam perda ini tidak ada ancaman hukuman untuk laki-laki yang mempekosa. Sebaliknya, perempuan korban perkosaan menderita sepanjang hidupnya.
Padahal menurut falsafah Pancasila manusia adalah ciptaan Tuhan dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan musyawarah dan mufakat.
Dalam Pembukaan UUD tahun 1945 pun diakui bahwa setiap individu dan warganegara adalah manusia merdeka dan tidak boleh mendapat diskriminasi  berdasarkan apapun termasuk berdasarkan pembedaan jenis kelamin.
Selanjutnya dalam pasal-pasal UUD tahun 1945 terdapat ketentuan  mengenai HAM pasal 28I yang menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki berhak atas kehidupan dan kemerdekaan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif dan  berhak mendapat perlindungan  terhadap perlakuan diskriminatif tersebut.
Indonesia adalah negara hukum.  Prinsip negara hukum mendudukan adanya supremasi hukum yang berarti hukum melandasi  setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka negara hukum terdapat persamaan substantive yaitu setiap kebijakan, sikap dan tindakan dalam semua aspek kehidupan  harus bertujuan memenuhi hukum  dan HAM  bagi laki-dan perempuan.
Instrumen hukum yang melandasi kesetaraan dan keadilan bagi perempuan  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara anatara lain: UUD Tahun 1945, UU.NO. 68 tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi internasional mengenai Hak-hak politik perempuan, UU.NO. 7  tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi internasional CEDAW, UU.NO. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU.NO. 11 Tahun 2005  tentang pengesahan konvensi internasional mengenai hak-hak ekosoc, dan UU.NO. 12 Tahun 2005  tentang pengesahan konvensi internasional mengenai hak-hak politik dan sipil
Secara sosiologis banyak masalah ketidakadilan yang dialami     perempuan dan ditemukan berbagai diskriminasi berbasis gender. Budaya patriarchi masih menguat dalam masyarakat sehingga ketidakadilan gender dan kebijakan bias gender sering terjadi. Banyak  masalah ketidakadilan gender yang bisa diidentifikasi dalam berbagai aspek kehidupan,   seperti dalam kehidupan politik dan publik, dalam pekerjaan dan  kehidupan  yang layak, dalam pendidikan, kesehatan, dalam hukum dan perlindungan dan pemenuhan  HAM  perempuan.
Atas pertimbangan yang telah kami paparkan diatas, pasal 6 itu bersifat bias gender, diskriminatif dan merugikan perempuan. Dan pasal 6 tersebut dinyatakan inkonstitusional (bertentangan dengan UUD 1945).
Norma dasar dalam pasal 7 mengatur tentang pencegahan pornografi dan pornoaksi dengan pelarangan setiap orang di tempat umum dengan sengaja mempertontonkan bagian tubuh dan atau bertingkah laku tidak senonoh sehingga dapat merangsang nafsu birahi, dan pelarangan pemilik dan atau pengelola warung internet (warnet) member kesempatan kepada setiap orang untuk mengakses situs-situs porno di internet. Melihat realita dalam masyarakat terjadinya berbagai kasus pornografi dan pornoaksi, setidaknya perda ini merupakan kontrol pemerintah terhadap masyarakatnya, dengan maksud untuk melindungi dan mencegah bahaya yang lebih besar akibat dari penyebarluasan konten pornografi dan pornoaksi. Mengenai konten pornografi dan pornoaksi diatur juga di dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi Elektronik pasal 27, pelarangan setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Sehingga pasal ini tidak melanggar UUD 1945 malah mendukung UUD 1945 sebagai kontitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 8 tentang pencegahan perjudian, pasal 9 tentang pencegahan minuman beralkohol dan pasal 10 tentang pencegahan pengedaran dan penyalahgunaan narkoba tidak bertentangan dengan konstitusi, apalagi Maraknya narkotika dan obat-obatan terlarang telah banyak mempengaruhi mental dan sekaligus pendidikan bagi para pelajar saat ini. Masa depan bangsa yang besar ini bergantung sepenuhnya pada upaya pembebasan kaum muda dari bahaya narkoba. Narkoba telah menyentuh lingkaran yang semakin dekat dengan kita semua. Teman dan saudara kita mulai terjerat oleh narkoba yang sering kali dapat mematikan. Upaya pemerintah Provinsi Gorontalo denga Perda tersebut merupakan upaya yang mulia, karena menyangkut penyelamatan generasi pemuda-pemuda Gorontalo akan bahaya laten Narkoba. Karena kita ketahui bahwa dampak dari Minuman Beralkohol, dan Penyalah gunaan Narkoba sangat menalkutkan, merusak moral, fifsik dan fsikis generasi muda kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| All Rights Reserved - Designed by Colorlib