Full width home advertisement

Perjalanan Umroh & Haji

Explore Nusantara

Jelajah Dunia

Post Page Advertisement [Top]



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada umumnya bentuk perjanjian kredit perbankan adalah berbentuk perjanjian standar. Dalam perjanjian standar syarat-syarat ditentukan sepihak oleh pihak bank. Debitur tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang menguntungkan. Beberapa bentuk kontrak baku yang sangat banyak digunakan dalam bisnis perbankan adalah Perjanjian Kredit, Aplikasi dan Syarat-syarat Pembukaan Rekening Koran, Aplikasi dan Syarat-syarat Pembukaan Tabungan, Aplikasi Pembukaan Deposito Berjangka Sertifikat Deposito, Aplikasi Pengiriman (transfer) uang.
Suatu asas hukum penting yang berkaitan dengan kontrak adalah asas kebebasan berkontrak. Ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi kontrak. Kebebasan itu tidaklah mutlak karena terdapat pembatasan yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Hubungan hukum antara pihak bank dan nasabah atau pemakai jasa bank lain merupakan hubungan kontraktual yang didasarkan pada suatu kontrak yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Karena kontrak-kontrak itu merupakan sarana transaksi yang bersifat ekonomis yang tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan, maka kontrak-kontrak yang digunakan dalam bisnis perbankan merupakan kontrak komersial.
Walaupun di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang perbankan tidak ditemukan adanya pengaturan yang secara tegas dapat dijadikan dasar hukum dalam memberikan jaminan kepastian perlindungan terhadap nasabah sebagai konsumen dalam pelaksanaan perjanjian kredit yang lazimnya dilakukan melalui standar kontrak/kontrak baku, menjadi harapan bersama bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen akan mampu mengantisipasi kebutuhan praktek perjanjian dalam bentuk standar kontrak/kontrak baku di dunia perbankan pada umumnya, dan dalam praktek perjanjian kredit perbankan khususnya, yang memberikan perlindungan dan kedudukan yang seimbang bagi para pihak.
Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam makalah ini akan menjelaskan tentang ”Kedudukan Debitur dalam Perjanjian Sepihak”, uraian lengkapnya tentang materi tersebut akan penulis jelaskan dalam Bab II.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka untuk mempermudahkan pembahasan makalah ini, dapat di rumukan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apayang dimaksud dengan perjanjian kredit?
2.      Apa yang dimaksud dengan kontrak/perjanjian baku?
3.      Bagaimana klausula baku dalam praktek perbankan?
4.      Bagaimana klausula baku perbankan dihubungkan dengan undang-undang perlindungan konsumen?
5.      Bagaimana perlindungan konsumen atas asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian baku?

C.    Tujuan Penulisan
Sebagaimana telah dirumuskan dalam rumusan masalah tersebut, setidaknya dalam penulisan makalah ini tujuan yang ingin dicapai penulis sebagai berikut :
1.      Sebagai tugas mata kuliah “Hukum Perikatan”
2.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian kredit?
3.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kontrak/perjanjian baku?
4.      Untuk mengetahui bagaimana klausula baku dalam praktek perbankan?
5.      Untuk mengetahui bagaimana klausula baku perbankan dihubungkan dengan undang-undang perlindungan konsumen?
6.      Untuk mengetahui bagaimana perlindungan konsumen atas asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian baku?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perjanjian Kredit
Bab II Buku III KUHPerdata berjudul “perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian”. Digunakanya kata “atau” diantara “kontrak” dan “perjanjian” menunjukkan kepada kita bahwa kata “kontrak” dan “perjanjian” menurut Buku III BW adalah sama dan cara penyebutannya secara berturut-turut seperti tersebut di atau memang disengaja dengan tujuan untuk menunjukkan, bahwa pembuat Undang-undang menganggap kedua istilah tersebut mempunyai arti yang sama.[1]
Jadi disini kita tidak menafsirkan dalam arti sebagai yang sehari-hari kita kenal, di mana ada anggapan, bahwa kontrak adalah perjanjian yang berlaku untuk jangka waktu tertentu. Pembentuk Undang-undang dalam pasal 1313 KUHPerdata mencoba memberikan suatu definisi mengenai perjanjian (dalam Undang-undang disebut persetujuan) dengan mengatakan bahwa “Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.[2]
Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.[3]
Dari pengertian perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata tersebut menurut J. Satrio nampak ada 3 kelemahan yaitu : [4]
a)      Kata “perbuatan” atau “rechtshandeling” disini mengandung makna yang dalam skema peristiwa hukum, maka peristiwa hukum yang timbul karena perbuatan/tindakan manusia meliputi baik “tindakan hukum” maupun “tindakan manusia yang lain” (yang bukan tindakan hukum).
b)      Kata “dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Setiap orang yang membaca kalimat tersebut akan membayangkan adanya satu orang atau lebih yang terikat kepada satu orang atau lebih lainnya. Jadi kesan yang timbul adalah : di satu pihak ada kewajiban dan dilain pihak ada hak. Yang demikian itu hanya cocok untuk perjanjian yang sepihak, sebab didalam perjanjian yang timbal-balik pada kedua pihak ada baik hak maupun kewajiban.
c)      Pengertian perjanjian disitu tidak memperlihatkan adanya konsensus/ sepakat/persetujuan dan tidak mempunyai tujuan yang jelas. Istilah perjanjian sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu overeenkomst dan dalam kepustakaan ilmu hukum di Indonesia sendiri ada berbagai macam pendapat di kalangan para sarjana, menterjemahkan sebagai, kontrak dan ada pula yang menterjemahkan sebagai perjanjian.
Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam buku ke III KUHPerdata tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andai kata dibuat tertulis, maka perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.
Sedangkan menurut Purwahid Patrik definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan pasal 1313 KUHPerdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu banyak mengandung kelemahankelemahan, diantaranya pertama perjanjian tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja, disini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih” sedangkan maksud dari perjanjian sebenarnya adalah mengikatkan dirinya terhadap satu orang/lebih lainnya. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja yaitu mengikatkan diri dari kedua belah pihak. Kedua kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus/kesepakatan. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan hukum.[5]
Karena banyak mengandung kelemahan rumusan perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata maka muncullah doktrin (pendapat ahli hukum) yang mencoba melengkapi pengertian perjanjian tersebut. Menurut Doktrin Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) yang berdasarkan kata sepakat dapat menimbulkan suatu akibat hukum.
Rutten memberi rumusan perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.
Jadi dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian timbul atau terjadi karena adanya kata sepakat atau persetujuan kedua belah pihak, dan kata sepakat terjadi karena adanya persesuaian kehendak diantara para pihak. Perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak yang melakukan perjanjian itu. Perjanjian dinamakan juga persetujuan dan/atau kontrak karena menyangkut kedua belah pihak yang setuju atau sepakat untuk melakukan sesuatu.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka diketahui bahwa pada prinsipnya perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya karena berlaku mengikat. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Dalam KUHPerdata, secara garis besar ada 4 asas yang harus diperhatikan dalam hal membuat suatu perjanjian, asas-asas tersebut adalah :
1.      Asas Kebebasan Berkontrak;
  1. Asas Itikad baik;
  2. Asas Pacta Sunt Servanda;
  3. Asas Konsensualitas.
Adapun mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
1.      Sepakat, mereka yang mengikatkan dirinya;
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3.      Suatu hal tertentu;
4.      Suatu sebab yang halal.
Uraian-uraian tersebut di atas sangat jelas menerangkan bahwa pada prinsipnya suatu perjanjian tidak diwajibkan dalam bentuk tertulis. Artinya setiap perjanjian yang dibuat setelah memenuhi keempat syarat sahnya perjanjian, baik itu lisan ataupun tulisan adalah sah di sisi hukum dan oleh karena itu mempunyai kekuatan yang mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian yang dibuat secara tertulis biasanya lebih ditekankan pada aspek pembuktian dikemudian hari.
Sehubungan dengan perjanjian kredit, di dalam KUHPerdata tidak ditemukan pengaturannya, tetapi dalam Angka 12 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan pengertian kredit mengandung unsur pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain.
Pasal 1754 KUHPerdata mengatur mengenai perjanjian pinjam-meminjam yaitu Perjanjian pinjam-meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena  pemakaian, dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro menafsirkan ketentuan dalam pasal 1754 KUHPerdata tersebut sebagai persetujuan yang bersifat riil, karena pasal tersebut tidak menyebutkan bahwa pihak kesatu mengikatkan dirinya untuk memberikan suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis, melainkan bahwa pihak kesatu memberikan suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakain.
Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH berpendapat bahwa perjanijian kredit Bank adalah perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan merupakan hasil dari pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil obligatoir yang dikuasai oleh Undang-Undang Perbankan dan Bagian Umum KUHPerdata. Bertolak dari sifat riil perjanjian kredit Bank, disimpulkan bahwa perjanjian kredit baru lahir pada saat dilakukannya realisasi kredit. Jadi pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, perjanjian kredit belumlah lahir karena pada saat penandatanganan perjanjian kredit tersebut tidak diikuti dengan penyerahan uang dari pihak Bank maupun penerimaan uang oleh pemohon kredit. Atau dengan kata lain belum menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Sehingga perjanjian kredit tersebut hanya merupakan perjanjian pendahuluan untuk terjadinya perjanjian pinjam meminjam.
Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH berdasarkan rumusan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengenai Perjanjian Kredit disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam KUHPerdata pasal 1754. Pinjam-meminjam mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabiskan jika verbruiklening termasuk didalamnya uang, karenanya perjanjian kredit perbankan merupakan perjanjian yang bersifat riil yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh Bank kepada nasabahnya.
Rachmadi Usman, SH berpendapat bahwa perjanjian kredit Bank merupakan perjanjian baku (standard contract), di mana isi atau klausula- klausula perjanjian kredit tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blanko), tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu (vorm vrij). Dalam hal ini calon debitur tinggal membubuhi tanda tangannya saja apabila bersedia menerima isi perjanjian tersebut. Dengan demikian dapatlah disebutkan bahwa Bank tidak memberikan kesempatan kepada calon debitur untuk membicarakan terlebih dahulu isi atau klausula-klausula yang diajukan oleh pihak Bank. Pad tahap ini terjadi kedudukan yang tidak seimbang antara debitur dengan Bank, kedudukan calon debitur sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang disodorkan oleh pihak Bank karena jika tidak demikian calon debitur tidak akan mendapatkan kredit.

B.     Kontrak atau Perjanjian Baku
Perjanjian baku telah dikenal dalam masyarakat dan sangat berperan terutama dalam dunia usaha. Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh salah satu pihak, yang umumnya disebut perjanjian adhesie atau perjanjian baku. Nama perjanjian adhesie adalah yang paling tua yang oleh Salcilles, ahli hukum Perancis yang besar, dilaksanakan dalam masyarakat dan begitu cepat menjadi terkenal (“contract d’adhesian”, “adhesion contract”).
Dalam tahun-tahun kemudian istilah perjanjian baku mulai dikenal dalam masyarakat, bahwa yang terpenting dalam kedua hal atau istilah di atas terdapat aspek-aspek yang berbeda. Yang pertama sifat adhesie yaitu: “take it or leave it” Pihak lawan dari yang menyusun kontrak, umumnya disebut “Adherent”, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak mempunyai pilihan. Dalam hal penyusun kontrak (kreditor) mempunyai kedudukan monopoli. Terserah mau mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak bebas dalam membuat redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya.
Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran. Model, rumusan, dan ukuran tersebut sudah dibakukan dan tidak dapat diganti, diubah atau dibuat lagi dengan cara lain karena pihak pengusaha sudah mencetaknya dalam bentuk formulir yang berupa blanko naskah perjanjian lengkap didalamnya sudah dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian atau yang disebut dengan dokumen bukti perjanjian yang memuat tentang syarat-syarat baku yang wajib dipenuhi oleh pelanggan. Pihak pengusaha dalam merumuskan atau menuangkan syarat-syarat perjanjian tersebut biasanya menggunakan bentuk nomor-nomor atau pasal-pasal atau klausula-klausula tertentu yang mengandung arti tertentu pula, yang pada dasarnya hanya dipahami oleh pihak pengusaha dan ini merupakan kerugian bagi konsumen karena konsumen sulit atau tidak bisa memahaminya dalam waktu yang singkat. [6]
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, pengertian perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir dan formulir itu bermacam-macam bentuknya, ada yang terdiri dari beberapa lembar folio dan ada pula yang hanya satu lembar folio. Perbuatan-perbuatan hukum sejenis yang selalu terjadi secara berulang-ulang dan teratur yang melibatkan banyak orang, menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian itu terlebih dahulu dan kemudian dibakukan dan seterusnya dicetak dalam jumlah banyak sehingga mudah menyediakannya setiap saat jika masyarakat membutuhkan.
Disini terlihat sifat adanya perjanjian baku, yaitu perjanjian yang diperuntukkan bagi setiap debitor yang melibatkan diri dalam perjanjian sejenis ini. Tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antara debitor yang satu dengan yang lain. Jika debitor menyetujui salah satu dari syarat-syaratnya, maka debitor hanya mungkin bersikap menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk mengadakan perubahan isi sama sekali tidak ada.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian baku dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :[7]
a)      Perjanjian baku sepihak atau perjanjian adhesi adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur.
b)      Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditor) dan pihak lainnya buruh (debitor). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
c)      Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah.
d)     Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.


C.    Klausula Baku Dalam Praktek Perbankan
Kontrak standar/kontrak baku adalah kontrak berbentuk tertulis yang telah digandakan berupa formullir-formulir, yang isinya telah distandarisasikan atau dibakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang menawarkan, dalam hal ini pelaku usaha dan ditawarkan secara massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen.
Munculnya kontrak standar dalam lalulintas hukum dilandasi oleh kebutuhan akan pelayanan yang efektif dan efisien terhadap kegiatan transaksi, oleh karena itu sifat utama dari kontrak standar adalah pelayanan yang cepat terhadap kegiatan transaksi yang berfrekuensi tinggi, jadi tampak bahwa keberadaan kontrak standar dalam lalulintas hukum khususnya di kalangan praktisi bisnis dianggap lebih efisien dan mempercepat proses transaksi, walaupun mungkin konsumen yang akan melakukan hubungan hukum adakalanya tidak sempat mempelajari syarat-syarat perjanjian yang ada dalam kontrak tersebut.
Tentu saja fenomena demikian tidak selamanya berkonotasi negatif, karena dibuatnya kontrak standar adalah untuk memberi kemudahan atau kepraktisan bagi para pihak yang bersangkutan, oleh karena itu bertolak dari tujuan ini, Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH mendefinisikan kontrak standar sebagai kontrak yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.
Sutan Remy Sjahdeini mengartikan kontrak standar sebagai kontrak yang hampir seluruh klausula-klausulanya dibakukan oleh pelaku usaha dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, tempat, waktu dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sutan Remy Sjahdeini menekankan bahwa yang dibakukan bukan formulir kontrak standar tersebut, melainkan klausula-klausulanya.

D.    Klausula Baku Perbankan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ternyata apa yang dimaksud dengan perjanjian baku tidak didifinisikan, karena Undang-Undang tersebut hanya memberikan perumusan tentang klusula baku.
Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa: “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha, yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Hampir semua teransaksi perbankan, seperti kredit, tabungan, giro, safe defosit box, kiriman uang dan lain sebagainya didasarkan atas suatu perjanjian antara bank dengan nasabahnya. Perjanjian tersebut pada prinsipnya dibuat berdasarkan kesepakatan antara dua pihak yaitu pihak bank dan nasabah yang cakap bertindak menurut hukum (pemenuhan syarat subyektif) untuk melakukan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat (pemenuhan syarat obyektif).
Kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa dalam transaksi antara bank dengan nasabahnya, pihak bank berada dalam posisi yang lebih dominan dan menentukan. Dengan kedudukan yang lebih dominan tersebut, adalah lazim bagi bank bahwa sekurang-kurangnya saat ini untuk membuat dan menyediakan perjanjian baku, suatu perjanjian yang kalusulanya sudah ditetapkan sebelumnya oleh bank dan tidak dapat ditawar oleh pihak nasabah.
Dengan melihat kenyataan, bahwa posisi tawar konsumen (nasabah) pada prakteknya berada di bawah para pelaku usaha perbankan, maka dalam rangka meningkatkan kepastian hukum dan perlindungan konsumen, para penyusun Undang-Undang Perlindungan Konsumen perlu mengatur mengenai klausula baku dalam setiap dokumen atau setiap perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha pada umumnya dan pihak bank pada khususnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, setidak-tidaknya dapat ditemukan 2 (dua) larangan yang diberlakukan bagi pelaku usaha (bank) yang membuat perjanjian baku. Pasal 18 ayat (1) menentukan bahwa:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian di mana klausula baku tersebut akan mengakibatkan:
a)      pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b)      menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c)      menyatakan bahwa`pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d)     menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e)      mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f)       memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g)      menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lan jutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memnafaatkan jasa yang dibelinya;
h)      menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) dinyatakan sebagai berikut: “Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat, atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti”.
Sebagai konsekuensi yuridis atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) di atas, maka berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999  klausula baku tersebut dinyatakan batal demi hukum. Di samping itu pelanggaran terhadap ketentuan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda maksimal dua milyar rupiah.
Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa larangan pencantuman klausula baku yang isinya merugikan konsumen dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

E.     Perlindungan Konsumen Atas Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Baku
Dalam membahas asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KHUPerdata, untuk mempermudah pemahamannya maka tidak terlepas dari jejak historis/riwayat proses lahirnya Pasal 1320 itu sendiri. Jejak historis/riwayat keberadaan Pasal 1320 KUHPerdata dijabarkan oleh Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, SH sebagaimana berikut di bawah ini:
“KUHPerdata yang sekarang ini berlaku adalah berasal dari Burgerlijk Wetboek (BW) Negeri Belanda. Diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordasi (Pasal 131 IS, S. 1925 No. 577, 415 dan 416 jo. S. 1855 No. 2). Sedangkan BW itu sendiri diadopsi dari Code Civil yang disahkan oleh Kaisar Napoleon Bonaparte tahun 1804 di Perancis. Dan Code Civil Perancis sendiri banyak dipengaruhi Corpus Luris Civils, yaitu kodifikasi Hukum Perdata Romawi, susunan Justinianus seorang Raja Romawi Timur (524-565 M).
Ketika BW dibuat di Erofa waktu itu, setidak-tidaknya ada dua kubu pemikiran yang cukup berpengaruh, yang secara langsung atau tidak diduga berpengaruh terhadap proses penyusunan BW tersebut yaitu:
Pertama, kubu liberalisme dengan salah satu pakarnya yaitu Adam Smith (1723-1790). Inti pemikirannya adalah bahwa masyarakat adalah lapangan hidup di mana individu-individu dapat mewujudkan hak-hak dan kebebasan asli mereka. Negara tidak berpengaruh atas kegiatan-kegiatan individu. Kekuasaan politik juga tidak berhak untuk camputangan dalam kehidupan masyarakat kecuali kalau terhadap bahaya yang sungguh-sungguh, bahea suatu konsentrasi kekuatan ekonomi yang terlalu besar akan menghindarkan berjalannya kehidupan bebas individu-individu.
Kedua, kubu utilitarisme, di mana salah satu pakarnya adalah Jeremy Bentham (1748-1832). Ide utilitarisme adalah masyarakat diatur dengan baik, kalau institusi-institusi yang berkepentingan dibentuk sedemikian rupa sehingga menghasilkan kepuasan yang sebesar mungkin bagi semua orang yang termasuk masyarakat itu. Dalam teori utilitarisme manusia sebagai pribadi tidak dipedulikan. Soalnya ialah bahwa dalam teori ini pembagian kepuasan tidakl dianggap. Dikejar kepuasan yang sebesar mungkin tetapi diminta juga  bahwa orang tertentu mengorbankan dirinya bagi kelompok lain. Kepuasan yang lebih besar bagi sekelompok orang merupakan kompensasi yang secukupnya bagi berkurangnya kepuasan bagi kelompok lain.
Munculnya asas kebebasan berkontrak dalam rumusan Pasal 1320 KUHPerdata adalah salah satu bentuk kemenangan kubu liberalisme terhadap kubu utilitarisme. Para pihak bebas membuat perjanjian dengan tanpa memperhatikan apakah kedudukan para pihak setara, serta apakah kedudukan para pihak ada kesenjangan terjadi eksploitasi antara pihak yang kuat kepada pihak yang lemah”.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam perkembangannya, penerapan Pasal 1320 KUHPerdata di negeri Belanda sendiri juga telah melahirkan ekses negatif di pihak konsumen (debitur) yaitu dalam hal kedudukan para pihak dalam perjanjian tidak seimbang, cenderung terjadi eksploitasi pihak yang kuat kepada yang lemah. Seperti antara pihak bank dengan konsumen, pihak developer dengan konsumen dan lain-lain.
Beranjak dari penjelasan tersebut di atas, ada upaya untuk melakukan re-interpretasi terhadap keberadaan asas kebebasan berkontrak sebagaimana dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu antara lain:
Pertama, asas kebebasan berkontrak bukan lagi dipahami dalam pengertian mutlak, tetapi relatif. Artinya asas kebebasan berkontrak dapat diterapkan apabila kedudukan para pihak seimbang. Apabila tidak seimbang asas kebebasan berkontrak dapat diterapkan apabila ada pengawasan dari negara. Bentuknya dapat melalui undang-undang maupun komisi di bawah Kementrian Kehakiman yang secara khusus bertugas mengawasi keberadaan perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang tidak setara kedudukannya.
Kedua, kedudukan hukum perjanjian tidak lagi selamanya 100 persen masuk dalam lapangan hukum privat. Hukum perjanjian selama berdimensi privat dalam hal isinya menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, juga berdimensi publik. Untuk melindungi kepentingan masyarakat/konsumen dalam perjanjian baku, harus ada campur tangan negara.
Dalam konteks di Negara Indonesia, pengaturan klausula baku dalam produk undang-undang untuk kali pertama diatur melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu memberikan batasan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Dari batasan tersebut, pengaturan klausula baku hanya berlaku terbatas untuk dokumen atau perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen. Tidak berlaku untuk perjanjian antara pelaku usaha dengan buruh dalam perjanjian perburuhan, yang juga berpotensi merugikan pihak yang lemah. Dengan demikian, praktek perjanjian baku pada transaksi di bidang perbankan juga merupakan salah satu obyek kebebasan berkontrak yang masuk dan tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bentuk perjanjian kredit perbankan selalu dalam bentuk perjanjian baku (standart contract), sedangkan dasar hukum perjanjian baku adalah asas kebebasan berkontrak. Dalam perjanjian baku meskipun syarat ditentukan pihak kreditur, pihak debitur masih memiliki kebebasan meskipun sangat kecil, yaitu debitur dapat menerima atau tidak syarat-syarat yang diajukan sepihak oleh kreditur. Dengan penandatanganan perjanjian dapat diartikan debitur setuju dan menerima perjanjian tersebut. Selanjutnya dalam pembeuatan perjanjian kredit antara bank dengan nasabah karena bentuk perjanjiannya adalah perjanjian baku jelas tidak ada posisi tawar yang sama, di sini bank sebagai kreditur lebih dominan dalam menentukan persyaratan. Namun demikian posisi kreditur yang dominan dalam pembuatan perjanjian tersebut akan tersisih apabila dana kredit telah disalurkan kepada kreditur sehingga setelah dana dikuasai debitur kedudukan sedikit terbalik, di sini kedudukan bank sebagai kreditur melemah;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan pembatasan terhadap pemuatan klausula baku, yaitu dalam Pasal 18 yang melarang pemuatan klausula baku yang merugikan konsumen, larangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kedudukan seimbang kepada konsumen dalam perjanjian termasuk juga perjanjian dalam bidang perbankan. Dengan demikian apabila dalam perjanjian kredit bank terdapat klausula yang dapat merugikan debitur sebagai konsumen, maka sanksi atas perjanjian tersebut berdasarkan Pasal 18 ayat (3) perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.

B.     Kritik dan Saran
Semoga tulisan makalah yang berada di tangan teman-teman sekalian ini, walaupun banyak kekurangan disana sini memberikan manfaat bagi kita semua. Kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari teman-teman semua, hal ini dimaksudkan sebagai cambuk bagi kami untuk pembuatan makalah yang lebih baik lagi. Mohon kepada Yth. Bapak Nahrawi, SH, MH, selaku pembimbing dalam mata kuliah Hukum Perikatan untuk mengoreksi tugas kelompok kami ini, semoga amal kebaikan dan pengabdian beliau dilipatgandakan oleh Allah Swt, Amien.



[1] Hofmann, Het Ned. Verbintenissenrecht, Jilid Kesatu, Cetakan Keempat, J.B. Wolters Groningen, Batavia, 1935. hal. 151.
[2] J. Satrio. Hukum Perjanjian. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. 1992, hal. 19-20.

[3] Mariam Darus Badrulzaman,  Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung,  PT. Citra Aditya Bakti. 2001,    hal. 65.
[4] J. Satrio. Hukum Perjanjian. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. 1992, hal. 20-23
[5] Purwahid Patrik. Dasar-dasar Hukum Perikatan. Bandung, Mandar Maju, 1994, hal, 45.
[6] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 87
[7] Mariam Darus Badrulzaman, Kumpulan Pidato Pengukuhan. Bandung, Alumni, 1991, hal 99.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| All Rights Reserved - Designed by Colorlib