Kamis, 21 Maret 2013

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI SERTA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN

A.  Latar Belakang
Baik UU ataupun KHI  telah merumuskan dengan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membina keluarga yang bahagia,  kekal, abadi berdasarkan tuntunan syari’at dari Tuhan Yang Maha Esa. Terwujudnya tujuan perkawinan tersebut sudah barang tentu tergantung  pada maksimalisasi peran dan tanggung jawab dari masing-masing pihak, baik itu dari suami maupun istri. Oleh sebab itu perkawinan tidak hanya dipandang sebagai media merealisasikan syari’at Allah agar memperoleh kebaikan didunia dan akhirat, tetapi juga merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Adapun harta yang diperoleh selama pernikahan sering kali kurang mendapat perhatian yang seksama dari para ahli hukum, terutama para praktisi hukum yang semestinya harus memperhatikan masalah ini secara serius, karena masalah harta bersama merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami istri apabila terjadi perceraian. Hal ini mungkin disebabkan karena munculnya harta bersama ini biasanya apabila sudah terjadi perceraian antara suami istri, atau pada saat proses perceraian berlangsung di Peradilan Agama, sehingga timbul berbagai masalah hukum kadang-kadang dalam penyelesaiannya menyimpang dengan perundang-undangan yang berlaku.

B.  Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, untuk memudahkan dan terarahnya pembahasan mengenai “Hak dan Kewajiban Istri dan Harta Bersama” dalam perspektif hukum positif yang berlaku di Indonesia.
1.      Bagaimana hak dan kewajiban istri dalam  hukum positif di Indonesia?
2.      Bagaimana kedudukan harta bersama dalam hukum positif di Indonesia?

C.    Hak dan Kewajiban Suami Istri
1.      Pengertian Hak dan Kewajiban
Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Allah swt. Tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan diantara keduanya. Namun demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu luhur, yakni untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban antara suami istri.
Yang dimaksud dengan hak disini adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, baik berupa materi ataupun non materi. Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah segala sesuatu yang mesti  dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami istri di dalam sebuah rumah tangga, suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula dengan istri. Dengan kata lain suami mempunyai beberapa kewajiban, [1] dan istri pun sama memiliki banyak kewajiban, hal ini sebagaimana disyaratkan di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 228 berikut :
.... 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym  . (المائدة : ۲۲٨ )
Artinya:
“…dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah: 228)
Ayat diatas menjelaskan bahwa istri mempunyai hak dan istri juga mempunyai beberapa kewajiban. Kewajiban istri merupakan hak bagi suaminya, sedangkan hak istri adalah kewajiban bagi suami. Ayat diatas juga mengandung pengertian bahwa baik suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Tetapi disini suami memiliki kedudukan setingkat lebih tinggi daripada istri, yakni sebagai kepala rumah tangga.



2.      Hak dan Kewajiban Suami Istri
Apabila akad nikah telah sah dan perkawinan telah berjalan, maka akan menimbulkan akibat hukum serta menimbulkan pula hak dan kewajiban antara suami istri. Dan ini merupakan salah satu syarat untuk mewujudkan tujuan dari suatu perkawinan, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.[2]
a.       Menurut UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Hak dan Kewajiban Menurut Islam yang tekandung dalam al-Qur’an maupun al-Hadis (Misalnya ; Kewajiban bersama antara suami isteri untuk bergaul dengan baik, Kewajiban suami terhadap isteri berupa mahar dan nafkah, dan Kewajiban isteri untuk menaati suami), pada  kenyataannya Islam tidak memiliki institusi untuk memaksakan peraturan-peraturan yang dimilikinya, maka tak jarang pada dataran impelementasinya banyak tugas-tugas suami yang memang sudah menjadi kewajibannya diselewengkan menjadi semacam modal untuk menguasai istri, yang pada akhirnya isteri menjadi pihak yang dirugikan.[3]
Pada gilirannya hak-hak isteri menjadi terabaikan dan bahkan menjadi malapetaka bagi pihak isteri. Di sinilah kelemahan Islam di satu sisi, karena tidak memiliki lembaga penegak hukum yang bisa memaksakan bunyi perintah-perintahnya, namun di sisi lain merupakan kelebihan yang tidak dimiliki oleh sistem hukum pada umumnya, karena Islam lebih mempercayakan kepada ketaatan individu.
Kemudian untuk melengkapi dan mewujudkan cita-cita perkawinan dan melindungi para pihak dari dominasi salah satu pihak dalam rumah tangga, Negara dengan kewenangan yang dimilikinya ikut ambil bagian dalam masalahperkawinan.[4] Hasilnya adalah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-undang Perkawinan di dalamnya mengatur lebih lanjut tentang hak dan kewajiban suami isteri. Namun perbedaan yang paling nampak dengan konsep perkawinan dalam Islam yaitu bahwa undang-undang perkawinan memiliki ketentuan mengenai mekanisme pertanggungjawaban yang sifatnya memaksa, yakni pertanggungjawaban hukum ketika para pihak melalaikan tugastugasnya masing-masing. Sedangkan agama tidak memiliki ketentuan tegas seperti Undang-Undang.
Secara khusus mengenai hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam Pasal 30-34 Undang-Undang Perkawinan, namun di beberapa tempat (pasal) yang lain dijumpai pula ketentuan-ketentuan tersebut. Adapun meteri hak dan kewajiban suami isteri dalam Pasal 30-34 (BAB Hak dan Kewajiban) Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut:
Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat

Pasal 31
1)      Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2)      Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
3)      Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga

Pasal 32
1)      Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
2)      Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34
1)      Suami wajib melindungi isterinya dan memberi segala sesuatu keperluan  hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2)      Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3)      Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

Secara azasi, terdapat perbedaan antara konsepsi Islam mengenai hak dan kewajiban dengan konsepsi Undang-Undang Perkawinan. Salah satu perbedaannya misalnya terdapat pada Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang mengatakan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Berbeda dengan Islam, yang memberi kewenangan kepada para suami untuk membatasi peran isteri pada sektor publik.[5] Sikap Islam tersebut di atas nyata-nyata bertentangan dengan asas yang dikandung Pasal 31 ayat (1) yang menganut asas keseimbangan antara suami isteri dalam rumah tangga dan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, menurut hemat penyusun bahwa hak dan kewajiban antara konsepsi Islam dengan konsepsi undang-undang perkawinan terdapat perbedaan, bukan saja secara material, melainkan lebih dari itu yaitu pada persoalan-persoalan prinsipiil pada beberapa tempat, walaupun pada beberapa ketentuan di tempat lain terdapat persamaan.
Jadi, sesuai dengan prinsip perkawinan  yang terkandung dalam UU Perkawinan, pada pasal 31 bahwa  kedudukan suami istri adalah sama dan seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bermasyarakat, hal ini tidak sejalan dengan pasal 108 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa kedudukan seorang wanita setelah kawin dianggap tidak mampu bertindak (handelingsonbekwaam) oleh karenanya hanya dengan bantuan suami yang bersangkutan baru dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum.[6] Namun ketentuan pasal 108 KUH Perdata tersebut tidak berlaku lagi.[7]
Beranjak dari UU Perkawinan mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam pasal -pasal diatas, Sayuti Thalib mencatat 5 hal penting yaitu:
1.      Masing-masing pihak wajib mewujudkan pergaulan yang ma’ruf kedalam rumah tangga ataupun keluar (masyarakat).
2.      Kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
3.      Suami wajib menyediakan tempat tinggal yang tetap, sebaliknya istri harus mengikuti suami.
4.      Kebutuhan rumah tangga menjadi kewajiban bagi suami, dan istri jg berkewajiban membantu mencukupi kebutuhan tersebut.
5.      Istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan membelanjakan harta suami secara bijaksana dan dapat dipertanggung  jawabkan.[8]

b.      Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia sebagaimna telah penyusun uraikan di atas, bahwa perihal hukum perdata menyangkut perkawinan sudah di atur oleh UU tersendiri,  dan didalamnya mengatur hak dan kewajiban suami isteri. Adapun hak dan kewajiban suami isteri yang telah termuat dalam KHI adalah dimulai dari pasal 77- 84 (BAB Hak dan Kewajiban Suami Istri).
Pengaturan ketentuan hak dan kewajiban suami isteri dalam kompilasi lebih sistematis dibanding dalam Undang-Undang Perkawinan. Hal ini tentu dapat dimaklumi, karena kompilasi dirumuskan belakangan, setelah 17 tahun sejak Undang-Undang Perkawinan dikeluarkan. Sementara dalam Undang-Undang Perkawinan pengaturan hak suami dan isteri lebih bersifat umum. Agaknya KHI dalam masalah hak dan kewajiban ini mewujudkan sikap yang mendua, satu sisi ingin mewujudkan sikap kesetaraan sedangkan pada sisi yang lain belum berhasil sepenuhnya keluar dari main steam fikih Islam yang jelas-jelas tidak menempatkan perempuan dan laki-laki secara seimbang.
 Dibawah ini akan dikutip ketentuan-ketentuan yang lebih rinci dari Kompilasi Hukum Islam mengenai Hak dan Kewajiban suami istri :
Bagian Kesatu mengenai ketentuan umum tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri.
Pasal 77
1)      Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat
2)      Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain;
3)      Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
4)      suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
5)      jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama

Pasal 78
1)      Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2)      Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama.
Bagian kedua mengenai hak dan kewajiban suami tentang kedudukan suami istri
Pasal 79
(1)   Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
(2)   Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3)   masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Bagian ketiga mengenai hak dan kewajiban suami tentang kewajiban suami
Pasal 80
1)      Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
2)      Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
3)      Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4)      sesuai dengan penghasislannya suami menanggung :
a.       nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b.      biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c.       biaya pendididkan bagi anak.
5)      Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
6)      Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7)      Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

Bagian keempat mengenai hak dan kewajiban suami tentang tempat kediaman
Pasal 81
(1)    Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2)    Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3)    Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4)    Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Bagian kelima mengenai hak dan kewajiban suami tentang kewajiban suami yang beristeri lebih dan seorang
Pasal 82
1)      Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
2)      Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

Bagian keenam mengenai hak dan kewajiban suami tentang kewajiban istri
Pasal 83
(1)     Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam.
(2)     Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84
(1)     Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
(2)     Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3)     Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri nusyuz
(4)     Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.

Mengenai teknis penyelesaian yang harus ditempuh si suami manakala isterinya nusyuz, dijelaskan dalam surah al-Nisa’, 4 : 34 yaitu :
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2  . (النساء: ۳٤)
Artinya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. (QS. An-Nisa: 34)
Penjelasan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
Pertama, isteri yang nusyuz tersebut dinasihati secara baik-baik. Tentu saja dalam hal ini menuntut kearifan suami, sekaligus mawas diri, bagaimana sesungguhnya si isteri sampai nusyuz. Kedewasaan sikap dan pikir suami, sangat dibutuhkan dalam penyelesaian nusyuz tersebut.
Kedua,   dengan cara pisah tidur. Ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada isteri untuk memikirkan tindakannya, apakah nusyuz yang dilakukannya itu cukup beralasan. Dan yang lebih penting adalah agar si isteri mengubah sikapnya dan kembali bergaul secara baik kepada suaminya.
Ketiga,   apabila dua cara tersebut telah ditempuh suami ternyata belum membuahkan hasil, maka cara yang terakhir adalah dengan memberi pelajaran kepada si isteri, yang dalam bahasa al-Quran di sebut “memukul”. Batasan yang perlu diketahui suami dalam langkah ketiga ini, adalah memberi pelajaran yang tidak sampai mengakibatkan penderitaan isteri.

D.     Harta Bersama dalam Perkawinan
1.      Pengertian Harta Bersama
Secara etimologis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, harta bersama terdiri dari dua kata yaitu harta dan bersama. Harta adalah barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan, sedangkan bersama adalah seharta, semilik. Sedangkan menurut terminologis harta bersama adalah barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan yang diperoleh suami isteri secara bersama-sama dalam perkawinan.[9]
Pada dasarnya, menurut hukum Islam tidak dikenal adanya percampuran harta bersama antara suami dan isteri karena perkawinan, kecuali dengan syirkah (perjanjian dalam perkawinan). Hal ini disebabkan karena dalam al-Qur’an maupun Hadis Nabi tidak dijelaskan dengan tegas tentang hal itu, sehingga masalah ini merupakan masalah yang perlu ditentukan dengan cara ijtihad.[10]
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena mati. Berbeda dengan harta bawaan masing-masing suami atau isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.[11]
Di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun dalam pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1985 maupun pasal 85 KHI, terhadap harta suami istri yang berada dalam masa ikatan perkawinan telah diberi nama “Harta bersama”. Dalam masyarakat Aceh dikenal dengan “Harta seharkat”. Dalam masyarakat Melayu dikenal dengan nama ”Harta serikat”. Dan dalam masyarakat Jawa-Madura dikenal dengan “Harta gono-gini”. Sampai sekarang penggunaan nama-nama tersebut masih mewarnai praktek peradilan.[12]
Sejak perkawinan dimulai, dengan sendirinya terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri. Hal ini merupakan ketentuan umum apabila tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan demikian berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan berlangsung. Jika seseorang ingin menyimpang dari ketentuan tersebut maka ia harus melakukan perjanjian perkawinan.[13] Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Vollmar bahwa akibat-akibat perkawinan terhadap kekayaan dan penghasilan suami-istri tergantung dari ada atau tidak adanya perjanjian perkawinan.[14]
Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama. Tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus didaftarkan.[15]

2.      Harta Bersama Menurut UU Perkawinan
Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah mengatur tentang harta kekayaan dalam perkawinan, yaitu dalam Bab VII pasal 35, 36, dan 37.[16]
Pasal 35
1)      Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
2)      Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36
1)      Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak
2)      Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya

Pasal 37
“Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”
Berdasarkan pada pasal 35, 36, dan 37 tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan mengenai harta kekayaan yang diatur dalam Undang-undang perkawinan sudah sejalan dengan ketuntuan dalam hukum Islam, namun di sini hanya ditekankan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan baik kerena usaha suami isteri masing-masing atau suami isteri bersama-sama otomatis menjadi harta bersama. Tetapi apabila terjadi perceraian maka pembagian harta bersama tetap mengikuti ketentuan hukumnya masing-masing, jadi bagi orang Islam tetap mengikuti ketentuan hukum Islam.

3.      Harta Bersama menurut KHI
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai harta bersama dalam perkawinan diatur dalam pasal 85-97. Pada pasal 85 KHI menegaskan bahwa adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Dalam pasal 86 menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta kekayaan suami dan harta kekayaan isteri karena perkawinan. Harta kekayaan isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai sepenuhnya oleh isteri, demikian juga harta kekayaan suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya olehnya.
Oleh karena itu, seorang suami tidak boleh memakai hak milik isteri tanpa persetujuan si isteri, jika suami menggunakan harta isteri walaupun untuk kebutuhan sehari-hari pada dasarnya merupakan hutang suami kepada isteri yang harus dikembalikan. Kewajiban suami adalah memberikan nafkah lahir batin kepada isteri dan membahagiakan isteri tidak menyusahkan isteri, bukan sebalikya. Namun demikian tidak berarti suami isteri tidak saling membantu dalam membangun keluarga atau rumah tangga, asal saja segala sesuatunya dilakukan dengan baik dengan musyawarah antara satu sama lain.
Sebagaimana yang telah disebutkan pasal 86 yaitu harta kekayaan isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai sepenuhnya oleh isteri, jadi perempuan yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak tanpa bantuan suami dalam soal apapun juga termasuk mengurus harta benda sehingga ia dapat melakukan perbuatan hukum dalam masyarakat berupa hibah, hadiah, shadaqah atau yang lainnya, hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 87 ayat
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama yang berwenang. Seorang suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri begitu pula sebaliknya seorang isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
Bentuk harta bersama itu sendiri beraneka ragam sebagaimana yang dijelaskan dalam KHI pasal 91 :
1)      Harta bersama yang dimaksud dalam pasal 85 KHI adalah berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
2)      Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
3)      Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
4)      Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

Jika dalam rumah tangga terdapat permasalahan yang berhubungan dengan hutang maka dapat diselesaikan dengan menggunakan pasal 93 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
1)      Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2)      Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3)      Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4)      Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.

Dalam hal terjadi perkawinan poligami (suami beristeri lebih dari satu) maka mengenai harta bersama diatur dalam pasal 94 Kompilasi Hukum Islam, yaitu :
1)      Harta bersama dalam perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2)      Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat.

Apabila dalam rumah tangga terdapat perbuatan suami atau isteri yang membahayakan terhadap harta bersama maka pasal 95 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan :
1)      Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dansebagainya.
2)      Sel  ma masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Dalam hal terjadi perceraian baik cerai hidup atau cerai mati atau salah satu di antara suami isteri tersebut ada yang hilang dan tidak diketahui keberadaannya maka penyelesaian atau pembagian harta bersama adalah berdasarkan pada pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam :
1)      Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
2)      Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
3)      Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

4.      Akibat Putusnya Hubungan Perkawinan Terhadap Harta Bersama Antara Suami Isteri
Dengan putusnya hubungan perkawinan, maka timbul beberapa akibat hukum. Akibat hukum dari putusnya hubungan perkawinan tersebut antara lain :
1)      Tentang status anak-anak, pemeliharaan, pendidikan dan pembiayaannya (wali Hadhanah).
2)      Tentang harta bersama suami isteri tersebut.
3)      Tentang nafkah isteri dan nafkah anak.
4)      Tentang masa tunggu (tenggang waktu Iddah)
5)      Tentang nafkah Iddah dan Mut’ah.

5.      Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami
Ketentuan tentang harta bersama juga berlaku dalam perkawinan poligami. Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 94 ayat (1),disebutkan bahwa “ Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri”. Berdasarkan ketentuan ini, harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
Kepemilikan harta bersama tersebut dihitung pada saat berlangsungnya akad nikah perkawinan yang kedua, ketiga, dan keempat.[17] Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 94 Kompilasi Hukum Islam, yang mana dalam pasal tersebut diterangkan bentuk harta bersama dalam masalah poligami. Menurut ketentuan yang dirumuskan dalam pasal tersebut harta bersama dalam perkawinan poligami masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Bentuk harta bersama yang terdapat dalam perkawinan serial sama halnya dengan perkawinan poligami. Jika suami berpoligami dengan dua istri, maka dalam perkawinan tersebut terbentuk dua harta bersama antara suami dan masing-masing istri. Demikian seterusnya, tergantung pada jumlah istri dalam perkawinan poligami yang bersangkutan.[18]
Dalam perkawinan poligami harta bersama terpisah dan berdiri sendiri, maksudnya adalah tidak terjadi penggabungan atau campur aduk antara masingmasing harta bersama. Asas ini sesuai dengan penegasan pasal 65 ayat (1) huruf b Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua dan berikutnya itu terjadi”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, istri pertama dari suami yang berpoligami mempunyai hak atas harta bersama yang dimilikinya bersama dengan suaminya. Istri kedua dan seterusnya hanya berhak atas harta bersamanya bersama suaminya sejak perkawinan mereka berlangsung. Kesemua istri memiliki hak yang sama atas harta bersama tersebut. Namun, istri yang kedua dan seterusnya tidak berhak terhadap harta bersama milik istri yang pertama. Jadi apa yang menjadi harta bersama antara suami dengan istri yang pertama dalam kehidupan rumah tangga mereka merupakan harta bersama yang terpisah dan berdiri sendiri dari harta bersama antara suami dan istri kedua. Istri kedua dan seterusnya, tidak berhak atas harta bersama suami dengan istri pertamanya.[19]

6.      Pembagian Harta Bersama
Berdasarkan pasal 96 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dikemukakan bahwa harta bersama suami istri apabila terjadi putusnya perkawinan baik karena kematian atau perceraian maka kepada suami istri tersebut masing-masing mendapat setengah bagian dari harta yang mereka peroleh selam perkawinan berlangsung. Ketentuan ini sejalan dengan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 9 Desember 1959 No.424.K/SIP/1959, dimana dalam putusan tesebut dinyatakan bahwa harta bersama suami istri kalau terjadi perceraian maka masing-masing pihak mendapat setengah bagian.
Sehubungan dengan hal tersebut, pembagian harta bersama setengah untuk suami dan setengah untuk istri dalam kasus-kasus tertentu bisa dilenturkan mengingat realita dalam kehidupan keluarga di beberapa daerah Indonesia ini ada pihak suami yang tidak ikut berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga. Dalam hal ini, sebaiknya para praktisi hukum lebih hati-hati dalam memeriksa kasus tersebut agar memenuhi rasa keadilan, kewajaran, dan kepatutan. Oleh karena itu perlu adanya pertimbangan khusus, tentang partisipasi pihak suami dalam mewujudkan harta bersama keluarga, sehingga bagian yang menetapkan setengah dari harta bersama baik untuk istri maupun untuk suami perlu dilenturkan lagi sebagai mana yang diharapkan dalam pasal 229 Kompilasi Hukum Islam.[20]
Pembagian harta bersama bagusnya dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan hak istri. Apabila terjadi perselisihan, maka harus merujuk kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 88 bahwa, “Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama”. Penyelesaian melalui jalur pengadilan adalah pilihan satu-satunya.[21]


[1] Amir Syarifuddin, ukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), lm.159
[2] Pasal 1 , Undang-Undang RI No. 1 Taun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006)
[3] Koiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (ukum Perkawinan I) Dilengkapi dengan Perbandingan UU Negara Muslim, (Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2004),  lm. 285
[4] Tidak ada data akurat untuk mendukung argumentasi bawa undang-undang perkawinan didorong ole kamauan pemerinta untuk mengintervensi peran-peran keluarga yangsangat domistik tersebut. Walaupun Soetandyo Wignjosoebroto menggambarkan bawa undangundang yang lair pada kurun waktu taun 1974-an disesuaikan dengan misi pembangunanisme yang menjadi mainstream pemerinta waktu itu. Liat dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Dari ukum Kolonial ke ukum Nasional: Suatu Kajian Tentang Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan ukum Selama Satu Setenga Abad di Indonesia (1840-1990),  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1995), lm. 224-247
[5] Amad Azar Basyir, ukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), lm. 63
[6] Lili Rosyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), Hlm. 180-181.
[7] Liat Surat Edaran Makama Agung (SEMA) Nomor 3 Taun 1963 yang ditujukan kepada seluru Kepala Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di seluru Indonesia mengenai  beberapa pasal tertentu dari KU Perdata dianggap tidak berlaku lagi.
[8] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1982), Hlm. 73-78.
[9] W.J.S, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), 347
[10] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan, (Yogyakarta, Liberty, 2004), Hlm. 99
[11] Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam : Kompetensi Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqoh, (Bandung: Mandar Maju, 1997), Hlm. 33
[12] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1989), Hlm. 272
[13] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Pembimbing, 1961 ), Hlm. 31
[14] H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta : Rajawali, 1989 ), Hlm. 77
[15] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,…Hlm. 109
[16] Lihat UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
[17] Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam,..Hlm. 34
[18] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama…Hlm. 283
[19] ibid, Hm. 284
[20] Abdul Manan, Ibid., Hlm.  129
[21] Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, Hlm. 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar