A. Latar
Belakang
Baik UU ataupun KHI telah merumuskan dengan jelas bahwa tujuan
perkawinan adalah untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, abadi berdasarkan tuntunan syari’at
dari Tuhan Yang Maha Esa. Terwujudnya tujuan perkawinan tersebut sudah barang tentu
tergantung pada maksimalisasi peran dan
tanggung jawab dari masing-masing pihak, baik itu dari suami maupun istri. Oleh
sebab itu perkawinan tidak hanya dipandang sebagai media merealisasikan
syari’at Allah agar memperoleh kebaikan didunia dan akhirat, tetapi juga
merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara
keduanya.
Adapun harta yang diperoleh selama
pernikahan sering kali kurang mendapat perhatian yang seksama dari para ahli
hukum, terutama para praktisi hukum yang semestinya harus memperhatikan masalah
ini secara serius, karena masalah harta bersama merupakan masalah yang sangat
besar pengaruhnya dalam kehidupan suami istri apabila terjadi perceraian. Hal
ini mungkin disebabkan karena munculnya harta bersama ini biasanya apabila
sudah terjadi perceraian antara suami istri, atau pada saat proses perceraian
berlangsung di Peradilan Agama, sehingga timbul berbagai masalah hukum
kadang-kadang dalam penyelesaiannya menyimpang dengan perundang-undangan yang
berlaku.
B. Rumusan
Masalah
Berdasar latar belakang yang telah
penulis uraikan di atas, untuk memudahkan dan terarahnya pembahasan mengenai
“Hak dan Kewajiban Istri dan Harta Bersama” dalam perspektif hukum positif yang
berlaku di Indonesia.
1. Bagaimana hak dan kewajiban istri
dalam hukum positif di Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan harta bersama
dalam hukum positif di Indonesia?
C. Hak
dan Kewajiban Suami Istri
1. Pengertian Hak dan Kewajiban
Perkawinan sebagai perbuatan hukum
antara suami dan istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada
Allah swt. Tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan diantara
keduanya. Namun demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu luhur, yakni
untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban antara suami istri.
Yang dimaksud dengan hak disini
adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, baik berupa materi
ataupun non materi. Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah segala
sesuatu yang mesti dilakukan seseorang
terhadap orang lain. Dalam hubungan suami istri di dalam sebuah rumah tangga,
suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula dengan istri. Dengan kata
lain suami mempunyai beberapa kewajiban, [1]
dan istri pun sama memiliki banyak kewajiban, hal ini sebagaimana disyaratkan
di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 228 berikut :
.... 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym . (المائدة : ۲۲٨ )
Artinya:
“…dan Para wanita mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah: 228)
Ayat diatas menjelaskan bahwa
istri mempunyai hak dan istri juga mempunyai beberapa kewajiban. Kewajiban
istri merupakan hak bagi suaminya, sedangkan hak istri adalah kewajiban bagi
suami. Ayat diatas juga mengandung pengertian bahwa baik suami maupun istri
memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Tetapi disini suami memiliki
kedudukan setingkat lebih tinggi daripada istri, yakni sebagai kepala rumah
tangga.
2. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Apabila akad nikah telah sah dan
perkawinan telah berjalan, maka akan menimbulkan akibat hukum serta menimbulkan
pula hak dan kewajiban antara suami istri. Dan ini merupakan salah satu syarat
untuk mewujudkan tujuan dari suatu perkawinan, yaitu membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.[2]
a. Menurut UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan
Hak dan Kewajiban Menurut Islam
yang tekandung dalam al-Qur’an maupun al-Hadis (Misalnya ; Kewajiban bersama
antara suami isteri untuk bergaul dengan baik, Kewajiban suami terhadap isteri
berupa mahar dan nafkah, dan Kewajiban isteri untuk menaati suami), pada kenyataannya Islam tidak memiliki institusi
untuk memaksakan peraturan-peraturan yang dimilikinya, maka tak jarang pada
dataran impelementasinya banyak tugas-tugas suami yang memang sudah menjadi
kewajibannya diselewengkan menjadi semacam modal untuk menguasai istri, yang
pada akhirnya isteri menjadi pihak yang dirugikan.[3]
Pada gilirannya hak-hak isteri
menjadi terabaikan dan bahkan menjadi malapetaka bagi pihak isteri. Di sinilah
kelemahan Islam di satu sisi, karena tidak memiliki lembaga penegak hukum yang
bisa memaksakan bunyi perintah-perintahnya, namun di sisi lain merupakan
kelebihan yang tidak dimiliki oleh sistem hukum pada umumnya, karena Islam
lebih mempercayakan kepada ketaatan individu.
Kemudian untuk melengkapi dan
mewujudkan cita-cita perkawinan dan melindungi para pihak dari dominasi salah
satu pihak dalam rumah tangga, Negara dengan kewenangan yang dimilikinya ikut
ambil bagian dalam masalahperkawinan.[4]
Hasilnya adalah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Undang-undang Perkawinan di dalamnya mengatur lebih lanjut tentang
hak dan kewajiban suami isteri. Namun perbedaan yang paling nampak dengan
konsep perkawinan dalam Islam yaitu bahwa undang-undang perkawinan memiliki
ketentuan mengenai mekanisme pertanggungjawaban yang sifatnya memaksa, yakni
pertanggungjawaban hukum ketika para pihak melalaikan tugastugasnya
masing-masing. Sedangkan agama tidak memiliki ketentuan tegas seperti
Undang-Undang.
Secara khusus mengenai hak dan
kewajiban suami isteri diatur dalam Pasal 30-34 Undang-Undang Perkawinan, namun
di beberapa tempat (pasal) yang lain dijumpai pula ketentuan-ketentuan
tersebut. Adapun meteri hak dan kewajiban suami isteri dalam Pasal 30-34 (BAB
Hak dan Kewajiban) Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut:
Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat
Pasal 31
1) Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2) Masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum
3) Suami adalah kepala keluarga dan
isteri ibu rumah tangga
Pasal 32
1) Suami isteri harus mempunyai
tempat kediaman yang tetap
2) Rumah tempat kediaman yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu
kepada yang lain.
Pasal 34
1) Suami wajib melindungi isterinya
dan memberi segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2) Isteri wajib mengatur urusan rumah
tangga sebaik-baiknya.
3) Jika suami atau isteri melalaikan
kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Secara azasi, terdapat perbedaan
antara konsepsi Islam mengenai hak dan kewajiban dengan konsepsi Undang-Undang
Perkawinan. Salah satu perbedaannya misalnya terdapat pada Pasal 31 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan yang mengatakan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Berbeda dengan Islam, yang memberi
kewenangan kepada para suami untuk membatasi peran isteri pada sektor publik.[5]
Sikap Islam tersebut di atas nyata-nyata bertentangan dengan asas yang
dikandung Pasal 31 ayat (1) yang menganut asas keseimbangan antara suami isteri
dalam rumah tangga dan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, menurut hemat
penyusun bahwa hak dan kewajiban antara konsepsi Islam dengan konsepsi
undang-undang perkawinan terdapat perbedaan, bukan saja secara material,
melainkan lebih dari itu yaitu pada persoalan-persoalan prinsipiil pada
beberapa tempat, walaupun pada beberapa ketentuan di tempat lain terdapat
persamaan.
Jadi, sesuai dengan prinsip
perkawinan yang terkandung dalam UU
Perkawinan, pada pasal 31 bahwa
kedudukan suami istri adalah sama dan seimbang, baik dalam kehidupan
rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bermasyarakat, hal ini tidak sejalan
dengan pasal 108 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa kedudukan seorang wanita
setelah kawin dianggap tidak mampu bertindak (handelingsonbekwaam) oleh
karenanya hanya dengan bantuan suami yang bersangkutan baru dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum.[6]
Namun ketentuan pasal 108 KUH Perdata tersebut tidak berlaku lagi.[7]
Beranjak dari UU Perkawinan
mengenai Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam pasal -pasal diatas, Sayuti Thalib
mencatat 5 hal penting yaitu:
1.
Masing-masing pihak wajib mewujudkan
pergaulan yang ma’ruf kedalam rumah tangga ataupun keluar (masyarakat).
2.
Kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga
dan istri sebagai ibu rumah tangga.
3.
Suami wajib menyediakan tempat tinggal yang
tetap, sebaliknya istri harus mengikuti suami.
4.
Kebutuhan rumah tangga menjadi kewajiban bagi
suami, dan istri jg berkewajiban membantu mencukupi kebutuhan tersebut.
5.
Istri bertanggung jawab mengurus rumah tangga
dan membelanjakan harta suami secara bijaksana dan dapat dipertanggung jawabkan.[8]
b. Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia sebagaimna telah
penyusun uraikan di atas, bahwa perihal hukum perdata menyangkut perkawinan sudah
di atur oleh UU tersendiri, dan
didalamnya mengatur hak dan kewajiban suami isteri. Adapun hak dan kewajiban
suami isteri yang telah termuat dalam KHI adalah dimulai dari pasal 77- 84 (BAB
Hak dan Kewajiban Suami Istri).
Pengaturan ketentuan hak dan
kewajiban suami isteri dalam kompilasi lebih sistematis dibanding dalam
Undang-Undang Perkawinan. Hal ini tentu dapat dimaklumi, karena kompilasi
dirumuskan belakangan, setelah 17 tahun sejak Undang-Undang Perkawinan
dikeluarkan. Sementara dalam Undang-Undang Perkawinan pengaturan hak suami dan
isteri lebih bersifat umum. Agaknya KHI dalam masalah hak dan kewajiban ini
mewujudkan sikap yang mendua, satu sisi ingin mewujudkan sikap kesetaraan
sedangkan pada sisi yang lain belum berhasil sepenuhnya keluar dari main steam
fikih Islam yang jelas-jelas tidak menempatkan perempuan dan laki-laki secara
seimbang.
Dibawah ini akan dikutip ketentuan-ketentuan
yang lebih rinci dari Kompilasi Hukum Islam mengenai Hak dan Kewajiban suami
istri :
Bagian Kesatu mengenai ketentuan
umum tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri.
Pasal
77
1) Suami isteri memikul kewjiban yang
luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang
menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat
2) Suami isteri wajib saling cinta
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang
satui kepada yang lain;
3) Suami isteri memikul kewajiban
untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
4) suami isteri wajib memelihara
kehormatannya;
5) jika suami atau isteri melalaikan
kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
Pasal
78
1) Suami isteri harus mempunyai
tempat kediaman yang tetap.
2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam
ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama.
Bagian kedua mengenai hak dan
kewajiban suami tentang kedudukan suami istri
Pasal
79
(1) Suami adalah kepala keluarga dan
isteri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
Bagian ketiga mengenai hak dan
kewajiban suami tentang kewajiban suami
Pasal
80
1) Suami adalah pembimbing, terhadap
isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga
yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
2) Suami wajib melidungi isterinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya
3) Suami wajib memberikan pendidikan
agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna
dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4) sesuai dengan penghasislannya
suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman
bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya
perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
5) Kewajiban suami terhadap isterinya
seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada
tamkin sempurna dari isterinya.
6) Isteri dapat membebaskan suaminya
dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan
b.
7) Kewajiban suami sebagaimana
dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Bagian keempat mengenai hak dan
kewajiban suami tentang tempat kediaman
Pasal
81
(1) Suami wajib menyediakan tempat
kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat
tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam
iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk
melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka
merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat
menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah
tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat
kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan
tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana
penunjang lainnya.
Bagian kelima mengenai hak dan
kewajiban suami tentang kewajiban suami yang beristeri lebih dan seorang
Pasal
82
1) Suami yang mempunyai isteri lebih
dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan biaya hidup kepada
masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga
yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
2) Dalam hal para isteri rela dan
ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.
Bagian keenam mengenai hak dan
kewajiban suami tentang kewajiban istri
Pasal
83
(1) Kewajibn utama bagi seoarang
isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan
oleh hukum islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal
84
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika
ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal
83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
(2) Selama isteri dalam nusyuz,
kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan
b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat
(2) di atas berlaku kembali sesudah isteri nusyuz
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak
adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Mengenai teknis penyelesaian yang
harus ditempuh si suami manakala isterinya nusyuz, dijelaskan dalam surah
al-Nisa’, 4 : 34 yaitu :
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 . (النساء: ۳٤)
Artinya:
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar”. (QS. An-Nisa: 34)
Penjelasan tersebut dapat dirinci
sebagai berikut :
Pertama, isteri yang nusyuz
tersebut dinasihati secara baik-baik. Tentu saja dalam hal ini menuntut
kearifan suami, sekaligus mawas diri, bagaimana sesungguhnya si isteri sampai
nusyuz. Kedewasaan sikap dan pikir suami, sangat dibutuhkan dalam penyelesaian
nusyuz tersebut.
Kedua, dengan cara pisah tidur. Ini dimaksudkan
untuk memberi kesempatan kepada isteri untuk memikirkan tindakannya, apakah
nusyuz yang dilakukannya itu cukup beralasan. Dan yang lebih penting adalah
agar si isteri mengubah sikapnya dan kembali bergaul secara baik kepada
suaminya.
Ketiga, apabila dua cara tersebut telah ditempuh
suami ternyata belum membuahkan hasil, maka cara yang terakhir adalah dengan
memberi pelajaran kepada si isteri, yang dalam bahasa al-Quran di sebut
“memukul”. Batasan yang perlu diketahui suami dalam langkah ketiga ini, adalah
memberi pelajaran yang tidak sampai mengakibatkan penderitaan isteri.
D. Harta
Bersama dalam Perkawinan
1. Pengertian
Harta Bersama
Secara etimologis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
harta bersama terdiri dari dua kata yaitu harta dan bersama. Harta adalah
barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan, sedangkan bersama
adalah seharta, semilik. Sedangkan menurut terminologis harta bersama adalah
barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan yang diperoleh suami
isteri secara bersama-sama dalam perkawinan.[9]
Pada dasarnya, menurut hukum Islam tidak dikenal adanya
percampuran harta bersama antara suami dan isteri karena perkawinan, kecuali
dengan syirkah (perjanjian dalam perkawinan). Hal ini disebabkan karena dalam
al-Qur’an maupun Hadis Nabi tidak dijelaskan dengan tegas tentang hal itu,
sehingga masalah ini merupakan masalah yang perlu ditentukan dengan cara
ijtihad.[10]
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan
harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa
terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya
perkawinan sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena mati.
Berbeda dengan harta bawaan masing-masing suami atau isteri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan harta
pribadi yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain.[11]
Di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 maupun dalam pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1985 maupun pasal
85 KHI, terhadap harta suami istri yang berada dalam masa ikatan perkawinan
telah diberi nama “Harta bersama”. Dalam masyarakat Aceh dikenal dengan “Harta
seharkat”. Dalam masyarakat Melayu dikenal dengan nama ”Harta serikat”. Dan
dalam masyarakat Jawa-Madura dikenal dengan “Harta gono-gini”. Sampai sekarang
penggunaan nama-nama tersebut masih mewarnai praktek peradilan.[12]
Sejak perkawinan dimulai, dengan sendirinya terjadi suatu
percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri. Hal ini merupakan
ketentuan umum apabila tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan demikian
berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan
berlangsung. Jika seseorang ingin menyimpang dari ketentuan tersebut maka ia
harus melakukan perjanjian perkawinan.[13]
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Vollmar bahwa akibat-akibat
perkawinan terhadap kekayaan dan penghasilan suami-istri tergantung dari ada
atau tidak adanya perjanjian perkawinan.[14]
Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat
bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama
tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh
suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta
tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama.
Demikian juga harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah
menjadi harta bersama. Tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami
yang membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui
pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus didaftarkan.[15]
2. Harta
Bersama Menurut UU Perkawinan
Undang-undang nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan telah mengatur tentang harta kekayaan dalam perkawinan,
yaitu dalam Bab VII pasal 35, 36, dan 37.[16]
Pasal
35
1) Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama
2) Harta bawaan dari masing-masing
suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain.
Pasal
36
1) Mengenai harta bersama suami atau
isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak
2) Mengenai harta bawaan
masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya
Pasal
37
“Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”
Berdasarkan pada pasal 35, 36, dan
37 tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan mengenai harta
kekayaan yang diatur dalam Undang-undang perkawinan sudah sejalan dengan
ketuntuan dalam hukum Islam, namun di sini hanya ditekankan bahwa harta yang
diperoleh selama perkawinan baik kerena usaha suami isteri masing-masing atau
suami isteri bersama-sama otomatis menjadi harta bersama. Tetapi apabila
terjadi perceraian maka pembagian harta bersama tetap mengikuti ketentuan
hukumnya masing-masing, jadi bagi orang Islam tetap mengikuti ketentuan hukum
Islam.
3. Harta
Bersama menurut KHI
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
mengenai harta bersama dalam perkawinan diatur dalam pasal 85-97. Pada pasal 85
KHI menegaskan bahwa adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami atau isteri.
Dalam pasal 86 menyatakan bahwa
pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta kekayaan suami dan harta
kekayaan isteri karena perkawinan. Harta kekayaan isteri tetap menjadi hak
isteri dan dikuasai sepenuhnya oleh isteri, demikian juga harta kekayaan suami
tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya olehnya.
Oleh karena itu, seorang suami
tidak boleh memakai hak milik isteri tanpa persetujuan si isteri, jika suami
menggunakan harta isteri walaupun untuk kebutuhan sehari-hari pada dasarnya merupakan
hutang suami kepada isteri yang harus dikembalikan. Kewajiban suami adalah
memberikan nafkah lahir batin kepada isteri dan membahagiakan isteri tidak
menyusahkan isteri, bukan sebalikya. Namun demikian tidak berarti suami isteri
tidak saling membantu dalam membangun keluarga atau rumah tangga, asal saja
segala sesuatunya dilakukan dengan baik dengan musyawarah antara satu sama
lain.
Sebagaimana yang telah disebutkan
pasal 86 yaitu harta kekayaan isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai
sepenuhnya oleh isteri, jadi perempuan yang bersuami tetap dianggap cakap
bertindak tanpa bantuan suami dalam soal apapun juga termasuk mengurus harta
benda sehingga ia dapat melakukan perbuatan hukum dalam masyarakat berupa
hibah, hadiah, shadaqah atau yang lainnya, hal ini sebagaimana yang dijelaskan
dalam pasal 87 ayat
Apabila terjadi perselisihan
antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu
diajukan kepada Pengadilan Agama yang berwenang. Seorang suami bertanggung
jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri begitu pula
sebaliknya seorang isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun
harta suami yang ada padanya.
Bentuk harta bersama itu sendiri
beraneka ragam sebagaimana yang dijelaskan dalam KHI pasal 91 :
1) Harta bersama yang dimaksud dalam
pasal 85 KHI adalah berupa benda berwujud atau tidak
berwujud.
2) Harta bersama yang berwujud dapat
meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan
surat-surat berharga.
3) Harta bersama yang tidak berwujud
dapat berupa hak maupun kewajiban.
4) Harta bersama dapat dijadikan
sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan pihak lainnya. Suami atau isteri
tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual
atau memindahkan harta bersama.
Jika dalam rumah tangga terdapat
permasalahan yang berhubungan dengan hutang maka
dapat diselesaikan dengan menggunakan pasal 93 Kompilasi
Hukum Islam, yaitu:
1) Pertanggungjawaban terhadap hutang
suami atau isteri dibebankan pada hartanya
masing-masing.
2) Pertanggungjawaban terhadap utang
yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan
kepada harta bersama.
3) Bila harta bersama tidak
mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4) Bila harta suami tidak ada atau
tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.
Dalam hal terjadi perkawinan
poligami (suami beristeri lebih dari satu) maka mengenai
harta bersama diatur dalam pasal 94 Kompilasi Hukum Islam,
yaitu :
1) Harta bersama dalam perkawinan
seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2) Pemilikan harta bersama dari
perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri
lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam ayat (1),
dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga,
atau yang keempat.
Apabila dalam rumah tangga
terdapat perbuatan suami atau isteri yang membahayakan
terhadap harta bersama maka pasal 95 Kompilasi Hukum
Islam menjelaskan :
1) Dengan tidak mengurangi ketentuan
pasal 24 ayat (2) huruf c peraturan pemerintah No. 9
tahun 1975 dan pasal 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam,
suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan
sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan
cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dansebagainya.
2) Sel ma masa sita dapat dilakukan penjualan
atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Dalam hal terjadi perceraian baik
cerai hidup atau cerai mati atau salah satu di antara suami isteri tersebut ada
yang hilang dan tidak diketahui keberadaannya maka penyelesaian atau pembagian
harta bersama adalah berdasarkan pada pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam :
1) Apabila terjadi cerai mati, maka
separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
2) Pembagian harta bersama bagi
seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan
sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas
dasar putusan Pengadilan Agama.
3) Janda atau duda cerai hidup masing-masing
berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
4. Akibat
Putusnya Hubungan Perkawinan Terhadap Harta Bersama Antara Suami Isteri
Dengan putusnya hubungan
perkawinan, maka timbul beberapa akibat hukum. Akibat hukum dari putusnya
hubungan perkawinan tersebut antara lain :
1) Tentang status anak-anak,
pemeliharaan, pendidikan dan pembiayaannya (wali Hadhanah).
2) Tentang harta bersama suami isteri
tersebut.
3) Tentang nafkah isteri dan nafkah
anak.
4) Tentang masa tunggu (tenggang
waktu Iddah)
5) Tentang nafkah Iddah dan Mut’ah.
5. Harta
Bersama Dalam Perkawinan Poligami
Ketentuan tentang harta bersama
juga berlaku dalam perkawinan poligami. Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam pada pasal 94 ayat (1),disebutkan bahwa “ Harta bersama dari perkawinan
seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah
dan berdiri sendiri”. Berdasarkan ketentuan ini, harta bersama dari perkawinan
seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu, masing-masing terpisah dan
berdiri sendiri.
Kepemilikan harta bersama tersebut
dihitung pada saat berlangsungnya akad nikah perkawinan yang kedua, ketiga, dan
keempat.[17]
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 94 Kompilasi Hukum Islam, yang mana
dalam pasal tersebut diterangkan bentuk harta bersama dalam masalah poligami.
Menurut ketentuan yang dirumuskan dalam pasal tersebut harta bersama dalam perkawinan
poligami masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Bentuk harta bersama yang
terdapat dalam perkawinan serial sama halnya dengan perkawinan poligami. Jika
suami berpoligami dengan dua istri, maka dalam perkawinan tersebut terbentuk
dua harta bersama antara suami dan masing-masing istri. Demikian seterusnya,
tergantung pada jumlah istri dalam perkawinan poligami yang bersangkutan.[18]
Dalam perkawinan poligami harta
bersama terpisah dan berdiri sendiri, maksudnya adalah tidak terjadi
penggabungan atau campur aduk antara masingmasing harta bersama. Asas ini
sesuai dengan penegasan pasal 65 ayat (1) huruf b Undang-Undang Perkawinan No.
1 Tahun 1974 yang berbunyi: “istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai
hak atas harta yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua dan
berikutnya itu terjadi”.
Berdasarkan ketentuan tersebut,
istri pertama dari suami yang berpoligami mempunyai hak atas harta bersama yang
dimilikinya bersama dengan suaminya. Istri kedua dan seterusnya hanya berhak
atas harta bersamanya bersama suaminya sejak perkawinan mereka berlangsung.
Kesemua istri memiliki hak yang sama atas harta bersama tersebut. Namun, istri
yang kedua dan seterusnya tidak berhak terhadap harta bersama milik istri yang
pertama. Jadi apa yang menjadi harta bersama antara suami dengan istri yang
pertama dalam kehidupan rumah tangga mereka merupakan harta bersama yang
terpisah dan berdiri sendiri dari harta bersama antara suami dan istri kedua.
Istri kedua dan seterusnya, tidak berhak atas harta bersama suami dengan istri
pertamanya.[19]
6. Pembagian
Harta Bersama
Berdasarkan pasal 96 Kompilasi
Hukum Islam dan pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dikemukakan bahwa harta bersama suami istri apabila terjadi putusnya perkawinan
baik karena kematian atau perceraian maka kepada suami istri tersebut
masing-masing mendapat setengah bagian dari harta yang mereka peroleh selam
perkawinan berlangsung. Ketentuan ini sejalan dengan putusan Mahkamah Agung RI
tanggal 9 Desember 1959 No.424.K/SIP/1959, dimana dalam putusan tesebut
dinyatakan bahwa harta bersama suami istri kalau terjadi perceraian maka masing-masing
pihak mendapat setengah bagian.
Sehubungan dengan hal tersebut,
pembagian harta bersama setengah untuk suami dan setengah untuk istri dalam
kasus-kasus tertentu bisa dilenturkan mengingat realita dalam kehidupan
keluarga di beberapa daerah Indonesia ini ada pihak suami yang tidak ikut
berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga. Dalam hal ini, sebaiknya
para praktisi hukum lebih hati-hati dalam memeriksa kasus tersebut agar
memenuhi rasa keadilan, kewajaran, dan kepatutan. Oleh karena itu perlu adanya
pertimbangan khusus, tentang partisipasi pihak suami dalam mewujudkan harta
bersama keluarga, sehingga bagian yang menetapkan setengah dari harta bersama
baik untuk istri maupun untuk suami perlu dilenturkan lagi sebagai mana yang
diharapkan dalam pasal 229 Kompilasi Hukum Islam.[20]
Pembagian harta bersama bagusnya
dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana
yang merupakan hak suami dan hak istri. Apabila terjadi perselisihan, maka
harus merujuk kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 88 bahwa, “Apabila
terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka
penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama”. Penyelesaian
melalui jalur pengadilan adalah pilihan satu-satunya.[21]
[1] Amir
Syarifuddin, ukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2009), lm.159
[2] Pasal 1 ,
Undang-Undang RI No. 1 Taun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta : Sinar Grafika,
2006)
[3] Koiruddin
Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (ukum Perkawinan I)
Dilengkapi dengan Perbandingan UU Negara Muslim, (Yogyakarta:
Academia+Tazzafa, 2004), lm. 285
[4] Tidak ada data
akurat untuk mendukung argumentasi bawa undang-undang perkawinan didorong ole
kamauan pemerinta untuk mengintervensi peran-peran keluarga yangsangat domistik
tersebut. Walaupun Soetandyo Wignjosoebroto menggambarkan bawa undangundang
yang lair pada kurun waktu taun 1974-an disesuaikan dengan misi pembangunanisme
yang menjadi mainstream pemerinta waktu itu. Liat dalam Soetandyo
Wignjosoebroto, Dari ukum Kolonial ke ukum Nasional: Suatu Kajian Tentang
Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan ukum Selama Satu Setenga Abad di
Indonesia (1840-1990), (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1995), lm. 224-247
[5] Amad Azar
Basyir, ukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), lm. 63
[6] Lili Rosyidi,
Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni,
1982), Hlm. 180-181.
[7] Liat Surat Edaran Makama Agung (SEMA)
Nomor 3 Taun 1963
yang ditujukan kepada seluru Kepala Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan
Tinggi di seluru Indonesia mengenai
beberapa pasal tertentu dari KU Perdata dianggap tidak berlaku lagi.
[8] Sayuti Thalib,
Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI
Press, 1982), Hlm. 73-78.
[9] W.J.S,
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1993), 347
[10] Soemiyati, Hukum
Perkawinan Islam dan UU Perkawinan, (Yogyakarta, Liberty, 2004), Hlm. 99
[11] Bahder Johan
Nasution, Hukum Perdata Islam : Kompetensi Peradilan Agama tentang
Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqoh, (Bandung: Mandar
Maju, 1997), Hlm. 33
[12] M. Yahya
Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta :
Pustaka Kartini, 1989), Hlm. 272
[13] Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta : Pembimbing, 1961 ), Hlm. 31
[14] H.F.A.
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta : Rajawali, 1989 ), Hlm.
77
[15] Abdul Manan, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,…Hlm. 109
[16] Lihat UU
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
[17] Bahder Johan
Nasution, Hukum Perdata Islam,..Hlm. 34
[18] M. Yahya
Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama…Hlm. 283
[19] ibid, Hm. 284
[20] Abdul Manan, Ibid.,
Hlm. 129
[21] Happy Susanto,
Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, Hlm. 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar