1.Gelar Ahli Hadis.
Mohammad 'Ajaj al-Khotib memberikan rincian gelar ataupun sebutan ahli hadis secara berurutan sebagai berikut:
1).Thalibul hadis, yakni seseorang yang sedang menuntut ilmu hadis.
2). Al-Musnid, yakni seseorang yang meriwayatkan hadis, menerima dan menyampaikannya dengan isnadnya, baik ahli hadis maupun bukan.
3). Al-Muhaddis, yakni seseorang yang mempunyai kemampuan tentang ilmu hadis riwayah dan dirayah , membedakan hadis yang shahih dan yang tidak, mengetahui ilmu musthalah hadis, mengetahui hadis yang diperslisihkan periwayatannya, kuat ingatan tentang ilmu hadis, seperti mengetahui hadis gharib, dan lainnya, karena yang seharusnya dikaji dan disampaikan kepada orang lain.
4). Al-Hafizh, yakni seseorang yang memilki kemampuan sebgai al-muhaddis, dan ditambah lagi dengan banyak hafalan hadis dengan segala jalan hadis yang disepakati dan dibenarkan. Ulama mutaakhirin berbeda pendapat dengan menyampaikan pendapatnya, bahwa hafizh itu seseorang yang memelihara dan mengembangkan seratus ribu hadis, baik matan maupun sanadnya, walaupun dengan banyak jalan, mengetahui hadis shih,dan istilahnya. Al-Mizi berkata :" Al-Hafizh ialah seseorang yang lebih sedikit hadis yang dilupakan, tetapi lebih banyak yang diketahui". Apabila seseorang dapat menguasai lebih seratus ribu hadis sampai tiga ratus ribu hadis, mendapatkan gelar hafizh hujjah.
5). Al-Hakim, yakni seseorang yang menguasai semua hadis riwayah, baik matan, sanad dan perawi yang tercela, terpuji dan sejarahnya.
6). Amirul Mu'minin fil-Hadis, yakni seseorang yang sangat terkenal di masanya dengan hafalan dan ilmu hadis, sehingga terkenal sebagai orang yang paling 'alim. Ahli hadis yang mendapatkan gelar "amirul mu'minin fil- hadis" antara lain ialah :
a). Abdurrahman bin Abdullah bin Dzikwan (--131 H ).
b). Syu'bah bin al-Hajjaj, Sufyan as-Sauri, Imam Mlik bin Anas, Iamam Bukhari dll.
2.Adab Periwayatan Hadis dan Majlisnya.
a). Adab al-Muhaddis, ialah ikhlas berniat hanya karena Allah semata-mata.
Ia tidak berjiwa materialis, tetpi semua kegiatannya diarahkan pada kemajuan ilmu hadis, dan pengembangannya. Begitu juga adab mencari hadis ataupun penuntut ilmu hadis, juga dengan niat semata-mata karena Allah Ta'ala.
b). Dalam halaqah ataupun kelompok-kelompok dan kelas-kelas belajar ilmu hadis, diharuskan dengan sikap tawadlu' dan khusyu', karena seolah-olah sedang berdialog dengan Nabi Muhammad SAW. Yang dibahas itu pada hakekatnya adalah cahaya kenabian, jiwa serta arahan dari padanya, yang merupakan wahyu marwi, yakni wahyu yang diriwayatkan, sebagai kelengkapan wahyu matluw, whyu yang dibacakn, tidak lain adalah al-Qur'an. Maka para penuntut ilmu hadis, memerlukan kehati-hatian, hanya hadis shahih dan hasn saja yan dipelajari, dari guru-guru yang terpercaya, dengan diiringi do'a dpat mengamalkannya.
c. Para penuntut ilmu hadis menggunakan peralatan yang baik dan canggih, agar dapat belajar lebih effektif dan effsien, memnafaatkan waktu da failitas, sehingga mendapatkan ilmu dan pemahaman yang cukup untuk dirinya, keluarga masyarakat dan bangsa. Bagi mahasiswa, diharapkan lebih aktif hadir dan berdiskusi dari nara sumber dan dosen, untuk lebih memahami hadis dan pengamalannya.
Rabu, 23 Desember 2009
Riawayt Hidup Imam Ibnu Majah. Tahun 207 H.- 273 H.
Nama lengkapnya ialah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid in Majah al-Hafizh, lahir tahun 207 H. Ia belajar ilmu hadis, dan melakukan perlawatan ke berbagai negeri, sehingga dapat mendengar hadis dari shahabat Malik, Al-Laits bin Sa’ad, ia meriwayatkan hadis banyak daipadanya. Abu Laila al-Khalili al-Qazwaini berkata :” Ibnu Majah adalah sebagai seorang ‘Alim pada periode itu, banyak menulis kitab, antara lain kitab Tarikh, Sunan, dan
melakukan perlawatan ke Iraq, Mesir dan Syam”. Ibnu Katsir berkata :” Ia adalah penulis kitab Sunan yang masyhur, yang mengandung 32 kitab, 1500 bab, 4000 hadis, semua hadisnya adalah baik/jayid, ini menunjukkan bahwa ia dalam ilmunya, amalannya, pendalamannya, penyampaiannya dan itba’nya/keikutannya kepada sunnah dalam urusan ushul dan furu’, dan wafat tahun 273 H.”.
melakukan perlawatan ke Iraq, Mesir dan Syam”. Ibnu Katsir berkata :” Ia adalah penulis kitab Sunan yang masyhur, yang mengandung 32 kitab, 1500 bab, 4000 hadis, semua hadisnya adalah baik/jayid, ini menunjukkan bahwa ia dalam ilmunya, amalannya, pendalamannya, penyampaiannya dan itba’nya/keikutannya kepada sunnah dalam urusan ushul dan furu’, dan wafat tahun 273 H.”.
Riwayat Hidup Al-Imam At-Tirmidzi ( 209-279 H.).
Nama lengkapnya ialah Abu ‘Isa Muhammad Ibnu ‘Isa Ibn Saurah al-Sulami Al-Tirmidzi, lahir tahun 209 H. di Tirmidz. Ada juga yang berpendapat lahirnya tahun 200 H. Ia banyak berguru dan melakukan perlawatan ke berbagai negeri, seperti ke Khurasan, ‘Iraq dan Hijaz Ia menjadi seorang ‘alim, wara’, dan hafizh. Banyak orang yang memuji karyanya, seperti Abu Laila Al-Khalafi. Kitab karangannya yang terkenal ialah Sunan At-Tirmidzi atau disebut juga Al-Jami’ Ash-Shahih At-Tirmidzi, yang memuat 3.956 hadis, sebagian shahih, sebagian hasan dan sebagian kecil dha’if. Kesemuanya dijelakan nilai hadisnya, serta ‘illahnya bila didapatkan.
Al-Imam At-Tirmidzi itu disamping menekuni bidang hadis, sekaligus juga mempelajari fiqh dari ‘Ulama di berbagai negeri. Dipelajarinya amalan ‘Ulama terhadap hadis, dari ‘Ulama Hanafi, yang terkenal ahli ra’yu, kemudian dari ‘Ulama mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, juga dari Al-Tsawri, Ibn Al-Mubarak dan lain-lain.
Al-Imam At-Tirmidzi juga dikenal tekun, senang berdiskusi, dan menulis, yang dilakukannya hampir sepanjang umurnya. Ia juga terpandang sebagai hafizh, dan faqih, dapat sebagai pengganti posisi Imam Bukhari dan Imam Muslim. Namun demikian dalam mengahdapi masalah baru, yang memerlukan fatwa, Al-Imam At-Tirmidzi selalu menggunakan hadis, daripda fiqh mazhab, setidak tidaknya sebelum mengeluarkan fatwa, ia terlebih dahulu mencari hadis untuk hal yang dimaksud.
Hasil karya tulis yang terkenal Al-Jami’A-Shahih banyak disyarahkan oleh ‘Ulama Hadis, seperti Abu Bakar Ibn al-Arabi, al-Maliki ( 468-543 H.), dalam kitab ‘Aridhatul-Ahwazi. Kemudian Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Sayidun-Nas As-Syafi’i, menulis dalam kitabnya “ Al-Munqihu al-Syadzi fi Syarhi At-Tirmidzi, dan lebih lima belas ‘Ulama yang membuat Syarahnya.
Ada beberapa catatan karya tulis yang terpenting ialah : 1).Kelebihan Kitab Al-Jami’ As-Shahih al Imam At-Tirmidzi, di akhir kitabnya al-Jami’ As-Shahih dilengkapi dengan fashl Ilmu Illalul Hadis, yang sangat berguna bagi para pembaca. 2).Ditemukan juga hasil karya tulisnya, yakni kitab “Asy-Syamail al-Muhammaiyah” yang terdiri dari dua jilid, yang menjelaskan tentang sifat nabi, baik khalqiyyah/ phisik dan khuluqiyyah / sikap Raulullah SAW.
3) Kitab Ilalul Mufrad atau Al-Ilal Al-Kabir, mendapatkan bahan dari al-Bukhari.
4). Kitab Zuhud,. yang merupakan kitab tersendiri, yang tidak sempat diamankan, shingga tidak dapat diketemukan.
5) .Imam At-Tirmidzi juga menulis kitabAl-Tarikh, Kitab Al-Asma’ Al-Shahabah, Kitab Al-Asma’ wa al-Kun-ya dan kitab al-Atsar Al Mauqufah, dll.
Mengenai bacaan kata Turmudz, Tirmidz atau Tarmidz, sesungguhnya memang berbeda lembaga yang menggunakan. Menurut ejaan resmi pemerintah Rusia yang berkuasa pada saat itu adalah Tirmidz, sedangkan menurut dialek penduduk asli adalah Tarmidz, ketika didengarkan, orang-orang ajam menyebutnya dengan Turmudz.
Al-Imam At-Tirmidzi itu disamping menekuni bidang hadis, sekaligus juga mempelajari fiqh dari ‘Ulama di berbagai negeri. Dipelajarinya amalan ‘Ulama terhadap hadis, dari ‘Ulama Hanafi, yang terkenal ahli ra’yu, kemudian dari ‘Ulama mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, juga dari Al-Tsawri, Ibn Al-Mubarak dan lain-lain.
Al-Imam At-Tirmidzi juga dikenal tekun, senang berdiskusi, dan menulis, yang dilakukannya hampir sepanjang umurnya. Ia juga terpandang sebagai hafizh, dan faqih, dapat sebagai pengganti posisi Imam Bukhari dan Imam Muslim. Namun demikian dalam mengahdapi masalah baru, yang memerlukan fatwa, Al-Imam At-Tirmidzi selalu menggunakan hadis, daripda fiqh mazhab, setidak tidaknya sebelum mengeluarkan fatwa, ia terlebih dahulu mencari hadis untuk hal yang dimaksud.
Hasil karya tulis yang terkenal Al-Jami’A-Shahih banyak disyarahkan oleh ‘Ulama Hadis, seperti Abu Bakar Ibn al-Arabi, al-Maliki ( 468-543 H.), dalam kitab ‘Aridhatul-Ahwazi. Kemudian Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Sayidun-Nas As-Syafi’i, menulis dalam kitabnya “ Al-Munqihu al-Syadzi fi Syarhi At-Tirmidzi, dan lebih lima belas ‘Ulama yang membuat Syarahnya.
Ada beberapa catatan karya tulis yang terpenting ialah : 1).Kelebihan Kitab Al-Jami’ As-Shahih al Imam At-Tirmidzi, di akhir kitabnya al-Jami’ As-Shahih dilengkapi dengan fashl Ilmu Illalul Hadis, yang sangat berguna bagi para pembaca. 2).Ditemukan juga hasil karya tulisnya, yakni kitab “Asy-Syamail al-Muhammaiyah” yang terdiri dari dua jilid, yang menjelaskan tentang sifat nabi, baik khalqiyyah/ phisik dan khuluqiyyah / sikap Raulullah SAW.
3) Kitab Ilalul Mufrad atau Al-Ilal Al-Kabir, mendapatkan bahan dari al-Bukhari.
4). Kitab Zuhud,. yang merupakan kitab tersendiri, yang tidak sempat diamankan, shingga tidak dapat diketemukan.
5) .Imam At-Tirmidzi juga menulis kitabAl-Tarikh, Kitab Al-Asma’ Al-Shahabah, Kitab Al-Asma’ wa al-Kun-ya dan kitab al-Atsar Al Mauqufah, dll.
Mengenai bacaan kata Turmudz, Tirmidz atau Tarmidz, sesungguhnya memang berbeda lembaga yang menggunakan. Menurut ejaan resmi pemerintah Rusia yang berkuasa pada saat itu adalah Tirmidz, sedangkan menurut dialek penduduk asli adalah Tarmidz, ketika didengarkan, orang-orang ajam menyebutnya dengan Turmudz.
Al-Imam Abu Dawud ( 202-275 H.)
Nama lengkapnya ialah Sulaiman bin Al-Asy ‘ats bin Ishaq Al-Asadi Al-Sijistani, dilahirkan tahun 202 H. Ia berkelana dalam rangka belajar dan mendengarkan hadis dari Imam-imam hadis di Iraq, Syam,Mesir dan Khurasan, dan diikuti penulisan hadis dari Syaikh-syaikhnya, seperti juga mengambil dari Syaikh-Syaikh Bukhari, dan Muslim, seperti Imam Ahmad, Imam Ibnu Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa’id dan lain-lainnya. Juga mengambil hadis-hadis dari Imam An-Nasai’ dan lain-lainnya lagi. Para ‘Ulama sangat menghormati Imam Abu Dawud, sehubungan kekuatan hafalannya, kedalaman ilmunya, pemahamannya yang baik tentang agama, serta wara’, Abu Al-Hakim berkata :” Abu Dawud adalah Imam Ahli Hadis pada masanya, tidak ada tolok bandingannya”.
Wafat rahimahullah di Basrah tahun 275 H., Dalam kitab sunannya terpelihara dari 1.500 sampai 4.800 hadis, yang dititik beratkan pada hadis ahkam, oleh karena demikian keadaannya, maka Abu Dawud adalah orang yang pertama menulis kitab hadis ahkam, dari penulis kitab sunan dan shahih. Kitab sunannya menjadi sumber hadis ahkam dari ‘Ulama Fiqh di kota-kota besar, dari hadis-hadis tersebut para ‘Ulama membangun hukum Islam. Oleh karena itu Imam Sulaiman al-Khaththabi dalam kitabnya Ma’alimu As-Sunan, ia berkata :” Ketahuilah rahimakumullah bahwasanya kitab As-Sunan yang ditulis oleh Abu Dawud itu merupakan kitab yang berharga, yang tidak hanya ditulis tentang ilmu agama seperti kitab yang semisalnya, dan telah mendapatkan rizqi, penerimaan dari umat menjadi sumber hukum antara ‘ulama yang berbeda pendapat, dan generasi fuqaha’, atas perbedaan mazhab mereka, semuanya menjadikan sumber dan semuanya seolah-olah menjadikan air minum, dan padanya mereka menta’wil,bagi ‘Ulama ‘Iaraq, Mesir, negeri Maghrib dan kebanyakan ‘Ulama di negeri-negeri Islam. Adapun Masyarakat Khurasan kebanyakan sudah kaseb mencintai kitab Muhammad bin Ismail al-Bukhari dan Imam Muslim bin al-Hajjaj dan orang yang telah terarah pada arah Jami’As-Shahih sesuai dengan syarat-syarat keduanya yang telah terbentuk dan teruji, hanya saja kitab Sunan Abu Dawud memiliki susunan yang lebih baik, dan kebanyakannya adalah hadis hukum/fiqh, dan kitab Abu ‘Isa at-Tirmidzi adalah kitab hasan (kitab hadis hasan) dan jalannya pada penyusunan Sunannya, ia mengabarkan dirinya sendiri, seperti yang dikatakan Ibnu Shalah dalamMuqaddimahnya :” Saya telah mnyebutkan dalam kitab saya itu hadis shahih, dan yang menyerupainya dan yang mendekatinya, tidak ada hadis yang yang diragukan sekali, kecuali sudah saya jelaskan, dan saya juga tidak menyebutkan dalam kitab itu, kecuali hadis yang shalih/baik, sebagian hadis dapat lebih menshahihkan yang lainnya”. Ibnu Mandah telah memberi komentarnya :” Sesungguhnya Abu Dawud mentakhrijkan isnad dha’if, ketika tidak diketemukan dalam bab itu selain isnad itu, karena lebih kuat menurut Abu Dawud dari pada pendapat seseorang rijal hadis”
Inilah beberpa penjelasan tentang Imam Abu Dawud dan hasil karyanya, telah banyak dibuatkan syarahnya oleh para ahli Ilmu hadis, antara lain Al-Khaththabi, Qathbu a-Din Al-Yamani As-Syafi’i (652 H.), Syihabuddin ar-Ramli ( 848 H.), dan telah membuat ikhtisarnya Al-Hafizh Al-Mundziri ( 656 H.), dan telah mengahluskannya mukhtashar itu Al-Imam Ibnu Qayim ( 751 H.). Dan ‘Ulama masa kini telah membuat syarahnya , yakni Syaikh Mahmud Khithab as-Subki dalam Syarah Mustfidh.
Para ‘Ulama hadis berkata :”Sesungguhnya Sunan Abu Dawud dapat memadahi bagi bahan para Mujtahid. Dan sesungguhnya orang dianggap cukup beragamanya, jika mengamalkan empat hadis dari kitab Abu Dawud, yakni : (1) “
"1 ) إنما الأعمال بالنيات ، 2) من حسن إسلام المرأ تركه ما لا يعنيه 3) لايكون المؤمن مؤمنا حتى يرضى لأخيه ما رضاه لنفسه 4) الحلال بين والحرام بين وبينهما أمور مشتبهات ". وقد فضلها بعضهم على البخارى .
Sebagian ‘Ulama telah menyatakan adanya kelebihan atas kitab Bukhari. Abu Dawud bersama Bukhari menekuni fiqh kepada ‘Ulama ‘Iraq.
Wafat rahimahullah di Basrah tahun 275 H., Dalam kitab sunannya terpelihara dari 1.500 sampai 4.800 hadis, yang dititik beratkan pada hadis ahkam, oleh karena demikian keadaannya, maka Abu Dawud adalah orang yang pertama menulis kitab hadis ahkam, dari penulis kitab sunan dan shahih. Kitab sunannya menjadi sumber hadis ahkam dari ‘Ulama Fiqh di kota-kota besar, dari hadis-hadis tersebut para ‘Ulama membangun hukum Islam. Oleh karena itu Imam Sulaiman al-Khaththabi dalam kitabnya Ma’alimu As-Sunan, ia berkata :” Ketahuilah rahimakumullah bahwasanya kitab As-Sunan yang ditulis oleh Abu Dawud itu merupakan kitab yang berharga, yang tidak hanya ditulis tentang ilmu agama seperti kitab yang semisalnya, dan telah mendapatkan rizqi, penerimaan dari umat menjadi sumber hukum antara ‘ulama yang berbeda pendapat, dan generasi fuqaha’, atas perbedaan mazhab mereka, semuanya menjadikan sumber dan semuanya seolah-olah menjadikan air minum, dan padanya mereka menta’wil,bagi ‘Ulama ‘Iaraq, Mesir, negeri Maghrib dan kebanyakan ‘Ulama di negeri-negeri Islam. Adapun Masyarakat Khurasan kebanyakan sudah kaseb mencintai kitab Muhammad bin Ismail al-Bukhari dan Imam Muslim bin al-Hajjaj dan orang yang telah terarah pada arah Jami’As-Shahih sesuai dengan syarat-syarat keduanya yang telah terbentuk dan teruji, hanya saja kitab Sunan Abu Dawud memiliki susunan yang lebih baik, dan kebanyakannya adalah hadis hukum/fiqh, dan kitab Abu ‘Isa at-Tirmidzi adalah kitab hasan (kitab hadis hasan) dan jalannya pada penyusunan Sunannya, ia mengabarkan dirinya sendiri, seperti yang dikatakan Ibnu Shalah dalamMuqaddimahnya :” Saya telah mnyebutkan dalam kitab saya itu hadis shahih, dan yang menyerupainya dan yang mendekatinya, tidak ada hadis yang yang diragukan sekali, kecuali sudah saya jelaskan, dan saya juga tidak menyebutkan dalam kitab itu, kecuali hadis yang shalih/baik, sebagian hadis dapat lebih menshahihkan yang lainnya”. Ibnu Mandah telah memberi komentarnya :” Sesungguhnya Abu Dawud mentakhrijkan isnad dha’if, ketika tidak diketemukan dalam bab itu selain isnad itu, karena lebih kuat menurut Abu Dawud dari pada pendapat seseorang rijal hadis”
Inilah beberpa penjelasan tentang Imam Abu Dawud dan hasil karyanya, telah banyak dibuatkan syarahnya oleh para ahli Ilmu hadis, antara lain Al-Khaththabi, Qathbu a-Din Al-Yamani As-Syafi’i (652 H.), Syihabuddin ar-Ramli ( 848 H.), dan telah membuat ikhtisarnya Al-Hafizh Al-Mundziri ( 656 H.), dan telah mengahluskannya mukhtashar itu Al-Imam Ibnu Qayim ( 751 H.). Dan ‘Ulama masa kini telah membuat syarahnya , yakni Syaikh Mahmud Khithab as-Subki dalam Syarah Mustfidh.
Para ‘Ulama hadis berkata :”Sesungguhnya Sunan Abu Dawud dapat memadahi bagi bahan para Mujtahid. Dan sesungguhnya orang dianggap cukup beragamanya, jika mengamalkan empat hadis dari kitab Abu Dawud, yakni : (1) “
"1 ) إنما الأعمال بالنيات ، 2) من حسن إسلام المرأ تركه ما لا يعنيه 3) لايكون المؤمن مؤمنا حتى يرضى لأخيه ما رضاه لنفسه 4) الحلال بين والحرام بين وبينهما أمور مشتبهات ". وقد فضلها بعضهم على البخارى .
Sebagian ‘Ulama telah menyatakan adanya kelebihan atas kitab Bukhari. Abu Dawud bersama Bukhari menekuni fiqh kepada ‘Ulama ‘Iraq.
Riwayat Hidup Imam An-Nasai’ Tahun 215- 303 H.
Nama lengkapnya ialah Abu ‘Abdur-Rahman Ahmad bin Syuaib Al-Khurasani al-Hafizh, Imam hadis pada masanya, pendahulu dan tokoh ilmu Jarh wa ta’dil, lahir tahun 215 di Nasa, suatu wilayah terkenal di Khurasan. Ia mendengar hadis dari Imam-imam hadis di Khurasan sendiri, kemudian mendengar hadis dari Imam-Imam di Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan Jazirah. Ia adalah Imam yang sangat berhati-hati dan wara’, menguasai ilmu hadis, hafizh yang mantap, meyakinkan, sehingga Adz-Dzahabi berpendapat, bahwa ia lebih kuat hafalannya dari pada Imam Muslim. Wafat rahimahullah di Ramalah tahun 303 H.
Imam An-Nasai’ telah menulis kitab Sunan al-Kubra, yang pertama mengandung 1.000 hadis shahih, dan yang ma’lul/bernyakit, kemudian membuat pola pembersihannya, sehingga memasukkan hadis hanya yang shahih saja, yang dimasukkan dalam as-Sunan as-Suhgra, artinya lbih kecil, yang diberi nama ‘Al-Mujtaba’, yakni hadis pilihan, sehingga sederajad dengan kedua kitab shahih.
Imam As-Suyuthi telah membuat syarahnya, yang diberi nama “ Zahru Ar-Rabi Ala Al-Mujtaba”, demikian juga Abul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi As-Sindi Al-Hanafi (1138 H.), telah membuat ihtsarnya, dengan tujuan untuk kepentingan para guru dan murid, dan menjelaskan kata-kata yang dianggap gharib/aneh.
Imam An-Nasai’ telah menulis kitab Sunan al-Kubra, yang pertama mengandung 1.000 hadis shahih, dan yang ma’lul/bernyakit, kemudian membuat pola pembersihannya, sehingga memasukkan hadis hanya yang shahih saja, yang dimasukkan dalam as-Sunan as-Suhgra, artinya lbih kecil, yang diberi nama ‘Al-Mujtaba’, yakni hadis pilihan, sehingga sederajad dengan kedua kitab shahih.
Imam As-Suyuthi telah membuat syarahnya, yang diberi nama “ Zahru Ar-Rabi Ala Al-Mujtaba”, demikian juga Abul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi As-Sindi Al-Hanafi (1138 H.), telah membuat ihtsarnya, dengan tujuan untuk kepentingan para guru dan murid, dan menjelaskan kata-kata yang dianggap gharib/aneh.
Riwayat Hidup Imam Muslim. Tahun 204—261 H.
Nama lengkapnya ialah Muslim bin al-Hajjaj al-Qusairi An-Naisaburi, salah seorang Imam hadis dan yang terkenal pada masanya, lahir tahun 204 H. di Naisabur. Ia mencari ilmu sejak kecil, dan kemudian mengadakan perjalanan ke berbagai kota dan negeri, seperti ke Iraq, Hijaz, Syam dan Mesir, dan mengambil ilmu dari Syaikh-syaikh hadis, dan juga kepada Syaikh-Syaikh dari Imam Bukhari. Ia sangat disayang oleh al-Bukhari, ia sangat mampu belajar, dan sangat berhati-hati menuliskan hadis dalam kitab shahihnya. Baik Bukhari maupun Muslim dimasa akhir hayatnya selalu berpindah-pindah, dan wafat di Naisabur tahun 261 H.
Kitab Shahih yang terkenal dengan Shahih Muslim itu, termasuk kitab yang cukup terhormat, sejajar dengan shahih Bukhari, meskipun ‘Ulama hadis lebih memilih Shahih Bukhari, karena beberapa alasan, :
1). Persyaratan Imam Bukhari mengharuskan ada pertemuan perawi dengannya, bukan sekedar satu masa saja. Sementara Imam Muslim tidak mengharuskan adanya prtemuan dengan perawi.
2). Ketelitian pemahaman Bukhari dan derajad keshahihannya serta adanya istinbath hukum, tidak didapati dalam shahih Muslim.
3).Rijal hadis yang sering dibahas dalam kitab Bukhari, sektar 80 orang, sedangkan rijal hadis dalam kitab Muslim, mencapai 160 orang, karena Imam Bukhari tidak memperbanyak mentakhrij hadisnya, dan biasanya mengambil dari syaikh-syaikhnya, yang sudah diketahui benar kejujurannya.
4). Setelah diadakan penelitian, hadis-hadis yang dinilai syadz/aneh lebih sedikit dalam kitab Bukhari, bila dibanding dalam kitab Muslim. Di dalam kitab Bukhari sendiri ditemukan 78 hadis, sementara itu dalam kitabMuslim ditemukan 130 hadis syadz.
Atas dasar data tersebut di atas, maka para ‘Ulama hadis lebih banyak memilih Shahih Bukhari, dan mereka sepakat bahwa kitab Bukhari lebih bergengsi dan terhormat dari pada kitab Muslim, dalam tataran Ilmu Hadis dan lebih tinggi isinya, hal itu telah diakui oleh Muslim sendiri. Juga didasarkan pada fakta, bahwa Muslim banyak meriwayatkan dari Bukhari, sedangkan Bukhari tidak meriwayatkan dari Muslim.
Memang ada juga kelebihan Shahih Muslim dibandingkan dari Shahih Bukhari, yakni pada keindahan susunan hadis dalam shahih Muslim, bahwa Muslim tidak memutus hadis dan tidak mengulangi Isnad, hanya disatukannya sumber hadis semuanya dalam satu bab, dikumpulkannya juga jalan hadis yang disepakatinya. Isnad-isnadnya yang berasal dari beberapa sumber dan kata-katanya yang berbeda juga disatukan, sehingga membuat mudah bagi yang memerlukan hadis itu, dari pada menemukannya dalam kitab Bukhari. Alangkah indahnya komentar terhadap keduanya :
قالوا لمسلم فضل * قلت البخارى أعلى
قالوا : المكرر فيه * قلت المكرر أحلى
Mereka berkata, bagi Muslim ada keutamaan * saya berkata :”Al-Bukhari itu memang lebih tinggi,
Mereka berkata : hadis terulang memang ada * saya berkata :” yang terulang itu memang lebih legi.
Jumlah hadis yang tidak berulang sebanyak 4000, sedangkan bila jumlah seluruhnya dengan yang berulang sebanyak 7275 hadis. Para ‘Ulama ahli hadis banyak yang sudah membuat syarahnya, menurut informasi dari kitab Ksyfu Azh-Zhunun, ada 15 kitab Syarah, sedangkan yang terkenal ialah syarah buah karya Al-Imam al-Hafizh Abu Zakaria Yahya bin Syarf An-Nawawi as-Syafi’i (676 H.), dan banyak juga yang membuat ihtisarnya, sedangkan yang terkenal ialah “ Talkhish Kitab Muslim wa Syarhuhu, yang ditulis oleh Ahmad bin ‘Umar al-Qurtubi (656) dan Mukhtashar yang ditulis oleh Al-Hafizh Zakiyuddin Abdul Adhim al-Mundziri( 656 H.).
Kitab Shahih yang terkenal dengan Shahih Muslim itu, termasuk kitab yang cukup terhormat, sejajar dengan shahih Bukhari, meskipun ‘Ulama hadis lebih memilih Shahih Bukhari, karena beberapa alasan, :
1). Persyaratan Imam Bukhari mengharuskan ada pertemuan perawi dengannya, bukan sekedar satu masa saja. Sementara Imam Muslim tidak mengharuskan adanya prtemuan dengan perawi.
2). Ketelitian pemahaman Bukhari dan derajad keshahihannya serta adanya istinbath hukum, tidak didapati dalam shahih Muslim.
3).Rijal hadis yang sering dibahas dalam kitab Bukhari, sektar 80 orang, sedangkan rijal hadis dalam kitab Muslim, mencapai 160 orang, karena Imam Bukhari tidak memperbanyak mentakhrij hadisnya, dan biasanya mengambil dari syaikh-syaikhnya, yang sudah diketahui benar kejujurannya.
4). Setelah diadakan penelitian, hadis-hadis yang dinilai syadz/aneh lebih sedikit dalam kitab Bukhari, bila dibanding dalam kitab Muslim. Di dalam kitab Bukhari sendiri ditemukan 78 hadis, sementara itu dalam kitabMuslim ditemukan 130 hadis syadz.
Atas dasar data tersebut di atas, maka para ‘Ulama hadis lebih banyak memilih Shahih Bukhari, dan mereka sepakat bahwa kitab Bukhari lebih bergengsi dan terhormat dari pada kitab Muslim, dalam tataran Ilmu Hadis dan lebih tinggi isinya, hal itu telah diakui oleh Muslim sendiri. Juga didasarkan pada fakta, bahwa Muslim banyak meriwayatkan dari Bukhari, sedangkan Bukhari tidak meriwayatkan dari Muslim.
Memang ada juga kelebihan Shahih Muslim dibandingkan dari Shahih Bukhari, yakni pada keindahan susunan hadis dalam shahih Muslim, bahwa Muslim tidak memutus hadis dan tidak mengulangi Isnad, hanya disatukannya sumber hadis semuanya dalam satu bab, dikumpulkannya juga jalan hadis yang disepakatinya. Isnad-isnadnya yang berasal dari beberapa sumber dan kata-katanya yang berbeda juga disatukan, sehingga membuat mudah bagi yang memerlukan hadis itu, dari pada menemukannya dalam kitab Bukhari. Alangkah indahnya komentar terhadap keduanya :
قالوا لمسلم فضل * قلت البخارى أعلى
قالوا : المكرر فيه * قلت المكرر أحلى
Mereka berkata, bagi Muslim ada keutamaan * saya berkata :”Al-Bukhari itu memang lebih tinggi,
Mereka berkata : hadis terulang memang ada * saya berkata :” yang terulang itu memang lebih legi.
Jumlah hadis yang tidak berulang sebanyak 4000, sedangkan bila jumlah seluruhnya dengan yang berulang sebanyak 7275 hadis. Para ‘Ulama ahli hadis banyak yang sudah membuat syarahnya, menurut informasi dari kitab Ksyfu Azh-Zhunun, ada 15 kitab Syarah, sedangkan yang terkenal ialah syarah buah karya Al-Imam al-Hafizh Abu Zakaria Yahya bin Syarf An-Nawawi as-Syafi’i (676 H.), dan banyak juga yang membuat ihtisarnya, sedangkan yang terkenal ialah “ Talkhish Kitab Muslim wa Syarhuhu, yang ditulis oleh Ahmad bin ‘Umar al-Qurtubi (656) dan Mukhtashar yang ditulis oleh Al-Hafizh Zakiyuddin Abdul Adhim al-Mundziri( 656 H.).
Riwayat Hidub Imam Bukhari. Tahun 194 H.- 256 H.
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibarahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi. Ia adalah sebagai Imam Ahli Hadis, sebagai Syaikh Hafizh pada zamannya atas ‘Ulama pada umumnya. Dilahirkan di Bukhara hari Jum’ah 13 Syawwal tahun 194 H., mulai menghafal hadis pada usia 10 tahun, kemudian menekuni bidang hadis, serta melakukan perjalanan ke kota-kota yang terkenal dengan ‘Ulama hadisnya, seperti pengakuannya :” Saya telah memasuki kota Syam, Mesir, Jazirah dua kali, kemudian ke Bashrah empat kali, kemudian saya tinggal di Hijaz enam tahun. Saya tidak tahu lagi berapa kali saya masuk Kufah, Baghdad bersama ahli hadis”.
Karena tidak akan dapat mendengar hadis dari para syaikh, kecuali harus datang dan menanyakan tentang suatu hadis”. Dan seseorang terbukti kekuatan hafalannya dan faham tentang ilal hadis, serta matan hadis, ada pada kisah Bukhari di Baghdad ketika diuji oleh ‘Ulama terkenal, yang menunjukkan tingkat kemampuan dan keimamannya dalam ilmu itu, sungguh Allah telah menyempurnakan keuletannya, kesabarannya dalam menghadapi kesulitan pada jalan sunnah, dengan penerimaan masyarakat padanya. Mahmud bin Nazhir in Sahal Asy-Syafi’i berkata :” Saya masuk kota Bashrah, Syam, Hijaz dan Kufah, saya bertemu para ‘Ulama’nya, ketika sedang disebutkan nama Muhammad bin Ismail al-Bukhari maka mereka memberi penghormatan kepadanya”. Sekali ia mendengar Syaikhnya, Ishaq bin Rahawiyah berkata kepada muridnya :” Andaikata kamu kumpulkan kitab Mukhtashar bagi membenarkan sunnah Raslullah SAW?”. Bukhari berkata :” Maka telah terasa dalam hatiku yang demikian itu, maka saya ambil dalam kumpulan Jami Shahih, sudah saya lakukan pengumpulannya, membersihkannya, dan menulisnya selama enam belas tahun. Setiap saya akan meletakkan dan menulis hadis, tidak saya lakukan, sebelum didahului dengan mandi dan shalat dua rakaat, kemudian diikuti shalat istikharah, mohon petunjuk kepada Allah SWT.. Tidaklah ditakhrijkan hadis dalam kitab saya ini, kecuali hadis shahih, dengan sanad yang bersambung, yang berasal dari rijal hadis yang jujur/adil, kuat ingatan/dhabith dan terjadi pertemuan dengan syaikhnya”. Tidak cukup dengan murid semasa dengan seorang syaikh, tetapi diharuskan pendengarannya yang mantap dan pertemuannya. Atas dasar peryaratan demikian ketat, maka kitab Bukhari itu, sebagai kitab pertama yang dapat membersihkan dari hadis dha’if dan hasan. Kemudian dapat membatasi penulisan hanya hadis shahih saja,lalu dibuat bab-bab sesuai dengan bab ilmu fiqh. Kecuali dengan sikap ketelitian, juga dicegah adanya kekeliruan pada istimbath hukum. Maka didatangkan juga terjemahan bab,.yang sesuai dengan tarjamah yang mendalam. Kadang-kadang mencari hadis pada bab itu tidak mendapatkannya, ketika dicari tempat lain dapat diketemukan, padahal tidak tidak pada masalahnya. Disebutkan hadis mauquf dan mu’allaq, dan juga fatwa shahabat danTabiin dan juga pendapat ‘Ulama’, seperti halnya yang terjadi pada pemotongan hadis kepada bagian yang sesuai. Ibn Hajar memperkirakan dalam shahih Bukhari terdapat 7397, termasuk yang berulang, kecuali mu’alaqat, mutabi’at dan mauqufat, tetapi bila tanpa hadis yang berulang terdapat 2602 hadis. Ketika disempurnakan penulisannya, dan diadakan pembersihannya, dihadapkan kepada Ahmad dan Ibnu Ma’in dan Ibnu Madini, dan lain-lainnya, dari para Imam-imam hadis, pada umumnya menyambut baik dan menyaksikan bagi kitab Bukhari itu sebagai kitab hadis shahih, kecuali 4 hadis, Al-Aqbili berkata :” Perkataan itu ialah perkataan Al-Bukhari”, Ketika ditakhrijkan bagi manusia dan diambil hadisnya, urusannya menjadi memuncak, maka mengalir menjadi cepat orang – orang dari setiap sudut untuk menemuinya, sehingga yang mengambilnya mencapai 100.000, naskah itu tersebar keseluruh kota besar, banyak orang menekuni untuk menghafal, mempelajari syarahnya, dan singkatannya, yang membuat ahli ilmu merasa senang sekali”. Imam Adz-Dzahabi berkata :” Adapun kitab Jami’ al-Shahih al- Bukhari, adalah Kitab Islam yang paling terhormat dan paling utama sesudah kitab Allah Taala. Andaikata orang bepergian untuk mendengarkan bacaan kitab Bukhari hingga seribu langkah, maka tidak sia-sia perjalanannya itu.”.
Al-Hafizh telah melakukan penelitian pada seratus sepuluh hadis, sebagian sesuai dengan hadis yang ditakhrijkan Muslim, yakni 32 hadis, sebagiannya ditakhrijkan sendirian saja sebanyak 78 hadis”, al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan :” Tidak semua ilahnya tercela. Bahkan kebanyakannya dijawab bersih, yang tercela itu ditolak, dan sebagiannya dijawab ditangguhkan dan dimudahkan , dengan dijawab karena taasuf / sentimen suku. Barang siapa meruju’ hadis-hadis ini , yakni yang diteliti dan diangkat hasil penelitiannya yang ditujukan kepadanya, ditemukan bahwa penelitian itu tidak akan menyentuh permata / jauhar keshahihannya. Itu hanyalah penelitian bentuk/formal kegiatan dari ketakutan yang berlebihan dari ‘Ulama mereka dan kewaspadaan mereka. Seperti mereka mengangkat dan menilai suatu hadis itu mursal, karena tergambar sebagai gambaran mursal, padahal yang terjadi adalah maushul/terkait/ tersambung, dengan kaitan/sambungan yang terkenal dari para ahli hadis, seperti hadis yang diriwayatkan sebagian periwayatan mursal, dan hadis itu dari riwayat yang menyertainya tersambung, tetapi Imam Bukhari meriwayatkan dua hadis bersamaan untuk menolak apa yang disangkakan pertama dan menjelaskan bahwa illah itu tidak tercela. Inilah contoh dari penelitian yang diarahkan pada kitab shahih, “. Ibnu Hajar telah menjelaskan ini pada muqaddimahnya.
Adapun rijal shahih itu, para hafizh melemahkan sekitar 80, tetapi kebanyakan mereka adalah syaikh-syaikhnya yang bertemu mereka dan duduk dalam majlis ilmu bersama mereka dan mengetahui keadaan mereka, dan mengangkat/menyampaikan hadis-hadis mereka, yaitu – samar dengan keadaan mereka—lebih mengetahui dan bagi mereka lebih berkhabar, dari yang apa yang menunjukkan kepadamu , bahwa penelitian itu –baik mengenai rijal maupun bagi matan hadis-hadis—sama sekali tidak membekas terhadap ketinggian ilmiyah kesepakatan para ‘Ulama’, atas kesepakatan penerimaan itu, dan kesepakatan Jumhur ‘Ulama, bahwa kitab Shahih Bukhari itu adalah yang paling shahih sesudah Kitab Allah Taala. Mereka berbeda pendapat dalam hal, apakah dapat sampai tingkat qath’i ad-dalalah, dengan keshahihannya itu? Ibnu Shalah telah mantap dapat mncapai tingkat qath’i ad-dalalah, berbeda dengan Imam Nawawi berpenapat:” Tidaklah berketetapan, kecuali ketetapan zhann, walaupun derajad yang paling tinggi keshahihannya. Dan itulah mazhab Jumhur ‘Ulama “.
Imam Bukhari wafat tahun 256 H.
Inilah penjelasan-penjelasan tentang Kitab Shahih Bukhari yang tidak banyak diketahaui’Ulama Islam tentang Kitab itu – sesudah al-Qur’an- seperti halnya mereka tidak mengetahui dengan shahih Bukhari, sehingga mereka menulis sekitar syarah dan ichtisarnya, serta tarjamah rijal hadisnya, dalam jumlah yang sangat banyak, yang menurut pengarang kitab Kasyfuzh-Zhunun sampai 82 syarah. Ada empat syarah yang termasyhur, ialah :
1). Syarah Imam Badruddin Az-Zarkasi dengan namanya “At-Tanqih” ( 794 H.).
2). Al-AlamahAl-Aini Al-Hanafi ( 855,H) dinamakan Umdatul Qari’.
3). As-Suyuthi (911 H.) dengan nama At-Tausyih.
4). Ibn Hajar Al-Asqalani ( 852 H.) dengan nama Fathul Bari.
Sesuatu gelar yang bergengsi sebagai ahli hadis ialah mendapatkan gelar dari masyarakat dunia Islam sebagai Amirul Mu’minin fil Hadis.
Karena tidak akan dapat mendengar hadis dari para syaikh, kecuali harus datang dan menanyakan tentang suatu hadis”. Dan seseorang terbukti kekuatan hafalannya dan faham tentang ilal hadis, serta matan hadis, ada pada kisah Bukhari di Baghdad ketika diuji oleh ‘Ulama terkenal, yang menunjukkan tingkat kemampuan dan keimamannya dalam ilmu itu, sungguh Allah telah menyempurnakan keuletannya, kesabarannya dalam menghadapi kesulitan pada jalan sunnah, dengan penerimaan masyarakat padanya. Mahmud bin Nazhir in Sahal Asy-Syafi’i berkata :” Saya masuk kota Bashrah, Syam, Hijaz dan Kufah, saya bertemu para ‘Ulama’nya, ketika sedang disebutkan nama Muhammad bin Ismail al-Bukhari maka mereka memberi penghormatan kepadanya”. Sekali ia mendengar Syaikhnya, Ishaq bin Rahawiyah berkata kepada muridnya :” Andaikata kamu kumpulkan kitab Mukhtashar bagi membenarkan sunnah Raslullah SAW?”. Bukhari berkata :” Maka telah terasa dalam hatiku yang demikian itu, maka saya ambil dalam kumpulan Jami Shahih, sudah saya lakukan pengumpulannya, membersihkannya, dan menulisnya selama enam belas tahun. Setiap saya akan meletakkan dan menulis hadis, tidak saya lakukan, sebelum didahului dengan mandi dan shalat dua rakaat, kemudian diikuti shalat istikharah, mohon petunjuk kepada Allah SWT.. Tidaklah ditakhrijkan hadis dalam kitab saya ini, kecuali hadis shahih, dengan sanad yang bersambung, yang berasal dari rijal hadis yang jujur/adil, kuat ingatan/dhabith dan terjadi pertemuan dengan syaikhnya”. Tidak cukup dengan murid semasa dengan seorang syaikh, tetapi diharuskan pendengarannya yang mantap dan pertemuannya. Atas dasar peryaratan demikian ketat, maka kitab Bukhari itu, sebagai kitab pertama yang dapat membersihkan dari hadis dha’if dan hasan. Kemudian dapat membatasi penulisan hanya hadis shahih saja,lalu dibuat bab-bab sesuai dengan bab ilmu fiqh. Kecuali dengan sikap ketelitian, juga dicegah adanya kekeliruan pada istimbath hukum. Maka didatangkan juga terjemahan bab,.yang sesuai dengan tarjamah yang mendalam. Kadang-kadang mencari hadis pada bab itu tidak mendapatkannya, ketika dicari tempat lain dapat diketemukan, padahal tidak tidak pada masalahnya. Disebutkan hadis mauquf dan mu’allaq, dan juga fatwa shahabat danTabiin dan juga pendapat ‘Ulama’, seperti halnya yang terjadi pada pemotongan hadis kepada bagian yang sesuai. Ibn Hajar memperkirakan dalam shahih Bukhari terdapat 7397, termasuk yang berulang, kecuali mu’alaqat, mutabi’at dan mauqufat, tetapi bila tanpa hadis yang berulang terdapat 2602 hadis. Ketika disempurnakan penulisannya, dan diadakan pembersihannya, dihadapkan kepada Ahmad dan Ibnu Ma’in dan Ibnu Madini, dan lain-lainnya, dari para Imam-imam hadis, pada umumnya menyambut baik dan menyaksikan bagi kitab Bukhari itu sebagai kitab hadis shahih, kecuali 4 hadis, Al-Aqbili berkata :” Perkataan itu ialah perkataan Al-Bukhari”, Ketika ditakhrijkan bagi manusia dan diambil hadisnya, urusannya menjadi memuncak, maka mengalir menjadi cepat orang – orang dari setiap sudut untuk menemuinya, sehingga yang mengambilnya mencapai 100.000, naskah itu tersebar keseluruh kota besar, banyak orang menekuni untuk menghafal, mempelajari syarahnya, dan singkatannya, yang membuat ahli ilmu merasa senang sekali”. Imam Adz-Dzahabi berkata :” Adapun kitab Jami’ al-Shahih al- Bukhari, adalah Kitab Islam yang paling terhormat dan paling utama sesudah kitab Allah Taala. Andaikata orang bepergian untuk mendengarkan bacaan kitab Bukhari hingga seribu langkah, maka tidak sia-sia perjalanannya itu.”.
Al-Hafizh telah melakukan penelitian pada seratus sepuluh hadis, sebagian sesuai dengan hadis yang ditakhrijkan Muslim, yakni 32 hadis, sebagiannya ditakhrijkan sendirian saja sebanyak 78 hadis”, al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan :” Tidak semua ilahnya tercela. Bahkan kebanyakannya dijawab bersih, yang tercela itu ditolak, dan sebagiannya dijawab ditangguhkan dan dimudahkan , dengan dijawab karena taasuf / sentimen suku. Barang siapa meruju’ hadis-hadis ini , yakni yang diteliti dan diangkat hasil penelitiannya yang ditujukan kepadanya, ditemukan bahwa penelitian itu tidak akan menyentuh permata / jauhar keshahihannya. Itu hanyalah penelitian bentuk/formal kegiatan dari ketakutan yang berlebihan dari ‘Ulama mereka dan kewaspadaan mereka. Seperti mereka mengangkat dan menilai suatu hadis itu mursal, karena tergambar sebagai gambaran mursal, padahal yang terjadi adalah maushul/terkait/ tersambung, dengan kaitan/sambungan yang terkenal dari para ahli hadis, seperti hadis yang diriwayatkan sebagian periwayatan mursal, dan hadis itu dari riwayat yang menyertainya tersambung, tetapi Imam Bukhari meriwayatkan dua hadis bersamaan untuk menolak apa yang disangkakan pertama dan menjelaskan bahwa illah itu tidak tercela. Inilah contoh dari penelitian yang diarahkan pada kitab shahih, “. Ibnu Hajar telah menjelaskan ini pada muqaddimahnya.
Adapun rijal shahih itu, para hafizh melemahkan sekitar 80, tetapi kebanyakan mereka adalah syaikh-syaikhnya yang bertemu mereka dan duduk dalam majlis ilmu bersama mereka dan mengetahui keadaan mereka, dan mengangkat/menyampaikan hadis-hadis mereka, yaitu – samar dengan keadaan mereka—lebih mengetahui dan bagi mereka lebih berkhabar, dari yang apa yang menunjukkan kepadamu , bahwa penelitian itu –baik mengenai rijal maupun bagi matan hadis-hadis—sama sekali tidak membekas terhadap ketinggian ilmiyah kesepakatan para ‘Ulama’, atas kesepakatan penerimaan itu, dan kesepakatan Jumhur ‘Ulama, bahwa kitab Shahih Bukhari itu adalah yang paling shahih sesudah Kitab Allah Taala. Mereka berbeda pendapat dalam hal, apakah dapat sampai tingkat qath’i ad-dalalah, dengan keshahihannya itu? Ibnu Shalah telah mantap dapat mncapai tingkat qath’i ad-dalalah, berbeda dengan Imam Nawawi berpenapat:” Tidaklah berketetapan, kecuali ketetapan zhann, walaupun derajad yang paling tinggi keshahihannya. Dan itulah mazhab Jumhur ‘Ulama “.
Imam Bukhari wafat tahun 256 H.
Inilah penjelasan-penjelasan tentang Kitab Shahih Bukhari yang tidak banyak diketahaui’Ulama Islam tentang Kitab itu – sesudah al-Qur’an- seperti halnya mereka tidak mengetahui dengan shahih Bukhari, sehingga mereka menulis sekitar syarah dan ichtisarnya, serta tarjamah rijal hadisnya, dalam jumlah yang sangat banyak, yang menurut pengarang kitab Kasyfuzh-Zhunun sampai 82 syarah. Ada empat syarah yang termasyhur, ialah :
1). Syarah Imam Badruddin Az-Zarkasi dengan namanya “At-Tanqih” ( 794 H.).
2). Al-AlamahAl-Aini Al-Hanafi ( 855,H) dinamakan Umdatul Qari’.
3). As-Suyuthi (911 H.) dengan nama At-Tausyih.
4). Ibn Hajar Al-Asqalani ( 852 H.) dengan nama Fathul Bari.
Sesuatu gelar yang bergengsi sebagai ahli hadis ialah mendapatkan gelar dari masyarakat dunia Islam sebagai Amirul Mu’minin fil Hadis.
Pengantar Biografi Penlis Kitab Kutubus Sittah
Mengenal biografi penulis Kutub as-Sittah menjadi penting, ketika para ahli hadis menyetujui bahwa Kutub as-Sittah itu dijadikan kitab hadis setandar. Meskpun ada berbeda pendapat tentang apakah Muwaththa’ Malik sebagai kitab ke-enam dari kutubus-sittah, ataukah Sunan Ibnu Majah. Karena begitu besar perhatian ulama terhadap Muwaththa’ Malik, maka penulis ingin juga menyampaikan sedikit riwayat Imam Malik, yang kemudian juga menjadi pemuka Mazhab Malik. Begitu juga mengenai Imam Ahmad Ibnu Hanbal, penulis ingin juga memaparkan riwayat hidupnya, meskipun tidak terlalu panjang, tetapi paling tidak membuka wawasan teantang seorang ‘Ulama Besar Ilmu Hadis, dan menjadi pemuka Mazhab Ahmad Ibn Hanbal. Mengenai hal ini, telah dibuatkan riwayatnya di depan, ketika membahas tentang Musnad Ahmad Ibnu Hanbal.
Dalam sejarah perkembangan hadis tercatat, bahwa pada paruh abad ke dua, abad ke dua dan abad ke tiga, merupakan abad ke emasan perkembangan hadis, dimana pada saat-saat itu para penulis besar hadis lahir, dibesarkan dan berkarya. Dengan demikian, banyaknya kitab hadis yang disusun dan didasarkan pada pertimbangan kwalitas serta banyaknya perhatian khusus yang dicurahkan ‘Ulama terhadap suatu kitab hadis tertentu, maka ‘Ulama mutaakhirin lalu menetapkan beberapa kitab hadis sebagai kitab pokok atau standar.
Pada perjalanan sejarah, kitab hadis standar tersebut, yang selama ini dikenal umat Islam, mengalami penyebutan istilah yang berbeda-beda untuk sejumlah kitab tertentu sampai dengan penyebutan istilah kutubus-sittah (kitab setandar yang enam).
Menurut Ibnu Sakan (w. 353 H.) kitab hadis yang dapat dijadikan hujjah hanya empat kitab hadis, yaitu shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Suna Abu Dawud, dan Sunan An-Nasai,
Begitu pula pendapat Ibnu Mandah (w.396 H.) ketika ditanya tentang kitab hadis mana yang di dalamnya memuat hadis shahih, beliau menjawab: “ Para Imam Hadis yang meriwayatkan hadis shahih, dari kitab mereka adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai”. Sejak saat itulah mulai dikenal istilah al-kutub al-arba’ah , yaitu empat kitab hadis yang mengandung hadis shahih. Ke empat kitab hadis itu ialah Shahih Bukhari, shahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan Sunan an-Nasai.
Pada abad ke lima Hijriyyah istilah al-kutub al-arbaah mengalami perkembangan, yaitu menjadi al-kutub al-khamsah dengan ditambahkannya kitab Sunan At-Tirmidzi ke dalam kelompok al-kutub al-arba’ah dengan Ibnu Hazm ( Abu Muhmmad Ibnu Muhammad, w. 456 H.) sebagai pelopornya dan diikuti oleh Abu Thahir (‘Imad al-Din Ahmad Ibn Muhammad al-Salafi, w. 576 H.) . Sampai istilah al-kutubu al-khamsah ini lahir, Sunan Ibnu Majah belum masuk ke dalam dua istilah tersebut.
Pada abad ke-6 H. istilah al-kutub al-khamsah mengalami perkembangan menjadi al-kutub al-sittah dengan masuknya kitab Sunan Ibn Majah,dalam urutan ke enam. Adapun orang pertama yang memasukkan Sunan Ibnu Majah sebagai kitab yang ke enam Abu Al-Fadl Ibnu Thahir al-Maqdisi (w.507) dalam kitabnya Athraf al-Kutub as-Sittah dan Surut Aimmatil-Sittah.
Pendapat al-Maqdisi ini kemudian diikuti oleh Abdul-Gani Ibn Abdul Wahid al-Maqdisi (w.600 H.) dalam kitabnya al-Kamal fi Asami ar-Rijal.
Selanjutnya akan didaparkan riwayat hidup penulis Kutubus Sittah, dan sesuai dengan janji penulis buku ini disebutkan juga sedikit riwayat Imam Malik, sebagai pengarang /penulis Muwaththa’ Malik.
Dalam sejarah perkembangan hadis tercatat, bahwa pada paruh abad ke dua, abad ke dua dan abad ke tiga, merupakan abad ke emasan perkembangan hadis, dimana pada saat-saat itu para penulis besar hadis lahir, dibesarkan dan berkarya. Dengan demikian, banyaknya kitab hadis yang disusun dan didasarkan pada pertimbangan kwalitas serta banyaknya perhatian khusus yang dicurahkan ‘Ulama terhadap suatu kitab hadis tertentu, maka ‘Ulama mutaakhirin lalu menetapkan beberapa kitab hadis sebagai kitab pokok atau standar.
Pada perjalanan sejarah, kitab hadis standar tersebut, yang selama ini dikenal umat Islam, mengalami penyebutan istilah yang berbeda-beda untuk sejumlah kitab tertentu sampai dengan penyebutan istilah kutubus-sittah (kitab setandar yang enam).
Menurut Ibnu Sakan (w. 353 H.) kitab hadis yang dapat dijadikan hujjah hanya empat kitab hadis, yaitu shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Suna Abu Dawud, dan Sunan An-Nasai,
Begitu pula pendapat Ibnu Mandah (w.396 H.) ketika ditanya tentang kitab hadis mana yang di dalamnya memuat hadis shahih, beliau menjawab: “ Para Imam Hadis yang meriwayatkan hadis shahih, dari kitab mereka adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai”. Sejak saat itulah mulai dikenal istilah al-kutub al-arba’ah , yaitu empat kitab hadis yang mengandung hadis shahih. Ke empat kitab hadis itu ialah Shahih Bukhari, shahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan Sunan an-Nasai.
Pada abad ke lima Hijriyyah istilah al-kutub al-arbaah mengalami perkembangan, yaitu menjadi al-kutub al-khamsah dengan ditambahkannya kitab Sunan At-Tirmidzi ke dalam kelompok al-kutub al-arba’ah dengan Ibnu Hazm ( Abu Muhmmad Ibnu Muhammad, w. 456 H.) sebagai pelopornya dan diikuti oleh Abu Thahir (‘Imad al-Din Ahmad Ibn Muhammad al-Salafi, w. 576 H.) . Sampai istilah al-kutubu al-khamsah ini lahir, Sunan Ibnu Majah belum masuk ke dalam dua istilah tersebut.
Pada abad ke-6 H. istilah al-kutub al-khamsah mengalami perkembangan menjadi al-kutub al-sittah dengan masuknya kitab Sunan Ibn Majah,dalam urutan ke enam. Adapun orang pertama yang memasukkan Sunan Ibnu Majah sebagai kitab yang ke enam Abu Al-Fadl Ibnu Thahir al-Maqdisi (w.507) dalam kitabnya Athraf al-Kutub as-Sittah dan Surut Aimmatil-Sittah.
Pendapat al-Maqdisi ini kemudian diikuti oleh Abdul-Gani Ibn Abdul Wahid al-Maqdisi (w.600 H.) dalam kitabnya al-Kamal fi Asami ar-Rijal.
Selanjutnya akan didaparkan riwayat hidup penulis Kutubus Sittah, dan sesuai dengan janji penulis buku ini disebutkan juga sedikit riwayat Imam Malik, sebagai pengarang /penulis Muwaththa’ Malik.
Kamis, 17 Desember 2009
KESALAHAN KAUM WAHHABY
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Dengan rahmat dan hidayah Allah, ana paparkan kesalahan "kaum wahhaby"
1. Tidak memperdulikan sabda Sahabat Umar "Ni'matul bid'atu hadzihi" (alangkah bagus bid'ah ini).
2. Memberi makna "kullu" hanya satu macam, yaitu "tiap2/semua". Padahal arti "kullu" itu ada dua, yaitu : "tiap2" dan "sebagian"
Seperti kita maklumi, menurut istilah ilmu manthiq:
- "kullu" yg berarti "tiap2" disebut "kullu kulliyah"
- "kullu" yg berarti "sebagian" disebut "kullu kully"
contoh "kullu kulliyah"
firman Allah: "Kullu nafsin dza'iqotul maut" yg artinya "tiap2 yg berjiwa akan merasakan mati"
contoh "kullu kully"
firman Allah: "wa ja'alnaa minal maa i kulla syai in hayyin" yg artinya "Dan telah kami jadikan dari air sebagian makhluk hidup"
kalau "kulla syai in" disini diartikan "tiap2/semua" maka bertentangan dg kenyataan, bahwa ada makhluk hidup yg dijadikan Allah tidak dari air, seperti malaikat dari cahaya, dan jin juga syetan dari api
firman Allah: "wa kholaqol jaanna min maarijin min naar" yg artinya "Dan Allah telah menjadikan semua jin itu dari lidah api"
Jelaslah bahwa arti "kullu" itu ada dua yaitu "tiap2" dan "sebagian".
Kesalahan kaum wahhaby, karena mengartikan "kullu" hanya satu macam, yaitu "tiap2", sehingga dg dalil "kullu bid'atin dlolalah" mereka menganggap semua bid'ah sesat tanpa kecuali.
Kesalahan Kaum Wahhaby yg lain
kaum wahhaby menganggap "bid'ah" itu hanyalah pada urusan "ibadah" Pada selain urusan ibadah mereka anggap tidak ada bid'ahnya. Kata kaum wahhabi: Ibadah itu tak boleh diubah, ditambah, dikurangi atau diciptakan sendiri, kesemuanya harus berbentuk asli dari Nabi.
Adapun urusan "selain ibadah" kata kaum wahhaby bolehlah berubah menurut keadaan zaman. terhadap anggapan ini mereka terapkan hadits Nabi saw:
"Jika ada soal2 agamamu, serahkanlah ia kepadaku. Jika ada soal2 keduniaanmu, maka kamu lebih mengetahui akan soal2 duniamu itu"
Secara dangkal, sepintas lalu anggapan Wahhaby ini seperti benar. Tetapi sebenarnya salah, karena:
-"Bid'ah" itu selain urusan "ibadah" juga terdapat di dlm urusan "mu'amalah (pergaulan masyarakat) seperti: pementasan lakon2 Nabi dlm drama, baik bersifat hiburan atau komersil
-sasaran hadits di atas sebenarnya bukan mengenai "Bid'ah" melainkan mengenai "hukum" dan "teknik"
contoh:
-Hukum membangun masjid adalah urusan agama, harus dikembalikan kepada Nabi, artinya harus bersumber dari Qur'an dan sunnah. Sedang teknik pembangunannya adalah "urusan dunia" dan ini diserahkan kpd ummat, terserah menurut perkembangan peradaban manusia.
-Hukum pertanian adalah urusan agama. Harus bersumber dari Qur'an atau Sunnah. Teknik cocok tanamnya adalah urusan dunia. Terserah kpd perkembangan peradaban.
Di dalam pengertian inilah Nabi menyabdakan Hadits di atas. Bukan di dlm pengertian "kaum wahhaby" di atas
Kesalahan wahhaby yg lain, adalah mereka menganggap bahwa "ibadah" itu hanya satu macam, yg semua bentuknya harus asli dari Nabi saw. Padahal tidak demikian. Yang benar "ibadah" itu ada dua macam, yaitu:
1. Ibadah Muqoyyadah (Ibadah yg terikat) seperti:
- Sholat wajib 5 waktu
- Zakat wajib
- Puasa Ramadhan
- Haji, dsb.....
Ibadah2 ini mempunyai keasalannya (keasliannya) dari Nabi saw dlm segala-galanya, hukumnya, teknik pelaksanaannya, waktu dan bentuknya. Kesemuanya diikat (muqoyyad) menurut aturan2 tertentu. Tidak boleh dirubah.
2. Ibadah Muthlaqoh (Ibadah yg tdk terikat secara menyeluruh), seperti:
- Dzikir (lisan atau hati) kepada Allah SWT.
- Tafakkur tentang makhluk Allah.
- Belajar atau Mengajar ilmu agama.
- Berbakti kepada ayah dan ibu (birrul walidain)
- dsb......
Ibadah2 ini mempunyai keasalan dari Nabi saw. dlm beberapa hal, sedang mengenai bentuk dan teknik pelaksanaannya tdk diikat dg aturan2 tertentu, terserah kpd ummat, asal tdk melanggar garis2 pokok "Syari'at Islam" Pada ibadah muthlaqoh inilah kadang terjadi "bid'ah hasanah". Demikianlah paham Ahlussunnah wal jama'ah yg jelas bertentangan dg paham "kaum wahhaby"
Sebagai tambahan ana paparkan contoh2 bid'ah hasanah:
- Membendel Qur'an menjadi kitab (mushaf) diawali dg Fatihah dan diakhiri dg an-Naas
- Memberi titik2 dan syakal pd tulisan al-Qur'an (Pd masa Nabi saw. tdk ada titik dan syakalnya)
- Membuat istilah hadits shohih, hadits hasan, hadits dloif dsb. (Pd masa Nabi ini juga tidak ada)
- Mengajar/belajar agama di Madrasah2 secara klasikal (ber-kelas2) dan bertingkat2 dari dasar, menengah sampai universitas.
- Peringatan Maulid Nabi saw dlm segala bentuk yg tdk bertentangan dg garis2 Syari'ah Islam
demikian paparan ana semoga bermanfaat dan ana akhiri dg do'a smg kita semua dijauhkan Allah dari kesesatan kaum wahhaby ini sampai akhir hayat nanti....Aamiin Allaahumma Aamiin
Walhamdulillaahirobbil'aalamiin
sumber :http://www.facebook.com/home.php?#/inbox/?folder=[fb]messages&page=5&tid=234331240364
Dengan rahmat dan hidayah Allah, ana paparkan kesalahan "kaum wahhaby"
1. Tidak memperdulikan sabda Sahabat Umar "Ni'matul bid'atu hadzihi" (alangkah bagus bid'ah ini).
2. Memberi makna "kullu" hanya satu macam, yaitu "tiap2/semua". Padahal arti "kullu" itu ada dua, yaitu : "tiap2" dan "sebagian"
Seperti kita maklumi, menurut istilah ilmu manthiq:
- "kullu" yg berarti "tiap2" disebut "kullu kulliyah"
- "kullu" yg berarti "sebagian" disebut "kullu kully"
contoh "kullu kulliyah"
firman Allah: "Kullu nafsin dza'iqotul maut" yg artinya "tiap2 yg berjiwa akan merasakan mati"
contoh "kullu kully"
firman Allah: "wa ja'alnaa minal maa i kulla syai in hayyin" yg artinya "Dan telah kami jadikan dari air sebagian makhluk hidup"
kalau "kulla syai in" disini diartikan "tiap2/semua" maka bertentangan dg kenyataan, bahwa ada makhluk hidup yg dijadikan Allah tidak dari air, seperti malaikat dari cahaya, dan jin juga syetan dari api
firman Allah: "wa kholaqol jaanna min maarijin min naar" yg artinya "Dan Allah telah menjadikan semua jin itu dari lidah api"
Jelaslah bahwa arti "kullu" itu ada dua yaitu "tiap2" dan "sebagian".
Kesalahan kaum wahhaby, karena mengartikan "kullu" hanya satu macam, yaitu "tiap2", sehingga dg dalil "kullu bid'atin dlolalah" mereka menganggap semua bid'ah sesat tanpa kecuali.
Kesalahan Kaum Wahhaby yg lain
kaum wahhaby menganggap "bid'ah" itu hanyalah pada urusan "ibadah" Pada selain urusan ibadah mereka anggap tidak ada bid'ahnya. Kata kaum wahhabi: Ibadah itu tak boleh diubah, ditambah, dikurangi atau diciptakan sendiri, kesemuanya harus berbentuk asli dari Nabi.
Adapun urusan "selain ibadah" kata kaum wahhaby bolehlah berubah menurut keadaan zaman. terhadap anggapan ini mereka terapkan hadits Nabi saw:
"Jika ada soal2 agamamu, serahkanlah ia kepadaku. Jika ada soal2 keduniaanmu, maka kamu lebih mengetahui akan soal2 duniamu itu"
Secara dangkal, sepintas lalu anggapan Wahhaby ini seperti benar. Tetapi sebenarnya salah, karena:
-"Bid'ah" itu selain urusan "ibadah" juga terdapat di dlm urusan "mu'amalah (pergaulan masyarakat) seperti: pementasan lakon2 Nabi dlm drama, baik bersifat hiburan atau komersil
-sasaran hadits di atas sebenarnya bukan mengenai "Bid'ah" melainkan mengenai "hukum" dan "teknik"
contoh:
-Hukum membangun masjid adalah urusan agama, harus dikembalikan kepada Nabi, artinya harus bersumber dari Qur'an dan sunnah. Sedang teknik pembangunannya adalah "urusan dunia" dan ini diserahkan kpd ummat, terserah menurut perkembangan peradaban manusia.
-Hukum pertanian adalah urusan agama. Harus bersumber dari Qur'an atau Sunnah. Teknik cocok tanamnya adalah urusan dunia. Terserah kpd perkembangan peradaban.
Di dalam pengertian inilah Nabi menyabdakan Hadits di atas. Bukan di dlm pengertian "kaum wahhaby" di atas
Kesalahan wahhaby yg lain, adalah mereka menganggap bahwa "ibadah" itu hanya satu macam, yg semua bentuknya harus asli dari Nabi saw. Padahal tidak demikian. Yang benar "ibadah" itu ada dua macam, yaitu:
1. Ibadah Muqoyyadah (Ibadah yg terikat) seperti:
- Sholat wajib 5 waktu
- Zakat wajib
- Puasa Ramadhan
- Haji, dsb.....
Ibadah2 ini mempunyai keasalannya (keasliannya) dari Nabi saw dlm segala-galanya, hukumnya, teknik pelaksanaannya, waktu dan bentuknya. Kesemuanya diikat (muqoyyad) menurut aturan2 tertentu. Tidak boleh dirubah.
2. Ibadah Muthlaqoh (Ibadah yg tdk terikat secara menyeluruh), seperti:
- Dzikir (lisan atau hati) kepada Allah SWT.
- Tafakkur tentang makhluk Allah.
- Belajar atau Mengajar ilmu agama.
- Berbakti kepada ayah dan ibu (birrul walidain)
- dsb......
Ibadah2 ini mempunyai keasalan dari Nabi saw. dlm beberapa hal, sedang mengenai bentuk dan teknik pelaksanaannya tdk diikat dg aturan2 tertentu, terserah kpd ummat, asal tdk melanggar garis2 pokok "Syari'at Islam" Pada ibadah muthlaqoh inilah kadang terjadi "bid'ah hasanah". Demikianlah paham Ahlussunnah wal jama'ah yg jelas bertentangan dg paham "kaum wahhaby"
Sebagai tambahan ana paparkan contoh2 bid'ah hasanah:
- Membendel Qur'an menjadi kitab (mushaf) diawali dg Fatihah dan diakhiri dg an-Naas
- Memberi titik2 dan syakal pd tulisan al-Qur'an (Pd masa Nabi saw. tdk ada titik dan syakalnya)
- Membuat istilah hadits shohih, hadits hasan, hadits dloif dsb. (Pd masa Nabi ini juga tidak ada)
- Mengajar/belajar agama di Madrasah2 secara klasikal (ber-kelas2) dan bertingkat2 dari dasar, menengah sampai universitas.
- Peringatan Maulid Nabi saw dlm segala bentuk yg tdk bertentangan dg garis2 Syari'ah Islam
demikian paparan ana semoga bermanfaat dan ana akhiri dg do'a smg kita semua dijauhkan Allah dari kesesatan kaum wahhaby ini sampai akhir hayat nanti....Aamiin Allaahumma Aamiin
Walhamdulillaahirobbil'aalamiin
sumber :http://www.facebook.com/home.php?#/inbox/?folder=[fb]messages&page=5&tid=234331240364
KISAH MAHASISWI BANDUNG __ SISI KEBURUKAN DARI NIKAH MUTAH
As-Sabiqunal Awwalun (ASA) Edisi V Th.II/1411 H.
Wanita asal Pekalongan yang tinggal di Bandung di
sebuah rumah kos "Wisma Fathimah" Jl. Alex Kwilarang
63 ADALAH Mahasiswi semester VII sebuah perguruan tinggi yang
mengaku jurusan Sospol di Bandung, mengeluhkan rasa
pedih pada bagian alat vitalnya, kemudian
memeriksakannya kepada salah seorang Dokter Penyakit
Kulit dan Kelamin bernama Dokter Hanung.
Untuk kedua kalinya wanita itu pergi ke dokter Hanung, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin di kota Bandung. Sore itu ia datang sambil membawa hasil laboraturium seperti yang diperintahkan dokter dua hari sebelumnya. Sudah beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu buang air kecil (drysuria) serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari vagina (vagina discharge).
Sore itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak tampak menangis kesakitan karena luka dikakinya, kayaknya dia menderita Pioderma. Disebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk badannya karena gatal. Di ujung kursi tampak seorang remaja putri melamun, merenungkan akne vulgaris (jerawat) yang ia alami.
Ketika wanita itu datang ia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya satu per satu pasien yang berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya tiba, dengan mengucap salam dia memasuki kamar periksa dokter Hanung. Kamar periksa itu cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan penutup warna putih. Sebuah meja dokter yang bersih. Di pojok ruang sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah memeriksa pasien serta kotak yang berisi obat-obatan.
Sejenak dokter Hanung menapat pasiennya. Tidak seperti biasa, pasiennya ini adalah seorang wanita berjilbab rapat. Tidak ada yang kelihatan kecuali sepasang mata yang menyinarkan wajah duka. Setelah wawancara sebentar (anamnese) dokter Hanung membuka amplop hasil laboratorium yang dibawa pasiennya. Dokter Hanung terkejut melihat hasil laboratorium. Rasanya ada hal yang mustahil. Ada rasa tidak percaya terhadap hal itu. Bagaimana mungkin orang berjilbab yang tentu saja menjaga kehormatannya terkena penyakit itu, penyakit yang hanya mengenai orang yang sering berganti-ganti pasangan sexual.
Dengan wajah tenang dokter Hanung melakukan anamsese lagi secara cermat.
“Saudari masih kuliah?”
“Masih Dok”
“Semester berapa?”
“Semester tujuh Dok”
“Fakultasnya?”
“Sospol”
“Jurusan komunikasi massa ya?”
Kali ini ganti pasien terkahir itu yang kaget. Dia mengangkat muka dan menatap dokter Hanung dari balik cadarnya.
“Kok dokter tahu?”
“Aah,…….. tidak, hanya barang kali saja!”
Pembicaraan antara dokter Hanung dengan pasien terakhirnya itu akhirnya seakan-akan beralih dari masalah penyakit dan melebar kepada persoalan lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah penyakit itu.
“Saudari memang penduduk Bandung ini atau dari luar kota?”
Pasien terkahirnya itu tampaknya mulai merasa tidak enak dengan pertanyaan dokter yang mulai menyimpang dari masalah-masalah medis itu. Dengan jengkel dia menjawab.
“Ada apa sih Dok …. Kok tanya macam-macam?”
“Aah enggak,… barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang saudari derita!”
Pasien terkahir itu tampaknya semakin jengkel dengan pertanyaan dokter yang kesana-kemari itu. Dengan agak kesal ia menjawab:
“Saya dari Pekalongan”
“Kost-nya?”
“Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang 63”
“Di kampus sering mengikuti kajian islam yaa”
“Ya, … kadang-kadang Dok!”
“Sering mengikuti kajian Bang Jalal?”
Sekali lagi pasien itu menatap dokter Hanung.
“Bang Jalal siapa?”
Tanyanya dengan nada agak tinggi.
“Tentu saja Jalaluddin Rahmat! Di Bandung siapa lagi Bang Jalal selain dia… kalau di Yogya ada Bang Jalal Muksin”
“Ya,…. kadang-kadang saja saya ikut”
“Di Pekalongan,… (sambil seperti mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad Baraqba?”
Pasien terakhir itu tampak terkejut dengan pertanyaan yang terkahir itu, tetapi dia segera menjawab
“Tidak! Siapa yang dokter maksudkan dengan nama itu dan apa hubungannya dengan penyakit saya?”
Pasien terakhir itu tampak semakin jengkel dengan pertanyaan-tanyaan dokter yang semakin tidak mengarah itu. Tetapi justru dokter Hanung manggut-manggut dengan keterkejutan pasien terakhirnya. Dia menduga bahwa penelitian penyakit pasiennya itu hampir selesai.
Akhirnya dengan suara yang penuh dengan tekanan dokter Hanung berkata,
“Begini saudari, saya minta maaf atas pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur tadi, sekarang tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi penyakit yang saudari derita,…”
Sekarang ganti pasien terakhir itu yang mengangkat muka mendengar perkataan dokter Hanung. Dia seakan terbengong dengan pertanyaan apa yang akan di lontarkan oleh dokter yang memeriksanya kali ini.
“Sebenarnya saya amat terkejut dengan penyakit yang saudari derita, rasanya tidak mungkin seorang ukhti mengidap penyakit seperti ini”
“Sakit apa Dok?”.
Pasien terakhir itu memotong kalimat dokter Hanung yang belum selesai dengan amat penasaran.
“Melihat keluhan yang anda rasakan serta hasil laboratorium semuanya menyokong diagnosis gonore, penyakit yang disebabkan hubungan sexual”.
Seperti disambar geledek perempuan berjilbab biru dan berhijab itu, pasien terakhir dokter Hanung sore itu berteriak,
“Tidak mungkin!!!”
Dia lantas terduduk di kursi lemah seakan tak berdaya, mendengar keterangan dokter Hanung. Pandang matanya kosong seakan kehilangan harapan dan bahkan seperti tidak punya semangat hidup lagi.
Sementara itu pembantu dokter Hanung yang biasa mendaftar pasien yang akan berobat tampak mondar-mandir seperti ingin tahu apa yang terjadi. Tidak seperti biasanya dokter Hanung memeriksa pasien begitu lama seperti sore ini. Barangkali karena dia pasien terakhir sehingga merasa tidak terlalu tergesa-gesa maka pemeriksaannya berjalan agak lama. Tetapi kemudian dia terkejut mendengar jerit pasien terakhir itu sehingga ia merasa ingin tahu apa yang terjadi.
Dokter Hanung dengan pengalamannya selama praktek tidak terlalu kaget dengan reaksi pasien terakhirnya sore itu. Hanya yang dia tidak habis pikir itu kenapa perempuan berjilbab rapat itu mengidap penyakit yang biasa menjangkiti perempuan-perempuan rusak. Sudah dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang mengidap penyakit yang sama dan uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah. Hanya saja yang pertama dahulu tidak mengenakan hijab penutup muka seperti pasien yang terakhirnya sore hari itu. Dulu pasien yang pernah mengidap penyakit yang seperti itu juga menggunakan pakaian muslimah, ketika didesak akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya biasa kawin mut’ah. Pasiennya yang dahulu itu telah terlibat jauh dengan pola pikir dan gerakan Syi’ah yang ada di Bandung ini. Dari pengalaman itu timbul pikirannya menanyakan macam-macam hal mengenai tokoh-tokoh Syi’ah yang pernah dia kenal di kota Kembang ini dan juga kebetulan mempunyai seorang teman dari Pekalongan yang menceritakan perkembangan gerakan Syi’ah di Pekalongan. Beliau bermaksud untuk menyingkap tabir yang menyelimuti rahasia perempuan yang ada didepannya sore itu.
“Bagaimana saudari,… penyakit yang anda derita ini tidak mengenali kecuali orang-orang yang biasa berganti-ganti pasangan seks. Rasanya itu tidak mungkin terjadi pada seorang muslimah seperti diri anda. Kalau itu masa lalu saudari baiklah saya memahami dan semoga dapat sembuh, bertaubatlah kepada Allah, … atau mungkin ada kemungkinan lain,…?”
Pertanyaan dokter Hanung itu telah membuat pasien terakhirnya mengangkat muka sejenak, lalu menunduk lagi seperti tidak memiliki cukup kekuatan lagi untuk berkata-kata. Dokter Hanung dengan sabar menanti jawaban pasien terakhirnya sore itu. Beliau beranjak dari kursi memanggil pembantunya agar mengemasi peralatan untuk segera tutup setelah selesai menangani pasien terakhirnya itu.
“Saya tidak percaya dengan perkataan dokter tentang penyakit saya!” katanya terbata-bata.
“Terserah saudari,… tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda sandang-kan?”
“Tetapi bagaimana mungkin mengidap penyakit laknat tersebut sedangkan saya selalu berada di dalam suasana hidup yang thaat kepada hukum Allah?”
“Sayapun berprasangka baik demikian terhadap diri anda,… tetapi kenyataan yang anda hadapi itu tidak dapat dipungkiri?”
Sejenak dokter dan pasien itu terdiam. Ruang periksa itu sepi. Kemudian terdengar suara dari pintu yang dibuka pembantu dokter yang mengemasi barang-barang peralatan administrasi pendaftaran pasien. Pembantu dokter itu lantas keluar lagi dengan wajah penuh dengan tanda tanya mengetahui dokter Hanung yang menunggui pasien terakhirnya itu.
“Cobalah introspeksi diri lagi, barangkali ada yang salah,… sebab secara medis tidak mungkin seseorang mengidap penyakit ini kecuali dari sebab tersebut”.
“Tidak dokter,… selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut tuntunan syari’at islam,… saya tetap tidak percaya dengan analisa dokter!”.
Dokter Hanung mengerutkan keningnya men-dengar jawaban pasien terakhirnya itu. Dia tidak merasa sakit hati dengan perkataan pasiennya yang berulang kali mengatakan tidak percaya dengan analisanya. Untuk apa marah kepada orang sakit. Paling juga hanya menambah parah penyakitnya saja, dan lagi analisanya toh tidak menjadi salah hanya karena disalahkan oleh paiennya. Dengan penuh kearifan dokter itu bertanya lagi….
“Barangkali anda biasa kawin mut’ah?”
Pasien terakhir itu mengangkat muka.
“Iya dokter!”
“Apa maksud dokter?”
“Itukan berarti anda sering kali ganti pasangan seks secara bebas!”
“Lho,… tapi itukan benar menurut syari’at Islam Dok!”
Pasien terakhir itu membela diri
“Ooo,… jadi begitu,… kalau dari tadi anda mengatakan begitu saya tidak bersusah payah mengungkapkan penyakit anda. Tegasnya anda ini pengikut Syi’ah yang bebas berganti-ganti pasangan mut’ah semau anda. Ya itulah petualangan seks yang anda lakukan. Hentikan itu kalau anda ingin selamat”.
“Bagaimana dokter ini, saya kan hidup secara benar menurut syari’at Islam sesuai dengan keyakinan saya, dokter malah melarang saya dengan dalih-dalih medis”.
Sampai disini dokter Hanung terdiam. Sepasang giginya terkatup rapat dan dari wajahnya terpancar kemarahan yang sangat terhadap perkataan pasien terakhirnya yang tidak punya aturan itu. Kemudian keluarlah perkataan yang berat penuh tekanan.
“Terserah apa kata saudari membela diri,…. Anda lanjutkan petualangan seks anda. Dengan resiko anda akan berkubang dengan penyakit kelamin yang sangat mengerikan itu, dan sangat boleh jadi pada suatu tingkat nanti anda akan mengidap penyakit AIDS yang sangat mengerikan itu,…..atau anda hentikan dan bertaubat kepada Allah dari mengikuti ajaran bejat itu kalau anda menghendaki kesembuhan”.
“Ma…maaf Dok, saya telah membuat dokter tersinggung!”
Dokter Hanung hanya mengangguk menjawab perkataan pasien terakhirnya yang terbata-bata itu.
“Begini saudari,…tidak ada gunanya resep saya berikan kepada anda kalau toh tidak berhenti dari praktek kehidupan yang selama ini anda jalani. Dan semua dokter yang anda datangi pasti akan bersikap sama,…sebab itu terserah kepada saudari. Saya tidak bersedia memberikan resep kalau toh anda tidak mau berhenti”.
“Ba…BBaik Dok,…Insya Allah akan saya hentikan!”
Dokter Hanung segera menuliskan resep untuk pasien yang terakhirnya itu, kemudian menyodorkan kepadanya.
“Berapa Dok?”
“Tak usahlah,…saya sudah amat bersyukur kalau anda mau menghentikan cara hidup binatang itu dan kembali kepada cara hidup yang benar menurut tuntunan yang benar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Saya relakan itu untuk membeli resep saja”.
Pasien terakhir dokter Hanung itu tersipu-sipu mendengar jawaban dokter Hanung.
“Terimah kasih Dok,…permisi!”
Perempuan itu kembali melangkah satu-satu di peralatan rumah Dokter Hanung. Ia berjalan keluar teras dekat bougenvil biru yang sekana menyatu dengan warna jilbabnya. Sampai digerbang dia menoleh sekali lagi ke teras, kemudian hilang di telan gemuruh kota bandung
Kisah Pasien Terakhir tsb terdapat di buku Mengapa Kita Menolak Syi’ah (Kumpulan Makalah Seminar Nasional Tentang Syi’ah) yg diadakan di Aula Masjid Istiqlal Jakarta tgl 21 September 1997 hal. 246
Pemakalah;
1. KH. Moh. Dawam Anwar
2. KH. Irwan Zidny MA
3. KH. Thohir Abdullah Al Kaff
4. Drs. HM Nabhan Husein
5. KH. Abdul Latief Muctar MA
6. DR. M. Hidayat Nur Wahid
7. Syub’ah Asa
Sumber : http://www.facebook.com/home.php?#/inbox/?folder=[fb]messages&page=5&tid=1340550514239 dan http://www.facebook.com/home.php?#/inbox/?folder=[fb]messages&page=4&tid=1144128058275
Wanita asal Pekalongan yang tinggal di Bandung di
sebuah rumah kos "Wisma Fathimah" Jl. Alex Kwilarang
63 ADALAH Mahasiswi semester VII sebuah perguruan tinggi yang
mengaku jurusan Sospol di Bandung, mengeluhkan rasa
pedih pada bagian alat vitalnya, kemudian
memeriksakannya kepada salah seorang Dokter Penyakit
Kulit dan Kelamin bernama Dokter Hanung.
Untuk kedua kalinya wanita itu pergi ke dokter Hanung, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin di kota Bandung. Sore itu ia datang sambil membawa hasil laboraturium seperti yang diperintahkan dokter dua hari sebelumnya. Sudah beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu buang air kecil (drysuria) serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari vagina (vagina discharge).
Sore itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak tampak menangis kesakitan karena luka dikakinya, kayaknya dia menderita Pioderma. Disebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk badannya karena gatal. Di ujung kursi tampak seorang remaja putri melamun, merenungkan akne vulgaris (jerawat) yang ia alami.
Ketika wanita itu datang ia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya satu per satu pasien yang berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya tiba, dengan mengucap salam dia memasuki kamar periksa dokter Hanung. Kamar periksa itu cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan penutup warna putih. Sebuah meja dokter yang bersih. Di pojok ruang sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah memeriksa pasien serta kotak yang berisi obat-obatan.
Sejenak dokter Hanung menapat pasiennya. Tidak seperti biasa, pasiennya ini adalah seorang wanita berjilbab rapat. Tidak ada yang kelihatan kecuali sepasang mata yang menyinarkan wajah duka. Setelah wawancara sebentar (anamnese) dokter Hanung membuka amplop hasil laboratorium yang dibawa pasiennya. Dokter Hanung terkejut melihat hasil laboratorium. Rasanya ada hal yang mustahil. Ada rasa tidak percaya terhadap hal itu. Bagaimana mungkin orang berjilbab yang tentu saja menjaga kehormatannya terkena penyakit itu, penyakit yang hanya mengenai orang yang sering berganti-ganti pasangan sexual.
Dengan wajah tenang dokter Hanung melakukan anamsese lagi secara cermat.
“Saudari masih kuliah?”
“Masih Dok”
“Semester berapa?”
“Semester tujuh Dok”
“Fakultasnya?”
“Sospol”
“Jurusan komunikasi massa ya?”
Kali ini ganti pasien terkahir itu yang kaget. Dia mengangkat muka dan menatap dokter Hanung dari balik cadarnya.
“Kok dokter tahu?”
“Aah,…….. tidak, hanya barang kali saja!”
Pembicaraan antara dokter Hanung dengan pasien terakhirnya itu akhirnya seakan-akan beralih dari masalah penyakit dan melebar kepada persoalan lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah penyakit itu.
“Saudari memang penduduk Bandung ini atau dari luar kota?”
Pasien terkahirnya itu tampaknya mulai merasa tidak enak dengan pertanyaan dokter yang mulai menyimpang dari masalah-masalah medis itu. Dengan jengkel dia menjawab.
“Ada apa sih Dok …. Kok tanya macam-macam?”
“Aah enggak,… barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang saudari derita!”
Pasien terkahir itu tampaknya semakin jengkel dengan pertanyaan dokter yang kesana-kemari itu. Dengan agak kesal ia menjawab:
“Saya dari Pekalongan”
“Kost-nya?”
“Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang 63”
“Di kampus sering mengikuti kajian islam yaa”
“Ya, … kadang-kadang Dok!”
“Sering mengikuti kajian Bang Jalal?”
Sekali lagi pasien itu menatap dokter Hanung.
“Bang Jalal siapa?”
Tanyanya dengan nada agak tinggi.
“Tentu saja Jalaluddin Rahmat! Di Bandung siapa lagi Bang Jalal selain dia… kalau di Yogya ada Bang Jalal Muksin”
“Ya,…. kadang-kadang saja saya ikut”
“Di Pekalongan,… (sambil seperti mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad Baraqba?”
Pasien terakhir itu tampak terkejut dengan pertanyaan yang terkahir itu, tetapi dia segera menjawab
“Tidak! Siapa yang dokter maksudkan dengan nama itu dan apa hubungannya dengan penyakit saya?”
Pasien terakhir itu tampak semakin jengkel dengan pertanyaan-tanyaan dokter yang semakin tidak mengarah itu. Tetapi justru dokter Hanung manggut-manggut dengan keterkejutan pasien terakhirnya. Dia menduga bahwa penelitian penyakit pasiennya itu hampir selesai.
Akhirnya dengan suara yang penuh dengan tekanan dokter Hanung berkata,
“Begini saudari, saya minta maaf atas pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur tadi, sekarang tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi penyakit yang saudari derita,…”
Sekarang ganti pasien terakhir itu yang mengangkat muka mendengar perkataan dokter Hanung. Dia seakan terbengong dengan pertanyaan apa yang akan di lontarkan oleh dokter yang memeriksanya kali ini.
“Sebenarnya saya amat terkejut dengan penyakit yang saudari derita, rasanya tidak mungkin seorang ukhti mengidap penyakit seperti ini”
“Sakit apa Dok?”.
Pasien terakhir itu memotong kalimat dokter Hanung yang belum selesai dengan amat penasaran.
“Melihat keluhan yang anda rasakan serta hasil laboratorium semuanya menyokong diagnosis gonore, penyakit yang disebabkan hubungan sexual”.
Seperti disambar geledek perempuan berjilbab biru dan berhijab itu, pasien terakhir dokter Hanung sore itu berteriak,
“Tidak mungkin!!!”
Dia lantas terduduk di kursi lemah seakan tak berdaya, mendengar keterangan dokter Hanung. Pandang matanya kosong seakan kehilangan harapan dan bahkan seperti tidak punya semangat hidup lagi.
Sementara itu pembantu dokter Hanung yang biasa mendaftar pasien yang akan berobat tampak mondar-mandir seperti ingin tahu apa yang terjadi. Tidak seperti biasanya dokter Hanung memeriksa pasien begitu lama seperti sore ini. Barangkali karena dia pasien terakhir sehingga merasa tidak terlalu tergesa-gesa maka pemeriksaannya berjalan agak lama. Tetapi kemudian dia terkejut mendengar jerit pasien terakhir itu sehingga ia merasa ingin tahu apa yang terjadi.
Dokter Hanung dengan pengalamannya selama praktek tidak terlalu kaget dengan reaksi pasien terakhirnya sore itu. Hanya yang dia tidak habis pikir itu kenapa perempuan berjilbab rapat itu mengidap penyakit yang biasa menjangkiti perempuan-perempuan rusak. Sudah dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang mengidap penyakit yang sama dan uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah. Hanya saja yang pertama dahulu tidak mengenakan hijab penutup muka seperti pasien yang terakhirnya sore hari itu. Dulu pasien yang pernah mengidap penyakit yang seperti itu juga menggunakan pakaian muslimah, ketika didesak akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya biasa kawin mut’ah. Pasiennya yang dahulu itu telah terlibat jauh dengan pola pikir dan gerakan Syi’ah yang ada di Bandung ini. Dari pengalaman itu timbul pikirannya menanyakan macam-macam hal mengenai tokoh-tokoh Syi’ah yang pernah dia kenal di kota Kembang ini dan juga kebetulan mempunyai seorang teman dari Pekalongan yang menceritakan perkembangan gerakan Syi’ah di Pekalongan. Beliau bermaksud untuk menyingkap tabir yang menyelimuti rahasia perempuan yang ada didepannya sore itu.
“Bagaimana saudari,… penyakit yang anda derita ini tidak mengenali kecuali orang-orang yang biasa berganti-ganti pasangan seks. Rasanya itu tidak mungkin terjadi pada seorang muslimah seperti diri anda. Kalau itu masa lalu saudari baiklah saya memahami dan semoga dapat sembuh, bertaubatlah kepada Allah, … atau mungkin ada kemungkinan lain,…?”
Pertanyaan dokter Hanung itu telah membuat pasien terakhirnya mengangkat muka sejenak, lalu menunduk lagi seperti tidak memiliki cukup kekuatan lagi untuk berkata-kata. Dokter Hanung dengan sabar menanti jawaban pasien terakhirnya sore itu. Beliau beranjak dari kursi memanggil pembantunya agar mengemasi peralatan untuk segera tutup setelah selesai menangani pasien terakhirnya itu.
“Saya tidak percaya dengan perkataan dokter tentang penyakit saya!” katanya terbata-bata.
“Terserah saudari,… tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda sandang-kan?”
“Tetapi bagaimana mungkin mengidap penyakit laknat tersebut sedangkan saya selalu berada di dalam suasana hidup yang thaat kepada hukum Allah?”
“Sayapun berprasangka baik demikian terhadap diri anda,… tetapi kenyataan yang anda hadapi itu tidak dapat dipungkiri?”
Sejenak dokter dan pasien itu terdiam. Ruang periksa itu sepi. Kemudian terdengar suara dari pintu yang dibuka pembantu dokter yang mengemasi barang-barang peralatan administrasi pendaftaran pasien. Pembantu dokter itu lantas keluar lagi dengan wajah penuh dengan tanda tanya mengetahui dokter Hanung yang menunggui pasien terakhirnya itu.
“Cobalah introspeksi diri lagi, barangkali ada yang salah,… sebab secara medis tidak mungkin seseorang mengidap penyakit ini kecuali dari sebab tersebut”.
“Tidak dokter,… selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut tuntunan syari’at islam,… saya tetap tidak percaya dengan analisa dokter!”.
Dokter Hanung mengerutkan keningnya men-dengar jawaban pasien terakhirnya itu. Dia tidak merasa sakit hati dengan perkataan pasiennya yang berulang kali mengatakan tidak percaya dengan analisanya. Untuk apa marah kepada orang sakit. Paling juga hanya menambah parah penyakitnya saja, dan lagi analisanya toh tidak menjadi salah hanya karena disalahkan oleh paiennya. Dengan penuh kearifan dokter itu bertanya lagi….
“Barangkali anda biasa kawin mut’ah?”
Pasien terakhir itu mengangkat muka.
“Iya dokter!”
“Apa maksud dokter?”
“Itukan berarti anda sering kali ganti pasangan seks secara bebas!”
“Lho,… tapi itukan benar menurut syari’at Islam Dok!”
Pasien terakhir itu membela diri
“Ooo,… jadi begitu,… kalau dari tadi anda mengatakan begitu saya tidak bersusah payah mengungkapkan penyakit anda. Tegasnya anda ini pengikut Syi’ah yang bebas berganti-ganti pasangan mut’ah semau anda. Ya itulah petualangan seks yang anda lakukan. Hentikan itu kalau anda ingin selamat”.
“Bagaimana dokter ini, saya kan hidup secara benar menurut syari’at Islam sesuai dengan keyakinan saya, dokter malah melarang saya dengan dalih-dalih medis”.
Sampai disini dokter Hanung terdiam. Sepasang giginya terkatup rapat dan dari wajahnya terpancar kemarahan yang sangat terhadap perkataan pasien terakhirnya yang tidak punya aturan itu. Kemudian keluarlah perkataan yang berat penuh tekanan.
“Terserah apa kata saudari membela diri,…. Anda lanjutkan petualangan seks anda. Dengan resiko anda akan berkubang dengan penyakit kelamin yang sangat mengerikan itu, dan sangat boleh jadi pada suatu tingkat nanti anda akan mengidap penyakit AIDS yang sangat mengerikan itu,…..atau anda hentikan dan bertaubat kepada Allah dari mengikuti ajaran bejat itu kalau anda menghendaki kesembuhan”.
“Ma…maaf Dok, saya telah membuat dokter tersinggung!”
Dokter Hanung hanya mengangguk menjawab perkataan pasien terakhirnya yang terbata-bata itu.
“Begini saudari,…tidak ada gunanya resep saya berikan kepada anda kalau toh tidak berhenti dari praktek kehidupan yang selama ini anda jalani. Dan semua dokter yang anda datangi pasti akan bersikap sama,…sebab itu terserah kepada saudari. Saya tidak bersedia memberikan resep kalau toh anda tidak mau berhenti”.
“Ba…BBaik Dok,…Insya Allah akan saya hentikan!”
Dokter Hanung segera menuliskan resep untuk pasien yang terakhirnya itu, kemudian menyodorkan kepadanya.
“Berapa Dok?”
“Tak usahlah,…saya sudah amat bersyukur kalau anda mau menghentikan cara hidup binatang itu dan kembali kepada cara hidup yang benar menurut tuntunan yang benar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Saya relakan itu untuk membeli resep saja”.
Pasien terakhir dokter Hanung itu tersipu-sipu mendengar jawaban dokter Hanung.
“Terimah kasih Dok,…permisi!”
Perempuan itu kembali melangkah satu-satu di peralatan rumah Dokter Hanung. Ia berjalan keluar teras dekat bougenvil biru yang sekana menyatu dengan warna jilbabnya. Sampai digerbang dia menoleh sekali lagi ke teras, kemudian hilang di telan gemuruh kota bandung
Kisah Pasien Terakhir tsb terdapat di buku Mengapa Kita Menolak Syi’ah (Kumpulan Makalah Seminar Nasional Tentang Syi’ah) yg diadakan di Aula Masjid Istiqlal Jakarta tgl 21 September 1997 hal. 246
Pemakalah;
1. KH. Moh. Dawam Anwar
2. KH. Irwan Zidny MA
3. KH. Thohir Abdullah Al Kaff
4. Drs. HM Nabhan Husein
5. KH. Abdul Latief Muctar MA
6. DR. M. Hidayat Nur Wahid
7. Syub’ah Asa
Sumber : http://www.facebook.com/home.php?#/inbox/?folder=[fb]messages&page=5&tid=1340550514239 dan http://www.facebook.com/home.php?#/inbox/?folder=[fb]messages&page=4&tid=1144128058275
Hukum Meninggalkan Shalat Jum’at 3 kali Berturut-turut
Memang benar shalat jum’at adalah sebuah kewajiban bagi ummat Islam, khususnya laki-laki dewasa. Kewajiban ini dituangkan di dalam firman Allah;
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.( Al-Jumu’ah: 9)
Adapun kewajiban itu bagi kaum muslim laki-laki berdasarkan kepada hadis nabi; Dari Thariq bin Syihab ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit.” (HR Abu Daud)
Dalil-dalil tersebut menunjukkan kewajiban melakukan shalat jum’at bagi lelaki muslim. Jika kewajiban itu ditinggalkan, maka ia mendapatkan dosa besar.
Kalimat Ummat Nabi Muhammad memiliki dua makna, ummat da’wah dan ummat istajabah. Ummat da’wah adalah semua orang yang hidup setelah beliau diutus sebagai Nabi dan Rasul. Sedangkan umat Istijabah adalah manusia yang hidup setelah kerasulan beliau dan memutuskan untuk menerima dakwah baliau. Pengeluaran seseorang dari ummat nabi Muhammad memiliki makna penetapan kekufuran seseorang.
Benarkah orang yang meninggalkan shalat Jum’at ia keluar dari agama islam, alias murtad? Mari kita tinjau hadis-hadis yang menerangkan bahayanya meninggalkan shalat jum’at, apalagi sampai tiga kali berturut-turut adalah
مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ عِلَّةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
Barangsiapa meninggalkan shalat jum’at tiga kali tanpa udzur dan tanpa sebab (yang syar’i) maka Allah akan mengunci mata hatinya (HR Malik)
مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
Barangsiapa meninggalkan shalat jum’at tiga kali karena meremehkannya maka Allah akan mengunci mata hatinya (HR at-Tirmidzi)
Ibnu Abbas mengatakan
مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ جُمَعٍ مُتَوَالِيَاتٍ فَقَدْ نَبَذَ اْلإِسْلاَمَ وَرَاءَ ظَهْرِهِ
Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut maka ia telah melemparkan ikatan Islam ke belakang punggungnya (HR Abu Ya’la dari kata-kata Ibnu Abbas)
Dengan memperhatikan hadis-hadis tentang meninggalkan shalat jum’at, kita temukan bahwa tidak ada nash yang jelas yang menunjukkan batalnya keimanan seseorang. Memang Ibnu Abbas mengatakan telah melemparkan tali Islam ke belakangnya, maksud dari kata ini bukanlah melepaskan agama Islam, tetapi melepaskan sebagian kewajiban di dalam Islam. Terlebih bahwa ucapan itu bukan berasal dari Rasulullah saw sehingga tidak bisa digunakan untuk memastikan batalnya keislaman seseorang.
Dari sini, maka orang yang tidak menjalankan shalat jum’at tiga kali tidak dinyatakan sebagai orang kafir, apalagi kalau ia masih mau shlat yang lain
Sumber :http://abahzacky.wordpress.com/2009/11/19/hukum-meninggalkan-shalat-jumat-3-kali-berturut-turut
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.( Al-Jumu’ah: 9)
Adapun kewajiban itu bagi kaum muslim laki-laki berdasarkan kepada hadis nabi; Dari Thariq bin Syihab ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit.” (HR Abu Daud)
Dalil-dalil tersebut menunjukkan kewajiban melakukan shalat jum’at bagi lelaki muslim. Jika kewajiban itu ditinggalkan, maka ia mendapatkan dosa besar.
Kalimat Ummat Nabi Muhammad memiliki dua makna, ummat da’wah dan ummat istajabah. Ummat da’wah adalah semua orang yang hidup setelah beliau diutus sebagai Nabi dan Rasul. Sedangkan umat Istijabah adalah manusia yang hidup setelah kerasulan beliau dan memutuskan untuk menerima dakwah baliau. Pengeluaran seseorang dari ummat nabi Muhammad memiliki makna penetapan kekufuran seseorang.
Benarkah orang yang meninggalkan shalat Jum’at ia keluar dari agama islam, alias murtad? Mari kita tinjau hadis-hadis yang menerangkan bahayanya meninggalkan shalat jum’at, apalagi sampai tiga kali berturut-turut adalah
مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ عِلَّةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
Barangsiapa meninggalkan shalat jum’at tiga kali tanpa udzur dan tanpa sebab (yang syar’i) maka Allah akan mengunci mata hatinya (HR Malik)
مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
Barangsiapa meninggalkan shalat jum’at tiga kali karena meremehkannya maka Allah akan mengunci mata hatinya (HR at-Tirmidzi)
Ibnu Abbas mengatakan
مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ جُمَعٍ مُتَوَالِيَاتٍ فَقَدْ نَبَذَ اْلإِسْلاَمَ وَرَاءَ ظَهْرِهِ
Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut maka ia telah melemparkan ikatan Islam ke belakang punggungnya (HR Abu Ya’la dari kata-kata Ibnu Abbas)
Dengan memperhatikan hadis-hadis tentang meninggalkan shalat jum’at, kita temukan bahwa tidak ada nash yang jelas yang menunjukkan batalnya keimanan seseorang. Memang Ibnu Abbas mengatakan telah melemparkan tali Islam ke belakangnya, maksud dari kata ini bukanlah melepaskan agama Islam, tetapi melepaskan sebagian kewajiban di dalam Islam. Terlebih bahwa ucapan itu bukan berasal dari Rasulullah saw sehingga tidak bisa digunakan untuk memastikan batalnya keislaman seseorang.
Dari sini, maka orang yang tidak menjalankan shalat jum’at tiga kali tidak dinyatakan sebagai orang kafir, apalagi kalau ia masih mau shlat yang lain
Sumber :http://abahzacky.wordpress.com/2009/11/19/hukum-meninggalkan-shalat-jumat-3-kali-berturut-turut
Berbicara untuk keperluan akademik
Menurut bahasa akademik berarti pendidikan atau proses belajar mengajar. Pengertian akademik itu sendiri jika dilihat dari latar belakang terminologis adalah sebuah keadaan dimana orang-orang bisa menyampaikan dan menerima gagasan, pemikiran, dan atau ilmu pengetahuan sekaligus melakukan pengujian terhadapnya secara jujur, terbuka, dan leluasa. Selanjutnya jika atmosfer akademik tumbuh maka kemudian akan berkembang menjadi kultur akademik, hal ini ditandai dengan tumbuhnya minat baca yang tinggi, tradisi berdiskusi dan berbeda pendapat, kreativitas menulis, serta proses belajar mengajar yang kondusif. Berbicara untuk keperluan akademik meliputi : Presentasi, Seminar, berpidato dalam situasi formal, dan belajar mengajar
1. Presentasi
Membuat presentasi bukanlah hal yang gampang, bayangkan saja, kita harus mencari sumber-sumber atau bahan yang akan dipresentasikan. Kemudian bahan-bahan tersebut harus kita edit lagi menjadi lebih khusus, karena dalam hal presentasi, materi yang dimuat tidak harus banyak tapi diambil kata kunci atau hal-hal pokok yang akan dibicarakan.
Nah jika semua sudah siap, maka hal yang harus dilakukan adalah mendesain presentasi semanrik mungkin agar orang tidak merasa bosan, program yang biasanya digunakan orang untuk presentasi adalah program Ms. PowerPoint. Dalam program itu anda dapat menggunakan sebebas mungkin untuk membuat desain presentasi, seperti animasi, backrground, tulisan dan lainnya dengan atraktif heboh dan spektakuler.
Namun jika anda belum terlalu menguasai program itu, maka gunakanlah animasi yang biasa saja tidak apa, tapi jika ingin yang bagus tapi tidak terlalu repot untuk membuat animasinya, anda bisa mencari animasi yang sudah jadi dengan gambar yang berformatkan GIF, gambar itu bisa dicari di internet misalnya di situs google, pilih gambar lalu masukkan kata kunci misalnya gambar kucing, maka tulis pada kotak dialog search kucing.gif setiap kata kunci diakhiri tanda titik dan ditulis gif seperti contoh tadi. Maka pada hasil pencarian muncullah gambar-gambar yang berformat gif.
Setelah anda mengambil gambar tersebut, maka masukkanlah gambar itu pada presentasi anda sesuai dengan keinginan anda. Setelah semua selesai mengatur desain presentasi anda, maka cobalah untuk menslide shownya dan lihat tampilanya, jika sudah cukup bagus, maka anda sudah siap untuk presentasi anda.
Persiapan yang harus anda lakukan sebelum pelaksanaan presantasi yaitu :
1. Kenali audience 4. Siapkan alat peraga / bantu
2. Kuasai materi 5. Siapkan introduction
3. Buat outline 6. Siapkan penutup
Agar lebih baik dalam melaksanakan presentasi maka lakukan latihan, latihan adalah cara yang paling efektif
• Dapat mengeliminir kejelekan dalam presentasi.
• Melatih transisi antar bagian supaya lebih halus.
• Memberi gambaran waktu yang diperlukan
• Meningkatkan percaya diri.
Adapun teknik latihannya yaitu dengan Mengumpulkan audience dan saat melakukan presentasi rekamlah latihan itu dengan tujuan agar anda dapat tahu kekurangan anda saat berpresentasi. Kemudian ada juga hal-hal khusus yang harus diperhatikan dalam melaksanakan presentasi diantaranya :
• Tentukan cara mengulang poin utama tanpa terlihat adanya pengulangan
• Ciptakan transisi antar bagian dengan mulus
• Kenali betul alat bantu / alat peraga yang digunakan.
• Menyiapkan jawaban atas pertanyaan yang kemungkinan muncul
• Mengembangkan gaya sendiri
Hal-hal yang diperhatikan saat pelaksanaan presentasi
• Kuasai alat peraga yang digunakan
• Kuasai diri sendiri (be confident)
• Bina relasi dengan audience
• Jangan membelakangi audience
• Jangan membaca materi presentasi
• Gunakan terminologi yang umum
• Singkat, padat (tepat waktu)
• Bicara lugas, tegas
• Selingi dengan sedikit humor
2. Seminar
Sebelum kita melihat bagaimana membuat sebuah seminar yang baik, baiklah kita perjelas dahulu apa yang dimaksud dengan seminar dalam tulisan ini.
Yang pertama adalah apa tujuan seminar. Seminar di sini adalah untuk mengeksplorasi sebuah ide. Dengan demikian seminar berbeda dengan pelatihan, di mana di dalam pelatihan, ada sebuah keahlian yang dibawakan oleh seorang yang menguasainya dan di dalam pelatihan terjadi transfer ilmu.
Yang kedua adalah bagaimana peran orang yang ikut di dalam seminar. Seminar adalah satu pertemuan di mana semua para pesertanya terlibat aktif. Di dalam seminar yang dimaksud ini, tidak ada pembicara dan peserta, seperti yang dikenal dalam seminar pada umumnya. Tidak ada perbedaan antara pembicara dan peserta. Dengan demikian seminar dibedakan dari kuliah, di mana ada seorang lektor membawakan suatu tema atau ide, dan peserta kuliah mendengarkan dan bertanya. Lektor adalah seseorang yang menguasai tema tersebut, sedangkan peserta adalah orang yang mempelajari tema tersebut.
Untuk berjalannya sebuah seminar dengan baik perlulah dipikirkan beberapa syarat:
a) Ruang seminar
b) Peserta
c) Moderator
d) Jalannya seminar
Ruang Seminar
Ruang seminar yang memadai adalah sebuah ruang yang memungkinkan interaksi aktif selurah peserta seminar. Sebuah meja bundar besar adalah sebuah contoh yang baik. Atau kursi yang disusun dengan melingkar. Ruangan tentu saja harus cukup tenang dan cukup terang untuk memberikan iklim yang enak untuk berseminar. Adanya sebuah papan tulis dapat membantu.
Peserta
Untuk berjalannya sebuah seminar dengan baik, semua peserta adalah bukan kertas kosong yang menunggu diisi, seperti halnya kuliah. Mereka harus sudah membaca tentang tema yang akan diseminarkan. Mereka bisa membuat sebuah esei pendek tentang tema yang diseminarkan. Bila yang diseminarkan adalah sebuah teks, teks tersebut telah dibaca secara analitis, ditandai, disertai tanggapan dan kritik.
Dengan terlebih dahulu membaca tentang tema yang akan diseminarkan, mereka telah mengolahnya di dalam kepala mereka. Mereka telah memiliki bayangan akan apa yang diseminarkan. Kertas di tangan yang berisi ringkasan tema yang diseminarkan menurut masing-masing peserta, akan memandu mereka nantinya di dalam seminar.
Moderator
Seorang moderator di dalam seminar berbeda dengan seorang lektor di dalam kuliah. Ia bukanlah seorang yang memberikan pelajaran, melainkan orang yang mengarahkan jalannya seminar.
Semestinyalah seorang moderator adalah orang yang paling senior dalam tema yang akan diseminarkan. Ini bukan berarti pendapatnyalah yang paling benar. Senioritas dalam penguasaan materi semata-mata untuk mengarahkan seminar, karena ia mestinya yang paling tahu tentang seluk beluk tema yang diseminarkan.
Peran seorang moderator ada dua: mengarahkan (directing) dan memoderasi (moderating). Dalam mengarahkan, ia menjaga agar seminar tidak melenceng dari tema. Dengan memoderasi, ia menjaga agar tidak ada satu orang atau satu ide tertentu yang terlalu mendominasi seminar sehingga seluruh tema seminar tidak tereksplorasi dengan baik.
Sebelum seminar, seorang moderator harus telah membaca tema yang akan diseminarkan, menyiapkan catatan tentang tema tersebut, menentukan kata-kata kunci, dan menyusun pertanyaan-pertanyaan kunci yang nantinya akan ditanyakan di dalam seminar. Di awal seminar ia dapat menuliskan terlebih dahulu poin-poin yang akan didiskusikan atau menggambarkan sebuah diagram yang mencerminkan ide yang akan didiskusikan.
Seorang moderator yang baik haruslah seorang pendengar dan pembicara yang baik. Ia mampu menangkap maksud sebuah pembicaraan dan membuatnya lebih jelas. Ia mampu memparafrasekan sebuah pertanyaan menjadi pertanyaan lain yang lebih jelas.
Mengingat beratnya tugas seorang moderator, sebaiknya seorang moderator tidak memimpin sebuah seminar lebih dari satu kali dalam sehari.
Jalannya seminar
Seminar dimulai dengan pengantar singkat dari moderator, dan langsung dilanjutkan dengan pertanyaan kunci yang dibahas oleh semua peserta secara bergiliran.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya seminar berjalan baik:
1. Seminar adalah sebuah diskusi dua arah. Tidak ada seorang yang lebih mendominasi pembicaraan. Adalah tugas moderator untuk memperhatikan ini.
2. Seminar bisa dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah jelas ada jawabannya, lalu mengarah ke pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih dalam dan tidak jelas jawabannya. Pertanyaan jenis kedualah yang memberikan manfaat terbesar. Tidaklah banyak pertanyaan yang seperti demikian.
3. Semua pertanyaan dan pernyataan dinyatakan dengan jelas tanpa ambiguitas. Jika sebuah pertanyaan atau pernyataan belum jelas, moderator harus bisa menunjukkan itu dan meminta sang pengujar untuk memperjelasnya.
4. Masih berhubungan dengan poin pertama, setiap pertanyaan haruslah jelas sebelum ditanggapi dengan jawaban. Penanggap berhak meminta penjelasan lebih lanjut atas pertanyaan sebelum ia menjawab. Tanggapan tentunya juga harus relevan dengan pernyataan. Moderator juga harus memperhatikan ini
5. Sebuah pertanyaan bisa dilihat sebagai jembatan kepada pertanyaan lain yang lebih mendasar. Hanya dengan cara demikian sebuah seminar dapat memberikan manfaat lebih.
6. Bila ada istilah yang sama, tetapi dipakai dengan arti yang berbeda oleh beberapa orang, moderator harus menunjukkan itu dan membuat kesepakatan dalam arti apa istilah itu dipakai sebelum melanjutkan seminar.
7. Etiket harus diperhatikan dalam sebuah seminar, seperti halnya di sebuah meja makan. Bahasa harus santun dan tidak merendahkan. Moderator terlebih harus memberikan contoh yang dapat diikuti oleh peserta yang lain. Bukan berarti seminar tidak bisa dilakukan dengan ringan dan diiringi tawa, namun canda dan tawa dilakukan dengan wajar dan memberi makna di dalam seminar. Tidak ada yang lebih membantu untuk mengingat ketimbang ide-ide kreatif yang kadang membangkitkan tawa.
8. Seminar adalah sebuah tempat untuk menggodok ide. Ia bukanlah tempat untuk membenarkan diri. Setiap orang harus kritis namun menerima bila ada pendapat yang lebih baik. Di dalam seminar semua orang memiliki posisi yang sama.
9. Sebuah seminar yang baik tidaklah harus menghasilkan sebuah kesimpulan tunggal. Setiap orang bisa pulang dengan pendapatnya masing-masing. Yang terpenting adalah mata mereka lebih terbuka, mereka telah melihat ide-ide baru yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka.
Demikianlah sebuah seminar Sokratik sebaiknya dilaksanakan. Dengan seminar seperti ini, semua peserta dapat mengambil manfaat. Sebuah seminar yang baik seperti ini dapat memberi manfaat seumur hidup yang mengendap sebagai manfaat terbaik yang dapat diberikan oleh sebuah pendidikan.
3. Berpidato dalam situasi formal
Kegiatan berbicara formal adalah kegiatan berbicara yang dilakukan dalam situasi atau acara-acara formal. Berbicara formal dikelompokkan menjadi dua yaitu monolog dan dialog. Berbicara monolog adalah berbicara satu arah, artinya dalam kegiatan berbicara tersebut tidak terjadi interaksi antara pembicara dengan pendengar.Kegiatan berbicara yang bersifat monolog; pidato/sambutan dan memandu. Memandu dapat berupa memandu acara atau mewara dan memandu wisatawan. Kegiatan berbicara yang bersifat dialog; wawancara dan diskusi. Diskusi memiliki ragam antara lain seminar dan symposium (pertemuan dengan beberapa pembicara yang mengemukakan pidato singkat tentang topik tertentu atau tentang beberapa aspek dari topik yang sama)
Untuk memperoleh keterampilan berbicara formal diperlukan penguasaan terhadap faktor-faktor yang menentukan keberhasilan berbicara. Faktor-faktor tersebut adalah faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan meliputi keberaniaan, kelancaran, kenyaringan suara, pandangan, gerak-gerik, penalaran, dan sikap yang wajar.
4. Belajar mengajar
Proses belajar mengajar tidak terlepas dari tiga komponen utama yaitu; guru, siswa dan bahan ajar. Proses belajar merupakan interaksi antarberbagai unsur, dengan unsur utama adalah siswa, kebutuhan berbagai sumber, serta situasi belajar yang memberikan kemungkinan kegiatan belajar. Meskipun demikian guru merupakan faktor yang cukup menentukan, seperti melakukan pengembangan bahan ajar serta perangkat lainnya.
1. Presentasi
Membuat presentasi bukanlah hal yang gampang, bayangkan saja, kita harus mencari sumber-sumber atau bahan yang akan dipresentasikan. Kemudian bahan-bahan tersebut harus kita edit lagi menjadi lebih khusus, karena dalam hal presentasi, materi yang dimuat tidak harus banyak tapi diambil kata kunci atau hal-hal pokok yang akan dibicarakan.
Nah jika semua sudah siap, maka hal yang harus dilakukan adalah mendesain presentasi semanrik mungkin agar orang tidak merasa bosan, program yang biasanya digunakan orang untuk presentasi adalah program Ms. PowerPoint. Dalam program itu anda dapat menggunakan sebebas mungkin untuk membuat desain presentasi, seperti animasi, backrground, tulisan dan lainnya dengan atraktif heboh dan spektakuler.
Namun jika anda belum terlalu menguasai program itu, maka gunakanlah animasi yang biasa saja tidak apa, tapi jika ingin yang bagus tapi tidak terlalu repot untuk membuat animasinya, anda bisa mencari animasi yang sudah jadi dengan gambar yang berformatkan GIF, gambar itu bisa dicari di internet misalnya di situs google, pilih gambar lalu masukkan kata kunci misalnya gambar kucing, maka tulis pada kotak dialog search kucing.gif setiap kata kunci diakhiri tanda titik dan ditulis gif seperti contoh tadi. Maka pada hasil pencarian muncullah gambar-gambar yang berformat gif.
Setelah anda mengambil gambar tersebut, maka masukkanlah gambar itu pada presentasi anda sesuai dengan keinginan anda. Setelah semua selesai mengatur desain presentasi anda, maka cobalah untuk menslide shownya dan lihat tampilanya, jika sudah cukup bagus, maka anda sudah siap untuk presentasi anda.
Persiapan yang harus anda lakukan sebelum pelaksanaan presantasi yaitu :
1. Kenali audience 4. Siapkan alat peraga / bantu
2. Kuasai materi 5. Siapkan introduction
3. Buat outline 6. Siapkan penutup
Agar lebih baik dalam melaksanakan presentasi maka lakukan latihan, latihan adalah cara yang paling efektif
• Dapat mengeliminir kejelekan dalam presentasi.
• Melatih transisi antar bagian supaya lebih halus.
• Memberi gambaran waktu yang diperlukan
• Meningkatkan percaya diri.
Adapun teknik latihannya yaitu dengan Mengumpulkan audience dan saat melakukan presentasi rekamlah latihan itu dengan tujuan agar anda dapat tahu kekurangan anda saat berpresentasi. Kemudian ada juga hal-hal khusus yang harus diperhatikan dalam melaksanakan presentasi diantaranya :
• Tentukan cara mengulang poin utama tanpa terlihat adanya pengulangan
• Ciptakan transisi antar bagian dengan mulus
• Kenali betul alat bantu / alat peraga yang digunakan.
• Menyiapkan jawaban atas pertanyaan yang kemungkinan muncul
• Mengembangkan gaya sendiri
Hal-hal yang diperhatikan saat pelaksanaan presentasi
• Kuasai alat peraga yang digunakan
• Kuasai diri sendiri (be confident)
• Bina relasi dengan audience
• Jangan membelakangi audience
• Jangan membaca materi presentasi
• Gunakan terminologi yang umum
• Singkat, padat (tepat waktu)
• Bicara lugas, tegas
• Selingi dengan sedikit humor
2. Seminar
Sebelum kita melihat bagaimana membuat sebuah seminar yang baik, baiklah kita perjelas dahulu apa yang dimaksud dengan seminar dalam tulisan ini.
Yang pertama adalah apa tujuan seminar. Seminar di sini adalah untuk mengeksplorasi sebuah ide. Dengan demikian seminar berbeda dengan pelatihan, di mana di dalam pelatihan, ada sebuah keahlian yang dibawakan oleh seorang yang menguasainya dan di dalam pelatihan terjadi transfer ilmu.
Yang kedua adalah bagaimana peran orang yang ikut di dalam seminar. Seminar adalah satu pertemuan di mana semua para pesertanya terlibat aktif. Di dalam seminar yang dimaksud ini, tidak ada pembicara dan peserta, seperti yang dikenal dalam seminar pada umumnya. Tidak ada perbedaan antara pembicara dan peserta. Dengan demikian seminar dibedakan dari kuliah, di mana ada seorang lektor membawakan suatu tema atau ide, dan peserta kuliah mendengarkan dan bertanya. Lektor adalah seseorang yang menguasai tema tersebut, sedangkan peserta adalah orang yang mempelajari tema tersebut.
Untuk berjalannya sebuah seminar dengan baik perlulah dipikirkan beberapa syarat:
a) Ruang seminar
b) Peserta
c) Moderator
d) Jalannya seminar
Ruang Seminar
Ruang seminar yang memadai adalah sebuah ruang yang memungkinkan interaksi aktif selurah peserta seminar. Sebuah meja bundar besar adalah sebuah contoh yang baik. Atau kursi yang disusun dengan melingkar. Ruangan tentu saja harus cukup tenang dan cukup terang untuk memberikan iklim yang enak untuk berseminar. Adanya sebuah papan tulis dapat membantu.
Peserta
Untuk berjalannya sebuah seminar dengan baik, semua peserta adalah bukan kertas kosong yang menunggu diisi, seperti halnya kuliah. Mereka harus sudah membaca tentang tema yang akan diseminarkan. Mereka bisa membuat sebuah esei pendek tentang tema yang diseminarkan. Bila yang diseminarkan adalah sebuah teks, teks tersebut telah dibaca secara analitis, ditandai, disertai tanggapan dan kritik.
Dengan terlebih dahulu membaca tentang tema yang akan diseminarkan, mereka telah mengolahnya di dalam kepala mereka. Mereka telah memiliki bayangan akan apa yang diseminarkan. Kertas di tangan yang berisi ringkasan tema yang diseminarkan menurut masing-masing peserta, akan memandu mereka nantinya di dalam seminar.
Moderator
Seorang moderator di dalam seminar berbeda dengan seorang lektor di dalam kuliah. Ia bukanlah seorang yang memberikan pelajaran, melainkan orang yang mengarahkan jalannya seminar.
Semestinyalah seorang moderator adalah orang yang paling senior dalam tema yang akan diseminarkan. Ini bukan berarti pendapatnyalah yang paling benar. Senioritas dalam penguasaan materi semata-mata untuk mengarahkan seminar, karena ia mestinya yang paling tahu tentang seluk beluk tema yang diseminarkan.
Peran seorang moderator ada dua: mengarahkan (directing) dan memoderasi (moderating). Dalam mengarahkan, ia menjaga agar seminar tidak melenceng dari tema. Dengan memoderasi, ia menjaga agar tidak ada satu orang atau satu ide tertentu yang terlalu mendominasi seminar sehingga seluruh tema seminar tidak tereksplorasi dengan baik.
Sebelum seminar, seorang moderator harus telah membaca tema yang akan diseminarkan, menyiapkan catatan tentang tema tersebut, menentukan kata-kata kunci, dan menyusun pertanyaan-pertanyaan kunci yang nantinya akan ditanyakan di dalam seminar. Di awal seminar ia dapat menuliskan terlebih dahulu poin-poin yang akan didiskusikan atau menggambarkan sebuah diagram yang mencerminkan ide yang akan didiskusikan.
Seorang moderator yang baik haruslah seorang pendengar dan pembicara yang baik. Ia mampu menangkap maksud sebuah pembicaraan dan membuatnya lebih jelas. Ia mampu memparafrasekan sebuah pertanyaan menjadi pertanyaan lain yang lebih jelas.
Mengingat beratnya tugas seorang moderator, sebaiknya seorang moderator tidak memimpin sebuah seminar lebih dari satu kali dalam sehari.
Jalannya seminar
Seminar dimulai dengan pengantar singkat dari moderator, dan langsung dilanjutkan dengan pertanyaan kunci yang dibahas oleh semua peserta secara bergiliran.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya seminar berjalan baik:
1. Seminar adalah sebuah diskusi dua arah. Tidak ada seorang yang lebih mendominasi pembicaraan. Adalah tugas moderator untuk memperhatikan ini.
2. Seminar bisa dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah jelas ada jawabannya, lalu mengarah ke pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih dalam dan tidak jelas jawabannya. Pertanyaan jenis kedualah yang memberikan manfaat terbesar. Tidaklah banyak pertanyaan yang seperti demikian.
3. Semua pertanyaan dan pernyataan dinyatakan dengan jelas tanpa ambiguitas. Jika sebuah pertanyaan atau pernyataan belum jelas, moderator harus bisa menunjukkan itu dan meminta sang pengujar untuk memperjelasnya.
4. Masih berhubungan dengan poin pertama, setiap pertanyaan haruslah jelas sebelum ditanggapi dengan jawaban. Penanggap berhak meminta penjelasan lebih lanjut atas pertanyaan sebelum ia menjawab. Tanggapan tentunya juga harus relevan dengan pernyataan. Moderator juga harus memperhatikan ini
5. Sebuah pertanyaan bisa dilihat sebagai jembatan kepada pertanyaan lain yang lebih mendasar. Hanya dengan cara demikian sebuah seminar dapat memberikan manfaat lebih.
6. Bila ada istilah yang sama, tetapi dipakai dengan arti yang berbeda oleh beberapa orang, moderator harus menunjukkan itu dan membuat kesepakatan dalam arti apa istilah itu dipakai sebelum melanjutkan seminar.
7. Etiket harus diperhatikan dalam sebuah seminar, seperti halnya di sebuah meja makan. Bahasa harus santun dan tidak merendahkan. Moderator terlebih harus memberikan contoh yang dapat diikuti oleh peserta yang lain. Bukan berarti seminar tidak bisa dilakukan dengan ringan dan diiringi tawa, namun canda dan tawa dilakukan dengan wajar dan memberi makna di dalam seminar. Tidak ada yang lebih membantu untuk mengingat ketimbang ide-ide kreatif yang kadang membangkitkan tawa.
8. Seminar adalah sebuah tempat untuk menggodok ide. Ia bukanlah tempat untuk membenarkan diri. Setiap orang harus kritis namun menerima bila ada pendapat yang lebih baik. Di dalam seminar semua orang memiliki posisi yang sama.
9. Sebuah seminar yang baik tidaklah harus menghasilkan sebuah kesimpulan tunggal. Setiap orang bisa pulang dengan pendapatnya masing-masing. Yang terpenting adalah mata mereka lebih terbuka, mereka telah melihat ide-ide baru yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka.
Demikianlah sebuah seminar Sokratik sebaiknya dilaksanakan. Dengan seminar seperti ini, semua peserta dapat mengambil manfaat. Sebuah seminar yang baik seperti ini dapat memberi manfaat seumur hidup yang mengendap sebagai manfaat terbaik yang dapat diberikan oleh sebuah pendidikan.
3. Berpidato dalam situasi formal
Kegiatan berbicara formal adalah kegiatan berbicara yang dilakukan dalam situasi atau acara-acara formal. Berbicara formal dikelompokkan menjadi dua yaitu monolog dan dialog. Berbicara monolog adalah berbicara satu arah, artinya dalam kegiatan berbicara tersebut tidak terjadi interaksi antara pembicara dengan pendengar.Kegiatan berbicara yang bersifat monolog; pidato/sambutan dan memandu. Memandu dapat berupa memandu acara atau mewara dan memandu wisatawan. Kegiatan berbicara yang bersifat dialog; wawancara dan diskusi. Diskusi memiliki ragam antara lain seminar dan symposium (pertemuan dengan beberapa pembicara yang mengemukakan pidato singkat tentang topik tertentu atau tentang beberapa aspek dari topik yang sama)
Untuk memperoleh keterampilan berbicara formal diperlukan penguasaan terhadap faktor-faktor yang menentukan keberhasilan berbicara. Faktor-faktor tersebut adalah faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan meliputi keberaniaan, kelancaran, kenyaringan suara, pandangan, gerak-gerik, penalaran, dan sikap yang wajar.
4. Belajar mengajar
Proses belajar mengajar tidak terlepas dari tiga komponen utama yaitu; guru, siswa dan bahan ajar. Proses belajar merupakan interaksi antarberbagai unsur, dengan unsur utama adalah siswa, kebutuhan berbagai sumber, serta situasi belajar yang memberikan kemungkinan kegiatan belajar. Meskipun demikian guru merupakan faktor yang cukup menentukan, seperti melakukan pengembangan bahan ajar serta perangkat lainnya.
Kamis, 19 November 2009
MANUSIA, NILAI, MORAL, DAN HUKUM
A. Hakikat Nilai Moral Dalam Kehidupan Manusia
Nilai dan Moral Sebagai Materi Pendidikan
Terdapat beberapa bidang filsafat yang ada hubungannya dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu, satu di antaranya adalah aksiologi (filsafat nilai) yang mempunyai dua kajian utama yakni estetika dan etika. Keduanya berbeda karena estetika berhubungan dengan keindahan sedangkan etika berhubungan dengan baik dan salah, namun karena manusia selalu berhubungan dengan masalah keindahan, baik, dan buruk bahkan dengan persoalan-persoalan layak atau tidaknya sesuatu, maka pembahasan etika dan estetika jauh melangkah ke depan meningkatkan kemampuannya untuk mengkaji persoalan nilai dan moral tersebut sebagaimana mestinya.
Jika persoalan etika dan estetika ini diperluas ke kawasan pribadi, maka muncullah persoalan apakah pihak lain atau orang lain dapat mencampuri urusan pribadi orang tersebut? Seperti halnya jika seseorang menyukai masakan China, apakah orang lain berhak menyangkal jika masakan China adalah masakan yang enak untuk disantap dan melarang orang tersebut untuk mengkonsumsinya? Mungkin itu hanya sebagian kecil persoalan ini, begitu kompleksnya persoalan nilai, maka pembahasan hanya dibatasi hanya pada pembahasan etika saja. Menurut Bartens (2001, hal. 6) ada tiga jenis makna etika, yaitu:
1. Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
3. Etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan yang buruk (filsafat moral).
Dalam bidang pendidikan, ketiga pengertian di atas menjadi materi bahasannya, oleh karena itu bukan hanya nilai moral individu yang dikaji, tetapi juga membahas kode-kode etik yang menjadi patokan individu dalam kehidupan sosisalnya, yang tentu saja karena manusia adalah makhluk sosial.
Nilai Moral di Antara Pandangan Objektif dan Subjektif Manusia
Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika maupun estetika. Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya. Kedua, memandang nilai sebagai sesuatu yang subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya.
Dua kategori nilai itu subjektif atau objektif:
Pertama, apakah objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau kita mendambakannya karena objek itu memiliki nilai
Kedua, apakah hasrat, kenikmatan, perhatian yang memberikan nilai pada objek, atau kita mengalami preferensi karena kenyataan bahwa objek tersebut memiliki nilai mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita (Frondizi, 2001, hlm. 19-24).
Nilai di Antara Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder
Kualitas primer yaitu kualitas dasar yang tanpanya objek tidak dapat menjadi ada, sama seperi kebutuhan primer yang harus ada sebagai syarat hidup manusia, sedangkan kualitas sekunder merupakan kualitas yang dapat ditangkap oleh pancaindera seperti warna, rasa, bau, dan sebagainya, jadi kualitas sekunder seperti halnya kualitas sampingan yang memberikan nilai lebih terhadap sesuatu yang dijadikan objek penilaian kualitasnya.
Perbedaan antara kedua kualitas ini adalah pada keniscayaannya, kualitas primer harus ada dan tidak bisa ditawar lagi, sedangkan kualitas sekunder bagian eksistesi objek tetapi kehadirannya tergantung subjek penilai. Nilai bukan kualitas primer maupun sekunder sebab nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek. Nilai bukan sebuah keniscayaan bagi esensi objek. Nilai bukan benda atau unsur benda, melainkan sifat, kualitas, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”. Nilai milik semua objek, nilai tidaklah independen yakni tidak memiliki kesubstantifan.
Metode Menemukan dan Hierarki Nilai dalam Pendidikan
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil sebuah keputusan, nilai memiliki polaritas dan hierarki, yaitu:
1. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai (polaritas) seperti baik dan buruk, keindahan dan kejelekan.
2. Nilai tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki urutan pentingnya.
Ada beberapa klasifikasi nilai yaitu klasifikasi nilai yang didasarkan atas pengakuan, objek yang dipermasalahkan, keuntungan yang diperoleh, tujuan yang akan dicapai, hubungan antara pengembangan nilai dengan keuntungan, dan hubungan yang dihasilkan nilai itu sendiri dengan hal lain yang lebih baik. Sedangkan Max Scheller berpendapat bahwa hierarki terdiri dari, nilai kenikmatan, kehidupan, kejiwaan, dan nilai kerohanian. Dan masih banyak lagi klasifikasi lainnya dari para pakar, namun adapula pembagian hierarki di Indonesia (khususnya pada masa dekade Penataran P4), yakni, nilai dasar, nilai instrumental, dan yang terakhir nilai praksis.
Pengertian Nilai
Walaupun begitu banyaknya pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap pakar pada dasarnya upaya memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang “relatif belum tersentuh” oleh pemikir lain.
Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewney yakni, Value Is Object Of Social Interest, karena ia melihat nilai dari sudut kepentingannya.
Makna Nilai bagi Manusia
Nilai itu penting bagi manusia, apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan.
Setiap individu harus memahami nilai dan kebernilaian dirinya, sehingga dia akan menempatkan diri secara bijak dalam pergaulan hidup serta akan mengakui dan bijak terhadap keberadaan nilai dan kebernilaian orang lain dalam pergaulan masyarakat. Yang penting dalam upaya pendididikan, keyakinan individu pada nilai harus menyentuh sampai hierarki nilai tertinggi, sebab seperti yang diungkapkan oleh sheller, bahwa :
1. Nilai yang tertinggi menghasilkan kepuasan yang lebih mendalam
2. Kepuasan jangan dikacaukan dengan kenikmatan (meskipun kenikmatan merupakan hail kepuasan)
3. Semakin kurang kerelatifan nilai, semakin tinggi keberadaannya, nilai tertinggi dari semua nialai adalah nilai mutlak. (Fondizi, 2001, hlm. 129- 130.)
B. Problematika Pembinaan Nilai Moral
Pengaruh Kehidupan Keluarga dalam Pembinaan Nilai Moral
Persoalan merosotnya intensitas interaksi dalam keluarga, serta terputusnya komunikasi yang harmonis antara orang tua dengan anak, mengakibatkan merosotnya fungsi keluarga dalam pembinaan nilai moral anak. Keluarga bisa jadi tidak lagi menjadi tempat untuk memperjelas nilai yang harus dipegang bahkan sebaliknya menambah kebingungan nilai bagi si anak.
Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Pembinaan Nilai Moral
Setiap orang yang menjadi teman anak akan menampilkan kebiasaan yang dimilikinya, pengaruh pertemanan ini akan berdampak positif jika isu dan kebiasaan teman itu positif juga, sebaliknya akan berpengaruh negatif jika sikap dan tabiat yang ditampikan memang buruk, jadi diperlukan pula pendampingan orang tua dalam tindakan anak-anaknya, terutama bagi para orang tua yang memiliki anak yang masih di bawah umur.
Pengaruh Figur Otoritas Terhadap Perkembangan Nilai Moral Individu
Orang dewasa mempunyai pemikiran bahwa fungsi utama dalam menjalin hubungan dengan anak-anak adalah memberi tahu sesuatu kepada mereka: memberi tahu apa yang harus mereka lakukan, kapan waktu yang tepat untuk melakukannya, di mana harus dilakukan, seberapa sering harus melakukan, dan juga kapan harus mengakhirinya. Itulah sebabnya seorang figur otoritas (bisa juga seorang public figure) sangat berpengaruh dalam perkembangan nilai moral.
Dengan kata lain, orang tua belum meyakini bahwa anak- anak telah menjadi ”manusia”. Anak- anak diharuskan mengikuti anjuran yang disarankan. Mereka juga harus mmengikuti harapan atau aspirasi yang dimiliki orang tua. Masih ada kecenderungan untuk menganggap bahwa keyakinan orang dewasa harus tetap dipertahankan, anak harus memiliki keyakinan seperti keyakinanannya. Dengan demikian orang dewasa tidak berupaya mengurangi kebingungan nilai anak bahkan sebaliknya menambah jumlah pilihan nilai yang menimbulkan tingginya tingkat kebingungan dan ketidakjelasan bagi anak.
Pengaruh Media Komunikasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Setiap orang berharap pentingnya memerhatikan perkembangan nilai anak-anak. Oleh karena itu dalam media komunikasi mutakhir tentu akan mengembangkan suatu pandangan hidup yang terfokus sehingga memberikan stabilitas nilai pada anak. Namun ketika anak dipenuhi oleh kebingungan nilai, maka institusi pendidikan perlu mengupayakan jalan keluar bagi peserta didiknya dengan pendekatan klarifikasi nilai.
Ada kecenderungan lain, bila anak dihadapkan pada berbagai kemungkinan, maka dia akan kehilangan ga2,54 cm2,54 cmgasan akhirnya dia akan kebingungan. Sangat mungkin bahwa kontribusi terbesar media- media akan membiasakana pemahaman yang tengah tumbuh pada anak- anak seputar mana yang betul dan mana yang salah, mana yang benar dan mana yang palsu, mana yang bagus dan mana yang jelek, mana yang adil dan mana yang timpang, mana yang bermoral dan mana yang tidak bermoral.
Pengaruh Otak atau Berpikir Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Pendidikan tentang nilai moral yang menggunakan pendekatan berpikir dan lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk mengklarifikasi nilai moral sangat dimungkinkan bila melihat eratnya hubungan antara berpikir dengan nilai itu sendiri, meskipun diakui bahwa ada pendekatan lain dalam pendidikan nilai yang memiliki orientasi yang berbeda.
Berpikir adalah hasil kerja otak, namun otak tidak bekerja secara sederhana dalam pengertian stimulus respon, dan juga tidak menyimpan ” fakta ” secara sederhana sebagai referensi masa depan. Berdasarkan hasil penelitian Gazzaniga ” Otak kita adalah suatu organ yang sangat mengagumkan untuk menemukan dan menciptakan makna. Dalam keadaadn terjaga maupun tertidur, otak kita tetap berusaha membuat pengalaman lahir (outer) dan pengalaman bathin (inner). Atas dasar itu semua orang adalah pencari dan pencipta makna, dan makna- makna yang kita ciptakan menentukan bagaimana cara kita berprilaku.
Pengaruh Informasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Munculnya berbagai informasi, apalagi bila informasi itu sama kuatnya maka akan mempengaruhi disonansi kognitif yang sama, misalnya saja pengaruh tuntutan teman sebaya dengan tuntutan aturan keluarga dan aturan agama akan menjadi konflik internal pada individu yang akhirnya akan menimbulkan kebingungan nilai bagi individu tersebut.
Informasi baru yang dihasilkan, (yang dapat mengubah keyakinan, sikap dan nilai ) sangat tergantung pada faktor- faktor sebagai berikut :
a) Bagaimana informasi itu diperkenalkan (proses input)
b) Oleh siapa informasi itu disampaikan (hal ini berhubungan dengan kredibilitas si pembawa informasi)
c) Dalam kondisi yang bagaimana informasi itu disampaikan atau diterima
d) Sejauh mana tingkat disonansi kognitif yang terjadi akibat informasi baru tersebut ( yaitu tingkat dan sifat konplik yang terjadi dengan keyakinan yang telah ada)
e) Level penerimaan individu yaitu motivasi individu untuk berubah
f) Level kesiapan individu untuk menerima informasi baru serta mengubah tingkah lakunya (tahap kematangan individu serta kekayaan pengalaman masa lalunya)
(Kama, 2000, hlm. 19)
C. Manusia Dan Hukum
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium/ pemeo yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang bernama: m a s y a r a k a t. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur(kekuasaan).
D. Hubungan Hukum Dan Moral
Hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral dan perundang-undangan yang immoral harus diganti.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dengan moral.
K. Bertens menyatakan ada setidaknya empat perbedaan antara hukum dan moral, pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas (hukum lebih dibukukan daripada moral), kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap bathin seseorang, ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas, keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara sedangkan moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat.
Sedangkan gunawan setiardja, membedakan hukum dan moral, pertama , dilihat dari dasarnya, hukum memliki dasar yurudis, konsensus, dan hukum alam, sedangkan moral berdasarkan hukum alam, kedua, dilihat dari otonominya , hukum bersipat heteronom yaitu datang dari luar diri manusia, sedangkan moral bersipat otonom yaitu datang dari diri sendiri, ketiga dilihat dari pelaksanaan, hukum secara lahiriah dapat dipaksakan, sedangkan moral berdasarkan lahiriah dan terutama bathiniah tidak dapat dipaksakan, keempat, dilihat dari sanksinya, sanksi hikum bersifat yuridis sanksi lahiriah, sedangkan sanksi moral bersifat kodrati, batiniah, menyesal, malu tehadap diri sendiri. Kelima, dilihatdari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia, keenam, dilihat dari waktu dan tempat, hikum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu.
Nilai dan Moral Sebagai Materi Pendidikan
Terdapat beberapa bidang filsafat yang ada hubungannya dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu, satu di antaranya adalah aksiologi (filsafat nilai) yang mempunyai dua kajian utama yakni estetika dan etika. Keduanya berbeda karena estetika berhubungan dengan keindahan sedangkan etika berhubungan dengan baik dan salah, namun karena manusia selalu berhubungan dengan masalah keindahan, baik, dan buruk bahkan dengan persoalan-persoalan layak atau tidaknya sesuatu, maka pembahasan etika dan estetika jauh melangkah ke depan meningkatkan kemampuannya untuk mengkaji persoalan nilai dan moral tersebut sebagaimana mestinya.
Jika persoalan etika dan estetika ini diperluas ke kawasan pribadi, maka muncullah persoalan apakah pihak lain atau orang lain dapat mencampuri urusan pribadi orang tersebut? Seperti halnya jika seseorang menyukai masakan China, apakah orang lain berhak menyangkal jika masakan China adalah masakan yang enak untuk disantap dan melarang orang tersebut untuk mengkonsumsinya? Mungkin itu hanya sebagian kecil persoalan ini, begitu kompleksnya persoalan nilai, maka pembahasan hanya dibatasi hanya pada pembahasan etika saja. Menurut Bartens (2001, hal. 6) ada tiga jenis makna etika, yaitu:
1. Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
3. Etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan yang buruk (filsafat moral).
Dalam bidang pendidikan, ketiga pengertian di atas menjadi materi bahasannya, oleh karena itu bukan hanya nilai moral individu yang dikaji, tetapi juga membahas kode-kode etik yang menjadi patokan individu dalam kehidupan sosisalnya, yang tentu saja karena manusia adalah makhluk sosial.
Nilai Moral di Antara Pandangan Objektif dan Subjektif Manusia
Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika maupun estetika. Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya. Kedua, memandang nilai sebagai sesuatu yang subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya.
Dua kategori nilai itu subjektif atau objektif:
Pertama, apakah objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau kita mendambakannya karena objek itu memiliki nilai
Kedua, apakah hasrat, kenikmatan, perhatian yang memberikan nilai pada objek, atau kita mengalami preferensi karena kenyataan bahwa objek tersebut memiliki nilai mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita (Frondizi, 2001, hlm. 19-24).
Nilai di Antara Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder
Kualitas primer yaitu kualitas dasar yang tanpanya objek tidak dapat menjadi ada, sama seperi kebutuhan primer yang harus ada sebagai syarat hidup manusia, sedangkan kualitas sekunder merupakan kualitas yang dapat ditangkap oleh pancaindera seperti warna, rasa, bau, dan sebagainya, jadi kualitas sekunder seperti halnya kualitas sampingan yang memberikan nilai lebih terhadap sesuatu yang dijadikan objek penilaian kualitasnya.
Perbedaan antara kedua kualitas ini adalah pada keniscayaannya, kualitas primer harus ada dan tidak bisa ditawar lagi, sedangkan kualitas sekunder bagian eksistesi objek tetapi kehadirannya tergantung subjek penilai. Nilai bukan kualitas primer maupun sekunder sebab nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek. Nilai bukan sebuah keniscayaan bagi esensi objek. Nilai bukan benda atau unsur benda, melainkan sifat, kualitas, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”. Nilai milik semua objek, nilai tidaklah independen yakni tidak memiliki kesubstantifan.
Metode Menemukan dan Hierarki Nilai dalam Pendidikan
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil sebuah keputusan, nilai memiliki polaritas dan hierarki, yaitu:
1. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai (polaritas) seperti baik dan buruk, keindahan dan kejelekan.
2. Nilai tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki urutan pentingnya.
Ada beberapa klasifikasi nilai yaitu klasifikasi nilai yang didasarkan atas pengakuan, objek yang dipermasalahkan, keuntungan yang diperoleh, tujuan yang akan dicapai, hubungan antara pengembangan nilai dengan keuntungan, dan hubungan yang dihasilkan nilai itu sendiri dengan hal lain yang lebih baik. Sedangkan Max Scheller berpendapat bahwa hierarki terdiri dari, nilai kenikmatan, kehidupan, kejiwaan, dan nilai kerohanian. Dan masih banyak lagi klasifikasi lainnya dari para pakar, namun adapula pembagian hierarki di Indonesia (khususnya pada masa dekade Penataran P4), yakni, nilai dasar, nilai instrumental, dan yang terakhir nilai praksis.
Pengertian Nilai
Walaupun begitu banyaknya pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap pakar pada dasarnya upaya memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang “relatif belum tersentuh” oleh pemikir lain.
Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewney yakni, Value Is Object Of Social Interest, karena ia melihat nilai dari sudut kepentingannya.
Makna Nilai bagi Manusia
Nilai itu penting bagi manusia, apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan.
Setiap individu harus memahami nilai dan kebernilaian dirinya, sehingga dia akan menempatkan diri secara bijak dalam pergaulan hidup serta akan mengakui dan bijak terhadap keberadaan nilai dan kebernilaian orang lain dalam pergaulan masyarakat. Yang penting dalam upaya pendididikan, keyakinan individu pada nilai harus menyentuh sampai hierarki nilai tertinggi, sebab seperti yang diungkapkan oleh sheller, bahwa :
1. Nilai yang tertinggi menghasilkan kepuasan yang lebih mendalam
2. Kepuasan jangan dikacaukan dengan kenikmatan (meskipun kenikmatan merupakan hail kepuasan)
3. Semakin kurang kerelatifan nilai, semakin tinggi keberadaannya, nilai tertinggi dari semua nialai adalah nilai mutlak. (Fondizi, 2001, hlm. 129- 130.)
B. Problematika Pembinaan Nilai Moral
Pengaruh Kehidupan Keluarga dalam Pembinaan Nilai Moral
Persoalan merosotnya intensitas interaksi dalam keluarga, serta terputusnya komunikasi yang harmonis antara orang tua dengan anak, mengakibatkan merosotnya fungsi keluarga dalam pembinaan nilai moral anak. Keluarga bisa jadi tidak lagi menjadi tempat untuk memperjelas nilai yang harus dipegang bahkan sebaliknya menambah kebingungan nilai bagi si anak.
Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Pembinaan Nilai Moral
Setiap orang yang menjadi teman anak akan menampilkan kebiasaan yang dimilikinya, pengaruh pertemanan ini akan berdampak positif jika isu dan kebiasaan teman itu positif juga, sebaliknya akan berpengaruh negatif jika sikap dan tabiat yang ditampikan memang buruk, jadi diperlukan pula pendampingan orang tua dalam tindakan anak-anaknya, terutama bagi para orang tua yang memiliki anak yang masih di bawah umur.
Pengaruh Figur Otoritas Terhadap Perkembangan Nilai Moral Individu
Orang dewasa mempunyai pemikiran bahwa fungsi utama dalam menjalin hubungan dengan anak-anak adalah memberi tahu sesuatu kepada mereka: memberi tahu apa yang harus mereka lakukan, kapan waktu yang tepat untuk melakukannya, di mana harus dilakukan, seberapa sering harus melakukan, dan juga kapan harus mengakhirinya. Itulah sebabnya seorang figur otoritas (bisa juga seorang public figure) sangat berpengaruh dalam perkembangan nilai moral.
Dengan kata lain, orang tua belum meyakini bahwa anak- anak telah menjadi ”manusia”. Anak- anak diharuskan mengikuti anjuran yang disarankan. Mereka juga harus mmengikuti harapan atau aspirasi yang dimiliki orang tua. Masih ada kecenderungan untuk menganggap bahwa keyakinan orang dewasa harus tetap dipertahankan, anak harus memiliki keyakinan seperti keyakinanannya. Dengan demikian orang dewasa tidak berupaya mengurangi kebingungan nilai anak bahkan sebaliknya menambah jumlah pilihan nilai yang menimbulkan tingginya tingkat kebingungan dan ketidakjelasan bagi anak.
Pengaruh Media Komunikasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Setiap orang berharap pentingnya memerhatikan perkembangan nilai anak-anak. Oleh karena itu dalam media komunikasi mutakhir tentu akan mengembangkan suatu pandangan hidup yang terfokus sehingga memberikan stabilitas nilai pada anak. Namun ketika anak dipenuhi oleh kebingungan nilai, maka institusi pendidikan perlu mengupayakan jalan keluar bagi peserta didiknya dengan pendekatan klarifikasi nilai.
Ada kecenderungan lain, bila anak dihadapkan pada berbagai kemungkinan, maka dia akan kehilangan ga2,54 cm2,54 cmgasan akhirnya dia akan kebingungan. Sangat mungkin bahwa kontribusi terbesar media- media akan membiasakana pemahaman yang tengah tumbuh pada anak- anak seputar mana yang betul dan mana yang salah, mana yang benar dan mana yang palsu, mana yang bagus dan mana yang jelek, mana yang adil dan mana yang timpang, mana yang bermoral dan mana yang tidak bermoral.
Pengaruh Otak atau Berpikir Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Pendidikan tentang nilai moral yang menggunakan pendekatan berpikir dan lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk mengklarifikasi nilai moral sangat dimungkinkan bila melihat eratnya hubungan antara berpikir dengan nilai itu sendiri, meskipun diakui bahwa ada pendekatan lain dalam pendidikan nilai yang memiliki orientasi yang berbeda.
Berpikir adalah hasil kerja otak, namun otak tidak bekerja secara sederhana dalam pengertian stimulus respon, dan juga tidak menyimpan ” fakta ” secara sederhana sebagai referensi masa depan. Berdasarkan hasil penelitian Gazzaniga ” Otak kita adalah suatu organ yang sangat mengagumkan untuk menemukan dan menciptakan makna. Dalam keadaadn terjaga maupun tertidur, otak kita tetap berusaha membuat pengalaman lahir (outer) dan pengalaman bathin (inner). Atas dasar itu semua orang adalah pencari dan pencipta makna, dan makna- makna yang kita ciptakan menentukan bagaimana cara kita berprilaku.
Pengaruh Informasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Munculnya berbagai informasi, apalagi bila informasi itu sama kuatnya maka akan mempengaruhi disonansi kognitif yang sama, misalnya saja pengaruh tuntutan teman sebaya dengan tuntutan aturan keluarga dan aturan agama akan menjadi konflik internal pada individu yang akhirnya akan menimbulkan kebingungan nilai bagi individu tersebut.
Informasi baru yang dihasilkan, (yang dapat mengubah keyakinan, sikap dan nilai ) sangat tergantung pada faktor- faktor sebagai berikut :
a) Bagaimana informasi itu diperkenalkan (proses input)
b) Oleh siapa informasi itu disampaikan (hal ini berhubungan dengan kredibilitas si pembawa informasi)
c) Dalam kondisi yang bagaimana informasi itu disampaikan atau diterima
d) Sejauh mana tingkat disonansi kognitif yang terjadi akibat informasi baru tersebut ( yaitu tingkat dan sifat konplik yang terjadi dengan keyakinan yang telah ada)
e) Level penerimaan individu yaitu motivasi individu untuk berubah
f) Level kesiapan individu untuk menerima informasi baru serta mengubah tingkah lakunya (tahap kematangan individu serta kekayaan pengalaman masa lalunya)
(Kama, 2000, hlm. 19)
C. Manusia Dan Hukum
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium/ pemeo yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang bernama: m a s y a r a k a t. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur(kekuasaan).
D. Hubungan Hukum Dan Moral
Hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral dan perundang-undangan yang immoral harus diganti.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dengan moral.
K. Bertens menyatakan ada setidaknya empat perbedaan antara hukum dan moral, pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas (hukum lebih dibukukan daripada moral), kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap bathin seseorang, ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas, keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara sedangkan moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat.
Sedangkan gunawan setiardja, membedakan hukum dan moral, pertama , dilihat dari dasarnya, hukum memliki dasar yurudis, konsensus, dan hukum alam, sedangkan moral berdasarkan hukum alam, kedua, dilihat dari otonominya , hukum bersipat heteronom yaitu datang dari luar diri manusia, sedangkan moral bersipat otonom yaitu datang dari diri sendiri, ketiga dilihat dari pelaksanaan, hukum secara lahiriah dapat dipaksakan, sedangkan moral berdasarkan lahiriah dan terutama bathiniah tidak dapat dipaksakan, keempat, dilihat dari sanksinya, sanksi hikum bersifat yuridis sanksi lahiriah, sedangkan sanksi moral bersifat kodrati, batiniah, menyesal, malu tehadap diri sendiri. Kelima, dilihatdari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia, keenam, dilihat dari waktu dan tempat, hikum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu.
Minggu, 18 Oktober 2009
Keluh Kesah
KH. Abdullah Gymnastiar
Hidup di kota besar semacam Jakarta atau Bandung membutuhkan kekuatan iman dan kekuatan mental. Macet di perjalanan dalam waktu-waktu tertentu adalah suatu permasalahan yang kadangkala sering kita hadapi. Tak heran bila untuk sebuah perjalanan, kalau kita tidak memakai strategi yang bagus, tidak memakai perencanaan yang matang, maka kemacetan akan benar-benar mencuri waktu begitu lama. Terkadang bisa berjam-jam di jalan. Kalau saja tidak berusaha untuk bening hati, sepertinya sepanjang jalan yang terjadi hanya dongkol dan marah-marah. "Aduh , kapan sampainya! Aduh, kok ini lama banget! Aduh, kok macet terus!" Mungkin ungkapannya seperti itu. Aduh dan aduh.
Padahal kata-kata aduh, kalau hanya tanda keluh kesah, sebetulnya tidak menyelesaikan masalah. Justru kata-kata yang terlontar itu menunjukkan ketidaksabaran kita. Apalagi tiba-tiba di pinggir jalan ada kendaraan lain berhenti seenaknya. Kita boleh kecewa dan melihat ini sebagai sesuatu yang harus diperbaiki. Tetapi, tidak berarti kita harus sengsara dengan marah-marah atau berkeluh kesah. Mata terbeliak dan mulut kadang berucap "Minggir, dong!" Mungkin inginnya menghardik seperti itu. Tetapi, alangkah lebih baiknya jika kita menyapa dengan kata yang lemah lembut, "Maaf, Pak! Boleh agak ke pinggir sedikit!" Ungkapan seperti ini nampaknya akan lebih ringan ke dalam hati, dari pada melotot dengan menggunakan otot.
Boleh jadi kalau sudah banyak kedongkolan, selain akan banyak berkeluh kesah, juga akan menjadikan diri lebih emosional. Ini yang paling merugikan. Bagi kita maupun orang lain. Kita harus mengukur kehilangan waktu dalam beberapa menit atau beberapa jam, padahal waktu tersebut sebenarnya dapat menjadi tambahan ilmu dan kemampuan diri kita. Ada baiknya, selama perjalanan lengkapi diri dengan sumber-sumber ilmu, baik berupa kaset ceramah, nasyid, atau kaset murotal Qur’an. Sumber-sumber ini akan menambah percepatan keilmuan kita, disamping akan membuat kita tidak tergoda untuk ber-aduh ria. "Aduh, terlambat nih! Aduh, sialan kamu! Aduh, ada yang ketinggalan nih!" Kata-kata seperti ini sebetulnya tidak perlu dikeluarkan! Karena tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik kita isi dengan do’a : "Ya Allah, semoga saya datang tepat waktu, semoga ada jalan keluar dari kemacetan ini". Kata-kata ini akan lebih produktif dibandingkan dengan kata "aduh".
Marilah kita meminimalisirkan keluh-kesah seperti ini. Apalagi bagi kita pun ada kenikmatan tersendiri bila kita bicara lebih santun. Kesantunan akan membuat batin kita lebih ringan dari pada berperilaku emosional. Lebih dari itu, kelembutan akan mampu menaklukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan kekerasan. Itu sudah bagian dari rumusnya. Karena, kalau orang-orang keras dilawan dengan kekerasan, maka itu akan merasa bagian dari dunianya. Tapi, kalau orang-orang yang bertemperamen keras itu diberi kelembutan yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam, Isya Allah mereka akan terbawa lembut juga. Contohnya, orang sekeras Umar bin Khattab atau Khalid bin Walid bisa jatuh tersengkur menagis oleh lembutnya alunan Al-Qur’an.
Berkeluh kesah seringkali membuat kita terdramatisasi oleh masalah. Seakan-akan rencana dan keinginan kita lebih baik daripada yang terjadi. Padahal, belum tentu. Siapa tahu, di balik kejadian yang mengecewakan menurut kita, ternyata sarat dengan perlindungan Allah dan sarat dengan terkabulnya harapan-harapan kita. Tiap melakukan kekeliruan, kita ditolong Allah dengan memberikan tuntunan-Nya. Tuntunan itu tidak harus dengan terkabulnya keinginan yang kita mohonkan. Bisa jadi terkabulnya do’a itu bertolak belakang dengan yang kita minta. Karena Allah Mahatahu di balik apapun keinginan kita. Baik keinginan jangka pendek, maupun keinginan jangka panjang. Baik kerugian duniawi maupun kerugian ukhrawi. Baik kerugian secara materi maupun secara kerugian mental. Kita tidak bisa mendeteksi secara cermat. Kadang-kadang kita hanya mendeteksinya sesuai dengan keperluan hawa nafsu kita.
Kelihatannya sepele mengaduh ini. Tetapi, itu akan menjadi kualifikasi pengendalian diri kita. Ketahuilah bahwa kualitas seseorang itu tidak diukur dengan sesuatu yang besar-besar, tetapi oleh yang kecil-kecil. Kalau kita ingin melihat kompleks perumahan yang berkualitas, maka kita lihat saja panjang pendek rumput di halamannya. Kalau berkualitas dan terawat dengan baik, maka rumputnya pun akan nampak terawat dengan baik. Marilah kita respon setiap kejadian demi kejadian dengan respon lisan yang positif. Mengapa? Karena setiap respon akan mempengaruhi persepsi kita terhadap masalah yang kita hadapi dan cara kita menyelesaikannya. Lebih dari itu akan berdampak pula kepada orang-orang di sekitar kita. Jadi, sapaan-sapaan, teguran-teguran, komentar-komentar, celetukan-celetukan ini harus benar-benar bernilai produktif. Tidak hanya berarti bagi diri kita, tetapi juga bagi orang di sekitar kita.
Apalagi keluh kesah termasuk penyakit hati, yaitu bentuk ketidaksabaran kita dalam menerima ketentuan dari Allah. Ada hadits qudsi yang menyatakan bahwa "Barang siapa yang tidak ridha terhadap ketentuan-Ku, dan tidak sabar atas musibah dari-Ku, maka carilah Tuhan selain Aku." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits qudsi ini, nampaklah bahwa segala apapun yang Allah karuniakan kepada kita, maka kita harus menerimanya dengan ridha. Oleh karenanya, kita tidak perlu banyak mengaduh atau berkeluh kesah. Sedapat mungkin kurangi aduh-mengaduh ini. Jauh akan lebih produktif jikalau kita optimalkan waktu dengan banyak berdo’a dan menambah kualitas keilmuan diri serta terus menyempurnakan ikhtiar di jalan Allah yang diridhai.
Sumber : http://www.facebook.com/group.php?gid=152606826624
Hidup di kota besar semacam Jakarta atau Bandung membutuhkan kekuatan iman dan kekuatan mental. Macet di perjalanan dalam waktu-waktu tertentu adalah suatu permasalahan yang kadangkala sering kita hadapi. Tak heran bila untuk sebuah perjalanan, kalau kita tidak memakai strategi yang bagus, tidak memakai perencanaan yang matang, maka kemacetan akan benar-benar mencuri waktu begitu lama. Terkadang bisa berjam-jam di jalan. Kalau saja tidak berusaha untuk bening hati, sepertinya sepanjang jalan yang terjadi hanya dongkol dan marah-marah. "Aduh , kapan sampainya! Aduh, kok ini lama banget! Aduh, kok macet terus!" Mungkin ungkapannya seperti itu. Aduh dan aduh.
Padahal kata-kata aduh, kalau hanya tanda keluh kesah, sebetulnya tidak menyelesaikan masalah. Justru kata-kata yang terlontar itu menunjukkan ketidaksabaran kita. Apalagi tiba-tiba di pinggir jalan ada kendaraan lain berhenti seenaknya. Kita boleh kecewa dan melihat ini sebagai sesuatu yang harus diperbaiki. Tetapi, tidak berarti kita harus sengsara dengan marah-marah atau berkeluh kesah. Mata terbeliak dan mulut kadang berucap "Minggir, dong!" Mungkin inginnya menghardik seperti itu. Tetapi, alangkah lebih baiknya jika kita menyapa dengan kata yang lemah lembut, "Maaf, Pak! Boleh agak ke pinggir sedikit!" Ungkapan seperti ini nampaknya akan lebih ringan ke dalam hati, dari pada melotot dengan menggunakan otot.
Boleh jadi kalau sudah banyak kedongkolan, selain akan banyak berkeluh kesah, juga akan menjadikan diri lebih emosional. Ini yang paling merugikan. Bagi kita maupun orang lain. Kita harus mengukur kehilangan waktu dalam beberapa menit atau beberapa jam, padahal waktu tersebut sebenarnya dapat menjadi tambahan ilmu dan kemampuan diri kita. Ada baiknya, selama perjalanan lengkapi diri dengan sumber-sumber ilmu, baik berupa kaset ceramah, nasyid, atau kaset murotal Qur’an. Sumber-sumber ini akan menambah percepatan keilmuan kita, disamping akan membuat kita tidak tergoda untuk ber-aduh ria. "Aduh, terlambat nih! Aduh, sialan kamu! Aduh, ada yang ketinggalan nih!" Kata-kata seperti ini sebetulnya tidak perlu dikeluarkan! Karena tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik kita isi dengan do’a : "Ya Allah, semoga saya datang tepat waktu, semoga ada jalan keluar dari kemacetan ini". Kata-kata ini akan lebih produktif dibandingkan dengan kata "aduh".
Marilah kita meminimalisirkan keluh-kesah seperti ini. Apalagi bagi kita pun ada kenikmatan tersendiri bila kita bicara lebih santun. Kesantunan akan membuat batin kita lebih ringan dari pada berperilaku emosional. Lebih dari itu, kelembutan akan mampu menaklukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan kekerasan. Itu sudah bagian dari rumusnya. Karena, kalau orang-orang keras dilawan dengan kekerasan, maka itu akan merasa bagian dari dunianya. Tapi, kalau orang-orang yang bertemperamen keras itu diberi kelembutan yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam, Isya Allah mereka akan terbawa lembut juga. Contohnya, orang sekeras Umar bin Khattab atau Khalid bin Walid bisa jatuh tersengkur menagis oleh lembutnya alunan Al-Qur’an.
Berkeluh kesah seringkali membuat kita terdramatisasi oleh masalah. Seakan-akan rencana dan keinginan kita lebih baik daripada yang terjadi. Padahal, belum tentu. Siapa tahu, di balik kejadian yang mengecewakan menurut kita, ternyata sarat dengan perlindungan Allah dan sarat dengan terkabulnya harapan-harapan kita. Tiap melakukan kekeliruan, kita ditolong Allah dengan memberikan tuntunan-Nya. Tuntunan itu tidak harus dengan terkabulnya keinginan yang kita mohonkan. Bisa jadi terkabulnya do’a itu bertolak belakang dengan yang kita minta. Karena Allah Mahatahu di balik apapun keinginan kita. Baik keinginan jangka pendek, maupun keinginan jangka panjang. Baik kerugian duniawi maupun kerugian ukhrawi. Baik kerugian secara materi maupun secara kerugian mental. Kita tidak bisa mendeteksi secara cermat. Kadang-kadang kita hanya mendeteksinya sesuai dengan keperluan hawa nafsu kita.
Kelihatannya sepele mengaduh ini. Tetapi, itu akan menjadi kualifikasi pengendalian diri kita. Ketahuilah bahwa kualitas seseorang itu tidak diukur dengan sesuatu yang besar-besar, tetapi oleh yang kecil-kecil. Kalau kita ingin melihat kompleks perumahan yang berkualitas, maka kita lihat saja panjang pendek rumput di halamannya. Kalau berkualitas dan terawat dengan baik, maka rumputnya pun akan nampak terawat dengan baik. Marilah kita respon setiap kejadian demi kejadian dengan respon lisan yang positif. Mengapa? Karena setiap respon akan mempengaruhi persepsi kita terhadap masalah yang kita hadapi dan cara kita menyelesaikannya. Lebih dari itu akan berdampak pula kepada orang-orang di sekitar kita. Jadi, sapaan-sapaan, teguran-teguran, komentar-komentar, celetukan-celetukan ini harus benar-benar bernilai produktif. Tidak hanya berarti bagi diri kita, tetapi juga bagi orang di sekitar kita.
Apalagi keluh kesah termasuk penyakit hati, yaitu bentuk ketidaksabaran kita dalam menerima ketentuan dari Allah. Ada hadits qudsi yang menyatakan bahwa "Barang siapa yang tidak ridha terhadap ketentuan-Ku, dan tidak sabar atas musibah dari-Ku, maka carilah Tuhan selain Aku." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits qudsi ini, nampaklah bahwa segala apapun yang Allah karuniakan kepada kita, maka kita harus menerimanya dengan ridha. Oleh karenanya, kita tidak perlu banyak mengaduh atau berkeluh kesah. Sedapat mungkin kurangi aduh-mengaduh ini. Jauh akan lebih produktif jikalau kita optimalkan waktu dengan banyak berdo’a dan menambah kualitas keilmuan diri serta terus menyempurnakan ikhtiar di jalan Allah yang diridhai.
Sumber : http://www.facebook.com/group.php?gid=152606826624