Full width home advertisement

Perjalanan Umroh & Haji

Explore Nusantara

Jelajah Dunia

Post Page Advertisement [Top]

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Para imam Mujtahid seperti imam Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup di kenal di Indonesia oleh sebagian besar ummat Islam. Menganut suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya mentup pintu rapat- rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran- pemikiran yang ada pada mazhab yang lain yang juga bersumber dari dalil Al-quran dan Sunnah Rosulullah SAW. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak fanatik kepada satu mazhab.
Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada satu mazhab, sekurang- kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya. Berikut ini akan dijelaskan tokoh Mazhab Hanafi secara komprehensif oleh pemakalah.


B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Imam Abu Hanifah?
2. Apa Sajakah karya- karya besar yang pernah ditinggalkan Imam Abu Hanifah?
3. Siapa Sajakah Murid- murid/ para pendukung Imam Abu Hanifah?
4. Bagaimana Pola pemikiran, metode Istidlal serta faktor- faktor yang mempengaruhi Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum?
5. Bagaimana perkembangan dan penyebaran Mazhab Hanafi?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Abu Hanifah (80H- 150H)
Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauth bin Mah, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (berasal dari bahasa Arab Haniif: condong atau cenderung kepada yang benar) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. dan mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufah akibat pertikaian politik yang mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia.Menurut riwayat lain pula, beliau diberi gelar Abu hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta, hanifah menurut bahasa irak adalah tinta.
Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri.
Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i ” Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh “. karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut.
Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut, karena Abu Hanifah hendak menjahui harta dan kedudukan dari raja, maka beliau ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang.

B. Karya- Karya besar Imam Abu Hanifah
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi antara lain sebagai berikut :Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Wa a’lmuta’lim, dan Musnad Fiqh Akhbar, sebuah majalah ringkasan yang terkenal. Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit Of Islam, karya-karya imam Abu Hanifah baik mengenai fatwa- fatwanya maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada masa beliau masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal buah pemikirannnya dikodifikasikan oleh para murid-muridnya dan para ppengikutnyasehingga menjadi madzhab ahli ra’yu yang hidup dan berkembang, madrasah ini kemudian dikenal dengan madrasah Hanafi dan madrasah Ahli Ra’yu.

C. Para Pendukung/murid Imam Abu Hanifah
Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok, Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani, Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi, Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf, dan lain-lain.
Dari sekian banyak murid beliau yang paling banyak menyusun buah pikiran dan Berjasa di madrasah Kufah dan membukukan fatwa-fatwanya imam Abu Hanifah adalah Muhammad al-syaibani yang terkenal dengan kutub as-sittah (enam kitab), yaitu :
1. Kitab al-Mabsuth
2. Kitab al-Ziyadat
3. Kitab al-jami’ as-shagir
4. Kitab jami’ al-kabir
5. Kitab al-sair al-shagir
6. Kitab al-sair al-kabir
Disamping itu muridnya, yang bernama Abu Yusuf yang menjadi Qadhy al-Qudhat di jaman khalifah Harun Ar-rasyid, menulis kitab “al- kharaj” yang membahas tentang hokum yang berhubungan dengan pajak tanah.

D. Pola pemikiran, metode Istidlal serta faktor- faktor yang mempengaruhi Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum
Abu Haniifah hidup selam 52 tahun pada masa dinasti umayyah dan 18 tahun pada masa dinasti Abbasiyyah. Alih kekuasaan dari bani umayyah yang runtuh kepada bani Abbasiyah yang naik tahta, terjadi di kufah sebagai ibu kota Abbasiyah sebelum pindah ke Baghdad. Kemudian Baghdad di bangun oleh khalifahkedua bani Abbasiyah, Abu ja’far al-mansyur (754-775 M), sebagai ibu kota kerajaan pada tahun 762 M.
Dari perjalanan hidupnya ituu, Abu hanifah sempat menyaksikan tragedi- tragedi besar di Kufah. Disatu sisi kota kufah member makna dalam kehidupannya sehingga menjadi salah seorang ulama besar dan al-imam al-A’zham. Di sisi lain ia merasakan kota kufah sebaga kota terror yang di warnai dengan pertentangan politik. Oleh karena itu pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hokum, sudah tentu sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan serta pendidikannya, dan jugatidak terlepas dari sumber hokum yang ada.
Abu hanifah dikenal sebagai ulama ahlu ra’yi. Dalam menetapkan hokum islam, baik yang di istimbatkan dari Al-quran maupun hadist, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra’yi dari khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan hokum dengan jalan qiyas dan istihsan.
Adapun metode Istidlal, imam Abu hanifah dapat di pahami dari ucapan beliau sendiri, “sesungguhnya saya mengambil kitab suci Al-quran dalam menetapkan hokum, apabila tidak didapatkan dalam Al-quran, maka saya mengambil sunah rosul Saw. Yang sahih dan tersiar dikalangan orang-orang terpercaya. Apabila saya tidak menemukan dari keduanya, maka saya mengambil pendapat orang- orang yang terpercaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim Al-sya’by, Hasan Ibnu Syirin dan Sai’d Ibn Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimna mereka berijtihad.”.
Dalam kesempatan lain Abu Hanifah berkata,”pertama-tama saya mengambil dasar hokum dalam Al-quran,kalau tidak ada, sayacari dalam sunnah nabi, kalau juga tidak ada, saya pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan saya pilih mana yang saya anggap kuat….Kalau orang melakukan ijtihad, saya pun melakukan ijtihad.”
Abu hanifah tidak bersifat fanatic terhadap pendapatnya, ia selalu mengatakan,”Inilah pendapat saya dan kalua ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih kuat.”. pernah ada orang yang berjkata kepadanya,”Apakah yang engkau fatwakan itu benar, tidak diragukan lagi?” ia menjawab,”Demi Allah, boleh jadi ia adalah fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi”.
Dari keterangan diatas, Nampak bahwa imam Abu hanifah dalam beristidlal ataumenetapkan hokum syara yang tidak di tetapkan dalalahnya secara qati’y dari Al-quran atau hadist yang diragukan keshahihannya, ia selalu mengghunakan ra’yu. Ia sangat selektif dalam menerima hadis. Imam Abu hanifah memperhatikan muamalat manusia, data istiadat serta urf mereka. Beliau berpegang kepada qiyas dan apabila tidak bias ditetapkan berdasarjkan qiyas, beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak, maka beliuau berpegang kepada adat dan urf.
Dalam menetapkan hokum, imam Abu hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hokum di kufah, yang terletak jauh dari madinahsebagai kota tempat tinggal nabi Muhammad Saw yang banyak mengetahui hadis. Di kufah kurang perbendaharaan hadist. Disamping itu, kufah sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan persi, kondisi kemasyaraatannya telah mencapai tingkat peradaban yang cukup tinggi. Oleh karena itu banyak muncul problem kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya, karena problem itu belum pernah terjadi padazaman nabi, atau jaman sahabat dan tabi’in, maka untuk menghadapinya memerlukan ijtihad atau ra’yu. Hal inilah perbedaan perkembangan pemikiran hukum di kufah (irak) dengan di madinah (Hijaz). Ulama di madinah banyak memakai sunnah dalammenyelesaikan permasallahan yang muncul dalam masyarakat, sedangkan di kufah sunnah hanya sedikit yang diketahui disamping banyak terjadi pemalsuan hadist, sehingga Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadits dank arena itu maka untuk menyelesaikan masalah actual, beliau banyak menggunakan ra’yu.
Menurut Subhy Mahmasany, pengetahuan Abu Hanifah yang mendalam dibidang ilmu hukum (fiqih) dan profesinya sebagai saudaga, memberi peluang baginya untuk memperlihatkan hubungan- hubungan hukum secara praktis. Kedua factor inilah yang menyebabkan keahliannya sangat luas dalam menguasai pendapat dan logika dalam penerapan hukum syariat dengan qiyas dan istihsan. Karena itulah madzhab hanafi terkenal dengan sebutan mazhab ra’yu.

E. Perkembangan dan penyebaran Mazhab Hanafi
Munculnya madzhab-madzhab itu mulai pada zaman Harun Ar-Rosyid. Ketika beliau menjadi kholifah. Ketika beliau menunjuk Abu Yusuf (murid Abu Hanifah) sebagai qodhi setelah tahun 170 H. Maka kekuasaan kehakiman ada di tangannya. Kemudian Harun Ar-Rosyid tidak menunjuk qodhi di negeri Iraq, Khurosan, Syam dan Mesir sampai di Afrika kecuali orang yang dipilih oleh Abu Yusuf!
Dia tidak menunjuk melainkan pengikut Abu Yusuf dan dan orang-orang yang menisbatkan pada madzhabnya yang baru, yaitu madzhab hanafi. Orang-orang awam dipaksa untuk mengambil hukum dengan mereka dan mengambil fatwa mereka. Sampai tersebar madzhab hanafi di negeri ini.
Abu hanifah meninggalkan karya- karya besar yaitu Fiqh Akbar, Al-alim wa al-mutalim dan musnad fiqh akbar tetapi belum di kodifikasikan. Disamping itu mendirikan membentuk badan-badan yang terdiri dari tokoh- tokoh cendekiawan yang ia sendiri sebagai ketuanya, badan ini berfungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran islam dalam berbagai tulisan dan mengalihkan syariat islam kedalam undang-undang.
Madzhab hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengfan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
Para pengikut imam hanafi tersebar di berbagai Negara seperti Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunisia, Turkistan, Syria, Mesir,dan Libanon. Mazdhab hanafi pada masa khalifah bani Abbasiyah merupakan mazhab yang banyak dianut oleh umat islam dan pada masa pemerintahan utsmani, mazhab ini merupakan mazdhab resmi Negara. Sekarang penganut mazdhab ini tetap termasuk golongan mayoritas di samping madzhab Syafi’i.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lengkapnya, nama Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Zutha, lahir pada tahun 80 H di kota Kufah dan meniggal tahun 150 H (tahun lahirnya Imam Syafi’i). Ketika beliau lahir umat Islam berada dibawah kekhalifahan Bani Umayyah. Di waktu muda beliau juga merasakan keadilan khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan hidup beliau terus berlanjut ketika Bani Umayyah jatuh dan digantikan oleh Bani Abbasiyah. Jadi bisa dikatakan bahwa beliau sangat mengetahui tentang polemik, kemajuan dan kemunduran kekhalifahan Bani Umayyah. Sedangkan ketika beliau wafat umat Islam berada dibawah kekhalifahan al-Manshur dari Bani Abbasiyah
Metode yang dipakai Mazdhab Hanafi jika kita rincikan maka ada sekitar 6Ushul Istinbath antara lain: al-Qur’an; Sunnah, Perkataan Shahabat, Qiyas, Istihsan dan ‘Urf (Adat).
Diantara poin penting yang menjadikan penyebaran Mahzab ini ke banyak negeri adalah: Banyaknya murid Abu Hanifah dan perhatian mereka dalam menyebarkan dan menjelaskan pendapat-pendapat Imam mereka, Mazhab Hanafi dijadikan sebagai mazhab resmi negara semasa kekuasaan Abbasiyah, Pengangkatan Imam Abu Yusuf sebagai Qadhi al-Qudhah (hakim tertinggi) yang memiliki kekuatan dalam memilih qudhahi (hakim-hakim) di daerah-daerah, dan para hakim tersebut selalu memakai pendapat Imam Abu Yusuf dalam memutuskan perkara-perkara dan Perhatian besar ulama-ulama Mazhab ini dalam percepatan pertumbuhan Mazhab Hanafi dengan mencurahkan kemampuan mereka dalam mencari ilat hukum dan sekaligus mempraktekkannya dalam banyak masalah-masalah baru yang timbul.Hal ini menjadikan Mazhab ini selalu memiliki solusi-solusi dalam setiap permasalahan.

B. Saran
Tulisan ini sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena itu sudikiranya pembaca memberikan/menuangkan kritik serta sarannya agar pemakalah dalam pembuatan makalah selanjutnya lebih baik lagi. Semoga tulisan ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua mahasiswa yang ikut kuliah Pengantar Perbendinagan Mazdhab pada kesempatan yang baik kali ini. अमिएं



DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali, perbandingan mazhab, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. Iv, 2002

Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar perbandingan mazhab, jakarta : logos, cet. iii, 2003

http://idrusali85.wordpress.com/2007/09/28/sejarah-singkat-imam-hanafi/

http://ragab304.wordpress.com/2009/02/13/mazhab-hanafi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| All Rights Reserved - Designed by Colorlib