1. Fasakh menurut Zuhaili, dilaksanakan setelah dipenuhinya
beberapa syarat berikut
a. Pihak yang menuntut fasakh (berpisah) tidak mengetahui adanya
cacat ketika waktu akad. Jika penuntut mengetahuinya ketika akad, akan tetapi
akad nikah tetap dialngsungkan, amak tidak ada hak untuk menerima akad
tersebut, padahal ia mengetahui aib yanga pada orang yang ia tuntut, berarti ia
telah rela terhadap adanya cacat tersebut.
b. Setelah akad salah satu dari suami istri tidak rela dengan
adanya cacat pada pasangannya. Oleh karena itu, jika salah satu dari keduanya
tidak mengetahui akan adanya cacat, kemudian setelah ditetapkannya akad
pernikahan ia mengetahuinya, namun ia dengan ikhlas merelakannya, maka gugurlah
haknya untuk menuntut fasakh.[1]
2.
Prosedur pelaksanaan fasakh dapat
memerlukan keputusan hakim adalah.
a. Ketetapan hokum fasakh yang memerlukan keputusan hakim adalah.
1)
Permintaan fasakh karena tidakada kafa'ah
antara suami istri.
2)
Permintaan fasakh karena kurangnya
jumalh mahar dari jumlah biasanya dalam keluarga (mahar misil).
3)
Permintaan fasakh karena salah
seorang suami istri telah memeluk Islam. Sementara yang lain menolak masuk Islam.
4)
Permintaan fasakh karena khiyar
balig.
5)
Permintaan fasakh karena khiyar
pada saat setelah sembuh kembali dari penyakit gila. Sedangkan ia telah
dinikahkan oleh selain bapak, kakek, dan anak laki-lakinya, pada saat ia gila.[2]
Karena menurut
ijma' ulama, fasakh sebagai tuntutan perpisahan yang disebabkan adanya cacat
harus melalui keputusan hakim dan laporan dari orang yang berpihak pada
kemaslahatan, karena perpisahan tersebut merupakan permasalahan yang memerlukan
ijtihad dan masih dipertentangkan oleh kalangan fuqaha, sehingga membutuhkan keputusan
hakim untuk menghilangkan perbedaan.[3]
Selain itu juga
disebabkan karena pasangan suami istri itu telah berselisih mengenai tuduhan
ada dan tidaknya cacat yang dituduhkan tersebut, dan berselisih mengenai apaakh
kenyataan dari cacat-cacat tersebut dapat menyebabkan fasakh atau tidak.[4] Oleh
karena itu, diperlukan keputusan hakim, untuk menghilsngksn pertentangan, dan
untuk mengembil sikap memnangkan pendapat orang yang mengaku tidak menegtahui
akan adanya cacat itu. Pengakuan seperti ini dibenarkan karena merupakan
cerminan dari hukum asal.
b. Ketetapan hukum fasakh yang tidak memerlukan keputusan hakim
adalah
1) Fasakh karena rusaknya akd secara total ( tidak terpenuhinya
syarat akad), seperti pernikahan tanpa saksi, dan pernikahan karena adanya
hubungan saudara
2) Fasakh karena salah satu dari keduanya ada hubungan ke-jalur
atas dari yang lain atau hubungan jalur di bawahnya yang memiliki konsekuensi
pada hokum haramnya hubungan kemertuaan (Mushaharah).
3) Fasakh karena murtad.
4) Fasakh karena khiyar status kemerdekaan dari status perbudakan,
yaitu pasangan suami istri yang sama-sama budak, kemudian salah naik derajat
menjadi merdeka.
5) Fasakh karena memiliki slah satunya pada yang lain.[5]
Dampak ketergantungan pada keputusan
hakim dan tidaknya akan tampak sekali dalam sebagian hokumnya, seperti
pembagian waris ketika slah satu yang bereperkara meninggal dunia sebelum
adanya keputusan hakim. Apabila perpisahan itu butuj pada keputusan hakim, yang
ditinggalkan berhak mendapat warisan, sebaliknya perpisahan yang tidak
membutuhkan keputusan hakim, maka tidak berhakmendapatkan waris.[6]
[1]
Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit. h. 521 – 522
[2] Ibid.,
h. 355
[3] Ibid.,
h. 520
[4]
Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta; Pustaka
Al-Husna, 1994), Cet. Ke-1, h. 125
[5] Ibid.,
h. 127
[6]
Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit., h. 354
Tidak ada komentar:
Posting Komentar