A.
Pengertian 'Uyub Al-Nikah
Lafat 'uyub merupakan bentuk jama' dan mufrod 'aib. Sedangkan
lafat 'aib sendiri menurut etimologi merupakan bentuk akar kata (masdar)
dari fi'il عاب
- يعيب, yang memiliki arti
bahasa cacat atau cela.[1]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia,
kata cacat memiliki arti kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang
baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin, atau
akhlak).[2]
Sebagaimana dengan lafat fasakh, lafat 'aib pun kemudian oleh para fuqara
dijadikan sebuah istilah yang menunjukan arti tertentu.
'Aib menurut terminologi, Musthafa Syilbi menyatakan, yang
dimaksud 'aib adalah kekurangan pada badan atau pada akalnya salah satu dari
suami isteri yang menyebabkan kehidupan rumah tangga tidak berkembang (tidak
memiliki keturunan) atau kerisauan yang tidak pernah ada ketenangan.[3]
Sedangkan
menurut Ali Hasbillah, 'aib adalah kekurangan pada fisik atau akal pada
salah seorang suami isteri yang menjadi penghalang tercapainya tujuan
pernikahan dan tidak tercapainya kebahagian hidup suami isteri.[4]
Dari beberapa pengertian tersebut, berarti lafat "uyub (bentuk
jama' dari 'aib) memiliki arti beberapa kekurangan (cacat) pada fisik
atau akal pada salah seorang suami isteri yang menjadi penghalang tercapainya
tujuan pernikahan. Dengan demikian, apabila lafat 'uyub disandarkan pada lafat al-nikah,
maka artinya dapat diringkas menjadi beberapa kekurangan (cacat) dalam
perkawinan. Dan yang dimaksud penulis dengan 'uyub al-nikah adalah mencakup di
dalam pembahasannya mengenai kekurangan atau cacat yang ada pada calon pasangan
yang akan menikah maupun yang sedang membina mahligai rumah tangga kemudian
muncul cacat pada pasangan tersebut.
B.
Macam – Macam 'Uyub
Jenis penyakit yang terjadi pada pasangan suami isteri menurut
kategorinya ditetapkan sebagai berikut :[5]
- Tipe cacat dilihat dari segi pengaruhnya terhadap fungsi suami isteri, ada dua macam :
a.
Cacat penghalang fungsi suami
isteri (alat reproduksi)
Jenis
penyakit yang menyebabkan terhalangnya fungsi suami isteri diantaranya adalah al-jabb
yaitu cacat berupa terputusnya kelamin (anggota reproduksi).[6] Al-'unnah
yaitu kelemahan pada penis yang menghalang-halangi kemampuannya untuk
bersetubuh (impotent), kata impotent berasal dari bahasa Inggris yang berarti
tidak berdaya, tak bertenaga, mati pucuk (lamah zakar). Di dalam bahasa Arab
disebut 'unnah dan juga bisa disebut 'inniin yang berarti عنة Lemah syahwat, عنين Yang tak mampu bersetubuh dengan perempuan.[7]
Menurut terminology, Abdul Al-Rahman
Al-Jaziri memperinci 'unnah ini bahwa seseorang yang dikatakan impotent
adalah orang yang tidak sanggup bersenggama dengan isterinya (tepat pada
qubulnya), meskipun kemaluannya itu sudah intisyar (bangun tegak) ketika
ia belum mendekati isterinya. Seseorang yang hanya sanggup bersetubuh dengan
wanita lain, atau hanya sanggup bersenggama dengan perempuan janda, tidak
sanggup dengan perempuan perawan, atau sanggup bersetubuh dengan isterinya,
namun hanya pada duburnya dan tidak sanggup pada kemaluannya, maka orang yang
memiliki salah satu dari beberapa kecenderungan tersebut itulah yang disebut
impotent terhadap isterinya.[8]
Al-Khisha'
yaitu cacat yang berupa kehilangan atau pecahnya buah dzakar.[9] Rataq
(vulva impervia coeunti) yaitu tersembatnya lubang vagina yang
menyebabkan terjadinya kesulitan dalam bersenggama, dalam tinjauan etimologi
bahasa Arab artinya adalah "tersumbat".[10]
Menurut terminologi Al-Mawardi mengatakan
daging yang tumbuh pada kelamin wanita dan menghalangi masuk (penetrasi) nya
penis.[11] Qarn
(vulva anteriore panie ana, soens).[12] Menurut
bahasa adalah "tanduk", menurut terminologi adalah tulang yang
menghalangi rahim, serta menghalangi penetrasinya penis, berupa benjolan tulang
atau daging yang tumbuh pada kelamin wanita dan mirip tanduk domba.[13]
b.
Cacat yang bukan penghalang fungsi
suami isteri (alat reproduksi)
Jenis
penyakit ini tidak menyebabkan terhalangnya fungsi reproduksi namun sangat
menjijikan. Karena salah satu dari suami isteri tidak mungkin dapat mengumpuli
pasangannya kecuali ia sendiri akan mendapatkan bahaya atau kerugian yang lebih
besar. Di antaranya adalah kusta (leprosy) atau menurut etimologi bahasa
Arab disebut juzam, artinya adalah kelemahan yang ada pada anggota tubuh
dan hidung yang bisa menjalar keanggota yang lain, sehingga dapat terjadi
kerontokkan, bahkan terkadang menular pada keturunan dan pada orang yang
mencampurinya.[14]
Sopak (a piebald skin diseace) atau (barash),
artinya munculnya keputih-putihan di kulit yang disertai hilangnya darah kulit
dan berikut dagingnya.[15]
Penyakit ini pun dapat menular pada keturunan dan orang yang mencampurinya.
Oleh sebab itu dapat menyebabkan keengganan dan perasaan jijik bagi orang lain
(pasangan), sehingga tidak dapat memenuhi hasrat hubungan intim.
TBC, gila (al-Junuun), menurut
etimologi bahasa Arab, lafat al-junuun memiliki arti الجنون : زوال العقل kegilaan.[16]
Menurut terminologi artinya hilangnya akal yang menyebabkan tidak dapat
melaksanakan hak.[17]
Baik gila yang ringan maupun gila yang parah, karena gila yang ringan, meskipun
hanya sedikit (sebentar), tetap saja dampaknya dapat menghalang-halangi
penderitanya untuk memenuhi hak pada saat itu. Selain itu gila yang sedikit,
jika dibiarkan bias jadi akan menjadi parah, dan penyakit sypihilis.
- Tipe cacat dilihat dari munculnya penyakit pada pasangan suami siteri terdapat tiga macam :
a.
Jenis
penyakit yang secara khusus terdapat pada jenis kelamin suami, di antaranya
adalah penyakit terpotongnya zakar (al-jahh), impotent ('unnah),[18]
kehilangan atau pecahnya dua biji namun batang penisnya masih ada (al-khusha'),[19] al-I'tiradh (lemah syahwat baik karena
sakit atau karena sudah tua).[20]
b.
Jenis
penyakit yang secara khusus terdapat pada jenis kelamin isteri, di antaranya
adalah rataq (vulva impervia coeunti), tersumbatnya lubang vagina
yang menyebabkan terjadinya kesulitan dalam bersenggama dan qarn (vulva
anteriore pante ana soens), benjolan daging atau tulang yang tumbuh pada
kelamin wanita dan mirip tanduk domba.[21] Bukhur
(bau busuk atau semisal bau yang tidak sedap pada kelamin wanita.[22] Afal
yaitu daging yang tumbuh pada kemaluan wanita yang selalu mengeluarkan cairan.[23] Ada
tiga penafsiran mengenai pengertian al-'afal yaitu 1) menurut Ibn Umar
dan Al-Syaibani al-'afal adalah daging yang melingkar, tumbuh dalam
rahim setelah hilangnya keperawanan. 2) al-'afal adalah bengkaknya
daging yang terdapat dalam farji, dan menyebabkan penyempitan sehingga tidak
bisa dilewati penis. 3) Al-'afal merupakan permulaan rataq
(daging yang menyumbat). Pada penyakit ini mungkin saja suami isteri dapat
melakukan hubungan intim dan mungkin juga tidak sama sekali. Al-Ifdha artinya
terbelahnya pembatas antara tempat masuknya penis dan tempat keluarnya kencing,
sehingga menjadi pecah, namun suami masih dapat melakukan penetrasi.[24] Al-'aftq
(menyatukan jalan keluar mani dan kencing).[25]
c.
Jenis penyakit yang dapat diderita
oleh suami atau oleh isteri, yaitu penyakit kusta (leprosy), sopak
(a piebald skin disease), beser air seni, beser kotoran dari dubur,
penyakit bawasir (bentuk tonjolan seperti bisul), naasur (luka yang
membengkak, tumbuh pada dubur dan mengalir nanah),[26] dan
al-'adzithah (keluarnya hajat dari dubur ketika melakukan persetubuhan).
Yang terjadi pada isteri disebut 'iz-yutah, sedangkan pada suami disebut
'iz-yut.[27]
Maka dari keterangan tersebut jelas bahwa macam-macam penyakit yang
dimaksud adalah 'uyub yang berpengaruh pada alat reproduksi dan yang
mengakibatkan perasaan jijik pada cacat tersebut mengakibatkan enggan pula pada
pasangan yang menderita penyakit tersebut.
[1] A. W. Munawwir, Al-Munawwir,
(Surabaya; Pustaka Progressif, 1997), Cet. Ke-14, h. 989
[2] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai
Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 143
[3] M. Musthafa Syilbi, Ahkam
Al-Usrah fi Al-Islam, (Beirut; Daar Al-Nuhdhah Al-Arabiyah, 1977), h.
567
[4] Ali Hasbillah, Al-Furqon
Baina Al-Zawjaini, (ttp, Daar Al-Fikr, 1968), Cet. Ke-1, h. 120
[5] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh
Al-Islam Wa'adillatuh, (Beirut; Daar Al-Fiqh, 1989), Jilid 8, h. 514
[7] Firdaweri, Hukum
Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya, 1989),
Cet. Ke-1, h. 89
[8] Abdurrahman
Al-Jaziri, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1992), h. 169
[9] Habib Al-Mawardi, Hawi
Al-Kabir, (tt, Daar Al-Fikr, tth), h, 464
[10] Munawir, Op.
Cit, h. 471
[11] Ibid.,
h. 463
[13] Habib Al-Mawardi, Op.
Cit., h. 463
[14] Ibid.,
h. 468
[15] Ibid.,
h. 469
[16] Munawir, Op.
Cit, h. 216
[17] Habib Al-Mawardi, Loc.
Cit.
[18] Syamsuddin
Al-Maqdisy, As-Syarh Al-Kabir, (tt, Daar Al-Fikr, tth), jilid 4,
h. 256
[19]
Habib Al-Mawardi, Op. Cit., h. 466
[20] Wahbah Az-Zuhaili, Loc.
Cit.
[21] Abdurrahman
Al-Jaziri, Op. Cit., h. 171
[22]
Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit.. h. 518
[23] Habib Al-Mawardi, Op.
Cit., h. 467
[24] Ibid.,
h. 468
[25] Wahbah Az-Zuhaili, Op.
Cit. h. 519
[26] Ibid.,
h. 514
[27] Ibid.
h. 518
Tidak ada komentar:
Posting Komentar