International
Criminal Court (ICC)
dan
Penanganan Konflik Darfur
Oleh
UUF
ROUF
A. Sejarah
Pembentukan International Criminal Court
Persiapan untuk pembentukan
International Criminal Court pada tahun 1950, Majelis Umum PBB membentuk sebuah
panitia Committee on International Criminal Jurisdiction yang bertugas untuk
menyiapkan Statuta ICC.[1]
Pada perkembangannya, panitia ini tidak berjalan baik dikarenakan adanya Perang
Dingin. Pada tahun 1989, wacana untuk membentuk ICC kembali di dengungkan. Trinidad
dan Tobago dalam sidang Komite IV Majelis Umum PBB yang mengatasi masalah
hukum, mengusulkan kembali wacana tersebut. Trinidad dan Tobago mengusulkan
agar diaktifkannya kembali International Law Commission (ILC) untuk menyusun
rancangan Statuta ICC. Usulan tersebut direspon dengan baik oleh Majelis Umum
PBB. ILC pada tahun 1994 telah menyusun rancangan Statuta ICC dan dibentuk pula
Ad Hoc Committee on The Establishment of International Criminal Court oleh
Majelis Umum. Setahun kemudian Komite ad hoc digantikan dengan Prepatory
Committee on The Establishment of International Criminal Court untuk
mempersiapkan pembentukan ICC, serta penyelenggaraan Konferensi Diplomatik di
Italia tanggal 15-17 Juli 1998 yang diikuti oleh 130 negara.
1. Pembentukan Pengadilan
Internasional Setelah Perang Dunia II
Seiring berkembangnya konsep hak
asasi manusia pasca terjadinya perang-perang di dunia yang menimbulkan bencana
yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Muncul Mahkamah-mahkamah
internasional yang didirikan untuk mengadili para pelaku kejahatan saat
terjadinya perang. Mahkamah-mahkamah tersebut dibagi kedalam tiga periode yaitu
periode Nuremberg and Tokyo Trial, periode International Criminal Tribunal for
The former Yugoslavia dan International Criminal Tribunal for Rwanda, dan
periode International Criminal Court.[2]
Nuremberg and Tokyo Trial,
Mahkamah ini didirikan pasca Perang Dunia II yang bertujuan untuk mengadili
para petinggi Nazi Jerman yang terlibat dalam Holocaust. Hal tersebut dilakukan
berdasarkan London Charter 1945, melalui serangkaian negosiasi antara Amerika
Serinkat, Inggris, Uni Soviet dan Perancis. Selama tahun 1945 sampai 1949
sekitar 200 orang telah di sidang di pengadilan ini, dan sisanya diadili di
pengadilan militer biasa. Dakwaan yang
diberikan kepada mereka yang diadili bermacam-macam mulai dari yang hanya
memberikan ide, merencanakan, berkonspirasi, hingga terlibat langsung dalam
kejahatan manusia di masa perang. Vonis yang dijatuhkan ada yang di hukum mati,
dipenjara 10 tahun, di penjara seumur hidup atau di vonis bebas.
Pengadilan ini yang pertama kali
menguraikan kejahatan internasional yang terjadi sampai saat ini yaitu
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, kejahatan yang mengancam
perdamaian. Berdasarkan pengadilan ini dikenal pula pertama kalinya konsep
individual criminal responsibility dimana mereka yang dianggap bertanggung
jawab atas tindak pidana secara individu tidak hanya orang yang melakukannya
tetapi juga yang memerintahkan untuk melakukan tindak kejahatan tersebut.[3]
Setelah periode Nuremberg and
Tokyo Trial berakhir kemudian dibentuklah pengadilan bagi penjahat perang
modern yang pertama yaitu International Criminar Tribunal for The former
Yugoslavia (ICTY). Pengadilan ini memberikan sumbangan bagi pengembangan konsep
individual criminal responsibility dan command responsibility.[4]
Pengadilan ini telah mengadili para pemimpin militer Serbia pecahan dari negara
Yugoslavia, yang mana mereka telah melakukan pembantain terhadap warga Muslim
di Bosnia, Srebrenica, dan Herzegovina pada tahun 1991. Mereka yang di vonis
bersalah seperti mantan Perdana Menteri Serbia Krajian, Vidoje Blagojevic,
Ragon Jokic dan Radislav Krstic pemimpin tentara Serbia Bosnia.
Pengadilan berikutnya ialah
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang dibentuk berdasarkan
resolusi DK PBB no.S/RES/955 tahun 1994. Pengadilan ini didirikan bertujuan
untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas tindak kejahatan
internasional yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran terhadap
seluruh Konvensi Jenewa tahun 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977
pasal 4.[5]
Pada saat konflik Hutu-Tutsi berlangsung, pasukan militer Hutu kurang lebih
telah membantai 800.000 warga yang berasal dari suku Tutsi. Sekitar 6.500 orang
telah disidang, beberapa orang lainnya disidang melalui pengadilan masal. Kedua
pengadilan ini dinilai baik namun kinerja dari proses hukumnya berjalan sangat
lamban sekitar 17 tahun.
2. Berdirinya Pengadilan Permanen
International Criminal Court
Berdasarkan pengalaman-pengalaman
diatas, pada tanggal 17 Juli 1998 diselenggarakan sebuah Konferensi Diplomatik
PBB di Roma, Italia untuk mendirikan sebuah pengadilan internasional.[6]
Konferensi tersebut membentuk sebuah Mahkamah yaitu International Criminal
Court hasil itu diperoleh setelah mendapatkan dukungan dari 120 negara, 7
menolak dan 21 abstain. ICC merupakan pengadilan pidana internasional pertama
yang permanen dan independen, tujuan didirikannya Mahkamah ialah untuk
menegakkan keadilan, memutuskan kekebalan seseorang pelaku kejahatan terhadap
hukum, untuk mengakhiri konflik, memperbaiki pengadilan ad hoc yang kurang
berkinerja dengan baik.[7]
B. Statuta
Roma Sebagai Landasan Hukum International Criminal Court
Pengadilan baru resmi
keberadaannya pada tanggal 1 Juli 2002, setelah 60 negara meratifikasi Statuta
Roma. ICC memiliki landasan hukum yaitu Statuta Roma, dan mempunyai badan-badan
seperti kepresidenan, divisi banding, divisi pengadilan, divisi pra-pengadilan,
kantor jaksa penuntut serta kepaniteraan.[8]
Pembukaan Statuta Roma menjelaskan bagaimana telah terjadinya kekejaman yang
tidak dapat dibayangkan, yang sangat mengguncang dunia. Mengakui bahwa
kekejaman yang terjadi sangat mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan
umat manusia di dunia.
Kejahatan yang menjadi perhatian
dari dunia internasional tidak dapat dibiarkan begitu saja tanpa adanya
hukuman, atau tuntutan ke pengadilan. Mahkamah berupaya untuk menghilangkan
impunity atau kekebalan hukum bagi para pelaku kejahatan yang dinilai bersalah
dan bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan. Mahkamah dapat
menjalankan tugas, fungsi serta kekuasaannya didasarkan pada Statuta yang telah
diputuskan sebelumnya terhadap suatu wilayah dari negara anggota maupun suatu
wilayah yang bukan anggota dengan adanya perjanjian-perjanjian khusus.
C. Jurisdiksi
Internasional Criminal Court
Statuta Roma merupakan landasan
hukum bagi Mahkamah didalam menjalankan tugas dan fungsinya, menjatuhkan
dakwaan kepada individu-individu yang didakwa bersalah sesuai dengan Jurisdiksi
dari Mahkamah. Mahkamah mempunyai Jurisdiksi atas individu yang melakukan
pelanggaran terhadap kejahatan yang sangat serius, yang menjadi perhatian
masyarakat internasional. Jurisdiksi perkara (ratione materiae), Jurisdiksi
waktu (ratione temporis), Jurisdiksi teritorial (ratione loci), Jurisdiksi
individu (ratione personae).[9]
a. Jurisdiksi Perkara (Ratione
Materiae)
ICC mempunyai Jurisdiksi mengenai
pokok perkara yang menjadi perhatian utama yaitu genosida (genoside), kejahatan
perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
dan agresi (agression).
1) Genosida
Genosida menurut Statuta merupakan
suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan seluruh atau
sebagian dari kelompok etnis, kelompok nasional, ras maupun keagamaan. Tindakan-tindakan
tersebut seperti;
a) Membunuh anggota dari
kelompok-kelompok tersebut,
b) Menimbulkan luka atau mental yang
serius terhadap para anggota kelompok tersebut,
c) Secara sengaja menimbulkan kondisi
kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan
kehancuran fisik baik keseluruhan maupun sebagian,
d) Memaksakan tindakan-tindakan yang
dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut,
e) Memindahkan secara paksa anak-anak
dari suatu kelompok ke kelompok lainnya.
2) Kejahatan Perang
Kejahatan perang yang menjadi
jurisdiksi dari Mahkamah berkaitan dengan tindakan yang dilakukan sebagai
bagian dari suatu renacana atau kebijakan, sebagai bagian dari suatu
pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut. Kejahatan perang yang
dimaksudkan oleh Statuta yaitu pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa
tanggal 12 Agustus 1949. Pelanggaran terhadap orang-orang atau hak milik yang
dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi yang berkaitan dengan;
a) Pembunuhan yang dilakukan dengan
sadar,
b) Penyiksaan atau perlakuan yang
tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis,
c) Secara sadar menyebabkan
penderitaan berat atau luka serius terhadap badan atau kesehatan,
d) Perusakan yang luas dan perampasan
hak milik yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan meiliter dan dilakukan secara
tidak sah dan tanpa alasan,
e) Memaksa seorang tawanan perang
atau orang lain yang dilindungi untuk berdinas dalam pasukan dari suatu
kekuatan yang bermusuhan,
f) Secara sadar merampas hak-hak
seseorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi atas pengadilan yang
jujur dan adil,
g) Deportasi yang tidak sah atau
pemindahan atau penahanan yang tidak sah,
h) Serta menahan atau menyandera
seseorang.
3) Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan
menurut Statuta merupakan suatu tindakan yang dilakukan sebgai bagian dari
serangan yang luas atau sistematik yang ditujukkan kepada suatu kelompok
penduduk sipil. Tindakan penyerangan tersebut seperti;
a) Pembunuhan,
b) Pemusnahan,
c) Perbudakan,
d) Deportasi atau pemindahan penduduk
secara paksa,
e) Memenjarakan atau perampasan berat
atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional,
f) Penyiksaan,
g) Pemerkosaan, perbudakan seksual,
pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi atau suatu
bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat,
h) Penganiyaan terhadap suatu
kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektifitas atas dasar politik, ras,
nasional, etnis, budaya, agama, gender, atau atas dasar lain yang secara
universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional yang
berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau kejahatan
yang berada dalam jurisdiksi Mahakamah,
i)
Penghilangan secara paksa,
j)
Kejahatan apartheid,
k) Perbuatan tidak manusiawi lainnya
dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka
serius terhadap badan atau mental serta kesehatan fisik.
b. Jurisdiksi Waktu (Ratione
Temporis)
Perkara-perkara yang akan diadili
oleh ICC sesuai Jurisdiksinya setelah mulai berlakunya Statuta Roma pada
tanggal 1 Juli 2002.
c. Jurisdiksi Teritorial (Ratione
Loci)
a) Tindak pidana yang dilakukan di
dalam wilayah suatu negara peserta Statuta dengan tidak melihat kewarganegaraan
dari pelaku kejahatan.
b) Tindak pidana yang dilakukan dalam
wilayah negara-negara yang menerima Jurisdiksi Pengadilan atas pernyataan ad
hoc.
c) Tindak pidana yang dilakukan dalam
wilayah suatu negara, atas dasar pelimpahan perkara oleh DK PBB.
d. Jurisdiksi Individu (Ratione
Personae)
a) Warga negara dari negara anggota
yang melakukan tindak pidana sesuai dengan pasal 12 ayat 2b.
b) Warga negara dari negara bukan
anggota yang telah menerima Jurisdiksi Pengadilan berdasarkan pernyataan ad hoc
sesuai dengan pasal 12 ayat 3.
c) Terkait dengan tanggung jawab
pidana perorangan, pengadilan dapat menjalankan Jurisdiksinya terhadap siapa
saja, tidak membedakan baik pejabat pemerintah, kepala negara, anggota parlemen
dan lain-lain atau bukan.
d) Pengadilan dapat melaksanakan
Jurisdiksinya kepada setiap atasan atau petinggi baik komandan militer atau
atasan sipil, yang memiliki komando serta pengawasan yang efektif terhadap
bawahannya sesuai dengan pasal 28 Statuta.
D. Konflik-Konflik
Yang Ditangani Oleh International Criminal Court
Sejak berdirinya pengadilan,
terdapat beberapa kasus yang ditangani oleh ICC. Berdasarkan Jurisdiksi ICC,
permasalahan atau kasus yang hanya ditangani oleh mereka ialah kasus setelah
berlakunya Statuta Roma pada tanggal 1 Juli 2002. Pembentukan ICC sudah sejak
tahun 1998, tetapi mulai berlaku setelah sekitar 60 negara yang sudah
meratifikasi Statuta Roma. Dengan demikian, ICC akan menangani suatu kasus yang
terjadi setelah tahun 2002. ICC sudah menangani beberapa perkara, terdapat tiga
perkara yang ditangani diantaranya konflik Kongo, Uganda, Republik Afrika
Tengah dan Sudan.[10]
Konflik Kongo terjadi pada tahun
1998-2003 ketika masa transisi pemerintahan yang mana terdapat kekerasan di
daerah Utara dan Selatan, menjatuhkan korban dari suku Hutu-Tutsi sekitar 4
juta jiwa. Diputuskan untuk dibuka penyelidikannya oleh ICC pada tanggal 23
Juni 2004. Jaksa Penuntut sudah mengidentifikasi individu-individu pelaku
kejahatan dan sudah mendakwanya dengan pasal-pasal Statuta Roma. Jaksa Penuntut
mendakwa Thomas Lubanga Dyilo pendiri Uni des Patriotes Congolais (UPC) dan The
Forces Patriotiques pour la Liberation du Congo (FPLC), melakukan kejahatan
perang.[11]
Surat perintah penangkapan telah dikeluarkan pula pada tanggal 10 Februari
2006, dan pada tanggal 17 Maret menyerahkan diri.
Germain Katanga merupakan Komandan
The Forces de Resistance Patriotiques en Ituri (FRPI), ICC mengeluarkan surat
perintah penangkapan pada tanggal 2 Juli 2007 dan menyerahkan diri pada tanggal
17 Oktober 2007. Mathieu Ngudjolo Chui merupakan mantan pemimpin The Front des
Nationalistess et Integrationnistes (FNI), surat perintah penangkapan
dikeluarkan pada tanggal 6 Juli 2007. Katanga dan Mathieu berdasarkan pasal 25
(3) (a) di dakwa telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Bosco Ntaganda yang merupakan
mantan wakil Kepala Staf Umum Angkatan Patriotic Forces for The Liberation of
Congo (FPLC) dan Kepala Staf The Congres National pour la Defense du People
(CNDP), surat perintah penangkapan dikeluarkan pada tanggal 22 Agustus 2006.
Ntaganda masih dalam pengejaran ICC. Callixte Mbarushimana merupakan Sekretaris
Eksekutif The Forces Democratiques pour la Liberation du Rwanda (FDLR) dan
Forces Combattantes Abacunguzi (FCA), surat penangkapan dikeluarkan pada
tanggal 28 September 2010 dan berhasil ditangkap oleh Prancis pada tanggal 11
Oktober 2010.
Perkara Republik Afrika Tengah
diputuskan dibuka penyelidikannya pada tanggal 22 Mei 2007. Jaksa Penuntut
menginvestigasi Jean Pierre Bemba Gombo yang merupakan presiden dan Panglima
Movement for The Liberation of Congo (MLC). Surat penangkapan dikeluarkan pada
tanggal 23 Mei 2008, ia di dakwa telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan.[12]
Jean berhasil ditangkap oleh Belgia pada tanggal 24 Mei 2008. Konflik Uganda
terjadi antara militer Uganda dengan LRA, diputuskan untuk dibuka
penyelidikannya pada tanggal 29 Juli 2004. Jaksa Penuntut menginvestigasi
individu-individu yang melakukan tindak pidana seperti Joseph Kony Komandan The
Lord’s Resistance Army (LRA), perintah penangkapan dikeluarkan pada tanggal 8
Juli 2005.[13] Vincent
Otti wakil ketua Komandan LRA, perintah penagkapan dikeluarkan pada tanggal 8
Juli 2005. Okot Odhiambo wakil Panglima Angkatan Darat LRA, perintah
penangkapan dikeluarkan pada tanggal 8 Juli 2005. Dominic Ongwen merupakan
Brigade Komandan LRA, perintah penangkapan dikeluarkan pada tanggal 8 Juli
2005. Individu-individu tersebut belum berhasil ditangkap dan masih dalam
pengejaran.
Konflik Darfur, tidak hanya
Presiden Bashir yang dinvestigasi oleh ICC tetapi ada juga Ahmad Muhammad Harun
mantan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Urusan Kemanusiaan.[14]
Perintah penangkapan dikeluarkan pada tanggal 2 Mei 2007. Ali Muhammad Ali
Abd-al Rahman pemimpin Janjaweed, yang diperintahkan ditangkap pada tanggal 2
Mei 2007. Abdallah Banda Abakaer Nourain merupakan Komandan JEM dan Saleh Mohammed
Jamus Jerbo mantan Kepala Staf SLA, perintah penangkapan pada tanggal 27
Agustus 2009. Abdallah dan Saleh di dakwa berdasarkan pasal 25 (3) (a).
Kasus-kasus diatas merupakan permasalahan yang ditangani oleh ICC, dalam
menjalankan keputusannya individu-inividu yang didakwa ada yang berhasil
ditangkap baik dengan menyerahkan diri maupun dengan bantuan pihak ketiga dan
adapula yang masih dalam pengejaran.
E. Keputusan
Untuk Membuka Penyelidikan Kasus Konflik Darfur dan Prosesnya
Apabila terdapat individu-individu
yang melakukan kejahatan di suatu negara yang menjadi Jurisdiksi Makamah maka
mereka akan diproses untuk diadili dan dijatuhkan dakwaan bersalah sesuai
dengan kejahatan yang telah mereka lakukan. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud
apabila terjadi akan diadili apabila dilaporkan atau disampaikan ke ICC oleh
negara anggota ICC, DK yang bertindak sesuai dengan BAB 7 Piagam PBB ataupun
inisiatif dari Jaksa Penuntut ICC sendiri. Konflik Darfur diserahkan ke ICC
oleh DK PBB berdasarkan resolusi nomor 1593 tahun 2005. ICC setelah mendapatkan
laporan dari DK, Jaksa Penuntut Luis Moreno Ocampo yang menangani masalah ini
dapat memulai penyelidikan atas informasi yang didapatnya. Jaksa Penuntut
Ocampo menganalisa dari kebenaran informasi yang diterimanya. Ia mencari
informasi untuk menganilsa konflik tersebut dari negara-negara lain,
Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi-organisasi antar pemerintah,
lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau dari sumber-sumber lainnya yang
dipercaya dan dinilai tepat.
Apabila Jaksa Penuntut Ocampo
menyimpulkan adanya dasar yang kuat untuk melakukan penyelidikan dari informasi yang diperoleh maka ia akan
menyampaikan hal tersebut kepada Pre-Trial Chamber.[15]
Hal ini bertujuan untuk meminta wewenang atau kuasa agar dapat dilakukannya
penyelidikan lebih lanjut terhadap individu-individu yang terlibat konflik.
Laporan yang diberikan tersebut, apabila Pre-Trial Chamber memiliki pandangan
yang sama dengan Jaksa Penuntut Ocampo maka Pre-Trial Chamber akan memberikan
wewenang tersebut untuk dimulainya penyelidikan. Oleh sebab itu Jaksa Luis
Moreno melakukan penyelidikan atas individu-individu yang terlibat didalam
konflik Darfur. Pada bulan Juni 2005, pemerintah Sudan mendirikan pengadilan
khusus untuk Darfur dimana pengadilan ini mencoba untuk mengadili
individu-individu yang melakukan kejahatan seperti perampokan, pemerkosaan,
pencurian dan pembunuhan.
Pada bulan November 2005,
pemerintah Sudan mengeluarkan keputusan dengan mendirikan dua pengadilan baru
yang khusus mengenai pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional.
Pemerintah menambahkan pula beberapa komite seperti The Center for The
Elimination of Violence Against Women dan orang-orang yang ahli hukum untuk
kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan-pengadilan diatas faktanya tidak
dapat bekerja dengan baik. Terdapat pula pihak yang menentang masalah Darfur
diselidiki oleh ICC, mereka mencoba memberikan alternatif lain dengan
mengusulkan pengadilan lain salah satunya pengadilan ad hoc di Afrika Timur
bagi para pelaku kejahatan di Darfur. Alternatif-alternatif yang diberikansama
hal nya dengan pengadilan Sudan tidak mampu menjalankan sistem mereka.
Pengadilan-pengadilan tersebut juga mempunyai kekurangan dimana mereka tidak
memiliki dana untuk persidangan, tidak mempunyai fasilitas-fasilitas
persidangan, tidak dapat memberikan perlindungan bagi para saksi-saksi dan
lain-lain.
Faktor-faktor tersebut memperkuat
bagi ICC untuk melakukan peradilan untuk menyelesaikan konflik Darfur ialah
ICC. ICC merupakan pengadilan yang tepat untuk bersidang karena didirkan
berdasarkan landasan hukum yang kuat, memiliki banyak negara anggota, memiliki
dana untuk bersidang dan investigasi, mempunyai infrastruktur-infrastruktur dan
perangkat pengadilan, mendapatkan bantuan dan dorongan dari negara-negara lain.
1. Proses Penyelidikan Konflik Darfur
Oleh Jaksa Penuntut ICC
Jaksa Penuntut Luis Moreno ocampo
mempunyai tanggung jawab untuk menerima adanya pelimpahan suatu perkara,
informasi-informasi mengenai terjadinya tindak pidana yang merupakan Jurisdiksi
ICC, mempelajari informasi-informasi yang diterima dan menganalisa untuk
mengetahui perlu dilakukannya investigasi dan tuntutan atau tidak. Pre-Trial
Chamber merupakan kamar dari Pre-Trial Division yang berfungsi untuk menguatkan
atau menolak otorisasi untuk memulainya investigasi suatu masalah dan
memutuskan masalah tersebut masuk kedalam Jurisdiksi. Jaksa Penuntut harus
memberikan laporannya kepada Pre-trial Chamber mengenai dilakukannya
investigasi, apabila Chamber mempunyai kesamaan dengan Jaksa yakni terdapat
alasan yang mendasar dan masuk akal untuk meginvestigasi suatu masalah maka
penyelidikan akan dilakukan. Apabila Pre-Trial Chamber tidak melihat adanya
alasan tersebut maka tidak akan ada penyelidikan.
Berdasarkan keterangan diatas
masalah konflik Darfur pada tanggal 6 Juni 2005 secara resmi dibuka
penyelidikannya oleh Pre-Trial Chamber.[16]
Penyelidikan masalah ini dilakukan oleh Jaksa Penuntut yang bernama Luis Moreno
Ocampo yang berasal dari Argentina.[17]
Kantor Jaksa Penuntut yang dipimpin oleh dirinya telah menerima dokumen-dokumen
dari International Commission of Inquiry on Darfur mengenai permasalahan yang
terjadi. Meminta sumber kepada berbagai pihak untuk mendapatkan informasi,
memberikan ribuan dokumen yang berhasil dikumpulkan, melakukan wawancara kepada
50 orang ahli yang independen. Jaksa Luis Moreno mengatakan bahwa penyelidikan
yang dilakukannya independen dan adil. Ia mendapatkan bukti atau petunjuk yang
menunjukkan adanya operasi militer yang terorganisir, dilakukan oleh pejabat-pejabat
Sudan untuk menyerang warga sipil terutama suku Fur, Massalit dan Zaghawa.
Kelompok suku tersebut dijadikan
sasaran utama untuk dihancurkan seluruh kesatuan dari kelompok tersebut baik
secara fisik maupun mental mereka. Serangan yang ditujukkan kepada mereka untuk
membawa mereka ke tempat dan keadaan yang tidak baik, dalam arti mereka akan
cepat meninggal jika tetap berada di wilayah konflik dan akan meninggal secara
perlahan ditempat pengungsian yang keadaannya sangat tidak layak. Lebih lanjut
bukti-bukti tersebut menunjukkan adanya koordinasi antara militer, intelejen,
Janjaweed, para menteri Sudan, dan pihak-pihak lainnya yang ikut berpartisipasi
dan berkontribusi dalam konflik Sudan.
2. Keputusan Pre-Trial Chamber atas
Omar Al Bashir
Setelah Jaksa Luis Moreno
melakukan penyelidikan akhirnya ICC melalui Pre-Trial Chamber yang terdiri dari
hakim Akua Kuenyehia sebagai ketua,
hakim Anita Ušacka dan hakim Sylvia Steiner mengeluarkan surat perintah
penangkapan terhadap Presiden Sudan Hassan Omar Al Bashir. Pre-Trial Chamber
mengeluarkan surat keputusan nomor ICC-02/05-01/09 pada tanggal 4 Maret 2009,
yang memutuskan Presiden Bashir bersalah dan bertanggung jawab atas kejahatan
perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan Statuta Roma pasal 25
ayat 3 (a)[18],
Bashir di dakwa telah melakukan tujuh kesalahan yaitu ;
1) Pembunuhan (pasal 7 ayat 1 (a)).
2) Pembantaian atau pemusnahan (pasal
7 ayat 1 (b)).
3) Pemaksaan kekuatan untuk deportasi
atau memindahkan penduduk (pasal 7 ayat 1 (d)).
4) Penganiyaan dan penyiksaan (pasal
7 ayat 1 (f)).
5) Pemerkosaan, perbudakan seksual,
pemaksaan prostisusi, penghamilan paksa, dan kekerasan-kekerasan seksual
lainnya (pasal 7 ayat 1 (g)).
6) Penyerangan secara langsung dan
sengaja terhadap penduduk sipil, masing-masing penduduk sipil yang tidak ikut
serta secara langsung dalam permusuhan (pasal 8 ayat 2 e (i)).
7) Perampasan atau menjarah suatu
kota atau tempat, sekalipun tempat itu dikuasai lewat serangan (pasal 8 ayat 2
e (v)).
Keputusan tersebut diambil
Mahkamah dengan mempertimbangkan adanya alasan dasar untuk meyakini telah
terjadinya kondisi yang dimaksud di dalam pasal 8 ayat 2 (f).[19]
Terjadinya sengketa antara pemerintah Sudan dengan kelompok pemberontak SPLM/A
dan JEM. Serangan yang dilakukan oleh pemberontak ke wilayah Darfur, dibalas
oleh pemerintah dengan memberikan pengerahan kepada pasukan Janjaweed untuk
memberikan serangan balasan atas tindakan yang dilakukan oleh pemberontak.
Kejahatan perang dilakukan oleh pasukan Janjaweed, polisi sudan, National
Intelligence and Security Service (NISS), dan Humanitarian Aid Commission (HAC)
dengan serangkaian operasi militer untuk mengatasi para pemberontak dan membuat
warga sipil menjadi korban. Kekerasan sistematik bagi masyarakat Darfur
khususnya suku Fur, Massalit dan Zaghawa, dimana masyarakat dari suku-suku
tersebut mendapat serangan dari Janjaweed yang melakukan kekerasan fisik,
mental, seksual dan lain-lain.
Terdapat alasan yang mendasar
bahwa Bashir secara de facto dan de jure berkoordinasi dengan pejabat-pejabat
tinggi pemerintah Sudan, pemimpin militer. Tidak hanya itu Chamber juga
menemukan bukti bahwa peran Bashir lebih dari sekedar berkoordinasi melainkan
juga merencanakan dan melaksanakan rancangan serangan yang dibuatnya atas
konflik Darfur. Bertanggung jawab terhadap perbuatan yang telah dilakukannya,
oleh karena itu Chamber mengeluarkan surat keputusan tersebut.
Ia juga menyadari proses
penangkapan terhadap Bashir tidak akan mudah dan membutuhkan waktu yang lama.[20]
Hal tersebut tidak membuatnya putus asa, Jaksa Luis Moreno berkeyakinan bahwa
Bashir akan dapat ditangkap dan dibawa kepengadilan untuk disidang. Keputusan
Mahkamah untuk memerintahkan penangkapan Bashir selain untuk menghilangkan
seorang individu kebal dari hukum juga dikarenakan ingin menegakkan keadilan atas
terjadinya konflik Darfur. Selama konflik berlangsung telah terjadi ketidak
adilan yang dirasakan oleh warga sipil khususnya masyarakat dari suku Fur,
Massalit dan Zaghawa.
Ketidakadilan yang dirasakan oleh
masyarakat Darfur menurut teori justice John Rawls telah bertentangan dengan
prinsip-prinsip keadilan. Setiap manusia pada dasarnya memiliki hak yang sama
yang tertanam dalam prinsip keadilan yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun
dan dalam bentuk apapun atas nama kepentingan umum. Masyarakat Sudan Selatan
tidak memperoleh hak mereka sebagaimana mestinya, kepentingan mereka diabaikan
oleh pemerintah. Pemerintah lebih mementingkan kepentingan masyarkat Sudan
Utara, mengeksplor Sudan Selatan dan dinikmati oleh Sudan Utara sedangkan
rakyat Selatan tidak menikmatinya.
Keadilan tidak membenarkan
dikorbankannya kepentingan seseorang atau sekelompok orang demi kepentingan
orang banyak. Masyarakat Sudan Selatan keturunan Afrika, berkulit hitam,
bergama Kristen dan menganut animisme menjadi korban dari tindakan diskriminasi
yang dilakukan oleh pemerintah Sudan. Kepentingan dari masyarakat Selatan
dikorbankan demi kepentingan masyarakat Utara atas nama kemajuan bangsa. Suatu
kehidupan bangsa yang adil dan merdeka dengan sendirinya setiap manusia
terjamin akan hak-haknya, dan tidak bisa dijadikan alat tawar menawar politik
atau hitung-hitungan bagi kepentingan umum. Ketidak adilan yang dirasakan oleh
masyarakat Selatan membuat mereka melakukan perlawanan yang akhirnya dijadikan
alat tawar menawar oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Masyarakat Sudan Selatan sejak
masa kolonial Inggris sampai merdeka sampai pecahnya konflik Darfur, tidak
mendapatkan keadilan, kemerdekaan, persamaan yang harusnya mereka dapatkan
sebagai bagian dari negara Sudan. Hak-hak fundamental yang menjadi hak mereka
sama sekali tidak diberikan oleh pemerintah Sudan. Masyarakat Selatan
dikesampingkan oleh pemerintah Sudan, mereka tidak memiliki kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat baik lisan dan tulisan. Tidak memperoleh kebebasan mereka
dalam berpolitik, menduduki suatu jabatan, tidak diikutsertakan dalam
pembangunan, dalam pemerintahan, tidak terbukanya akses bagi mereka untuk
mengembangkan diri, mendapatkan pengetahuan, pendidikan, tidak mendapatkan
pelayanan kesehatan. Tidak hanya itu saja mereka tidak dapat menikmati sumber
daya alam yang ada di wilayah mereka karena sumber-sumber tersebut dikuasai
oleh pemerintah.
Keadilan diharuskan untuk memperbaiki dan
mengakhiri ketidakadilan yang timbul, yang mana semua pihak-pihak yang terkait
di dalamnya harus bertindak dengan baik. Tidak hanya isntitusi-insitusi tapi
juga hukum atau undang-undang, sistem sosial, tindakan-tindakan khusus seperti
keputusan pengadilan. Karena dengan begitu keadilan yang merupakan sistem dari
institusi sosial dinilai dapat menjaga nilai dari kebenarannya. Situasi dan
kondisi yang dialami oleh masyarakat Darfur jauh dari kata keadilan, hak-hak mereka
dirampas secara paksa. ICC dalam hal ini sebagai sebuah institusi yang
didirikan untuk menegakkan keadilan berusaha menyelesaikan konflik Darfur agar
dapat memberikan keadilan bagi masyarakat yang selama ini hidup menderita.
Keputusan Mahkamah untuk menangkap Presiden Sudan supaya mengakhiri kerugian
yang tercipta dan meringankan penderitaan yang dirasakan para korban.
F. Respon
Masyarakat Internasional Terhadap Keputusan ICC
Keputusan Mahkamah yang
mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada Bashir mendapatkan respon yang
bermacam-macam dari berbagai pihak. Terdapat pihak-pihak yang setuju dan
mendukung keputusan tersebut namun ada pula yang menolak dan menentang keputusan
tersebut. Pihak yang menolak keputusan tersebut datang dari actor-aktor dalam
negeri Sudan, Bashir, China, Uni Afrika dan Liga Arab. Selain mereka yang
menolak terdapat pula pihak-pihak yang mendukung.
Sumber :
http://afrarafiqanurri.blogspot.com
[1] Bhatara, Ibnu Reza, “International Criminal Court: Suatu
Analisis Mengenai Order Dalam Hubungan Internasional”, Program Studi Ilmu
Politik, Pascasarjana, Universitas Indonesia 2002, hlm. 49.
[2]
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/11/13/LN/mbm.20061113.LN122248.id.html,
diakses pada tanggal 1 Desember 2012
[3]
http://www.pusham.uii.ac.id/berkacapadatokyodannuremberg.pdf, diakses pada
tanggal 1 Desember 2012
[4] Command responsibility merupakan bentuk pertanggung
jawaban seorang pemimpin atas tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak
buahnya, baik pemimpin militer maupun sipil.
[5] Konvensi mengenai perlindungan terhadap korban perang
sengketa bersenjata non-internasional.
[6] Statuta Roma, Mahkamah Pidana Internasional Mengadili:
Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang, Agresi”, Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2000, hlm. ix.
[7] William A. Schabas “An Introduction to The International
Criminal Court”, Second Edition, Cambridge University Press 2004, hlm. 176.
[8] Pasal 34 Statuta Roma., Mahkamah terdiri dari
organ-organ sebagai berikut: (a)Kepresidenan; (b)Divisi Banding; Divisi Peradilan, Divisi Pra-Peradilan; (c)Kantor Penuntut
Umum; dan (d)Kepaniteraan
[9] Rudi M. Rizki, Jurnal Hukum Humaniter Vol.1, No.2 April
2006, Beberapa Catatan Tentang Pengadilan Pidana Internasional AD HOC Untuk
Yugoslavia dan Rwanda Serta Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Dalam
Pelanggaran Berat HAM”, Pusat Studi Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia
(terAs), Fakultas Hukum Universitas Trisakti, hlm. 383.
[10] http://www.icc-cpi.int/Menus/ICC?lan=en-GB, diakses pada
tanggal 1 Desember 2012
[11] http://www.icc-cpi.int/Menus/ICC/Situations+and+Cases/Situations/Situation+ICC+0104/,
diakses pada tanggal 1 Desember 2012
[12]
http://www.icc-cpi.int/Menus/ICC/Situations+and+Cases/Situations/Situation+
ICC+0105/, diakses pada tanggal 1 Desemeber 2012
[13] http://www.icc-cpi.int/Menus/ICC/Situations+and+Cases/Situations/Situation+
ICC+0204/, diakses pada tanggal 1 Desemeber 2012
[14] http://www.icc-cpi.int/Menus/ICC/Situations+and+Cases/Situations/Situation
+ICC+0205/, diakses pada tanggal 1 Desemeber 2012
[15] Rudi M. Rizki, Jurnal Hukum Humaniter Vol.1, No.2…, hlm.
370.
[16]
http://www.icc-cpi.int/Menus/ICC/Situations+and+Cases/Situations/Situation+ICC+
0205/, diakses pada tanggal 1 Desemeber 2012
[17] Luis Moreno Ocampo lahir pada tanggal 4 Juni 1952,
mantan Jaksa Pengadilan Pidana Buenos Aires di Argentina. Pada tanggal 16 Juni
2003 menjadi Jaksa Penuntut ICC.
[18] Seseorang bertanggung jawab secara pidana dan dapat
dikenai hukuman atas suatu kejahatan yang menjadi Jurisdiksi Mahkamah, dimana
individu tersebut melakukan suatu kejahatan baik sebagai pribadi sendiri,
bersama orang lain atau lewat seseorang lain tanpa memandang apakah orang lain
tersebut bertanggung jawab secara pidana.
[19] Terdapat sengketa bersenjata yang berlangsung dalam
wilayah suatu negara apabila terjadi sengketa bersenjata yang berkelanjutan
antara para pejabat pemerintah dan kelompok bersenjata terorganisasi atau
antara kelompok-kelompok semacam itu.
[20] http://rol.republika.co.id/berita/35516/ICC_Keluarkan_Surat_Penangkapan_Presiden_Sudan,
diakses pada tanggal 1 Desemeber 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar