1. Pengertian Jual Beli
Murabahah
Secara
bahasa al-ba'i (menjual) berarti 'mempertukarkan sesuatu dengan sesuatu'.[1]
Ia merupakan sebuah nama yang mencakup pengertian terhadap kebalikannya yakni al-syira'
(membeli). Demikianlah al-bai' sering diterjemahkan dengan 'jual-beli'.
Secara
bahasa, kata murabahah berasal dari kata رَبِحَ - يَرْبَحُ - ِربْحًا yang
berarti beruntung.[2]
Adapun secara istilah, murabahah dalam wacana fiqh, menurut Abdullah
Saeed, yaitu: "ada tiga pihak, A, B dan C dalam penjualan murabahah.
A meminta B untuk membeli beberapa barang untuk A. B tidak memiliki barang
tersebut tetapi berjanji untuk membelikannya dari pihak ketiga (C). B adalah
seorang perantara, dan perjanjian murabahah antara A dan B".[3]
Ibnu
Rusyd dalam Kitab Bidayatul Mujtahid mengatakan menjadi kebulatan jumhur
ulama bahwa "jual-beli murabahah ialah kalau penjual menyebutkan
harga pembelian barang kepada pembeli dan mensyaratkan atasnya suatu laba
tertentu, dinar dan dirham".[4]
Menurut
istilah fiqh dalam Kamus Istilah Fiqh dijelaskan bahwa murabahah adalah
"bentuk jual-beli barang dengan tambahan harga (cost plus) atas
harga pembelian yang pertama secara jujur. Dengan murabahah ini, orang
pada hakikatnya ingin mengubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam-meminjam
menjadi transaksi jual-beli".[5]
Seorang praktisi
perbankankan, Muhammad Syafi'i Antonio menjelaskan bahwa "bai’ al
murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan
yang disepakati. Dalam jual beli murabahah, penjual harus memberi tahu harga
produk yang dibeli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahannya".[6]
M.
Syafi'i Anwar memberi definisi murabahah yang tidak jauh berbeda, yaitu:
"menjual sesuatu barang dengan harga pokok ditambah keuntungan yang
disetujui bersama untuk dibayar pada waktu yang ditentukan atau dibayar secara
cicilan".[7]
Pengertian yang sama diberikan juga oleh A. Karim bahwa cara pembayaran murabahah
dapat dilakukan baik dalam bentuk lump sum (sekaligus) maupun dalam
bentuk angsuran.[8]
Dan menurut Sutan Remy Sjahdeini, murabahah adalah "jasa pembiayaan dengan
mengambil bentuk transaksi jual-beli dengan cicilan".[9]
Sedangkan Warkum Sumitro membedakan pengertian keduanya, dimana pengertian
murabahah adalah "persetujuan jual-beli suatu barang dengan harga
sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama dengan
pembayaran ditangguhkan satu bulan sampai satu tahun. persetujuan tersebut juga
meliputi cara pembayaran sekaligus". Sedangkan ba'i bi saman 'ajil
yaitu "persetujuan jual-beli ditambah dengan keuntungan yang disepakati
bersama. Persetujuan ini termasuk pula jangka waktu pembayaran dan jumlah
angsuran".[10]
Karena dalam definisinya disebut adanya 'keuntungan yang disepakati',
maka menurut Adiwarman A. Karim, karakteristik murabahah adalah:
Si penjual harus memberi tahu pembeli
tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang
ditambahkan pada biaya tersebut. Misalnya, si fulan membeli unta 30 dinar,
biaya-biaya yang dikeluarkan 5 dinar, maka ketika menawarkan untanya, ia
mengatakan: 'saya jual unta ini 50 dinar, saya mengambil keuntungan 15 dinar'.[11]
M.A.
Mannan menegaskan, dengan operasi murabahah, para nasabah bank membeli
suatu komoditi menurut rincian tertentu dan menghendaki agar bank
mengirimkannya kepada mereka berdasarkan tambahan harga tertentu menurut
persetujuan diawal akad antara kedua pihak.[12]
Dalam
transaksi murabahah, penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang
diperjualbelikan dan tidak termasuk barang haram. Demikian juga harga pembelian
dan keuntungan yang diambil dan cara pembayarannya harus disebutkan dengan
jelas.[13]
Dengan cara ini, si pembeli dapat mengetahui harga sebenarnya dari barang yang
dibeli dan dikehendaki penjual.
Pembiayaan
murabahah adalah pembiyaan yang diberikan kepada nasabah dalam rangka
pemenuhan kebutuhan produksi (inventory).[14]
Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk
memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang
tunai lebih dulu. Dengan kata lain. Nasabah telah memperoleh pembiyaan dari
bank untuk pengadaan barang yang dibutuhkan.
Dari
beberapa pengertian di atas, baik dalam literatur fiqh maupun praktisi
perbankan dapat disimpulkan bahwa pengertian murabahah adalah kontrak
jual beli barang antara penjaual (bank) dan pembali (nasabah) dengan fasilitas
penundaan pembayaran baik untuk pembelian asset modal kerja maupun investasi
dengan harga asal ditambah dengan keuntungan dan jangka waktu yang telah
disepakati kedua belah pihak dan cara pembayarannya dapat dilakukan sekaligus
(tunai) pada saat jatuh tempo ataupun dengan cicilan (angsuran).
2. Landasan Syari’ah
a. Al-Qur’an
يَا اَيُهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا لاَ تَأْ كُلُوا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلاَ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ .....(النساء/٤:٢٩)
"Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengna
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu..." (An-Nisa/4: 29)
...وَاَحَلَ الله ُالْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّباَ... (البقرة/٢:٢٧٥)
“...Dan Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba...” (Al Baqarah/2: 275)
b. Al-Hadits
عَنْ سُهَيْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النبَِّيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلََّمَ
قَالَ : ثَلاَثَ فِيْهِنَّ اْلبَرْكَةُ : اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ وَاْلمُقَارَضَةُ
وَخَلْطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ (رواه ابن ما جه)
Dari Suhaib ar-Rumi r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda, “Tiga
hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan
untuk dijual.” (HR Ibnu Majah dengan sanad dhaif).[15]
Hadist di atas tergolong hadist yang sanadnya
lemah, walau demikian dapat diambil faedah, dimana Nabi mengutarakan adanya
suatu keberkahan dalam 3 hal, salah satunya adalah menjual dengan tempo
pembayaran (kredit) karena di dalamnya unsur saling berbaik hati, saling
mempermudah urusan dan memberikan pertolongan kepada orang yang berhutang
dengan cara penundaan pembayaran.
c. Ijma Ulama
Abdullah Saeed mengatakan, bahwa:
Al-Qur'an tidak membuat acuan langsung berkenaan dengan murabahah,
walaupun ada beberapa acuan di dalamnya untuk menjual, keuntungan, kerugian dan
perdagangan. Demikian juga, tidak ada hadist yang memiliki acuan langsung
kepada murabahah. Karena nampaknya tidak ada acuan langsung kepadanya
dalam al-qur'an atau hadits yang diterima umum, para ahli hukum harus
membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain.[16]
Imam Malik mendukung pendapatnya dengan acuan pada praktek orang-orang
Madinah, yaitu 'Ada konsesus pendapat di sini (di Madinah) mengenai hukum orang
yang membeli baju di sebuah kota, dan mengambilnya ke kota lain untuk
menjualnya berdasarkan suatu kesepakatan berdasarkan keuntungan'.[17]
Imam Syafi'i tanpa bermaksud untuk membela pandangannya mengatakan 'Jika
seseorang menunjukkan komoditas kepada seseorang dan mengatakan, "kamu
beli untukku, aku akan memberikan keuntungan begini, begini", kemudian
orang itu membelinya, maka transaksi itu sah'.[18]
Ulama Hanafi, Marghinani, membenarkan berdasarkan 'kondisi penting bagi
validitas penjualan di dalamnya, dan juga karena manusia sangat membutuhkannya.
Ulama Syafi'i, Nawawi, secara sederhana mengemukakan bahwa penjualan murabahah
sah menurut hukum tanpa bantahan'.[19]
3. Rukun dan Syarat Sah Jual Beli
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang haurs dipenuhi, sehinga jual
beli itu dapat dikatakan sah oleh syara'. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun
jual beli itu ada empat, yaitu:
a. Ada orang yang
berakad (penjual dan pembeli)/.
b. Ada shighat
(lafal ijab dan qabul)
c. Ada barang yang
dibeli.
d. Ada nilai tukar
pengganti barang.[20]
Adapun syarat-syarat jual beli
sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama di atas sebagai
berikut:
1. Syarat orang yang
berakad:
Para
ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Baligh dan berakal.
b. Yang melakukan akad
adalah orang yang berbeda. Artinya seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu
yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli.[21]
2. Syarat yang terkait
dengan ijab qabul:
Para
ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari jual beli kerelaan kedua
belah pihak. Kerelaan kedua belah pihak dapat dilihat dari ijab dan qabul
yang dilangsungkan. Untuk itu, para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab
dan qabul itu adalah sebagai berikut:
a. Qabul sesuai dengan
ijab. Misalnya, penjual mengatakan: "Saya jual buku ini seharga Rp.
15.000,-".
b. Ijab dan qabul itu
dilakukan dalam satu majelis. Artinya kedua belah pihak yang melakukan jual
beli hadir dan membicarakan topik yang sama.[22]
3. Syarat barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat terkait dengan barang yang diperjualbelikan adalah:
a. Barang itu ada, atau
tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk
mengadakan barang itu.
b. Dapat dimanfaatkan
dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu bangkai, khamar dan darah, tadak
sah menjadi objek jual beli.
c. Milik orang yang
melakukan akad.
d. Boleh diserahkan saat
akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakti bersama ketika transaksi
berlangsung.[23]
4. Syarat-syarat nilai
tukar (harga Barang):
Terkait
dengan masalah nilai tukar ini, para ulama fiqh membedakan aš-šaman
dengan as-s'ir. Menurut mereka, aš-šaman adalah harga pasar yang
berlaku di tengah-tengah masyarakat secara aktual, sedangkan as-s'ir
adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke
konsumen (consumption). Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat aš-šaman
sebagai berikut:
a. Harga yang disepakati
kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya.
b. Boleh diserahkan pada
waktu akad, sekalipun secara hukum, seperti pembayaran dengan cek dan kartu
kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian hari (berutang), maka waktu
pembayarannya harus jelas.
c. Apabila jual beli itu
dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-muqayadah), maka barang yang
dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara', seperti babi dan
khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai syara'.[24]
Menurut Muhammad Syafi'i Antonio, syarat murabahah
meliputi:
1. Penjual memberitahu biaya
modal kepada nasabah.
2. Kontrak pertama harus
sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
3. Kotrak harus bebas
dari riba.
4. Penjual harus
menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
5. Penjual harus
menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian
dilakukan secara hutang.[25]
Secara prinsip jika syarat
dalam (1), (4) atau (5) tidak dipenuhi, maka pembeli memiliki pilihan:
a. Melanjutkan pembelian
seperti apa adanya.
b. Kembali kepada
penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual.
c. Membatalkan kotrak.[26]
4. Beberapa Ketentuan Umum
Jual beli dengan sistem murabahah merupakan jual beli yang
berprinsip pada kejujuran (transparansi) dan kepercayaan (amanah). Kejujuran
penjual menjadi hal penting dalam murabahah, mengingat keadaan pembeli yang
tidak memiliki pengetahuan tentang harga
beli yang pertama dan biaya-biaya yang dikeluarkan (ditambahkan) penjual
ke atas barang. Pembeli pun diharapkan percaya terhadap segala pemberitaan yang
datang dari penjual dan sebaliknya, penjual juga diharapkan dapat menjaga
kepercayaan tersebut. Agar kejujuran dan kepecayaan dalam murabahah
dapat direalisasikan, penjual harus menjelaskan beberapa hal sebagai berikut:
a. Biaya-biaya yang bisa
dianggap sebagai modal dan yang tidak bisa, serta keadaan modal yang bisa
dijadikan sebagai dasar laba.
Para
ulama madzhab berbeda pendapat tentang hal ini. Meurut ulama madzhab Maliki (Al
Malikiyah) keadaan ini dibagi menjadi 3: Pertama, bagian yang bisa
dianggap sebagai pokok harga dan mempunyai bagian laba. Kedua, bagian
yang bisa dijadikan sebagai pokok modal, tetapi tidak mempunyai bagian laba dan
ketiga, bagian yang tidak bisa dimasukan dalam pokok modal dan tidak
juga mempunyai bagian laba.[27]
1) Bagian yang bisa
dianggap sebagai pokok harga dan mempunyai bagian laba. Bagian ini adalah biaya
yang dikeluarkan penjual dan berpengaruh serta melekat terhadap zat barang
secara langsung (biaya langsung harus dibayarkan pada pihak ketiga). Misalnya,
penjual berkata, "Saya membeli pakaian ini dengan harga sekian, dan saya
mencelupkannya dengan ongkos sekian, atau dan saya membordirkannya dengan biaya
sekian". Hukum biaya tambahan yang telah dikeluarkan penjual dalam kasus
tersebut di atas adalah seperti harga barang (sebagai pokok harga/pokok modal).
Kemudian biaya-biaya yang telah digabungkan dengan harga barang tersebut mempunyai bagian laba.
2) Bagian yang dimasukan
dalam pokok modal, tetapi tidak mempunyai bagian laba. Maka ia adalah perkara
yang tidak mempunyai pengaruh terhadap zat barang secara tidak langsung
(biaya-biaya tidak langsung yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga), yaitu
perkara-perkara yang penjual tidak mungkin mengusahakannya sendiri. Misalnya,
jasa pengangkutan (transportasi) dan penyewaan tempat untuk menyimpan barang,
maka, uang transport dan uang sewa tersebut dapat diperhitungkan (dimasukkan) ke
dalam pokok harga atau pokok modal, tetapi tidak mempunyai bagian laba.
3) Bagian yang tidak
bisa dimasukkan dalam pokok harga dan tidak mempunyai bagian laba. Maka ia
adalah perkara yang mempunyai pengaruh terhadap zat barang, baik secara
langsung ataupun tidak langsung, yaitu, perkara-perkara yang diusahakan
(dilakukan) sendiri oleh penjual (biaya-biaya langsung atau tidak langsung yang
berkaitan dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual). Misalnya penjual
merangkap juga sebagai seorang penjahit, kemudian dia menjahit pakaian yang dia
beli, atau dia seorang pencelup, kemudian pakaian ini dicelup sendiri. Atau,
seperti juga transportasi (pengangkutan) dan tempat penyimpanan (perawatan)
barang yang melibatkan pihak ketiga. Maka hukum biaya ini tidak bisa
diperhitungkan sebagai pokok harga (pokok modal).[28]
Ulama madzhab Hambali (Al
Hanabilah) berpendapat bahwa apabila biaya-biaya tersebut (baik langsung maupun
langsung), harus dibayarkan pada pihak ketiga dan akan berpengarauh terhadap
nilai barang yang dijual, penjual boleh memasukan biaya-biaya tersebut ke dalam
pokok harga dan membolehkan pembebanan pada harga jual.
Para Ulama Madzhab Syafi'i (Asy Syafi'iyah)
membolehkan semua biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli
untuk dimasukkan ke dalam pokok harga dan kemudian dapat dibebenakan pada harga
jual, selama biaya-biaya itu bermanfaat dan dapat menambah nilai barang yang
dijual. Namun, mereka tidak membolehkan biaya-biaya tenaga kerja untuk
dimasukkan dalam pokok harga, karena menurut mereka, komponen ini sudah
termasuk ke dalam keuntungan.
Sedangkan menurut ulama madzhab Hanafi (Al Hanafiyah), semua biaya yang
dikeluarkan pedagang untuk mendatangkan barang dapat diperhitungkan dalam pokok
harga.[29]
b. Cara Pembayaran
Murabahah
Cara
pembayaran murabahah dapat dilakukan secara naqdan (tunai) atau bittaqsith
(diangsur/dicicil) bila akadnya bersifat bitsaman ajil (tangguh/tempo),
tergantung kesepakatan yang dibuat antara penjual dan pembeli. Adanya murabahah
yang bitsaman ajil pada kebiasaannya akan menjadikan harganya lebih
tinggi daripada murabahah yang naqdan.
Menurut Al Hanabilah dan Ibnul Qoyyim, ketika seseorang menjual sesuatu
100 bila dibayar secara tunda atau 50 dibayar secara tunai, tidak ada riba di
dalamnya.[30]
Menurut Ibnu Qudamah dan Imam Nawawi, membayar dengan harga yang lebih
tinggi dalam jual beli secara tangguh / tempo merupakan kebiasaan pedagang dan
atas dasar ini tidaklah mengapa membayar dengan harga yang lebih tinggi untuk
barang yang dijual secara tunda.[31]
5. Aplikasi dalam Perbankan
Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual beli antara bank
selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli
barang. Bank memperoleh keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Harga
jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan yang disepakati
bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank.[32]
Dalam bank syariah, prinsip murabahah memegang kedudukan kunci
nomor dua setelah bagi hasil dan pembiayaan murabahah ini sangat berguna
sekali bagi seseorang atau perusahaan yang membutuhkan barang secara mendesak,
namun ia kekurangan dana, pada saat itu ia dianggap kekurangan likuiditas. Ia
meminta pada bank agar membiayai pembelian barang tersebut, dan bersdia
membayarnya diwaktu yang telah ditentukan.
Dengan ini, bank membeli komoditi untuk para nasabahnya dan menjual
kembali sampai seharga maksimum yang ditetapkan atau rasio laba harga yang
dinyatakan semula. Dengan kata lain, murabahah ialah pembiayaan sistem jual
beli, dimana bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan nasabah. Harga
jual kepada nasabah adalah sebesar harga pokok barang ditambah margin
keuntungan yang disepakati antara bank dengan nasabah.
[1]
Ghufron A. Mas'adi, Fiqh
Mu'amalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet.
ke-1, h.119
[2] Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. HidakaryaAgung, 1990), h.136
[3] M. Ufuqul Mubin (et.al), Bank
Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer Tentang Riba dan
Bunga (terj.), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. ke-1, h.137
[4] A. Hanafi, Bidayatul Mujtahid
(terj.), (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), cet. ke-1, Jilid 9, h.86
[5] M. Abdul Mujieb, et.al., Kamus
Istilah Fiqh, (Jakarta; PT. Pustaka Firdaus, 1994), Cet. ke-1, h.225
[6] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank
Syariah: Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institut, 2000), Cet.
ke-2, h.145
[7]
M. Syafi'i Anwar, "Alternatif
Terhadap Sistem Bunga", Jurnal Ulumul Qur'an, II, 9, (Oktober: 1991),
h. 13
[8]
Adiwarman A. Karim, Bank Islam:
Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), Cet. ke-1,
h.161
[9] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan
Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1999), cet. ke-1, h.64
[10]
Warkum Sumitro, Asas-asas
Perbankan Islam dan Lembaga Terkait: BMI & Takaful di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Edisi Revisi, h.37
[11] Adiwarman A. Karim, Loc.cit.
[12] Potan Arif Harahap, Ekonomi Islam:
Teori dan Praktek (terj.), (Jakarta: PT. Intermasa, 1992), Cet. ke-1, h.168
[13] Zainul Arifin, Dasar-Dasar
Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Alfabet, 2002), Cet. Ke-1, h.25
[14] Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad
Syafi'i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Syariah, (Jakarta: Yogyakarta,
1992), cet. ke-1, h.25
[15] Ash Shan'ani, Subul as Salam,
(Indonesia: Maktabah Dahlan, tth), Jilid 3, h. 76
[16] M. Ufuqul al-'Asqalani, Bulughu
al-Maram min Adillah al-Ahkam, (Beirut: Muassasah al-Rayyan, 2000), h.158
[17] Ibid.,
h.138
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), Cet. ke-1, h.115
[21] Ibid.
[22] Nasroen haroen, op.cit.,
h.116
[23] Ibid.,
h. 118
[24] Ibid.,
h.118-119
[25] Muhammad Syafi'i Antonio, op.cit.,
h.146
[26] Ibid.
[27] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid
wan Nihayatul Muqtashid, (Riyadh: Maktabar najar Musthofa al baaz, 1995
M/1415 H), Jilid II, cet. ke-1, h.376)
[28] Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqhu
'Ala al Madzahibil Arba'ah, (Beirut: Darul Fikr). Cet. ke-1, Jilid II, h.
534)
[29] Ibid.,
h.535-536
[30] Muhammad bin 'Ali bin Muhammad Asy
Syaukani, Nailul Authar, (Cairo : Maktabah Ad Da'wah Al Islamiyah, tt),
h. 152
[31] Ibnu Qudamah, Al Mugni, (Beirut :
Darul Kutub. Al 'Ilmiyah, 1994), Jilid IV, cet. ke-1, h. 281
[32] Zainul Arifin, Dasar-Dasar
manajemen Bank Syari'ah, (Jakarta: Alvabet, 2002), h. 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar