1. Sejarah Perkembangan Pasar Modal
Syariah
Penduduk Indonesia yang sebagian
besar adalah muslim seharusnya menjadi salah satu faktor pendorong kemajuan
instrumen investasi yang berprinsip syariah. Jumlah penduduk yang besar
sebenarnya merupakan potensi untuk menjadi pelaku utama pasar khususnya sebagai
investor lokal. Pemerintah dalam upaya menggalakkan program investasi baik
domestik maupun lokal berusaha menyediakan media yang diharapkan oleh
masyarakat pemodal. Salah satunya adalah dengan mengembangkan produk-produk
investasi di pasar modal indonesia yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Hal ini cukup penting dimana masih banyaknya masyarakat yang kurang paham
tentang kinerja pasar modal sehingga cepat memberikan pendapat yang tidak
seluruhnya benar pada pasar modal seperti investasi di pasar modal diharamkan
dalam ajaran Islam sementara menarik investasi melalui investor domestik maupun
asing khususnya dari negara-negara Timur Tengah sangat dibutuhkan bagi survive
tidaknya perekonomian.
Sejarah Pasar Modal Syariah di
Indonesia dimulai dengan diterbitkannya Reksadana Syariah oleh PT. Danareksa
Investment Management pada 3 Juli 1997. Selanjutnya, Bursa Efek Indonesia (d/h
Bursa Efek Jakarta) berkerjasama dengan PT. Danareksa Investment Management
meluncurkan Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli 2000 yang bertujuan untuk
memandu investor yang ingin menginvestasikan dananya secara syariah. Dengan
hadirnya indeks tersebut, maka para pemodal telah disediakan saham-saham yang
dapat dijadikan sarana berinvestasi sesuai dengan prinsip syariah.
Pada tanggal 18 April 2001, untuk
pertama kali Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
mengeluarkan fatwa yang berkaitan langsung dengan pasar modal, yaitu Fatwa
Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanan Investasi Untuk Reksadana Syariah.
Selanjutnya, instrumen investasi syariah di pasar modal terus bertambah dengan
kehadiran Obligasi Syariah PT. Indosat Tbk pada awal September 2002. Instrumen
ini merupakan Obligasi Syariah pertama dan akad yang digunakan adalah akad
mudharabah.[1]
Pasar Modal Syariah mulai ikut
meramaikan lantai bursa tepatnya pada tanggal 14 Maret 2003 dengan dibukanya
secara resmi Pasar Modal Syariah oleh menteri keuangan Boediono dan didampingi
oleh ketua Bapepam Herwidayatmo, wakil dari MUI dan wakil dari DSN serta
direksi SRO, direksi perusahaan efek, pengurus organisasi pelaku dan asosiasi
profesi di pasar Indonesia.[2]
Pada momentum yang bersejarah tersebut, di sahkan pula Dewan Syariah Nasional
(DSN) sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam mengawasi aspek syariah baik
sistem maupun produk dari Pasar modal Syariah. Maka selain Badan Pengawas Pasar
Modal, Pasar Modal Syariah juga diawasi secara ketat oleh DSN agar sistem
operasional dan produk-produk yang diluncurkan sesuai dengan kaidah-kaidah
syariah. Dewan Syariah Nasional (DSN) atau Al-Hai`ah as-Syar`iyah al-Wathaniyah
( National Sharia Board) adalah lembaga yang berada di bawah Majelis
Ulama Indonesia yang memiliki tugas untuk menggali, mengkaji dan merumuskan
nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syari`ah) sebagai dasar dan pedoman
dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syari`ah serta mengawasi pelaksanaan
dan implementasinya. Anggota lembaga ini adalah para ahli hukum Islam dan
praktisi ekonomi khususnya keuangan, baik bank maupun non bank yang berfungsi
untuk menjalankan tugas-tugas Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam
pelaksanaannya, lembaga ini dibantu dengan Badan Pelaksana Harian DSW (BPH-DSN)
yang melakukan penelitian, eksplorasi dan pengkajian. Kemudian setelah dianggap
cukup memadai, hasil kajian itu dituangkan dalam bentuk rancangan fatwa DSN.
Rancangan fatwa ini selanjutnya dibawa dalam rapat pleno pengurus DSN untuk
dibahas dan diputuskan menjadi fatwa DSN.
Dari sisi kelembagaan Bapepam-LK,
perkembangan Pasar Modal Syariah ditandai dengan pembentukan Tim Pengembangan
Pasar Modal Syariah pada tahun 2003. Selanjutnya, pada tahun 2004 pengembangan
Pasar Modal Syariah masuk dalam struktur organisasi Bapepam dan LK, dan
dilaksanakan oleh unit setingkat eselon IV yang secara khusus mempunyai tugas
dan fungsi mengembangkan pasar modal syariah. Sejalan dengan perkembangan
industri yang ada, pada tahun 2006 unit eselon IV yang ada sebelumnya
ditingkatkan menjadi unit setingkat eselon III.
Pada tanggal 23 Nopember 2006,
Bapepam-LK menerbitkan paket Peraturan Bapepam dan LK terkait Pasar Modal
Syariah. Paket peraturan tersebut yaitu Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A13
tentang Penerbitan Efek Syariah dan Nomor IX.A.14 tentang Akad-akad yang
digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal. Selanjutnya, pada
tanggal 31 Agustus 2007 Bapepam-LK menerbitkan Peraturan Bapepam dan LK Nomor
II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah dan diikuti dengan
peluncuran Daftar Efek Syariah pertama kali oleh Bapepam dan LK pada tanggal 12
September 2007.
Perkembangan Pasar Modal Syariah
mencapai tonggak sejarah baru dengan disahkannya UU Nomor 19 tahun 2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) pada tanggal 7 Mei 2008. Undang-undang ini
diperlukan sebagai landasan hukum untuk penerbitan surat berharga syariah
negara atau sukuk negara. Pada tanggal 26 Agustus 2008 untuk pertama kalinya Pemerintah
Indonesia menerbitkan SBSN seri IFR0001 dan IFR0002.
Pada tanggal 30 Juni 2009,
Bapepam-LK telah melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Bapepam-LK Nomor
IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah dan II.K.1 tentang Kriteria dan
Penerbitan Daftar Efek Syariah.
Sejak tahun 2001 hingga saat ini
terdapat 14 Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang
berkaitan dengan industri pasar modal. Calon emiten untuk memperoleh
sertifikasi syariah dari DSN-MUI harus terlebih dahulu mempresentasikan
terutama pada struktur bagi hasil dengan nasabah atau investor, struktur
transaksi, bentuk perjanjian, wali amanat dan lain lain.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Pasar Modal Syariah memiliki
karakteristik yang berbeda dari Pasar Modal Konvensional. Meskipun
produk-produk Pasar Modal Syariah diperdagangkan di lantai bursa yang sama
dengan produk-produk Pasar Modal konvensional, akan tetapi terdapat beberapa
perbedaan yang signifikan di dalamnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari filosofi ekonomi syariah sebagai
fondasi dan pilar utama dalam Pasar Modal Syariah. Perbedaan mendasar antara
pasar modal konvensional dan pasar modal syariah terletak pada instrument dan
mekanisme transaksi, sedangkan perbedaan nilai indeks saham syariah dengan
nilai indeks saham konvensional terletak pada kriteria saham emiten yang harus
memenuhi prinsip-prinsip dasar syariah. Instrumen investasi memenuhi prinsip
syariah apabila kegiatan perusahaan dan anak perusahaan tidak bergerak pada
alkohol, perjudian, produksi yang bahan bakunya berasal dari babi, pornografi ,
jasa keuangan yang bersifat konvensional dan auransi yang bersifat konvensional.
2. Jenis-Jenis Pasar Dalam Pasar
Modal
a. Pasar Perdana ( Primary Market )
Pasar Perdana adalah penawaran
saham pertama kali dari emiten kepada para pemodal selama waktu yang ditetapkan
oleh pihak penerbit (issuer) sebelum saham tersebut belum diperdagangkan di
pasar sekunder. Biasanya dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 6 hari kerja.
Harga saham di pasar perdana ditetukan oleh penjamin emisi dan perusahaan yang
go public berdasarkan analisis fundamental perusahaan yang bersangkutan. Dalam
pasar perdana, perusahaan akan memperoleh dana yang diperlukan. Perusahaan
dapat menggunakan dana hasil emisi untuk mengembangkan dan memperluas barang
modal untuk memproduksi barang dan jasa. Selain itu dapat juga digunakan untuk
melunasi hutang dan memperbaiki struktur pemodalan usaha. Harga saham pasar
perdana tetap, pihak yang berwenang adalah penjamin emisi dan pialang, tidak
dikenakan komisi dengan pemesanan yang dilakukan melalui agen penjualan.
b. Pasar Sekunder ( Secondary Market
)
Pasar sekunder adalah tempat
terjadinya transaksi jual-beli saham diantara investor setelah melewati masa
penawaran saham di pasar perdana, dalam waktu selambat-lambatnya 90 hari
setelah ijin emisi diberikan maka efek tersebut harus dicatatkan di bursa.
Dengan adanya pasar sekunder para
investor dapat membeli dan menjual efek setiap saat. Sedangkan manfaat bagi
perusahaan, pasar sekunder berguna sebagai tempat untuk menghimpun investor
lembaga dan perseorangan. Harga saham pasar sekunder berfluktuasi sesuai dengan
ekspetasi pasar, pihak yang berwenang adalah pialang, adanya beban komisi untuk
penjualan dan pembelian, pemesanannya dilakukan melalui anggota bursa, jangka
waktunya tidak terbatas.
Tempat
terjadinya pasar sekunder di dua tempat, yakni Bursa reguler adalah bursa efek resmi
seperti Bursa Efek Jakarta (BEJ), dan Bursa Efek Surabaya (BES dan Bursa
parallel atau over the counter adalah suatu sistem perdagangan efek yang
terorganisir di luar bursa efek resmi, dengan bentuk pasar sekunder yang diatur
dan diselenggarakan oleh Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE),
diawasi dan dibina oleh Bapepam. Over the counter karena pertemuan antara
penjual dan pembeli tidak dilakukan di suatu tempat tertentu tetapi tersebar
diantara kantor para broker atau dealer.
c. Struktur Pasar Modal
Struktur Pasar Modal Indonesia telah diatur oleh
UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Berdasarkan hal tersebut, kebijakan di
bidang Pasar Modal ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pembinaan, pengaturan dan
pengawasan sehari-hari Pasar Modal dilakukan oleh Bapepam sebagai salah satu
unit di lingkungan Departemen Keuangan. Secara umum struktur Pasar Modal
Indonesia bisa dilihat dalam bagan sebagai berikut:[3]
[1] http://www.bapepam.go.id/syariah/sejarah_pasar_modal_syariah.html, Diakses pada tanggal 4 November 2012
[2] Prof. Dr. H. Abdul Manan,SH., SIP., M.Hum, Aspek Hukum
dalam Penyeleggaraan Investasi di Pasar Modal Syariah Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2009, Cet. I, Hlm. 14
[3]http://www.idx.co.id/Portals/0/StaticData/AboutUs/IndonesiaCapitalMarketStructure/StrukturPasarModalIndonesiaInd_big.jpg, Diakses pada tanggal 4 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar