Full width home advertisement

Perjalanan Umroh & Haji

Explore Nusantara

Jelajah Dunia

Post Page Advertisement [Top]

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengaturan yang menyeluruh dan utuh tentang pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, merupakan sesuatu hal yang baru. Sebelumnya pengaturan ini tersebar ke dalam berbagai pengaturan. Dalam sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia, konstitusi Indonesia juga hanya memuat pengaturan pokok mengenai kekuasaan pembentuk undang-undang selebihnya, aturan turunan mengenai bagaimana peratutran perndang-undangan di buat, materi muatan, batasan kewenangan masing-masing organ pembentuk, dan lain sebagainya, tidak cukup jelas mewadahi dalam berbagai pengaturan yang parsial.

Selanjutnya tentang sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia, mulai menapaki babak baru setelah lahirnya UU NO. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian pada tahun 2011 dirubah dengan UU No. 12 tahun 2011, dalam kaitannya dengan UU tersebut, pembahasan mengenai tema makalah yang akan kami tulis, kami mengacu sepenuhnya terhadap udang-undang tersebut, sebagai tolak ukur dalam membahas jenis, hierarki, macam, fungsi dan materi muatan peraturan perundang-undangan.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, selanjutnya kami dapat menyimpulkan rumusan masalah sebagai berikut ;

1. Apa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan?

2. Apa saja fungsi peraturan perundang-undangan?

3. Materi muatan apa saja dalam peraturan perundang-undangan?


BAB II

PEMBAHASAN

Jenis, Hierarki, Fungsi Dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan

A. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata perundang-undangan diartikan sebagai “yang bertalian dengan undang-undang atau seluk beluk undang-undang.” Adapun kata “undang-undang diartikan ”ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif dsb) disahkan oleh parlemen (dewan perwakilan rakyat, badan legislatif, dsb) ditandatangani oleh kepala Negara (Presiden, Kepala Pemerintahan, Raja) dan mempunyai kekuatan yang mengikat”.

Sebagai istilah hukum, peraturan perundang-undangan sering disebutkan sebagai terjemahan “wettelijke regelingen”. Adapula yang menyebutkan bahwa istilah ini merupakan terjemahan dari “algemene verordeningen”. Menurut A. Hamid SA, apabila peraturan perundang-undangan diambil dari terjemahan “wettelijke regelingen” maka peraturan perundang-undangan mempunyai cakupan yang sempit karena didalamnya tidak termasuk “wetten” (undang- undang), AMvB [(tindakan umum pemerintah yang ditetapkan dengan Koninjljk Besluit (KB)], dan AMvB diterjemahkan dengan “peraturan pemerintah” yang dibuat di Belanda dan Ordonansi yang dibuat di Hindia Belanda. Apabila “peraturan perundang-undangan” merupakan terjemahan dari “algemene verordeningen”, ia mempunyai cakupan lebih luas karena termasuk didalamnya undang-undang (wet), peraturan pemerintah (AMvB), dan Ordonansi.

Dalam Undang-Undang tentang pembentukan peraturan perundang- undangan disebut dengan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

Yang dimaksud dengan jenis adalah macam (peraturan perundang- undangan). Sedangkan Hierarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang- undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang- undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas merupakan hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan Perundang-undangan selalu berla bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undanga lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan seterusnya sampai pada Peraturan Perundang-undangan paling tinggi tingkatannya. Konsekuensinya, setiap Peraturan Perundang- undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Selain jenis peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut diatas itu, juga terdapat jenis pengaturan yang lain yakni tidak disebut dengan peraturan perundang-undangan, yang dikeluarkan oleh badan-badan Negara lainnya. Pengaturan itu diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis peraturan tersebut termaktub dalam pasal 8 (1) UU No. 12 tahun 2011, yakni berbunyi sebagaimana berikut; Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Dengan demikian, selain UUD, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Perda, terdapat banyak jenis peraturan perundang-undangan yang lain dengan kualifikasi sebagai berikut:[1]

a. diakui keberadaannya;

b. mempunyai kekuatan hukum mengikat;

c. dibentuk atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan

d. dibentuk oleh badan yang diberi kewenangan

B. Fungsi Peraturan Perundang-Undangan

Fungsi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah “kegunaan suatu hal”. Secara umum peraturan perundang-undangan fungsinya adalah “mengatur” sesuatu substansi untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat. Artinya, peraturan perundang-undangan adalah sebagai instrumen kebijakan (beleids instrument) apapun bentuknya, apakah bentuknya penetapan, pengesahan, pencabutan, maupun perubahan.

Bagir Manan mengemukakan pula tentang fungsi peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dikutif oleh Inna Junaenah dalam blognya, dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu;[2]

1. Fungsi Internal, adalah fungsi pengaturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme hukum, fungsi kepastian hukum.

a. Fungsi penciptaan hukum.

Penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara yaitu melalui putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku secara umum. Secara tidak langsung, hukum dapat pula terbentuk melalui ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan hukum.

Di Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum. peraturan perundang-undangan merupakan sendi utama sistem hukum nasional. Pemakaian peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukum nasional karena ;[3]

· Sistem hukum Indonesia – gebagai akibat sistem hukum Hindia Belandia – lebih menampakkan sistem hukum kontinental yang mengutamakan bentuk sistem hukum tertulis (geschrevenrecht, written law).

· Politik pembangunan hukum nasional mengutamnakan penggunaan peraturan perundang-undangan sebagai Instrumen utama. Bandingkan dengan hukum yurisprudensi dan hukum kebiasaan. Hal ini antara lain karena pembangunan hukum nasional yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai instrument dapat disusun secara berencana (dapat direncanakan).

b. Fungsi pembaharuan hukum.

Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang efektif dalam pembaharuan hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan Sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional (dibuat setelah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang hukum kebiasaan atau hukum adat. Peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau hukum adat yang tidak
sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.

c. Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum

Pada saat ini, di Indonesia masih berlaku berbagai system hukum (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem hukum kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem hukum nasional”.

Pluralisme hukum harus dibedakan antara pluralisme sistem hukum dan pluralisme kaidah hukum. Di Indonesia terdapat pluralisme baik pada sistem hukum maupun kaidah hukum. Pluralisme sistem hukum karena berlaku sistem hukum Barat, sistem hukum adat dan lain sebagainya. Pluralisme kaidah hukum misalnya ada perbedaan hukum yang berlaku untuk Jawa dan Madura dan Luar Jawa-Madura. Pluralisme kaidah hukum dapat terjadi dalam satu sistem hukum, karena kebutuhan tertentu.

Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut tidaklah dimaksudkan meniadakan berbagai sistem hukum – terutama sistem hukum yang hidup sebagai satu kenyataan yang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat. Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum sepenuhnya bergantung pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah hukum dapat berbeda antara berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

d. Fungsi kepastian hukum

Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupaken asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (hendhaving, uitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan perundang-undangan depat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dan pada hukum kebiasan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui, kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written). Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain harus memenuhi syarat-syarat formal, harus memenuhi syarat-syarat lain, yaitu:

· Jelas dalam perumusannya (unambiguous).

· Konsisten dalam perumusannya -baik secara intern maupun ekstern. Konsisten secara intern mengandung makna bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan sietematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa. Konsisten secara eketern, adalah adanya hubungan “harmonisasi” antara herbagrii peraturan perundang-undangan.

· Penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti. Bahasa peraturan perundang-undangan haruslah bahasa yang umum dipergunakan masyarakat. Tetapi ini tidak
berarti bahasa hukum tidak penting. Bahasa hukum –baik dalam arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan tertentu harus dipergunakan secara ajeg karena merupakan bagian dan upaya menjamin kepastian hukum Merupakan syarat-syarat di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih tidak pasti dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi.

2. Fungsi Eksternal, adalah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi perubahan, fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan demikian, fungsi ini dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih diperankan oleh peraturan perundang-undangan, karena berbagai pertimbangan yang sudah disebutkan di muka. Fungsi sosial ini dapat dibedakan:

a. Fungsi perubahan

Telah lama di kalangan pendidikan hukum diperkenalkan fungsi perubahan ini yaitu hukum sebagai sarana pembaharuan (law as social engineering).[4] Peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Masyarakat “patrilineal” atau “matrilineal” dapat didorong menuju masyarakat “parental” melalui peraturan perundang-undangan perkawinan.

b. Fungsi stabilisasi

Peraturan perundang-undangan dapat pula berfungsi sebagai stabilisasi. Peraturan perundang-undangan di bidang pidana, di bidang ketertiban dan keamanan adalah kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjami stabilitas masyarakat. Kaidah stabilitas dapat pula mencakup kegiatan ekonomi, seperti pengaturan kerja, pengaturan tata cara perniagaan dan lain-lain. Demikian pula di lapangan pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula berfungsi menstabilkan sistem soeial budaya yang telah ada.

c. Fungsi kemudahan

Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan insentif seperti keringanan pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya, peraturan kemudahan akan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan seperti disebutkan di atas diperlukan juga persyaratan lain seperti stabilitas politik, sarana dan prasarana ekonomi, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.

Uraian lain tentang fungsi peraturan perundan-undangan dikemukakan oleh ahli peraturan perundang undangan kenamaan seperti Robert Baldwin dan martin cave, sebagaiman di kutif oleh Ismail Hasani dan Prof. DR. A. Gani Abdullah, SH, yang mengemukakan bahwa peraturan perundang undangan memiliki fungsi :[5]

a. Mencegah monopoli atau ketimpangan kepemilikan sumber daya

b. Mengurangi dampak negatif dari suatu aktivitas dan komunitas atau lingkunganya

c. Membuka informasi bagi publik dan mendorong keseteraan antar kelompok (mendorong perubahan institusi, atau affirmative action kepada kelompok marginal)

d. Mencegah kelangkaan sumber daya public dari eksploitasi jangka pendek

e. Menjamin pemerataan kesempatan dan sumber daya serta keadilan sosial, perluasan akses dan redtribusi sumber daya, dan

f. Memeperlancar koordinasi dan perencanaan dalam sector ekonomi.

Secara khusus fungsi peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis-jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dikutif oleh Rudini Silaban dalam blognya tersebut dapat dirinci sebagai berikut ;[6]

1. Fungsi UUD 1945 yang utama adalah membatasi dan membagi kewenangan para penyelenggara pemerintahan negara,sehingga dapat tercipta keterkendalian dan keseimbangan (checks and balances) diantara para penyelenggara pemerintahan negara sesuai dengan asas trias politica (distribution of powers) dan menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (cleangovernance/goverment).

2. Fungsi Undang-undang (UU) adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UUD 1945 (dan Perubahannya) baik yang tersurat maupun yang tersirat sesuai dengan negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan asas konstitusionalisme, serta yang diperintahkan oleh TAP MPR yang tegas-tegas menyebutnya (sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (3) TAP MPRNo. III/MPR/2000).

3. Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti UU adalah mengatur lebih lanjut sesuatu substansi dalam keadaan hal-ihwal kegentingan yang memaksa berdasarkan Pasal 22 UUD 1945, dengan ketentuan sebagai berikut:

· Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut:

· DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;

· Jika ditolak DPR Perpu tersebut harus dicabut.

4. Fungsi Peraturan Pemerintah adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut untuk melaksanakan perintah suatu UU. Landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Di samping itu kata “perintah” dimuat dalamPasal 3 ayat (5) TAP MPR No. III/MPR/2000.

5. Fungsi Peraturan Presiden (regeling) adalah menyelenggarakan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan (Pasal 3 ayat (6)TAP MPR No. III/MPR/2000). Sedangkan landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yaitu menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara. Mengenai lingkup“administrasi negara dan pemerintahan” dalam Pasal 6 TAP MPR No.III/MPR/2000 masih akan diatur lebih lanjut dengan UU.

6. Fungsi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) adalah untuk menyelenggarakan aturan lebih lanjut atau mengisi kekosongan aturan yang berkaitan dengan lembaga peradilan dan hokum acaranya. Dasar hukumnya adalah UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 4 ayat (2) TAPMPR No. III/MPR/2000. Sebenarnya Perma ini bukan termasuk jenis peraturan perundang-undangan tetapi termasuk jenis peraturan perundang-undangan semu (pseudowetgeving/beleidsregels).

7. Fungsi Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bersifat pengaturan (regeling) adalah untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan pengawasan penggunaan uang dan kekayaan negara yang bersifat teknis sebagai pelaksanaan UU No. 5 tahun 1973 yang di rubah dengan UU NO. 15 tahun 2006 tentang BPK, yang dilakukan oleh semua lembaga pemerintah di Pusat dan Daerah untuk disampaikan kepada DPR dan selanjutnya untuk ditindak lanjuti.

8. Fungsi Peraturan Bank Indonesia adalah untuk menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan UU No. 23 tahun 1999 dengan perubahan terakhir UU No. 6 tahun 2009 tentang Bank Indonesia yang berkaitan dengan tujuan dan tugas Bank Indonesia mengenai kestabilan rupiah, kebijakan moneter, kelancaran sistem pembayaran,dan pengawasan perbankan.

9. Fungsi Keputusan Menteri (Kepmen) yang bersifat pengaturan (regeling) adalah menyelenggarakan fungsi pemerintahan umum sebagai pembantu Presiden sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi, serta kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menteri yang dimaksud adalah baik menteri negara maupun menteri yang memimpin departemen teknis. Kepmen ini seyogyanya hanya merupakan delegasian dari Keppres yang bersifat pengaturan (regeling) atau Peraturan Pemerintah. Sedangkan kalau suatu UU akan mendelegasikan Pasal tertentu kepada Kepmen seyogyanya kalau substansi tersebutsangat bersifat teknis. Misalnya penentuan jenis-jenis narkotika sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1997 dengan perubahan terakhir UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika diatur/ditetapkan lebih lanjut dengan Kepmenkes.

10. Fungsi Keputusan Ketua/Kepala LPND (lembaga pemerintah non defartemen) /Komisi/Badan atau yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah yang bersifat pengaturan (regeling) adalah untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi serta kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur dan menetapkan LPND/Badan/Komisi tersebut.

11. Fungsi Peraturan Daerah Propinsi adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah di tingkat propinsi dan tugas pembantuan (medebewind) serta dekonsentrasi dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 13 (tugas pembantuan) dari UU No. 22 tahun 1999 dengan perubahan terakhir UU No. 32 tahun 2004 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (vide Pasal 3 PP No. 25 tahun 2000). Disamping itu fungsi Peraturan Daerah Propinsi juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Propinsi dalam rangka menetapkan APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD, dan pengelolaan keuangan daerah Propinsi sesuai dengan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1) UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

12. Fungsi Keputusan Gubernur Propinsi yang bersifat pengaturan (regeling) adalah untuk menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam Perda Propinsi atau atas kuasa peraturan perundang-undangan lain, sesuai dengan lingkup kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administratif (wakil Pemerintah Pusat).

13. Fungsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah sepenuhnya ditingkat Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan (medebewind) dalam rangka mengurus kepentingan rakyat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11dan Pasal 13 UU No. 22/1999 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP No.25/2000 (vide Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5)) melaluiteori residu. Fungsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga untuk menyelenggarakan ketentuan tentang fungsi anggaran dari DPRD Kabupaten/Kota dalam rangka menetapkan APBD, Perubahan dan Perhitungan APBD, dan pengelolaan keuangan daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan Pasal 19 ayat(3) dan Pasal 23 ayat (1) UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

14. Fungsi Keputusan Bupati/Walikota yang bersifat pengaturan (regeling) adalah untuk menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam Perda Kabupaten/Kota atau ataskuasa peraturan perundang-undangan lain, sesuai dengan lingkup kewenangan Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom sepenuhnya.

15. Fungsi Peraturan Desa (atau yang sejenis) adalah untuk menyelenggarakan ketentuan yang mengayomi adatistiadat desa;

16. Fungsi Keputusan Kepala Desa adalah untuk mengatur lebih lanjut ketentuan yang termuat dalam Peraturan Desa.

C. Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan

Materi muatan adalah isi dari setiap jenis peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Materi muatan ini penting untuk diperhatikan agar tidak menjadi tumpang tindih pengaturan maupun penyalah gunaan wewenang. Materi muatan undang-undang misalnya, jelas tidak boleh diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden karena undang-undang mempunyai karakteristik tersendiri sebagai suatu peraturan perundang-undangan tertinggi dibawah konstitusi yang dibuat bersama oleh eksekutif dan legislatif.[7]

Menurut UU No. 12 tahun 2011 pasal 1 ayat 13, Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang- undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

Untuk memahami materi muatan peraturan perundang-undanag secara rinci, kami paparkan sebagai berikut menurut hierarki dan jenis peraturan perundang-undangan itu sendiri;

1. Materi Muatan UUD RI Tahun 1945

Dalam UU No. 12 tahun 2011 tidak disebutkan secara gamblang tentang materi muatan UUD, alasannya adalah karena UUD 1945 lebih tinggi derajat hierarkinya daripada UU No. 12 tahun 2011.

Negara Republik Indonesia sudah lebih dari setengah abad merayakan hari kemerdekaannya terhitung dari tanggal 17 Agustus 1945. Perayaan itu memberikan gambaran dari proses lahirnya konstitusi tertulis Negara Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 UUD 1945 ditetapkan sebagai Konstitusi Republik Indonesia.[8] Konstitusi tersebut telah dijadikan landasan berjalannya sistem ketatanegaraan negara ini. Berbagai isi/ muatan yang terkandung dari awal pembentukan hingga perubahan yang keempat kalinya telah mengalami perubahan pula.

Fenomena perubahan yang terjadi mengingat pula bahwa Indonesia merupakan negara yang berdaulat terhadap hukum. Hukum yang selalu mengikuti perkembangan zaman telah memberikan sumbangsih atas perubahan-perubahan yang terjadi pada materi muatan UUD tersebut.

Berbagai segi maupun aspek yang berubah materi muatan konstitusi menurut Mr. J.G Steenbeek seperti yang dikutip oleh Dahlan Thaib, Jaiz Hamidi dan N’imatul Huda, mulai dari Jaminan Hak Asasi Manusia dan hak warga negaranya, susunan dasar ketatanegaraan negara yang bersangkutan, dan susunan dasar pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraa telah mengalami perubahan mendasar.[9]

Kemudian juga mengenai materi muatan konstitusi dalam konteks Konstitusi Indonesia atau UUD 1945 menurut Miriam Budiardjo yang dikutip oleh Dendi Ahmad P Patryayuda dalam Forum Kompasiana adalah sebagai berikut;[10]

1. Organisasi Negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yuridiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya.

2. Hak-hak asasi manusia.

3. Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar.

4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar.

Perlu juga dimuat keterangan Prof. Dr. Jimly Assiddiqie mengenai konstitusi sebagai konstitusi politik;[11] Sebagai konstitusi politik, UUD 1945 mengatur masalah susunan kenegaraan, hubungan antara lembaga-lembaga negara, dan hubungan dengan warga negara. Hal ini misalnya diatur dalam Bab I tentang Bentuk Kedaulatan, Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara, Bab V tentang Kementrian Negara, Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Badang Pemeriksa Keuangan, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab IX tentang Wilayah Negara,…, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Bab XV tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar, Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan.

2. Materi Muatan Undang-Undang atau Perpu

UU No. 10 tahun 2004 mengatur dalam pasal 8 mengenai materi muatan dalam Undang-undang sebagai berikut;

1) mengatar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

a. hak-hak asasi manusia;

b. hak dan kewajiban warga negara;

c. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;

d. wilayah negara dan pembagian daerah;

e. kewarganegaraan dan kependudukan;

f. keuangan negara,

2) diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untak diatur dengan Undang-Undang.

Berbeda dengan UU No. 12 tahun 2011 perubahan atas UU No. 10 tahun 2004 pasal 10, dalam UU ini menyebutkan bahwa;

(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.

3. Materi Muatan Peraturan Pemerintah

Materi muatan peraturan pemerintah sebagaimana dijelaskan oleh UU No 12 tahun 2011 pasal 12 adalah sebagai berikut; Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Sejalan dengan pengertian peraturan pemerintah itu sendiri sebagai peraturan yang dibentuk untuk menjalankan UU atau agar peraturan yang dibentuk agar ketentuan dalam UU dapat berjalan.

4. Materi Muatan Peraturan Presiden

Sedangkan materi muatan Perpres sebagaimana yang dijelaskan UU No. 12 tahun 2011 pasal 13 sebagai berikut; Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

5. Materi Muatan Peraturan Daerah

Materi muatan Perda sebagai mana yang termaktub dalam pasal 14 UU No. 12 tahun 2011 sebagai berikut; Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain materi muatan tersebut, dalam perda diatur juga tentang materi muatan ketentuan pidana. Dalam pasal 13 UU No. 10 tahun 2004 juga, menjelaskan materi muatan Perdes sebagai berikut; Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

6. Materi Muatan Peraturan Lain selain Peraturan Perundang-undangan

UU No. 10 tahun 2004, tidak secara tegas menyebutkan materi muatan peraturan lain selain peraturan perundang-undangan, namun demikian sesuai dengan fungsi dan organ pembentuk peraturan ini, maka materi muatan peraturan-peraturan itu berisi tentang hal-hal yang menjadi kewenangan, tugas pokok dan fungsinya.

Materi muatan peraturan ini berupa pelaksana dari UU yang mengatur kelembagaan organ pembentuk peraturan itu. Biasanya eraturan yang dibuat oleh organ-organ pembentuk ini, sangat spesifik. Misalnya peraturan mahkamah agung No. 2 tahun 2005 tentang mekanisme penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada), peraturan ini berisi tentang tata cara beracara dalam penyelesaian sengketa pilkada, konsideran peraturan itu mengacu pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya memuat klausul yang menyebutkan secara tegas bahwa mahkamah agung adalah lembaga yang berwenang memutus sengketa pilkada. Contoh peraturan lain adalah peraturan menteri, peraturan gubernur bank Indonesia, peraturan mahkamah konstitusi, dll.

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah kami paparkan tersebut diatas, sekiranya dapat kami simpulakan point-poin penting sebagai berikut ini;

1. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang- undangan adalah sebagai berikut: UUD 1945, Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Perda, selain itu terdapat jenis pengaturan yang lain yakni tidak disebut dengan peraturan perundang-undangan, yang dikeluarkan oleh badan-badan Negara lainnya.

2. Bagir Manan mengemukakan pula tentang fungsi peraturan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu; Fungsi Internal, adalah fungsi pengaturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme hukum, fungsi kepastian hukum. Dan Fungsi Eksternal, yaitu keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi perubahan, fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan.

3. Menurut UU No. 12 tahun 2011 pasal 1 ayat 13, Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang- undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan

B. Kritik dan Saran

Semoga tulisan makalah yang berada di tangan teman-teman sekalian ini, walaupun banyak kekurangan disana sini memberikan manfaat bagi kita semua. Kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari teman-teman semua, hal ini dimaksudkan sebagai cambuk bagi kami untuk pembuatan makalah yang lebih baik lagi. Mohon kepada Yth. Bapak Ismail Hasani, selaku pembimbing dalam mata kuliah Ilmu Perundang- Undangan untuk mengoreksi tugas kelompok kami ini, semoga amal kebaikan dan pengabdian beliau dilipatgandakan oleh Allah Swt, Amien.

C. DAFTAR PUSTAKA

Dahlan Thaib, Jaiz Hamidi dan N’imatul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2003

Di akses pada tanggal 10 April 2012, http://innajunaenah.wordpress.com/2009/06/01/fungsi-peraturan-perundang-undangan/

Diakses pada tanggal 11 April 2012, http://hukum.kompasiana.com/2010/12/11/materi-muatan-konstitusi-pada-uud-1945/

Diakses pada tanggal 11 April 2012, http://rudini76ban.wordpress.com/2009/03/21/fungsi-peraturan-perundang-undangan/

Ismail Hasani & Prof. DR. A. Gani Abdullah, SH, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Konstitusi Press, 2005

Jimly Assiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta, MKRI), 2005

Prof. DR. A. Gani Abdullah, Pengantar Memahami Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia, Vol I, No. 2



[1] Prof. DR. A. Gani Abdullah, Pengantar Memahami Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia), Vol I, No. 2, hlm. 7

[2] Di akses pada tanggal 10 April 2012, http://innajunaenah.wordpress.com/2009/06/01/fungsi-peraturan-perundang-undangan/

[4] Ajaran ini berasal dari Roscoe Pound. Di Indonesia dipopulerkan oleh Prof. Mochtar Kusuaatmadja, ia seorang akademisi dan diplomat Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dari tahun 1974 sampai 1978 dan Menteri Luar Negeri dari tahun 1978 sampai 1988.

[5] Ismail Hasani & Prof. DR. A. Gani Abdullah, SH, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 2006, hlm.33

[6] Diakses pada tanggal 11 April 2012, http://rudini76ban.wordpress.com/2009/03/21/fungsi-peraturan-perundang-undangan/

[7] Ismail Hasani & Prof. DR. A. Gani Abdullah, SH, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 2006, hlm.35

[8] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Jakarta: Konstitusi Press), 2005, hlm. 49

[9] Dahlan Thaib, Jaiz Hamidi dan N’imatul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hlm. 16.

[10] Diakses pada tanggal 11 April 2012, http://hukum.kompasiana.com/2010/12/11/materi-muatan-konstitusi-pada-uud-1945/

[11] Jimly Assiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta, MKRI), 2005, hlm. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| All Rights Reserved - Designed by Colorlib