Full width home advertisement

Perjalanan Umroh & Haji

Explore Nusantara

Jelajah Dunia

Post Page Advertisement [Top]

Peran Perbankan Dalam

Pengembangan Green Building

Disusun Oleh;

Uuf Rouf, Ihsan Badruni Nasution, Dewi Ratna Anggraini, Muhammad Fikri dan Abdurahman

A. Latar Belakang

Perubahan iklim menjadi isu utama di dunia saat ini. Hampir semua Negara memfokuskan diri pada upaya mengurangi dampak perubahan iklim yang sudah semakin nyata terhadap kehidupan manusia. Dampak perubahan iklim ini menyadarkan semua pihak untuk bertindak sesuatu guna menyelamatkan kehidupan manusia di bumi.

Kepedulian sekelompok manusia saja terhadap lingkungan hidup tidak cukup oleh karena perubahan suatu lingkungan bukan saja berdampak secara lokal, tetapi sering dapat pula berdampak global. Misalnya saja menguapnya chlorofluorocarbons (CFCs) yang dipakai dalam air conditioning (AC), lemari es, dan plastik foams ke dalam atmosfer bagian atas, telah merusak lapisan stratospheric ozone yang melindungi kita dari radiasi ultraviolet yang membahayakan. Sekalipun CFCs tersebut berasal dari AC dan lemari es di Indonesia tetapi akibatnya terasa diseluruh dunia. Itulah sebabnya mengapa “United Nations Conference on the Human Environment” yang diselenggarakan di Stockholm tanggal 5-16 Juni 1972 telah menegaskan dalam rumusan kedua dari hasil konperensi itu bahwa pengelolaan lingkungan hidup demi pelestarian kemampuan lingkungan hidup merupakan kewajiban dari segenap umat manusia dan setiap pemerintah di seluruh dunia.[1]

Perkembangan hukum lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat karena adanya Stockholm Declaration ini, baik pada taraf nasional, regional maupun internasional. Keuntungan yang tidak sedikit adalah mulai tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasa di antara para ahli hukum dengan menggunakan Stockholm Declaration sebagai referensi bersama.[2]

Berbagai forum internasional terus digelar untuk membahas tindakan nyata mengatasi perubahan iklim yang antara lain diselenggarakan di Copenhagen, Denmark, tanggal 7-12 Desember 2009. Inti hakekat masalah lingkungan hidup adalah memelihara hubungan serasi antara manusia dengan lingkungan. Pembangunan menimbulkan perubahan, baik dalam lingkungan alam maupun dalam lingkungan sosial, maka penting diusahaka agar perubahan-perubahan lingkungan ini tidak sampai mengganggu keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan.[3]

Kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup dalam GBHN serta dengan diundangkannya UUPPLH merupakan tanggapan (response) pemerintah dan bangsa Indonesia terhadap hasil “United Nations Conference on the Human Environment” yang diselenggarakan di Stockholm sebagaimana telah diuraikan diatas.

Perubahan iklim timbul dari hubungan sebab akibat antara efek rumah kaca dan pemanasan global, maka keberlanjutan bisnis perbankan juga merupakan hubungan sebab akibat antara perilaku bisnis dan lingkungan. Kesadaran ini dimiliki oleh kalangan perbankan demi menyelamatkan lingkungan, sebagai motor penggerak roda perekonomian negara maka perbankan dalam era perubahan iklim layak memberikan kontribusi optimal.

Perbankan perlu beradaptasi secara interdepedensial dengan lingkungan, dalam hal ini dikenal dengan istilah green banking, sebagai cara untuk memenangkan persaingan pasar sekaligus turut melestarikan lingkungan, karena perbankan tidak bisa hidup tanpa lingkungan yang memadai. Ini tercermin dari aspek iklim usaha yang baik maupn lingkungan hidup yang lestari.

Pembiayaan proyek pada bank yang berwawasan lingkungan telah terbukti dapat meningkatkan daya saing dan memberi keunggulan tersendiri dalam strategi bisnis. Dengan demikian, perbankan diharapkan dapat meningkatkan peran dan perhatian terhadap pembiayaan kepada proyek-proyek yang mempunyai perhatian terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup.

Peran serta sektor perbankan dalam rangka mendukung pengelolaan lingkungan hidup sejalan dengan undang-undang dan diamanatkan dalam Pasal 8 Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998.

Bank memiliki peranan sebagai penghimpun dana dari masyarakat untuk modal pembangunan. Sebagai lembaga keuangan, Bank memiliki usaha pokok, yaitu memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.

Pemberian kredit merupakan salah satu bagian yang penting dalam kehidupan perbankan, sebab bank dapat hidup dari usaha penyaluran dan berupa pemberian kredit tersebut.

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional, bank perlu terus ditingkatkan dan diperluas peranannya, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal. Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan nasional tersebut dalam ketentuan Pasal 4 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ditentukan bahwa: “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.”

Terhadap konsekuensi lingkungan dari kredit yang diberikan, bank perlu lebih sensitif, di Indonesia lembaga keuangan yang berwawasan lingkungan (Green Banking) mulai muncul, misalnya dalam menerapkan bahwa analisis mengenai dampak lingkungan menjadi bagian penting dalam analisis pemberian kredit dan menyangkut dokumentasi perkreditan (loan documentation).

Selanjutnya, kesadaran global tentang lingkungan hidup khususnya dalam bidang arsitektur bangunan meningkat dengan tajam. Gerakan hijau (Green) berkembang pesat tidak hanya sekedar melindungi sumber daya alam, tetapi juga pada implementasinya dalam rangka efisiensi penggunaan energi dan meminimalisir kerusakan lingkungan. Perancangan arsitektur sedikit banyak telah berubah, merefleksikan sikap masyarakat yang makin peduli terhadap lingkungan hidup. Demikian pula ketersediaan produk ramah lingkungan yang makin mudah diperoleh di pasar.

Berangkat dari latar belakang diatas, makalah ini kami beri judul “Peran Perbankan dalam Pengembangan Bangunan Hijau (Green Building)”, yang pada intinya akan membahas mengenai; Bagaimana Green Banking dalam kebijakan perbankan di Indonesia, serta bagaimana peran dan tanggung perbankan dalam pengembangan Green Building terkait dengan kebijakan kredit perbankan.

B. Fungsi dan Peran Perbankan

Bank mempunyai fungsi dan peranan penting dalam perekonomian nasional. jika di lihat dari kondisi masyarakat sekarang, jarang sekali orang yang tidak mengenal dan tidak berhubungan dengan Bank. Hampir semua orang berkaitan dengan lembaga keuangan. Pada mulanya kegiatan perbankan dimulai dari jasa penukaran uang, sehingga dalam sejarah perbankan arti bank di kenal sebagai meja tempat menukarkan uang, dimana kegiatan penukaran uang tersebut sekarang dikenal dengan pedangang valuta asing (money changer). Dalam perkembangan selanjutnya kegiatan perbankan berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang, yang kini di kenal dengan kegiatan simpanan (tabungan). Kegiatan perbankan bertambah lagi sebagai tempat peminjaman uang. Kegiatan perbankan terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, dimana bank tidak lagi sekedar sebagai tempat menukar uang atau tempat menyimpan dan meminjam uang. Hingga akhirnya keberadaan bank sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat, hingga tingkat negara, dan bahkan sampai tingkat internasional.

Mengenai fungsi perbankan Indonesia, secara umum diatur dalam Pasal 3 UU No. 7 Tahun 1992, yaitu: sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.

Adapun fungsi perbankan Indonesia secara luas adalah: Bank sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat atau penerima kredit, bank sebagai penyalur dana kepada masyarakat atau sebagai lembaga pemberi kredit dan bank sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran.

Penghimpun dana yang bersumber dari bank sendiri yang berupa setoran modal waktu pendirian. Penghimpun dana yang berasal dari masyarakat luas yang dikumpulkan melalui usaha perbankan seperti usaha simpanan giro, deposito dan tabanas.

Penghimpun dana yang bersumber dari Lembaga Keuangan yang diperoleh dari pinjaman dana yang berupa Kredit Likuiditas dan Call Money (dana yang sewaktu-waktu dapat ditarik oleh bank yang meminjam) dan memenuhi persyaratan. Mungkin Anda pernah mendengar beberapa bank dilikuidasi atau dibekukan usahanya, salah satu penyebabnya adalah karena banyak kredit yang bermasalah atau macet.

Penyalur dana-dana yang terkumpul oleh bank disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit, pembelian surat-surat berharga, penyertaan, pemilikan harta tetap.

Pelayan Jasa Bank dalam mengemban tugas sebagai “pelayan lalu-lintas pembayaran uang” melakukan berbagai aktivitas kegiatan antara lain pengiriman uang, inkaso, cek wisata, kartu kredit dan pelayanan lainnya.

Dalam menjalankan kegiatannya bank mempunyai peran penting dalam sistem keuangan, yaitu :

1. Pengalihan Aset (asset transmutation) Yaitu pengalihan dana atau aset dari unit surplus ke unit devisit. Dimana sumber dana yang diberikan pada pihak peminjam berasal pemilik dana yaitu unit surplus yang jangka waktunya dapat diatur sesuai dengan keinginan pemilik dana. Dalam hal ini bank berperan sebagai pangalih aset yang likuid dari unit surplus (lender) kepada unit defisit (borrower).

2. Transaksi (transaction) Bank memberikan berbagai kemudahan kepada pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi. Dalam ekonomi modern, trnsaksi barang dan jasa tidak pernah terlepas dari transaksi keuangan. Untuk itu produk-produk yang dikeluarkan oleh bank (giro, tabungan, depsito, saham dan sebagainya)merupakan pengganti uang dan dapat digunakan sebagai alat pembayaran.

3. Likuiditas (liquidity) Unit surplus dapat menempatkan dana yang dimilikinya dalam bentuk produk-produk berupa giro, tabungan, deposito, dan sebagainya. Produk-produk tersebut masing-masing mempunyai tingkat likuiditas yang berbeda-beda. Untuk kepentingn likuiditas para pemilik dana dapat menempatkan dananya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya. Dengan demikian bank memberikan fasilitas pengelolaan likuiditas kepada pihak yang mengalami surplus likuiditas dan menyalurkannya kepada pihak yang mengalami kekurangan likuiditas.

4. Efisiensi (efficiency) Peranan bank sebagai broker adalah menemukan peminjam dan pengguna modal tanpa mengubah produknya. Disini bank hanya memperlancar dan mempertemukan pihak-pihak yang saling membutuhkan. Adanya informasi yang tidak simetris (asymmetric information) antara peminjam dan investor menimbulkan masalah insentif. Peran bank menjadi penting untuk memecahkan masalah insentif tersebut. Untuk itu jelas peran bank dalam hal ini yaitu menjembatani dua pihak yang saling berkepentingan untuk menyamakan informasi yang tidak sempurna, sehingga terjadi efisiensi biaya ekonomi.

C. Konsep Green Banking

Bank, lingkungan, dan pembangunan merupakan tiga unsur penting yang kualitasnya selalu diharapkan untuk terus meningkat. Kualitas dan kinerja bank tentulah akan ikut menentukan kondisi perekonomian Negara ini, lebih khusus lagi dapat memberi kontribusi yang besar terhadap pembangunan dalam arti yang luas, karena bank adalah agen pembangunan (agent of development). Dengan begitu pembangunan diharapkan dapat terus berjalan sesuai dengan target-target yang diharapkan oleh seluruh stakeholder bangsa ini. Tentunya yang diharapkan adalah pembangunan yang berkelanjutan (suistanable development). Ironisnya antara bank, lingkungan dan pembangunan sering berada dalam stigma yang kontradiktif.

Persoalannya adalah, pembangunan yang diupayakan melalui industrialisasi acapkali menimbulkan persoalan dalam bidang lingkungan dengan menimbulkan akibat perusakan dan pencemaran lingkungan.

Upaya mencegah kontradiksi antara pembangunan dan pelestarian lingkungan ini cenderung ditonjolkan, dengan dalih bahwa memadukan dua kepentingan tersebut akan menimbulkan industri yang berbiaya tinggi.

Salah satu akibat dari kegiatan pembangunan diberbagai sektor adalah dihasilkannya limbah yang semakin banyak, baik jumlah maupun jenisnya limbah tersebut telah menimbulkan pencemaran yang merusak fungsi lingkungan hidup.

Menyadari akan adanya dampak akibat maraknya pembangunan seperti tersebut di atas, tentunya diperlukan adanya pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Oleh karena itu, menjadi kewajiban pemerintah untuk menggariskan kebijaksanaan lingkungan dan menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan.

Pembiayaan hijau (green financing) sudah mulai digaungkan oleh Bank Indonesia dan KLH dalam MOU tanggal 17 Desember 2010 dalam terma “green banking”, yakni yaitu suatu konsep pembiayaan atau kredit dan produk-produk jasa perbankan lainnya yang mengutamakan aspek-aspek keberlanjutan, baik ekonomi, lingkungan sosial-budaya, maupun teknologi, secara bersamaan. Langkah awal ini perlu diapresiasi dan segera ditindaklanjuti ke seluruh perbankan sebelum ekosistem hancur berantakan, entropik (irreversible) dan berubah menjadi bencana mengerikan. Dalam Pasal 47 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32 tahun 2009, terdapat paragraf analisis risiko lingkungan hidup. Analisis seperti ini sebaiknya diperluas bukan hanya ke pelaku usaha namun juga diterapkan ke pihak lain yang berhubungan dengan pelaku usaha, khususnya perbankan atau investor lainnya. Kewajiban Pemerintah bersama Regulator (BI, Depkeu) untuk menurunkannya di level praksis perbankan yang juga mencakup investasi yang bertanggungjawab terhadap lingkungan.

Praktek “green banking” dapat mengacu kepada praktek yang telah dijalankan oleh perbankan luar negeri baik dari negara maju maupun negara berkembang. Sejak 2003 UNEP-FI (Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup – Inisiatif Jasa Keuangan) bahkan telah menghimpun sejumlah 200 insitusi keuangan secara sukarela baik bank maupun non bank dari 40 negara (termasuk Indonesia, baru BNI yang ikut) untuk mendorong bank menyelaraskan bisnis dengan lingkungan demi menunjang pembangunan berkelanjutan. Mereka dikenal sebagai UNEP-FI Signatories. Sebut saja HSBC, Stanchart, Bank of America, Standard Bank dari Afrika Selatan, Grupo Santander dan Itau-Unibanco keduanya dari Brazil, Industrial Bank dari China dan lain-lain. Semua bank yang disebutkan ini memiliki standar manajemen risiko lingkungan dan sosial yang eksplisit dalam kebijakan perkreditan mereka.

Di tingkat regulator pada bulan November 2007 China mengeluarkan regulasi yang dibuat oleh CBRC (China’s Banking Regulatory Commission) yang mengatur “Guidelines on Credit Underwriting for Energy Conservation and Emission Reduction”. Dalam regulasi ini CBRC juga memasukkan katalog yang memuat sektor-sektor usaha mana saja yang layak untuk dibiayai oleh perbankan dalam kaitannya dengan aspek lingkungan. Jadi jelas sekali panduan bagi perbankan China sehingga mereka tidak kebingungan untuk terjun dalam bisnis yang ramah lingkungan.

Untuk mewujudkan praktek “green financing” dan “green banking” secara komprehensif maka selain regulator, peran nasabah dan pemegang saham sangat dibutuhkan. Suara kedua stakeholder khususnya mereka yang peduli pada isu-isu sustainability (keberlanjutan) dapat mempercepat manajemen senior menyesuaikan bisnis banknya dengan lingkungan hidup.

Semua adalah pilihan, ketika kita ingin memperbaiki sesuatu, terutama planet sebagai rumah bersama, lebih sempurna kita mengerjakannya bersama-sama, sinergis dan berkelanjutan. Untuk itulah green financing menjadi keniscayaan dalam praktek bisnis yang bertanggungjawab dan ramah kepada lingkungan hidup. Dengan cara ini bank tidak memperlambat proses kredit namun memperkuat proses itu dalam keberlanjutan perusahaan maupun lingkungan dan sosial.[4]

D. Konsep Green Building

Untuk mensikapi kondisi lingkungan kita yang mulai terasa dampak dari global warming, efek rumah kaca, polusi yang tak terbendung serta bertumbuhnya desain bangunan yang tidak mencitrakan alam sebagai tema utamanya, maka perlu kami jelaskan mengenai konsep Green Building sebagai solusi permasalahan tersebut.

Desain bangunan di Indonesia sebaiknya tidak melupakan kaidah-kaidah arsitektur tropis yang notabene sudah sesuai dengan kondisi “alamnya” dan iklim di Indonesia. Arsitektur tropis sudah dipopulerkan sejak jamannya sang arsitek kawakan F. Silaban, namun seiring perkembangan jaman, kaidah tersebut mulai ditinggalkan, bangunan yang kebarat-baratan tanpa perhitungan kondisi cuaca di Indonesia sudah menjadi tren saat ini. Green architecture dan green construction merupakan solusi terbaik untuk mengatasi hal ini dan mewujudkan kondisi bangunan yang nyaman bagi penghuni dan lingkungan sekitarnya.

Konsep Green Building atau bangunan hijau dikembangkan pada tahun 1970-an sebagai respons terhadap krisis energi dan keprihatinan masyarakat tentang lingkungan hidup. Inovasi untuk mengembangkan green building terus dilakukan sebagai upaya untuk menghemat energi dan mengurangi masalah-masalah lingkungan.

Green building tidak mudah didefinisikan. Sering dikenal sebagai sustainable building atau bangunan berkelanjutan, ada yang menyebutkan sebagai eco-homes atau bangunan yang berwawasan lingkungan. Ada berbagai pendapat tentang apa yang bisa digolongkan sebagai green building, pada umumnya setuju bahwa green building adalah yang strukturnya diletakkan, dirancang, dibangun, direnovasi dan dioperasikan untuk panduan hemat energi, dan memberi dampak positif bagi lingkungan, dampak ekonomi dan sosial. Namun singkatnya menurut Brenda dan Robert Vale, green building merupakan suatu pola pikir dalam arsitektur yang memperhatikan unsur-unsur alam yang terkandung di dalam suatu tapak untuk dapat digunakan.

Ada empat elemen-elemen bidang utama yang perlu dipertimbangkan dalam green building, sebagaimana yang dikutip oleh Eko Yusuf Prranggono dalam blognya, yakni material, energi, air dan faktor kesehatan, berikut ini penjelasannya.[5]

1. Material

Ini diperoleh dari alam, renewable sources yang telah dikelola dan dipanen secara berkelanjutan, atau yang diperoleh secara lokal untuk mengurangi biaya transportasi; atau diselamatkan dari bahan reklamasi di lokasi terdekat. Material yang dipakai menggunakan green specifications yang termasuk dalam daftar Life Cycle Analysis (LCA) seperti: energi yang dihasilkan, daya tahan material, minimalisasi limbah, dan dapat untuk digunakan kembali atau didaur ulang.

2. Energi

Green Building sering mencakup langkah-langkah untuk mengurangi konsumsi energi baik energi yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, seperti kondisi bangunan yang segi mudahnya angin dan sinar matahari yang mudah masuk kedalam bangunan.. Selain itu selain segi operasional, segi pelaksanaan juga harus diperhatikan. Studi LCI US Database Proyek bangunan yang menunjukkan dibangun dengan kayu akan menghasilkan energi pempuangan yang lebih rendah daripada bangunan gedung yang bahan bangunannya menggunakan dengan batu bata, beton atau baja.

Untuk mengurangi penggunaan energi operasi, penggunaan jendela yang se-efisiensi mungkin dan insulasi pada dinding, plafon atau tempat masuknya aliran udara ke dalam bangunan gedung. Strategi lain, desain bangunan surya pasif, sering dilaksanakan di rumah-rumah rendah energi. Penempatan jendela yang efektif (pencahayaan) dapat memberikan cahaya lebih alami dan mengurangi kebutuhan penerangan listrik di siang hari.[6]

3. Air

Konsep green building juga memperhatikan mengenai penggunaan air. Sekarang, banyak konsep desain rumah yang mengabaikan tentang penggunaan air. Mostly, rumah-rumah mengandalkan penggunaan air tanah yang berasal dari sumur dangkal ataupun dalam tanpa memberikan masukan tambahan air kepada tanah yang berakibat turunnya permukaan air tanah dan turunnya permukaan tanah permukaan. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuat penyimpanan atau memberikan asupan air kepada tanah di lingkungan yang ada disekitarnya. Solusinya yaitu dengan membuat tandon air penadah hujan di bawah tanah atau membuat sumur resapan penadah air hujan. Sistem penadah hujan yang mana ketika air turun di atas bangunan gedung yang kemudian direkayasa sedemikian rupa sehingga direncanakan air akan berkumpul pada satu tempat dan dialirkan menuju sumur resapan untuk menghindari terjadinya penurunan permukaan air tanah.

Mengurangi penggunaan air dan menggunakan STP (siwage treatment plant) untuk mendaur ulang air dari limbah rumah tangga sehingga bsa digunakan kembali untuk tanki toilet, penyiram tanaman, dll. Menggunakan peralatan hemat air, seperti shower bertekanan rendah , kran otomatis ( self-closing or spray taps), tanki toilet yang low-flush toilet. Yang intinya mengatur penggunaan air dalam bangunan sehemat mungkin.

4. Faktor Kesehatan

Menggunakan material dan produk-produk yang non-toxic akan meningkatkan kualitas udara dalam ruangan, dan mengurangi tingkat asma, alergi dan sick building syndrome. Materialyang bebas emisi, dan tahan untuk mencegah kelembaban yang menghasilkan spora dan mikroba lainnya. Kualitas udara dalam ruangan juga harus didukung menggunakan sistem ventilasi yang efektif dan bahan-bahan pengontrol kelembaban yang memungkinkan bangunan untuk bernapas.

Selain 4 bidang di atas, green building dapat menekan biaya untuk pekerjaan konstruksinya, dan memenuhi kebutuhan yang lebih luas dari masyarakat, dengan menggunakan tenaga kerja lokal, dan memastikan bangunan diletakkan tepat bagi kebutuhan masyarakat.

Green building memerlukan pendekatan holistik yang menganggap masing-masing komponen dari sebuah bangunan, yang berhubungan dengan konteks seluruh bangunan dan juga mempertimbangkan dampak lingkungan yang lebih luas dengan masyarakat di sekitarnya. Ini adalah pendekatan yang sangat kompleks yang memerlukan kontraktor, arsitek dan desainer untuk berpikir kreatif, menggunakan integrasi sistem di seluruh pekerjaan mereka. Ada beberapa teknologi dan metodologi penilaian yang dapat membantu pembangun dengan proses ini termasuk BREEAM (Building and Research Establishment Environmental Assessment Method) dan Eco-Homes.

Meskipun masih dalam masa pengembangan, green building termasuk pesat pertumbuhannya. Di negara maju seperti Ingris sudah menuntut spesifikasi green building dalam perencanaan dan pembangunan bangunan baru, sebagai bagian dari strategi sustainable building yang lebih luas, dan ini berarti bahwa nantinya green building muncul di seluruh penjuru negeri. Dalam usia terancam oleh perubahan iklim, kekurangan energi yang semakin meningkat dan masalah kesehatan, memang masuk akal untuk membangun rumah yang tahan lama, menghemat energi, mengurangi limbah dan polusi, dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Green Building lebih dari sebuah konsep untuk hidup berkelanjutan, tetapi bisa membangun harapan untuk masa depan.

Manfaat yang dapat diperoleh dengan menggunakan konsep Green Building setidaknya ada tiga manfaat, yakni :[7]

Pertama manfaat lingkungan, dengan meningkatkan dan melindungi keragaman ekosistem, memperbaiki kualitas udara, memperbaiki kualitas air, mereduksi limbah dan konservasi sumber daya alam.

Kedua manfaat ekonomi, yakni mereduksi biaya operasional, menciptakan dan memperluas pasar bagi produk dan jasa hijau, meningkatkan produktivitas penghuni dan mengoptimalkan kinerja daur hidup ekonomi.

Ketiga manfaat sosial, yakni dapat meningkatkan kesehatan dan kenyamanan penghuni, meningkatkan kualitas estetika, mereduksi masalah dengan infrastruktur lokal, serta meningkatkan kualitas hidup keseluruhan.

Di Amerika dikenal sebuah badan resmi yang bisa mengeluarkan sertifikasi atas bangunan-bangunan yang diklaim menggunakan konsep ini. Lembaga ini yaitu;US Green Building Council memiliki sertifikasi system yang dikenal dengan nama LEED (Leadership in Energy and Environtmental Design). Hingga kini belum ada gedung di Indonesia yang mengambil sertifikasi LEED tersebut, kira-kira penyebabnya mungkin terkait dengan kesulitan untuk memenuhi beberapa persyaratan yang diminta semisal jarak antara sumber material dan lokasi proyek yang disyaratkan dalam range tertentu dimana hal ini sulit jika material yang digunakan ternyata hanya tersedia di luar negeri, tentunya hal ini berdampak pada pengurangan poin, selain itu persyaratan yang diminta oleh LEED cukup signifikan terhadap besarnya nilai proyek, sehingga otomatis investor lokal atau pemilik gedung lebih memilih menggunakan pertimbangan prinsip ekonomi.[8]

E. Aktivitas Bank dalam Pemberian kredit

Bank adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[9]

Dalam menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank, kepercayaan masyarakat tersebut wajib dilindungi dan dipelihara. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 29 ayat (3) Undang-undang Perbankan yang menetapkan antara lain bahwa bank dalam memberikan kredit dan melakukan kegiatan usaha lainnya, wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang dipercayakan dananya kepada bank.

Dalam kehidupan sehari-hari, istilah kredit bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat. Ini menandakan bahwa istilah kredit telah dikenal dan jauh melanda kehidupan ekonomi kita.

Dilihat dari asal katanya kata kredit berasal dari bahasa Latin, yaitu credere, yang artinya kepercayaan. Kepercayaan yang dimaksud adalah kepercayaan dalam penundaan pembayaran, baik penundaan utang-piutang maupun penundaan jual beli.

Debitur tidak wajib membayar utangnya secara langsung atau tunai, melainkan ia diberikan kepercayaan oleh undang-undang dalam perjanjian kredit untuk membayar belakangan secara bertahap atau mencicil. Karena utang tersebut dibayar dengan cara dicicil, maka resiko selama utang tersebut belum dilunasi harus ditanggung oleh si pemberi kredit.[10]

Secara umum kredit diartikan sebagai “the ability to borrow on the opinion cenceived by the lender that he will be repaid.”[11]

Levy merumuskan arti hukum dari kredit adalah sebagai berikut: “Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak menggunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman tersebut di belakang hari.”[12]

Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 11 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud kredit adalah: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam maminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”

Dari pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa di dalamnya terkandung kewajiban untuk mengembalikan pinjaman. Dari adanya kewajiban ini dapat ditafsirkan bahwa kredit hanya akan diberikan pada pihak yang dipercaya yang mampu mengembalikan kreditnya di kemudian hari sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disepakati sebelumnya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang ada dalam kredit adalah sebagai berikut, yaitu:[13]

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang akan diberikan dalam bentuk uang, barang, ataupun jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa datang;

b. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam waktu itu tergantung pengertian nilai agio dari uang yaitu uang yang ada sekarang nilainya lebih tinggi dari nilai uang yang akan diterima pada masa yang akan datang;

c. Degree of Risk, yaitu suatu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang akan memisahkan antar pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan, semakin tinggi pula tingkat resikonya, karena sejauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu, masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur resiko. Dengan adanya resiko inilah maka timbul jaminan dalam pemberian kredit.

d. Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang, atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang setiap kali kita jumpai dalam praktik perkreditan.

Dari uraian di atas cukup jelas bahwa kredit merupakan hubungan yang berdasarkan atas kepercayaan terhadap penundaan pembayaran yang membutuhkan jangka waktu tertentu. Sebagai akibat penundaan pembayaran tersebut, maka timbul suatu resiko. Untuk itu dalam pelaksanaan pemberian kredit bank selalu berupaya melakukan kehati-hatian (prudent banking). Setiap perjanjian tentu mengandung adanya prestasi dan kontraprestasi. Oleh karena itu, dalam perjanjian kredit sejak saat adanya kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak (bank dan nasabah debitur) telah menimbulkan hubungan hukum atau menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai kesepakatan yang telah mereka sepakati.

Bank sebagai kreditor berkewajiban untuk memberikan kredit sesuai dengan jumlah yang disetujui, dan atas prestasinya tersebut bank berhak memperoleh pelunasan kredit dan bunga dari debitur sebagai kontraprestasi.

Bahwa terdapat beberapa prinsip yang harus dipegang oleh bank dalam rangka mempertimbangkan penilaian sampai dengan tahapan pemberian kredit terhadap para nasabah yang mengajukan permohonan kredit.

Apabila dilihat dari pemberian kredit bank secara keseluruhan, terdapat beberapa tahap yang harus ditempuh, menurut Potan Arif Harahap tahapan-tahapan tersebut meliputi :[14]

1. Tahap permohonan kredit;

2. Tahap pertimbangan/penilaian pemohon;

3. Tahap pemberian kredit;

4. Tahap pengawasan kredit;

5. Tahap pelunasan kredit.

Tahap-tahap tersebut di atas dilakukan secara runtun dan dengan prinsip kehati-hatian agar kredit yang dikucurkan pada nasabah betul-betul sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, sehingga dapat terhindar dari resiko kegagalan atau kemacetan kredit.

Tahap-tahap prosedur perkreditan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :[15]

1. Tahap Permohonan Kredit

Disamping pemohon mengemukakan alasan permohonan kredit, jumlah kredit yang dibutuhkan, cara pembayaran kembali dan jaminan yang harus diserahkan yang disertai dengan studi kelayakan serta neraca dan laporan tahunan, maka seyogianya juga menguraikan apakah usahanya baik sekarang atau yang akan datang akan mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan. Jika ya, apa usaha dan rencana untuk mengatasi hal tersebut dan apakah biaya untuk keperluan tersebut termasuk dalam jumlah kredit yang dimohon.

2. Tahap Pertimbangan / Penilaian Pemohon

Dalam melakukan penilaian tidak cukup hanya dengan mengandalkan analisis angka-angka yang disajikan oleh pemohon dan pemeriksaan lapangan mengenai barang-barang jaminan yang akan diserahkan. Bank juga harus mengecek kebenaran atas keterangan tentang ada atau tidaknya kemungkinan pencemaran atau perusakan lingkungan dengan meminta pendapat departemen, jawatan atau badan pemerintah yang bersangkutan, serta mengadakan pemeriksaan lapangan.

Untuk melaksanakan semuanya itu tentunya pertimbangan atau penilaian akan tergantung kepada pengetahuan petugas bank mengenai dampak lingkungan. Dengan demikian mereka harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup.

3. Pemberian Kredit

Bila permohonan disetujui, diadakan suatu akad kredit. Dalam perjanjian tersebut harus juga dicantumkan klausul yang mewajibkan debitur untuk mengelola lingkungan hidup.

Dalam pencantuman jumlah kredit yang disediakan, jika perlu dipecah menjadi dua :

a) Jumlah yang diperlukan untuk usahanya;

b) Jumlah yang diperlukan untuk membiayai alat-alat untuk mengatasi pencemaran atau perusakan lingkungan.

Jangka waktu pembayaran kembali kedua jumlah tersebut tidak perlu sama, syarat pembayaran kredit untuk membiayai alat-alat mengatasi pencemaran dapat ditetapkan lebih lunak.

4. Pengawasan kredit

Sebagai konsekuensi dari ketentuan dalam perjanjian kredit yang membedakan kewajiban kepada debitur untuk bertanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan hidup, debitur selain mengirimkan laporan berkala tentang produksi, penjualan, dan keadaan barang jaminan, seyogyanya juga diharuskan membuat laporan tentang dampak lingkungan, yang kemudian dicek di lapangan oleh bank.

5. Perlunasan Kredit

Masalah pelunasan kredit, tepat atau sebelum waktunya melunasi, jangan dijadikan sebagai ukuran untuk menilai debitur sebagai nasabah yang baik. Kalau ternyata ia tidak memenuhi kewajiban dalam pengelolaan lingkungan hidup, konditenya dalam administrasi bank harus dicatat sebagai kurang baik, sehingga harapannya untuk memperoleh kredit diwaktu yang akan datang akan berkurang.

Dari uraian tentang tahap-tahap prosedur Sistem Perkreditan berwawasan lingkungan di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya tahap-tahap tersebut sama dengan tahapan kredit pada umumnya. Hanya saja di dalam prosedur sistem kredit berwawasan lingkungan mempunyai kekhususan tertentu yang tidak dimiliki oleh prosedur kredit pada umumnya.

F. Peran Perbankan dalam pengembangan Green Building

Dalam prakteknya, jelas pengembangan Green Building memerlukan peranan perbankan, dalam hal ini peran perbankan adalah dalam bentuk penerapan Green Banking. Perbankan diharapkan lebih berfokus pada pemberian kredit pada usaha-usaha yang tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan, mengarah ke bisnis yang berkelanjutan dan diterima masyarakat, tidak mengeksploitasi tenaga kerja dengan membayar upah rendah, tidak menggunakan tenaga kerja di bawah umur, tidak menghasilkan produk yang berbahaya, perusahaan yang terlibat dalam konservasi dan daur ulang, menjalankan etika dalam berusaha, tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, tidak terlibat dalam pornografi, perjudian, alkohol dan tembakau, serta tidak terlibat dalam persenjataan dan pembuatan senjata nuklir.

Perbankan asing dan perbankan di negara-negara tetangga kini sudah banyak yang melaksanakan green banking, bahkan mereka telah memasukkan dalam laporan tahunan mereka. Sementara itu, bagi perbankan nasional, penerapan green banking masih bersifat voluntary, belum mandatory. Compliance perusahaan kepada peraturan dan undang-undang belum sepenuhnya berjalan.[16]

Sejak tahun 1993, yaitu tahun yang telah ditetapkan oleh Presiden sebagai tahun lingkungan hidup, perbankan Indonesia/Bank Indonesia memeriksa kembali apakah kebijakan perkreditan perbankan Indonesia sudah sepenuhnya menunjang pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka menopang pembangunan yang berkesinambungan. Artinya, perlu diperiksa apakah kebijakan perkreditan bank Indonesia dari segala dimensinya telah berwawasan lingkungan (green banking). Oleh karena itu kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup telah merupakan kebijakan pemerintah, maka perbankan Indonesia berkewajiban juga untuk menunjang kebijakan ini.

Kebijakan perbankan merupakan tanggung jawab Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang antara lain bertugas mengatur dan mengawasi bank sebagaimana hal itu ditentukan dalam Pasal 8 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. sebelum berlakunya Undang-Undang tentang Bank Indonesia tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/9/UKU tanggal 25 Maret 1989 perihal Kredit Investasi dan Penyertaan Modal yang antara lain menentukan tentang keharusan bank untuk memperhatikan AMDAL dalam pemberian kreditnya.

Terakhir Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 No. 12 Tambahan Lembaran Negara No. 4471). Peraturan Bank Indonesia tersebut telah diatur pelaksanaannya dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 kepada semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional perihal Penilaian Kualitas Aktivan Bank Umum. Dalam Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran tersebut ditentukan bahwa dalam menilai prospek usaha, bank perlu memperhatikan upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Selanjutnya, dalam Surat Edaran tersebut di atas telah diberikan petunjuk atau ketentuan mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal bank melakukan penilaian prospek usaha debitur dalam rangka upaya yang dilakukan oleh debitur dalam rangka mengelola lingkungan hidup, khususnya debitur berskala besar yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup.

Dalam Surat Edaran tersebut dikemukakan bahwa ketentuan mengenai hal-hal yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup yang ditentukan dalam Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia di atas adalah sejalan atau merupakan pelaksanaan dari Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, yang antara lain menyatakan bahwa salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyaluran penyediaan dana adalah hasil Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko tinggi.

Di dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut dikemukakan bahwa “Kewajiban AMDAL ini juga tercantum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL”. Pernyataan yang dicantumkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut merupakan pernyataan kesadaran dan pengakuan serta penegasan bahwa kewajiban yang tercantum dalam UUPPLH juga merupakan kewajiban bank yang harus dipatuhi.

Ada 4 (empat) alasan mengapa perbankan Indonesia harus menempuh kebijakan perkreditan yang berwawasan lingkungan. Alasan yang pertama adalan yang berkaitan dengan :

1. Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi :

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”

Hal ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia.

Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. Sehingga “Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui saluran sarana hukum, sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat di bidang lingkungan hidup.”

UUD 1945 tersebut dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999, dimana Pasal 9 ayat (3) berbunyi bahwa : “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.

2. Ketentuan Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68 dan Pasal 70 ayat (1) UUPPLH.

Menurut Pasal 65 UUPPLH bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Menurut Pasal 67 dan Pasal 68 UUPPLH tersebut bahwa setiap orang bukan saja mempunyai hak tetapi juga mempunyai kewajiban melestarikan fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan Pasal 70 ayat (1) UUPPLH menerangkan bahwa dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana dalam Pasal 65 dan Pasal 67 UUPPLH, masyarakat memiliki kesempatan yang luas untuk berperan serta dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Alasan kedua ialah berkaitan dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2), Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 88 UUPPLH tentang keharusan nasabah debitur sebagai penanggungjawab usaha dan atau kegiatan untuk membayar ganti rugi karena melakukan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh proyek yang dibiayai oleh bank. Apabila nasbah debitur tiba-tiba harus memikul biaya pembersihan yang besar sekali atas proyek tersebut dan lingkungannya yang rusak atau tercemar dan membayar ganti rugi, maka crediworthiness dari nasabah debitur dapat merosot secara drastis dan dapat mengancam kemampuannya untuk membayar kembali kredit tersebut. Dalam rangka bank melaksanakan kewajiban hukumnya untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup dan dalam rangka melindungi kreditnya, maka kemungkinan ini harus dapat dicegah oleh bank.

Alasan ketiga adalah sehubungan dengan kemungkinan dilakukannya penghentian usaha atau pencabutan izin usaha terhadap perusahaan nasabah debitur oleh pihak yang berwenang karena proyek nasabah debitur telah melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan hidup (sanksi administratif). Sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 76 UUPPLH bahwa dimungkinkan bagi Menteri, Gubernur atau Walikota menetapkan sanksi administratif seperti teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan. Bila hal itu terjadi, maka bank yang membiayai perusahaan tersebut dapat mengalami ancaman kerugian berupa terjadinya kemacetan kredit karena izin pembangunan proyek atau izin usaha perusahaan dicabut.

Alasan keempat adalah sehubungan dengan kemungkinan merosotnya nilai agunan yang rusak atau tercemar. Apabila bank membiayai suatu proyek, maka proyek itu, termasuk tanah dimana proyek itu didirikan, akan diikat oleh bank sebagai agunan kredit. Apabila proyek tersebut melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan terhadap tanah di atas mana proyek itu didirikan, maka harga tanah yang rusak atau tercemar itu akan merosot sekali. Akibatnya adalah bahwa agunan atas kredit kepada nasabah debitur untuk membiayai pendirian dan atau operasi proyek yang rusak atau tercemar itu akan hanya menjadi agunan yang tidak berharga.

Pemberian kredit oleh perbankan dapat merupakan suatu masalah bila kredit itu dipergunakan untuk usaha ataupun kegiatan yang pada akhirnya menimbulkan atau mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal ini seharusnya badan-badan atau lembaga-lembaga keuangan yang memberikan kredit dapat digerakkan untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, Karena perusahaan yang ingin berkembang tergantung pada fasilitas kredit.

Sebagai salah satu pemberi dana, Bank tidak saja hanya melihat pertimbangan ekonomisnya, tetapi juga keterpaduan dengan lingkungannya. Dengan demikian perbankan tidak ikut membiayai proyek-proyek yang diperkirakan akan dapat menimbulkan dampak yang merugikan ekosistem.

Pada sistem perbankan, dengan pertimbangan faktor-faktor keseimbangan lingkungan akan mengeliminisasikan resiko-resiko dalam pemberian kreditnya kepada nasabah debitur. Untuk itu perlu dikembangkan suatu kemampuan analisis resiko lingkungan secara ekologis dapat dipertanggungjawabkan. Karenanya dalam memasuki era pembangunan yang bertumpu pada teknologi untuk memprediksi terjadinya resiko kerugian diperlukan keahlian dalam kecermatan yang akurat.

Dengan demikian dalam kredit perbankan, analisis resiko tidak hanya terbatas pada analisis berdasarkan kinerja proyek, tetapi juga memerlukan metode analisis yang memperhitungkan biaya-biaya eksternal (benefit and risk analysis) yang melibatkan berbagai disiplin ilmu (inter and multidicipline science), khususnya untuk memahami lingkungan hidup. Dengan berlakunya undang-undang Perbankan dan sebagai akibat dari pelaksanaan prinsip kehati-hatian (prudent banking) serta masalah tingkat kesehatan bank, sektor perbankan tentunya akan sangat concern kepada masalah lingkungan. Pihak perbankan dalam memberikan kreditnya tidak menginginkan proyek yang dibiayainya menimbulkan pencemaran lingkungan, misalnya sampai menimbulkan keresahan masyarakat. Oleh karena bank sebagai pemberi kredit akan diminta pertanggungjawabannya, dalam hal ini penilaian terhadap analisa lingkungan serta dampak lingkungannya. Namun demikian resiko kerusakan lingkungan yang timbul akibat sebuah proyek yang dapat diantisipasi sejak awal. Apabila tidak dipertimbangkan dampaknya akan dapat mengakibatkan penutupan proyek tersebut dengan tuduhan telah merusak lingkungan. Dalam hal ini terjadinya penutupan sebuah proyek akibatnya akan menimbulkan kesulitan keuangan pada proyek itu. Akhirnya kredit bank yang telah dikucurkan sebagaimana yang diketahui akan dapat mengakibatkan kesulitan likuiditas bank yang bersangkutan, yang berakibat pula pada turunnya tingkat kesehatan bank tersebut. Bagi bank yang dikelola dengan baik, tentu tidak akan mau menempuh resiko-resiko yang bisa menyebabkan turunnya tingkat kesehatannya.

Dari penjelasan di atas ternyata undang-undang Perbankan secara eksplisit telah mencantumkan kewajiban perbankan di Indonesia untuk melaksanakan perbankan hijau (Green Banking) dan hal ini sesuai dengan gerak langkah yang dibutuhkan perbankan nasional untuk berperan serta dan bertanggungjawab dalam pelestarian fungsi lingkungan guna melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan seperti yang diamanatkan dalam propenas Tahun 2000-2004 dan menjadi semakin jelas. Dengan mengesampingkan aspek lingkungan justru dapat mengakibatkan resiko menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat.

Pembiayaan proyek yang berwawasan lingkungan telah terbukti dapat meningkatkan daya saing dan memberi keunggulan tersendiri bagi bank-bank yang menerapkannya sebagai strategi bisnis. Dengan demikian, perbankan diharapkan dapat meningkatkan peran dan perhatian terhadap pembiayaan kepada proyek-proyek yang mempunyai perhatian terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup.[17]

Apabila industri yang dibiayai oleh bank berjalan baik dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, maka hasil pendapatan bunga dari kredit yang diberikan dapat berjalan sesuai dengan cash flow bank tersebut. Demikian pula return capacity dari kredit yang diberikan pada industri tersebut dapat dijaminkolektibilitasnya. Jika semua sektor industri yang dibiayai bank tidak memiliki dampak negatif yang berarti maka dapat diharapkan pembiayaan bank pada sector industri akan meningkat pula. Hal ini menunjukkan bahwa operasional perbankan sangat terpengaruh oleh perkembangan sektor yang dibiayai.



[1] Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 2.

[2] Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1999), hlm. 11.

[3] Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, (Jakarta : LP3ES, P.T. Media Surya Grafindo, 1988), hlm. 109.

[4] Diakses pada tanggal 1 Mei 2012, dialamat http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis /2011/06/20/lingkungan-hidup-dan-peran-jasa-keuangan/

[5] Diakses pada tanggal 30 April 2012, dialamat http://gradika.wordpress.com/2010/02/08/green-building-sustainable-building

[6] Diakses pada tanggal 30 April 2012, dialamat http://newkidjoy.blogspot.com/2011/05/bangunan-hijau-green-building.html

[7] Diakses pada tanggal 30 April 2012, dialamat http://www.epa.gov/greenbuilding

[8] Diakses pada tanggal 1 Mei 2012, dialamat http://amaliaonearth.com/2008/04/09/green-building

[9] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 8

[10] Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Solusi Hukum (Legal Action) dan Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hlm. 2

[11] Bouviers Law Dictionary, A-K West Publishing Company, 1914, hlm. 725, dikutip dari: Mariam D. Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 21

[12] Levy, Rekening Courant, 1873, hlm. 192, dikutip dari: Mariam D. Badrulzaman, Ibid, hlm.22

[13] Thomas Yatno, Dasar-dasar Perkreditan, (Jakarta: Gramedia: 2003), hlm. 14

[14] Potan Arif Harahap, Aspek Hukum Peran Serta Bank dalam Pengelolaan Lingkungan, makalah yang diajukan sebagai persyaratan dalam mata kuliah Hukum Lingkungan, Fakultas Pasca Sarjana Bidang Ilmu Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1985), dikutip dari : Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1999), hlm. 363.

[15] Ibid., hlm. 363-३६६

[16] Diakses pada tanggal 2 April 2012, dialamat http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/12/16/urgensi-green-banking-menciptakan-green-building/

[17] Burhanudin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia, Peran Serta dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Meningkat, (Jakarta : Siaran Pers Bersama Bank Indonesia dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 8 September 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| All Rights Reserved - Designed by Colorlib